Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kortikosteroid merupakan salah satu obat terpenting dalam bidang dermatolovenerologi,
karena

efek

anti-inflamasi,

vasokonstriksinya.1,

efek

imunosupresif,

efek

antiproliferatif,

dan

efek

Kortikosteroid adalah kelompok hormon steroid yang diproduksi oleh

korteks adrenal. Hormon steroid ini diklasifikasikan berdasarkan efeknya dalam metabolisme
dan fungsi imun (efek glukokortikoid) dan aktivitas retensi garam (efek mineralocorticoid).

Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi menjadi dua yaitu korktikosteroid
topikal dan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan dengan
mempertimbangkan mekanisme kerja, indikasi penggunaan dan juga efek samping dari
keduanya.2, 4
Terlepas dari berbagai kemajuan dalam bidang terapeutik dibidang dermatologi dengan
penemuan agen biologis baru dan berbagai obat imunosupresif lainnya, penggunaan
kortikosteroid tetap merupakan pilihan utama untuk menangani penyakit inflamasi primer pada
kulit ataupun kondisi inflamasi sistemik yang menimbulkan gangguan sekunder pada kulit.

Berbagai penyakit yang lama penyembuhannya seperti dermatitis dapat dipersingkat masa
penyembuhannya dengan kortikosteroid, bahkan penyakit berat yang dahulu banyak
menyebabkan kematian, misalnya pemphigus, dapat ditekan angka kematiannya berkat
pengobatan dengan kortikosteroid.4 Saat ini dermatologis merupakan pengguna kortikosteroid
tersering bersamaan dengan rheumatologis dan pulmonologis.6
Karena penggunaannya yang luas, maka diperlukan pemahaman yang baik mengenai
sifat farmakologis, cara kerja, indikasi, dan kontraindikasi penggunaan kortikosteroid sebagai
terapi dalam bidang dermatologi untuk menghindari munculnya efek samping yang tidak
diinginkan.5

1.2 Tujuan Studi Pustaka


1.2.1 Tujuan Umum
Memahami penggunaan kortikosteroid dalam bidang dermatovenerologi

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui:
a. Definisi kortikosteroid
b. Farmakokinetik kortikosteroid
c. Farmakodinamik kortikosteroid
d. Klasifikasi kortikosteroid
e. Cara penggunaant kortikosteroid
f. Efek samping kortikosteroid

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan
oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.3
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian
korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata
mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata
menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar
dan khasiat anti-inflamasinya

nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan

elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang
merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,
triamsinolon, dan dexamethason yang memiliki waktu kerja yang lebih lama dibandingkan
glukokortikoid alami.2, 4, 7
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

Oleh karena itu

mineralokortikoid jarang digunakan dalam bidang dermatovenerologi karena tidak memiliki efek
antiinflamasi. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.2, 3

2.2

Farmakinetik
Kortikosteroid memiliki struktur dasar yang terdiri atas 17 atom karbon yang tersusun
dalam tiga gugus heksana dan satu gugus pentana Modifikasi kortisol, dengan menambahkan

atau memodifikasi struktur kimianya dapat menghasilkan senyawa-senyawa dengan potensi anti
inflamasi, aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid dan efek samping yang bervariasi. 2

Gambar 1. Struktur kimia dari beberapa hormon glukokortikoid.3

Kortisol merupakan glukokortikoid alami yang disintesis dalam tubuh manusia dan
memiliki efek fisiologis yang luas, termasuk regulasi metabolisme intraselular, fungsi
kardiovaskular, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi dengan ketat oleh
sistem saraf pusat, yang sangat sensitive terhadap feedback negatif oleh kortisol dalam sirkulasi
dan glukokortikoid eksogen (sintesis). Pada dewasa normal dalam keadaan bebas stress, 10-20
mg kortisol disekresikan setiap harinya. Tingkat sekresi kortisol mengikuti ritme sirkadian yang
diatur oleh sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang memuncak pada pagi hari dan
sesudah makan terutama sesudah makan siang. Dalam plasma, kortisol berikatan dengan protein
spesifik yaitu corticosteroid binding globulin (CBG). CBG merupakan -2 globulin yang
disintesis di liver. CBG berikatan dengan 90% hormon kortisol dalam sirkulasi. Sisanya, sekitar
5-10% kortisol berikatan lemah dengan albumin atau dalam bentuk bebas dan mampu
mempengaruhi sel target. Ketika kadar kortisol plasma melebihi 20-30mcg/dL, CBG menjadi
tersaturasi dan konsentrasi kortisol bebas meningkat dengan cepat. CBG meningkat pada ibu

hamil dan dengan pemberian estrogen dan dengan kondisi hipertiroid.CBG menurun jumlahnya
pada kondisi hipotiroid, defek genetic dalam sintesisnya, dan dalam kondisi defisiensi protein.
Albumin juga dapat berikatan dengan kortisol dalam kapasitas besar tetapi memiliki afinitas
yang rendah. Biasanya kortisol yang berikatan dengan albumin dianggap kortisol bebas.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi biasanya sekitar 60-90 menit, dan dapat meningkat
ketika kortisol diadministrasikan dalam jumlah besar atau ketika stress, hipotiroid, atau terdapat
gangguan liver. Hanya sekitar 1% kortisol yang dieksresikan melalui urin dalam bentuk kortisol
bebas. Sekitar 20% kortisol dikonversikan menjadi kortison oleh 11-hydroxysteroid
dehydrogenase di ginjal dan jaringan lain melalui reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai
liver.3

2.3

Farmakodinamik
2.3.1 Mekanisme Kerja
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang terkait dengan beberapa
mekanisme kerja yang berbeda. Kortikosteroid bekerja melalui reseptor intraselular yang
disebut reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid akan masuk kedalam sel melalui difusi pasif
melalui membran sel, selanjutnya glukokoritkoid akan berikatan dengan isoform -1 dari
reseptor glukokortikoid terletak di sitosol. Selanjutnya kompleks hormon-reseptor ini akan
mengalami translokasi ke nukleus sel di daerah yang dikenal dengan corticosteroid responsive
element dimana terjadi stimulasi atau inhibisi transkripsi dari gen tertentu sehingga terjadi
regulasi proses inflamasi melalui sintesis protein seperti annexin I dan MAPK phosphatase 1.
Annexin menurunkan aktivitas phospholipase A2 yang kemudian menurunkan jumlah asam
arakindonat yang dilepaskan oleh membran phospholipid sehingga membatasi pembentukan
prostaglandin dan leukotriens. Mekanisme kedua merupakan efek tidak langsung terhadap
ekspresi gen melalui interaksi antara reseptor glukokortikoid dengan faktor transkripsi lain.
Beberpa interaksi yang penting seperti efek inihibisi dari faktor transkripsi activator protein-1
(AP-1) dan

nuclear factor k (NF-k). Kedua faktor transkripsi ini menurunkan sintesis

sejumlah molekul proinflamasi seperti sikotikin, interleukin, adhesion molecule, dan protease.
Mekanisme ketiga merupakan efek terhadap second messenger cascade yang dimediasi oleh
kompleks hormon-reseptor melalui jalur nongenomic seperti jalur P13K-Akt-eNOS. 2, 3, 5, 8
5

Gambar 2. Mekanisme kerja kortikosteroid. 8

Reseptor glukokortikoid manusia dibagi menjadi dua berdasarkan variasi mRNAnya,


yaitu isoform dan isoform . Kadar relatif dari kedua isoform ini mempengaruhi sensitivitas
seseorang terhadap glukokortikoid. Kadar isoform yang tinggi merupakan salah satu
mekanisme terjadinya resistensi glukokortikoid. Terdapat jeda munculnya onset efek
farmakologi dari glukokortikoid (relatif terhadap konsentrasinya) dan hal ini diduga karena
diperlukan waktu untuk mempengaruhi transkripsi gen sel.3, 9
2.3.2 Efek kerja kortikosteroid
Efek kortikosteroid yang penting dalam terapi adalah efek anti-inflamasi, efek
imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokonstriksinya.

2.3.2.1 Efek anti-inflamasi


Kortikosteroid merupakan agen antiinflamasi poten karena menginhibisi
pelepasan phospholipase A2, sebuah enzym yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrien, dan derivat lain dari jalur metabolisme asam arakidonat
(gambar 3). Kortikosteroid juga menginhibisi faktor transkripsi seperti AP-1 dan NF-k
yang terlibat dalam aktivasi gen proinflamasi. Gen yang diketahui berperan penting
dalam resolusi inflamasi dan mengalami peningkatan ekspresi oleh kortikosteroid adalah
lipocortin dan p11/calpactin-binding proteins, keduanya terlibat dalam pelepasan asam
arakidonat. Lipocortin I menginhibisi phospholipase A2, menurunkan pelepasan asam
arakidonat dari membran fosfolipid. Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan
interleukin-1 (IL- ), sitokin profinlamasi penting dari keratinosit. Beberapa mekanisme
lain dari efek antiinflamasi kortikosteroid seperti inhibisi fagositosis dan stabilisasi
membran lisosomal dari sel fagosit.

2, 3

Gambar 3. Metabolisme asam arakidonat. 3

2.3.2.2 Efek imunosupresif


Efektifitas kortikosteroid juga dipengaruhi oleh kemampuan hormon imunosupresif
hormon ini. Kortikosteroid menekan produksi dan efek dari faktor humoral yang terlibat
dalam respon inflamasi seperti inhibisi migrasi leukosit ke lokasi inflamasi dan
mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblas. Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat menyebabkan deplesi sel mast dari kulit.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal menyebabkan inhibisi lokal
dari kemampuan kemotaksis neutrofil in vitro serta menunrunnya jumlah sel langerhans
in vivo. Kortikosteroid juga menurunkan tingkat proliferasi sel T dan memicu apoptosis
sel T dengan mengunhibisi IL-2 yang merupakan growth factor untuk sel T. Beberapa
sitokin lain juga dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid termasul IL-1, TNF- ,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), dan IL-8. Efek inhibisi
juga ditemukan pada antigen presenting cells (APC).
2.3.2.3 Efek antiproliferatif
Efek antiproliferatif dari kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi sintesis
DNA dan mitosis, hal ini menjelaskan sebagian aksi terapeutik dari obat golongan
kortikosteroid pada dermatosis dengan skuama. Kortikosteroid juga dapat menurunkan
ukuran keratinosit dan kemampuan proliferasi keratinosit. Aktivitas fibroblas dan
pembetukan kolagen juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.
2.3.2.4 Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid dalam menyebabkan vasokonstriksi masih belum
diketahui secara pasti. Diduga efek ini muncul karena inhibisi vasodilator alami seperti
histamin,

bradykinin,

dan

prostaglandin.

Steroid

topikal

dapat

menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah kapiler pada lapisan dermis superfisial sehingga


mengurangi

eritema.

Kemampuan

agen

kortikosteroid

untuk

menyebabkan

vasokonstriksi biasanya berbanding lurus dengan potensi anti-inflamasinya sehingga


assay vasokonstriksi sering digunakan untuk memperikirakan aktivitas klinis dari agen
tersebut. Assay ini digunakan untuk membagi agen kortikosteroid topikal menjadi tujuh

kelas berdasarkan potensinya. Kelas 1 merupakan kelompok paling poten dan kelas 7
merupakan kelompok kortikosteroid yang potensinya paling lemah. 2
2.4.

Klasifikasi Kortikosteroid
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal.
2.4.1 Klasifikasi kortikosteroid sistemik
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya; (Tabel 1).

2,

4,

10

. Pada tabel tersebut terlihat bahwa metilprednisolon,

triamsinolon, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid sama sekali. Hampir
semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel, obat tersusun
berdasarkan potensi

glukokortikoidnya dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.

Deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan durasi kerja 36-5 jam. Sedangkan kortison
dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus
diingat semakin kuat potensi glukokortikoidnya semakin besar efek samping yang terjadi.

Tabel 1. Konsep farmakologi kortikosteroid sistemik. 2, 4, 10


Kortikosteroid

Dosis

Potensi

WPP

Durasi

ekuivalen (mg) Glukokortikoid Mineralkortikoid (menit) kerja(jam)


Short-acting
Kortison

25

0,8

90

8-12

Kortisol

20

0.8

30

8-12

Prednison

0.25

60

16-36

Prednisolon

0.25

200

12-36

180

12-36

300

12-36

0.75

25

200

36-54

(hidrokortison)
Intermediate-acting

Metilprednisolon
Triamsinolon
Long-acting
Deksametason
*WPP= waktu paruh plasma

2.4.2 Klasifikasi kortikosteroid topikal


Kemampuan agen kortikosteroid

untuk menyebabkan vasokonstriksi biasanya

berbanding lurus dengan potensi anti-inflamasinya sehingga assay vasokonstriksi sering


digunakan untuk memperikirakan aktivitas klinis dari agen tersebut. Kortikosteroid topikal
dibagi menjadi 7 golongan berdasarkan kemampuannya untuk menyebabkan vasokonstriksi
(tabel 2). Kelas 1 merupakan kelompok paling poten dan kelas 7 merupakan kelompok
kortikosteroid yang potensinya paling lemah. 2, 3
Tabel 2. Penggolongan kortikosteroid topical berdasarkan potensi klinis

Klasifikasi
Golongan 1: (super
poten)

Golongan II: (potensi


tinggi)

Golongan III: (potensi


tinggi)

Nama Dagang
Diprolene ointment
Diprolene AF cream
Psorcon ointment
Temovate ointment
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment
Ultravate cream

Nama Generik
0,05% betamethason dipropionate

Cyclocort ointment
Diprosone ointment
Elocon ointment
Florone ointment
Halog ointment
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment
Maxivate cream
Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel

0,1% amcinonide
0,05% betamethasone dipropionate
0,01% mometasone fuorate
0,05% diflorasone diacetate
0,01% halcinonide

Aristocort A ointment
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream

0,1% triamcinolone acetonide


0,005% fluticasone propionate
0,1 amcinonide

0,05% diflorasone diacetate


0,05% clobetasol propionate

0,05% halobetasol propionate

0,05% fluocinonide

0,05% diflorasone diacetate


0,05% betamethasone dipropionate
0,25% desoximetasone
0,05% desoximetasone

0,05% betamethasone dipropionate


10

Golongan IV: (potensi


medium)

Golongan V: (potensi
medium)

Golongan VI: (potensi


medium)

Golongan VII: (potensi


lemah)

Flurone cream
Lidex E cream
Maxiflor cream
Maxivate lotion
Topicort LP cream
Valisone ointment

0,05% diflorosone diacetate


0,05% fluocinonide
0,05% diflorosone diacetate
0,05% betamethasone dipropionate
0,05% desoximetasone
0,01% betamethasone valerate

Aristocort ointment
Cordran ointment
Elocon cream
Elocon lotion
Kenalog ointment
Kenalog cream
Synalar ointment
Westcort ointment

0,1% triamcinolone acetonide


0,05% flurandrenolide
0,1% mometasone furoate

Cordran cream
Cutivate cream
Dermatop cream
Diprosone lotion
Kenalog lotion
Locoid ointment
Locoid cream
Synalar cream
Tridesilon ointment
Valisone cream
Westcort cream

0,05% flurandrenolide
0,05% fluticasone propionate
0,1% prednicarbate
0,05% betamethasone dipropionate
0,1% triamcinolone acetonide
0,1% hydrocortisone butyrate

Aclovate ointment
Aclovate cream
Aristocort cream
Desowen cream
Kenalog cream
Kenalog lotion
Locoid solution
Synalar cream
Synalar solution
Tridesilon cream
Valisone lotion

0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone acetonide


0,025% fluocinolone acetonide
0,2% hydrocortisone valerate

0,025% fluocinolone acetonide


0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate
0,2% hydrocortisone valerate

0,1% triamcinolone acetonide


0,05% desonide
0,025% triamcinolone acetonide
0,1% hydrocortisone butyrate
0,01% fluocinolone acetonide
0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate

Obat topical dengan


hidrokortison, dekametason,
glumetalone, prednisolone,
dan metilprednisolone

11

2.5

Penggunaan Kortikosteroid
2.5.1 Penggunaan terapi kortikosteroid sistemik
2.5.1.1 Cara pemberian
Kortikosteroid sistemik (KS) dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuscular,
atau intravena bergantung pada penyakit yang awkan diobati. Pemberian KS intralesi
memungkinkan akses langsung terhadap lesi yang berjumlah sedikit dan resisten terhadap
terapi lain. Konsentrasi yang diberkan tergantung lokasi injeksi dan sifat dari lesi itu.
Pada daerah wajah, digunakan glukokortikoid konsentrasi rendah (2-3 mg/mL) untuk
mencegah atrofi pada kulit, sedangkan untuk menghilangkan keloid diperlukan
konsentrasi sebesar 40mg / mL. Pemberian glukokortikoid secara intramuscular kurang
disukai karena absorpsinya tidak menentu sehingga sulit mengontrol dosis pemberiannya.
2

Ketika memberikan terapi KS secara oral, maka prednison merupakan KS yang


paling sering digunakan karena harganya murah dan tersedia dalam berbagai sediaan.
Bila terdapat gangguan hepar, dianjurkan untuk menggunakan metilprednisolon karena
prednisone dimetabolisme dihepar menjadi metilprednisolon. Pemberian glukokortikoid
intravena digunakan dalam dua situasi. Situasi pertama adalah untuk pasien yang
memiliki kondisi supresi adrenal karena penggunaan glukokortikoid harian jangka
panjang. Situasi kedua adalah pada pasien dengan penyakit tertentu seperti misalnya
pemfigus vulgaris atau pemfigoid bulosa yang parah, SLE, pioderma resisten. Pemberian
secara intravena bertujuan untuk mengoktrol penyakit secara cepat dan meminimalisir
perlunya terapi kortikosteroid oral dosis tinggi dalam jangka waktu lama. KS yang sering
diberikan secara intravena adalah metilpredinsolon pada dosis 500mg sampai 1 gram per
hari karena potensinya yang tinggi dan aktivitas mineralokortikoidnya yang rendah.
Pemberian KS secara intravena diasosiasikan dengan efek samping serius seperti reaksi
anafilaktik, kejang, aritmia, dan kematian mendadak. Pemberian secara perlahan-lahan
(dalam 2-3 jam) dapat meminimalisir efek samping serius tersebut.2, 4
Pengobatan KS jangka pendek didefiniskan dengan pengobatan yang diberikan
selama < 4 minggu. Terapi jangka panjang didefinisikan sebagai terapi selama 4 minggu
atau lebih dan dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sebelum
memulai pengobatan dengan KS jangka panjang, diperlukan evaluasi tentang predisposisi
12

diabters, hipertensi, hyperlipidemia, glaucoma dalam keluarga, pengurkuran berat badan,


tekanan darah, dan bila memungkinkan juga pengurkuran densitas tulang belakang.
Selama pebgobatan KS jangka panjang, perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap
berbagai efek samping terapi KS yang mungkin terjadi.
Pada pengobatan berbagai derematosis dengan KS, bila telah mengalami
perbaikan, dosis diturunkan berangsur-angsur (tapering-off) agar penyakit tidak
mengalami eksaserbasi dan tidak terjadi sindrom putus obat (pada sindrom putus obat
terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39C).
Tapering-off juga diperlukan untuk pemulihan sumbu hipotalamus-hipofisia-adrenal
(HPA axis) yang mengalami supresi dengan pemberian KS selama lebi hdari 3-4 minggu.
Jika KS digunakan kurang dari minggu maka terapi KS dapat dihentikan tanpa tapering
off. Pada supresi HPA axis terjadi supresi korteks kelenjar adrenal sehingga tubuh
pasien tidak dapat mengatasi berbagai stress. Supresi pada HPA axis dapat dikurangi
dengan pemberian KS dosis tunggal pada pagi hari jam 08.00 sesuai dengan siklus
diurnal produksi alamiah kortikosteroid. 2, 4, 5

2.5.1.2 Indikasi penggunaan kortikosteroid sistemik dalam bidang dermatovenerologi


Pada tabel 3 dapat dilihat penyakit kulit yang seringkali menjadi indikasi
penggunaan terapi kortikosteroid oral. Terapi KS biasanya diindikasikan hanya saat
eksasebasi akut dari penyakit tersebut. Biasanya gejala akut segera menghilang segera
sesudah pemberian terapi KS, akan tetapi beberapa penyakit tersebut rentan untuk relaps
ketika KS dihentikan dan oleh karena itu pemberian KS pada dilakukan dengan tujuan
utama untuk konrol gejala secara cepat dan kemudian mengganti terapi dengan
menggunakan agen imunosupresif lain yang tidak mengandung steroid untuk
pengobatan jangka panjangnya. Penyakit autoimun kronis yang menyerang kulit,
termasuk penyakit jaringan ikat dan penyakit autoimun dengan lepuh (blister) biasanya
memerlukan terapi KS jangka panjang secara terus menerus.

Glukokortikoid dosis

rendah juga dapat diberikan sesaat sebelum tidur untuk jerawat dan hirsutisme karena
sindrom adrenogenital yang tidak responsif terhadal terapi konservatif. 2

13

Tabel 3 . Kondisi dermatologis yang merupakan indikasi terapi glukokortikoid sistemik.5

Terapi jangka pendek

Terapi jangka panjang

Dermatitis atopik

Dermatomyositis

Behcets disease

Epidermolisis bullosa akuisata

Dermatitis kontak

Hemangioma

Vaskulitis kutaneus

Linear IgA bullous dermatosis

Reaksi obat

Lupus erythematosus

Eritroderma

Pemfigoid

Herpes zoster

Pemfigus

Kerion

Sarcoidosis

Lichen Planus

Systemic sclerosis

Photodermatitis

Systemic vasculitis sydnromes

Post herpetic neuralgia

Pyoderma gangrenosum

SJS/TEN

Urtikaria/angiodeema

Acute febrile neutrophilic dermatosis

2.5.1.3 Kontraindikasi pemberian kortikosteroid sistemik


Infeksi jamur sistemik merupakan kontraindikasi pemberian terapi KS. Jika ada riwayat
hipersensitivitas terhadap preparat KS intravena, maka obat intravena yang sama tidak boleh
lagi digunakan. Kondisi lain seperti ulkus peptikum, tuberkulosis yang masih aktif, psikosis
merupakan kontraindikasi relatif terhadap terapi KS, dan hanya diberikan jika terapi yang lain
tidak berhasil. Infeksi HIV bahkan pada stadium lanjut tidak dianggap sebagai kontraindikasi
terapi KS jangka pendek. Pemberian prednison jangka pendek dapat ditoleransi dengan baik
dan tidak menimbulkan pengaruh signifikan pada jumlah CD4 dan viral load. 5

14

2.5.2 Penggunaan kortikosteroid topikal


2.5.2.1 Cara pemberian
Sebelum menentukan preparat kortikosteroid topikal (KT) yang akan digunakan, kita
perlu mempertimbangkan fakot terkait pasien dan faktor terkait obat yang dapat
mempengaruhi absorpsi sistemik obat. Faktor seperti umur pasien,

lokasi dan luas

permukaan tubuh yang akan mendapatkan terapi dan juga ada tidaknya inflamasi pada kulit
dapat mempengaruhi aktivitas agen topikal yang digunakan.

Penetrasi KT berbeda

berdasarkan lokasi pemberiannya yang dipengaruhi oleh ketebalan stratum korneum dan
juga suply pembuluh darah pada area tersebut. Misalnya, penetrasi KT melalui kelopak mata
dan skrotum 4 x lebih besar daripada penetrasi pada daerah dahi dan 36 x lebih besar dari
penetrasi pada daerah telapak tangan dan telapak kaki. Daerah kulit yang mengalami
inflamasi, lembab, dan terluka jua meningkatkan penetrasi KT. Daerah tubuh dimana
kulitnya memang tipis secara keturunan tidak hanya meningkatkan penetrasi obat, tapi juga
menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih rentan mengalami efek samping KT
dibandingkan daerah tubuh lain yang kulitnyalebih tebal. KT poten (golongan I dan II)
sebaiknya tidak digunakan didaerah dengan tingkat penetrasi tertinggi seperti pada kelopak
mata dan skrotum.
Konsentrasi agen terapeutik yang digunakan, durasi pemakaian, jenis kompres,
vehikulum yang dipilih dapat mempengaruhi absorpsi obat dan juga tingkat keparahan efek
samping yang dapat muncul. Target kerja KT adalah lapisan epidermis atau dermis dan
respons klinis terhadap obat berbanding lurus dengan konsentrasi kortikosteroid yang
mencapai daerah target. Penelitian komparatif membandingkan konsetrasi glukokortikoid
dikulit sesudah pemberian KT dan sesudah pemberian KS, hasil penelitian tersebut
menunjukkan kebanyakan KT berhasil mencapai konsentrasi efektif pada lapisan superfisial
kulit jika dibandingkan dengan dosis standar prednison oral. Sepertinya salah satu penyebab
efikasi terapi dengan kortikosteroid oral tampak lebih baik dibandingkan terapi dengan KT
dikarenakan komplians pasien yang lebih rendah dengan terapi topikal.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
15

pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan
gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.2,4
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.
Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang . Respons ini
merupakan toleransi akut terhadap glukokortikoid dan efek vasokonstriksinya akan
menghilang. Setelah diistirahatkan beberapa hari, maka efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian
kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan
tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.2,3, 4
Ada beberapa prinsip penting pemakaian dari kortikosteroid topikal, yaitu : 2, 11
1.

Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.

2.

Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya
jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari
golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.

3.

Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea)


untuk semua dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai
kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis.
16

Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak
khas disebabkan pemakaian kortikosteroid.
4. Gunakan KT dengan potensi serendah mungkin untuk mengontrol penyakit
5. Pada daerah wajah dan lipat tubuh sebaiknya digunakan KT dengan potensi rendah.

2.5.2.2 Indikasi penggunaan kortikosteroid topikal dalam bidang dermatovenerologi


KT digunakan untuk penyakit kulit terutama karena efek anti-inflamasi dan efek
antimitotiknya. KT dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu
penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.2, 4. Respons penyakit
terhadap terapi kortikosterpid topikal berbeda-beda (Tabel 4).2, 4.

Tabel 4. Respons berbagai dermatosis terhadap terapi kortikosteroid topikal. 2


Sangat responsif

Cukup responsif

Tidak terlalu responsif

Psoriasis (intertriginosa)

Psoriasis

Psoriasis (palmoplantar)

Dernatitis atopik (anak)

Dermatitis atopik (dewasa)

Psoriasis kuku

Dermatitis seboroik

Dermatitis numularis

Lupus erythematosus

Dermatitis intertriginosa

Dermatitis iritan

Pemphigus

Urtikaria

Lichen planus

Parapsoriasis

Granuloma annulare

Lichen simpleks chronicus

Sarcoidosis

Dermatitis

kontak

alergi (fase akut)

Insect bite

2.5.2.3 Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid topikal dalam bidang dermatovenerologi


Aturan umunya adalah pasien dengan infeksi kulit merupakan kontraindikasi utama
pemberian terapi KT. Pasien dengan dermatitis perioral, jerawat, dan rosasea juga merupakan
kontraindikasi terapi KT. 12

17

2.6 Efek Samping Terapi Kortikosteroid


Terlepas dari manfaat kortikosteroid dalam menekan inflamasi pada berbagai penyakit,
penggunnaanya harus selalu dengan kehati-hatian tinggi karena dapat memiliki efek yang tidak
diinginkan pada berbagai organ.

2.6.1 Efek samping kortikosteroid sistemik


Pada umumnya, efek samping penggunaan KS meningkat sesuai dengan dosis, lama
terapi, dan frekuensi penggunaan. Kebanyakan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan
glukokortikoid adalah karena aktivitas hormonalnya. Ketika KS digunakan selama < 2
minggu, biasanya tidak ditemukan efek samping serius meskipun diberikan dalam dosis yang
cukup besar. Akan tetapi, beberapa efek samping seperti insomnia, perubahan perilaku
(terutama hipomania), dan ulkus peptikum seringkali ditemukan bahkan dalam beberapa hari
sesudah memulai terapi. Pankreatitis akut merupakan efeksamping yang jarang tapi
merupkana gangguan serius yang dapat muncul dengan pengobatan KS dosis tinggi.Tabel 5
menunjukkan berbagai efek samping yang dapat timbul dengan terapi KS.
Sehubungan dengan berbagai efek samping tersebut, maka penggunaan KS jangka
panjang harus disertai dengan monitor yang ketat. Pasien dianjurkan untuk mendapat diet
rendah kalori, rendah lemak, rendah garam, tinggi protein, tinggi kalsium, dan tinggi kalsium.
Olahraga dan aktivitas fisik harus diperbanyak. Konsumsi alkohol, kopi, dan rokok harus
sangat dikurangi.4

18

Tabel 5. Efek samping kortikosteroid sistemik. 4


Lokasi

Macam Efek Samping

HPA Axis

Krisis adrenal (atrofi korteks adrenal)

Metabolisme

Hiperglikemia, hyperlipidemia, perlemakan


hati, katabolisme protein

Kardiovaskular

Kenaikan tekanan darah, gagal jantung

Tulang dan Sendi

Gangguan

pertumbuhan

pada

anak,

osteoporosis, scoliosis, nekrosis avascular


Saluran cerna

Tukak lambung, hipersekresi asam lambung,


pankreatitis, kolitis ulseratif

Otot

Miopati panggul/bahu, hipotrofi, fibrosis

Kulit

Strie atrofise, hirstutisme, hipotrofi, erupsi


akneiformis, purpura, telangiektasis

Mata

Katarak, glaucoma

Darah

Kenaikan Hb, eritrosis, leukosit dan limfosit

Sistem Imunitas

Tuberkulosis dan herpes simpeks, keganasan

Lain-lain

Sindrom Cushing, gangguan menstruasi, sakit


kepala, impotensi, hyperhidrosis, perubahan
kepribadian, nafsu makan bertambah, retensi
natrium, hypokalemia

2.6.2 Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal


Efek samping sistemik maupun lokal dapat terjadi pada penggunaan KT. Dalam kondisi
normal, sekitar 99% KT yang dipakai akan terbuang dari kulit, dan hanya sekitar 1% yang aktif
secara terapeutik. Biasanya efek samping terjadi bila penggunaan KT yang lama dan berlebihan
19

atau penggunaan KT dengan potensi sangat kuat atau kuat. Semakin tinggi potensi KT, makin
cepat terjadinya efek samping. Efek samping lokal akibat pemakaian KT lebih sering muncul
dari efek samping sistemiknya dan kebanyakan terjadi karena efek antiproliferatif dari agen
kortikosteroid yang digunakan. Efek samping lokal

ini juga dapat dapat muncul dari

keberadaanya yang singkat pada kulit. Efek samping yang dapat muncul berupa atrofi kulit,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertriksois setempat, hipopigmentasi,
dermatitis perioral. Pemberian KT pada ulkus malah akan memghambat penyembuhan ulkus.
Kulit yang mendapat terapi KT juga menjadi mudah terkena infeksi dan jika sudah ada infeksi
sebelumnya menjadi lebih mudah meluas. Gambaran klinis penyakit infeksi yang mendapat
terapi KT juga menjadi kabur dan tidak khas karena efek anti-inflamasi dari kortikosteroid,
seperti misalnya pada dermatofitosis , pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi kabur
dan meluas.Pada pemerian terapi KT, dapat juga terjadi reaksi alergi, dimana pemberian KT
malah memperparah dermatitis dan tidak menunjukkan perbaikan klinis dari penyakit. Biasanya
reaksi alergi muncul bukan karena reaksi terhadap bahan aktif kortikosteroid, tetapi bereaksi
terhadap vesikulum yang digunakan. Biarpun efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar
aman dosis yang dianjurkan ialah jangan menggunakan KT > 30gram sehari tanpa oklusi. Pada
bayi dan geriatri dengan kulit yang tipis hendaknya dipakai KT yang kemah. Pada kelainan kulit
akut dipakai KT potensi lemah. Pada kelainan subakut digunakan KT potensi sedang dan jika
kelainan kulit kronis dan tebal dipakai KT potensi kuat. Jika hendak menggunakan cara oklusi,
jangan melebihi 12 jam sehari dan pemakainna terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah
lipatan dan wajah gunakan KT lemah/sedang..2, 4
Efek samping sistemik yang dapat muncul biasanya berupa gangguan pada mata, HPA
axis, dan gangguan metabolik. Glaukoma dapat muncul pada penggunaan KT disekitar mata.
Supresi HPA aksis dapat terjadi pada penggunaan KT golongan poten. Krisis addison dapat
terjadi dengan penggunaan KT golongan poten jangka panjang. Efek supresi HPA axis ini juga
dapat terjadi dengan penggunaan KT potensi rendah pada kelompok usia anak. Efek samping
metabolik yang dapat terjadi berupa meningkatnya produksi glukosa serta menurunnya
penggunaan glukosa oleh tubuh dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan dapat
berkembang menjadi diabetes mellitus.2

20

BAB III
KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan salah satu obat terpenting dalam bidang dermatolovenerologi,
karena efek anti-inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokonstriksinya.
Aktivitas kortikosteroid dibagi menjadi dua jenis yaitu aktivitas glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Untuk terapi dibidang dermatovenerologi yang digunakan untuk mengurangi
inflamasi adalah efek glukokortikoidnya.
Kortikosterid dapat diberikan melalui dua cara yaitu secara sistemik ataupun topikal.
Kortikosteroid sistemik sendiri terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan waktu kerjanya dan
dapat diberikan dengan berbagai cara. Kortikosteroid topikal dikelompokkan menjadi 7
berdasarkan potensinya dan tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dengan vesikulum yang
berbeda.
Kortikosteroid dapat digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit kulit yang
disebabkan karena inflamasi. Akan tetapi biasanya terapi dengan kortikosteroid hanya bersifat
simptomatis dan tetap harus dicari dan ditangani penyebab (kausal) dari penyakit kulit tersebut.
Terlepas dari manfatnya kortikosteroid memiliki banyak efek samping yang dapat
menyerang hampir seluruh organ, oleh karena itu sebaiknya penggunaannya dibatasi sampai
dosis terkecil yang dapat mengontrol gejala dan tidak digunakan dalam jangka waktu panjang.
Pada umumnya kortikosteroid tidak boleh digunakan pada penyakit infeksi karena dapat
memperberat infeksi dan menyebabkan lesi khas pada beberapa penyakit menjadi hilang.

21

Daftar Pustaka

1. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz R a, Cork MJ. Adverse effects of topical


glucocorticosteroids. J Am Acad Dermatol [Internet]. 2006 Jan [cited 2016 Mar 6];54(1):1
15; quiz 168. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16384751.
2. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wolff K. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. Philadelphia: McGraw-Hill; 2012.
3.Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. New York [u.a.]: McGraw-Hill Medical; 2012.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:
FKUI; 2015.
5. Orleans N. Update on the dermatologic use of systemic glucocorticosteroids. 2007;20:187
205.
6. Loss GB. Glucocorticoid-Induced Bone Loss in Dermatologic Patients. Arch Dermatol.
2006;82-90
7. Maftuhah. Husni, Abidin. Taufik, Oral Kortikosteroid. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/13461799/kortikosteroid-topikal.
8. Rhen T, Cidlowski J a. Antiinflammatory action of glucocorticoids--new mechanisms for old
drugs. N Engl J Med [Internet]. 2005 Oct 20;353(16):171123. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16236742
9. Buttgerelt F et al: The molecular basis for the ffectiveness, toxicity, and resistance to
glucocorticoid: focus on the treatment of rheumatoid arhtirits. Scand J Rheumatol
18:108,2005.
10. Kwame Asare, Pharm.D : Diagnosis and Treatment of Adrenal Insufficiency in the Critically
Ill Patient ;Pharmacotherapy. 2007;27(11):1512-1528.

22

11. Wibowo NR. Penggunaan kortikosteroid dalam bidang dermatovenerologi.2010. Fakultas


kedokteran
universitas
tanjungpura.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/73270096/Referat-Penggunaan-Kortikosteroid-Dalam-BidangDermatoVenerologi#scribd
12. Carlos G, Fernndez-Peas P, Uribe P. Rational use of topical corticosteroids. Aust Prescr
[Internet].
2013
Oct
1;36(5):15961.
Available
from:
http://www.australianprescriber.com/magazine/36/5/159/61

23

Anda mungkin juga menyukai