Refrat Penggunaan Kortikosteroid Dalam Bidang DV
Refrat Penggunaan Kortikosteroid Dalam Bidang DV
PENDAHULUAN
efek
anti-inflamasi,
vasokonstriksinya.1,
efek
imunosupresif,
efek
antiproliferatif,
dan
efek
korteks adrenal. Hormon steroid ini diklasifikasikan berdasarkan efeknya dalam metabolisme
dan fungsi imun (efek glukokortikoid) dan aktivitas retensi garam (efek mineralocorticoid).
Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi menjadi dua yaitu korktikosteroid
topikal dan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan dengan
mempertimbangkan mekanisme kerja, indikasi penggunaan dan juga efek samping dari
keduanya.2, 4
Terlepas dari berbagai kemajuan dalam bidang terapeutik dibidang dermatologi dengan
penemuan agen biologis baru dan berbagai obat imunosupresif lainnya, penggunaan
kortikosteroid tetap merupakan pilihan utama untuk menangani penyakit inflamasi primer pada
kulit ataupun kondisi inflamasi sistemik yang menimbulkan gangguan sekunder pada kulit.
Berbagai penyakit yang lama penyembuhannya seperti dermatitis dapat dipersingkat masa
penyembuhannya dengan kortikosteroid, bahkan penyakit berat yang dahulu banyak
menyebabkan kematian, misalnya pemphigus, dapat ditekan angka kematiannya berkat
pengobatan dengan kortikosteroid.4 Saat ini dermatologis merupakan pengguna kortikosteroid
tersering bersamaan dengan rheumatologis dan pulmonologis.6
Karena penggunaannya yang luas, maka diperlukan pemahaman yang baik mengenai
sifat farmakologis, cara kerja, indikasi, dan kontraindikasi penggunaan kortikosteroid sebagai
terapi dalam bidang dermatologi untuk menghindari munculnya efek samping yang tidak
diinginkan.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan
oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.3
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian
korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata
mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata
menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar
dan khasiat anti-inflamasinya
elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang
merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,
triamsinolon, dan dexamethason yang memiliki waktu kerja yang lebih lama dibandingkan
glukokortikoid alami.2, 4, 7
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
mineralokortikoid jarang digunakan dalam bidang dermatovenerologi karena tidak memiliki efek
antiinflamasi. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.2, 3
2.2
Farmakinetik
Kortikosteroid memiliki struktur dasar yang terdiri atas 17 atom karbon yang tersusun
dalam tiga gugus heksana dan satu gugus pentana Modifikasi kortisol, dengan menambahkan
atau memodifikasi struktur kimianya dapat menghasilkan senyawa-senyawa dengan potensi anti
inflamasi, aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid dan efek samping yang bervariasi. 2
Kortisol merupakan glukokortikoid alami yang disintesis dalam tubuh manusia dan
memiliki efek fisiologis yang luas, termasuk regulasi metabolisme intraselular, fungsi
kardiovaskular, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi dengan ketat oleh
sistem saraf pusat, yang sangat sensitive terhadap feedback negatif oleh kortisol dalam sirkulasi
dan glukokortikoid eksogen (sintesis). Pada dewasa normal dalam keadaan bebas stress, 10-20
mg kortisol disekresikan setiap harinya. Tingkat sekresi kortisol mengikuti ritme sirkadian yang
diatur oleh sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang memuncak pada pagi hari dan
sesudah makan terutama sesudah makan siang. Dalam plasma, kortisol berikatan dengan protein
spesifik yaitu corticosteroid binding globulin (CBG). CBG merupakan -2 globulin yang
disintesis di liver. CBG berikatan dengan 90% hormon kortisol dalam sirkulasi. Sisanya, sekitar
5-10% kortisol berikatan lemah dengan albumin atau dalam bentuk bebas dan mampu
mempengaruhi sel target. Ketika kadar kortisol plasma melebihi 20-30mcg/dL, CBG menjadi
tersaturasi dan konsentrasi kortisol bebas meningkat dengan cepat. CBG meningkat pada ibu
hamil dan dengan pemberian estrogen dan dengan kondisi hipertiroid.CBG menurun jumlahnya
pada kondisi hipotiroid, defek genetic dalam sintesisnya, dan dalam kondisi defisiensi protein.
Albumin juga dapat berikatan dengan kortisol dalam kapasitas besar tetapi memiliki afinitas
yang rendah. Biasanya kortisol yang berikatan dengan albumin dianggap kortisol bebas.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi biasanya sekitar 60-90 menit, dan dapat meningkat
ketika kortisol diadministrasikan dalam jumlah besar atau ketika stress, hipotiroid, atau terdapat
gangguan liver. Hanya sekitar 1% kortisol yang dieksresikan melalui urin dalam bentuk kortisol
bebas. Sekitar 20% kortisol dikonversikan menjadi kortison oleh 11-hydroxysteroid
dehydrogenase di ginjal dan jaringan lain melalui reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai
liver.3
2.3
Farmakodinamik
2.3.1 Mekanisme Kerja
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang terkait dengan beberapa
mekanisme kerja yang berbeda. Kortikosteroid bekerja melalui reseptor intraselular yang
disebut reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid akan masuk kedalam sel melalui difusi pasif
melalui membran sel, selanjutnya glukokoritkoid akan berikatan dengan isoform -1 dari
reseptor glukokortikoid terletak di sitosol. Selanjutnya kompleks hormon-reseptor ini akan
mengalami translokasi ke nukleus sel di daerah yang dikenal dengan corticosteroid responsive
element dimana terjadi stimulasi atau inhibisi transkripsi dari gen tertentu sehingga terjadi
regulasi proses inflamasi melalui sintesis protein seperti annexin I dan MAPK phosphatase 1.
Annexin menurunkan aktivitas phospholipase A2 yang kemudian menurunkan jumlah asam
arakindonat yang dilepaskan oleh membran phospholipid sehingga membatasi pembentukan
prostaglandin dan leukotriens. Mekanisme kedua merupakan efek tidak langsung terhadap
ekspresi gen melalui interaksi antara reseptor glukokortikoid dengan faktor transkripsi lain.
Beberpa interaksi yang penting seperti efek inihibisi dari faktor transkripsi activator protein-1
(AP-1) dan
sejumlah molekul proinflamasi seperti sikotikin, interleukin, adhesion molecule, dan protease.
Mekanisme ketiga merupakan efek terhadap second messenger cascade yang dimediasi oleh
kompleks hormon-reseptor melalui jalur nongenomic seperti jalur P13K-Akt-eNOS. 2, 3, 5, 8
5
2, 3
bradykinin,
dan
prostaglandin.
Steroid
topikal
dapat
menyebabkan
eritema.
Kemampuan
agen
kortikosteroid
untuk
menyebabkan
kelas berdasarkan potensinya. Kelas 1 merupakan kelompok paling poten dan kelas 7
merupakan kelompok kortikosteroid yang potensinya paling lemah. 2
2.4.
Klasifikasi Kortikosteroid
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal.
2.4.1 Klasifikasi kortikosteroid sistemik
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya; (Tabel 1).
2,
4,
10
triamsinolon, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid sama sekali. Hampir
semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel, obat tersusun
berdasarkan potensi
Deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan durasi kerja 36-5 jam. Sedangkan kortison
dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus
diingat semakin kuat potensi glukokortikoidnya semakin besar efek samping yang terjadi.
Dosis
Potensi
WPP
Durasi
25
0,8
90
8-12
Kortisol
20
0.8
30
8-12
Prednison
0.25
60
16-36
Prednisolon
0.25
200
12-36
180
12-36
300
12-36
0.75
25
200
36-54
(hidrokortison)
Intermediate-acting
Metilprednisolon
Triamsinolon
Long-acting
Deksametason
*WPP= waktu paruh plasma
Klasifikasi
Golongan 1: (super
poten)
Nama Dagang
Diprolene ointment
Diprolene AF cream
Psorcon ointment
Temovate ointment
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment
Ultravate cream
Nama Generik
0,05% betamethason dipropionate
Cyclocort ointment
Diprosone ointment
Elocon ointment
Florone ointment
Halog ointment
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment
Maxivate cream
Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel
0,1% amcinonide
0,05% betamethasone dipropionate
0,01% mometasone fuorate
0,05% diflorasone diacetate
0,01% halcinonide
Aristocort A ointment
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream
0,05% fluocinonide
Golongan V: (potensi
medium)
Flurone cream
Lidex E cream
Maxiflor cream
Maxivate lotion
Topicort LP cream
Valisone ointment
Aristocort ointment
Cordran ointment
Elocon cream
Elocon lotion
Kenalog ointment
Kenalog cream
Synalar ointment
Westcort ointment
Cordran cream
Cutivate cream
Dermatop cream
Diprosone lotion
Kenalog lotion
Locoid ointment
Locoid cream
Synalar cream
Tridesilon ointment
Valisone cream
Westcort cream
0,05% flurandrenolide
0,05% fluticasone propionate
0,1% prednicarbate
0,05% betamethasone dipropionate
0,1% triamcinolone acetonide
0,1% hydrocortisone butyrate
Aclovate ointment
Aclovate cream
Aristocort cream
Desowen cream
Kenalog cream
Kenalog lotion
Locoid solution
Synalar cream
Synalar solution
Tridesilon cream
Valisone lotion
0,05% aclometasone
11
2.5
Penggunaan Kortikosteroid
2.5.1 Penggunaan terapi kortikosteroid sistemik
2.5.1.1 Cara pemberian
Kortikosteroid sistemik (KS) dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuscular,
atau intravena bergantung pada penyakit yang awkan diobati. Pemberian KS intralesi
memungkinkan akses langsung terhadap lesi yang berjumlah sedikit dan resisten terhadap
terapi lain. Konsentrasi yang diberkan tergantung lokasi injeksi dan sifat dari lesi itu.
Pada daerah wajah, digunakan glukokortikoid konsentrasi rendah (2-3 mg/mL) untuk
mencegah atrofi pada kulit, sedangkan untuk menghilangkan keloid diperlukan
konsentrasi sebesar 40mg / mL. Pemberian glukokortikoid secara intramuscular kurang
disukai karena absorpsinya tidak menentu sehingga sulit mengontrol dosis pemberiannya.
2
Glukokortikoid dosis
rendah juga dapat diberikan sesaat sebelum tidur untuk jerawat dan hirsutisme karena
sindrom adrenogenital yang tidak responsif terhadal terapi konservatif. 2
13
Dermatitis atopik
Dermatomyositis
Behcets disease
Dermatitis kontak
Hemangioma
Vaskulitis kutaneus
Reaksi obat
Lupus erythematosus
Eritroderma
Pemfigoid
Herpes zoster
Pemfigus
Kerion
Sarcoidosis
Lichen Planus
Systemic sclerosis
Photodermatitis
Pyoderma gangrenosum
SJS/TEN
Urtikaria/angiodeema
14
permukaan tubuh yang akan mendapatkan terapi dan juga ada tidaknya inflamasi pada kulit
dapat mempengaruhi aktivitas agen topikal yang digunakan.
Penetrasi KT berbeda
berdasarkan lokasi pemberiannya yang dipengaruhi oleh ketebalan stratum korneum dan
juga suply pembuluh darah pada area tersebut. Misalnya, penetrasi KT melalui kelopak mata
dan skrotum 4 x lebih besar daripada penetrasi pada daerah dahi dan 36 x lebih besar dari
penetrasi pada daerah telapak tangan dan telapak kaki. Daerah kulit yang mengalami
inflamasi, lembab, dan terluka jua meningkatkan penetrasi KT. Daerah tubuh dimana
kulitnya memang tipis secara keturunan tidak hanya meningkatkan penetrasi obat, tapi juga
menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih rentan mengalami efek samping KT
dibandingkan daerah tubuh lain yang kulitnyalebih tebal. KT poten (golongan I dan II)
sebaiknya tidak digunakan didaerah dengan tingkat penetrasi tertinggi seperti pada kelopak
mata dan skrotum.
Konsentrasi agen terapeutik yang digunakan, durasi pemakaian, jenis kompres,
vehikulum yang dipilih dapat mempengaruhi absorpsi obat dan juga tingkat keparahan efek
samping yang dapat muncul. Target kerja KT adalah lapisan epidermis atau dermis dan
respons klinis terhadap obat berbanding lurus dengan konsentrasi kortikosteroid yang
mencapai daerah target. Penelitian komparatif membandingkan konsetrasi glukokortikoid
dikulit sesudah pemberian KT dan sesudah pemberian KS, hasil penelitian tersebut
menunjukkan kebanyakan KT berhasil mencapai konsentrasi efektif pada lapisan superfisial
kulit jika dibandingkan dengan dosis standar prednison oral. Sepertinya salah satu penyebab
efikasi terapi dengan kortikosteroid oral tampak lebih baik dibandingkan terapi dengan KT
dikarenakan komplians pasien yang lebih rendah dengan terapi topikal.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
15
pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan
gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.2,4
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.
Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang . Respons ini
merupakan toleransi akut terhadap glukokortikoid dan efek vasokonstriksinya akan
menghilang. Setelah diistirahatkan beberapa hari, maka efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian
kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan
tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.2,3, 4
Ada beberapa prinsip penting pemakaian dari kortikosteroid topikal, yaitu : 2, 11
1.
Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2.
Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya
jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari
golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
3.
Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak
khas disebabkan pemakaian kortikosteroid.
4. Gunakan KT dengan potensi serendah mungkin untuk mengontrol penyakit
5. Pada daerah wajah dan lipat tubuh sebaiknya digunakan KT dengan potensi rendah.
Cukup responsif
Psoriasis (intertriginosa)
Psoriasis
Psoriasis (palmoplantar)
Psoriasis kuku
Dermatitis seboroik
Dermatitis numularis
Lupus erythematosus
Dermatitis intertriginosa
Dermatitis iritan
Pemphigus
Urtikaria
Lichen planus
Parapsoriasis
Granuloma annulare
Sarcoidosis
Dermatitis
kontak
Insect bite
17
18
HPA Axis
Metabolisme
Kardiovaskular
Gangguan
pertumbuhan
pada
anak,
Otot
Kulit
Mata
Katarak, glaucoma
Darah
Sistem Imunitas
Lain-lain
atau penggunaan KT dengan potensi sangat kuat atau kuat. Semakin tinggi potensi KT, makin
cepat terjadinya efek samping. Efek samping lokal akibat pemakaian KT lebih sering muncul
dari efek samping sistemiknya dan kebanyakan terjadi karena efek antiproliferatif dari agen
kortikosteroid yang digunakan. Efek samping lokal
keberadaanya yang singkat pada kulit. Efek samping yang dapat muncul berupa atrofi kulit,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertriksois setempat, hipopigmentasi,
dermatitis perioral. Pemberian KT pada ulkus malah akan memghambat penyembuhan ulkus.
Kulit yang mendapat terapi KT juga menjadi mudah terkena infeksi dan jika sudah ada infeksi
sebelumnya menjadi lebih mudah meluas. Gambaran klinis penyakit infeksi yang mendapat
terapi KT juga menjadi kabur dan tidak khas karena efek anti-inflamasi dari kortikosteroid,
seperti misalnya pada dermatofitosis , pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi kabur
dan meluas.Pada pemerian terapi KT, dapat juga terjadi reaksi alergi, dimana pemberian KT
malah memperparah dermatitis dan tidak menunjukkan perbaikan klinis dari penyakit. Biasanya
reaksi alergi muncul bukan karena reaksi terhadap bahan aktif kortikosteroid, tetapi bereaksi
terhadap vesikulum yang digunakan. Biarpun efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar
aman dosis yang dianjurkan ialah jangan menggunakan KT > 30gram sehari tanpa oklusi. Pada
bayi dan geriatri dengan kulit yang tipis hendaknya dipakai KT yang kemah. Pada kelainan kulit
akut dipakai KT potensi lemah. Pada kelainan subakut digunakan KT potensi sedang dan jika
kelainan kulit kronis dan tebal dipakai KT potensi kuat. Jika hendak menggunakan cara oklusi,
jangan melebihi 12 jam sehari dan pemakainna terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah
lipatan dan wajah gunakan KT lemah/sedang..2, 4
Efek samping sistemik yang dapat muncul biasanya berupa gangguan pada mata, HPA
axis, dan gangguan metabolik. Glaukoma dapat muncul pada penggunaan KT disekitar mata.
Supresi HPA aksis dapat terjadi pada penggunaan KT golongan poten. Krisis addison dapat
terjadi dengan penggunaan KT golongan poten jangka panjang. Efek supresi HPA axis ini juga
dapat terjadi dengan penggunaan KT potensi rendah pada kelompok usia anak. Efek samping
metabolik yang dapat terjadi berupa meningkatnya produksi glukosa serta menurunnya
penggunaan glukosa oleh tubuh dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan dapat
berkembang menjadi diabetes mellitus.2
20
BAB III
KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan salah satu obat terpenting dalam bidang dermatolovenerologi,
karena efek anti-inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokonstriksinya.
Aktivitas kortikosteroid dibagi menjadi dua jenis yaitu aktivitas glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Untuk terapi dibidang dermatovenerologi yang digunakan untuk mengurangi
inflamasi adalah efek glukokortikoidnya.
Kortikosterid dapat diberikan melalui dua cara yaitu secara sistemik ataupun topikal.
Kortikosteroid sistemik sendiri terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan waktu kerjanya dan
dapat diberikan dengan berbagai cara. Kortikosteroid topikal dikelompokkan menjadi 7
berdasarkan potensinya dan tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dengan vesikulum yang
berbeda.
Kortikosteroid dapat digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit kulit yang
disebabkan karena inflamasi. Akan tetapi biasanya terapi dengan kortikosteroid hanya bersifat
simptomatis dan tetap harus dicari dan ditangani penyebab (kausal) dari penyakit kulit tersebut.
Terlepas dari manfatnya kortikosteroid memiliki banyak efek samping yang dapat
menyerang hampir seluruh organ, oleh karena itu sebaiknya penggunaannya dibatasi sampai
dosis terkecil yang dapat mengontrol gejala dan tidak digunakan dalam jangka waktu panjang.
Pada umumnya kortikosteroid tidak boleh digunakan pada penyakit infeksi karena dapat
memperberat infeksi dan menyebabkan lesi khas pada beberapa penyakit menjadi hilang.
21
Daftar Pustaka
22
23