Anda di halaman 1dari 11

Tradisi Sekaten Pada

Etnis Jawa Tengah


Surakarta
Sebagai Wujud
Kebudayaan di Dalam
Sistem Religius

Putri Dwi
Kumala

Sejarah sekaten
Kata sekaten berasal dari beberapa kata
yang sarat makna, yaitu :
1. Syahadatain: yaitu kalimat shahadat yang
merupakan suatu kalimat yang harus dibaca
oleh seseorang untuk masuk Islam, yang
mempunyai arti: Tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
2. Sahutain: menghentikan atau
menghindari perkara dua, yakni sifat lacur
dan menyeleweng.
3. Sakhatain: menghilangkan perkara dua,
yaitu watak hewan dan sifat setan, karena
watak tersebut sumber kerusakan.
4. Sakhotain: menanamkan perkara dua,
yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada
Tuhan.

Sejarah sekaten dimulai dari Kerajaan


Demak pada masa pemerintahan Raden
Patah. Raden Patah sebagai raja pertama
berniat menghapus segala bentuk upacara
keagamaan yang sudah ada sebelumnya
salah satunya adalah upacara pengorbanan
raja, dengan harapan masyarakat Jawa dapat
memeluk agama Islam secara sempurna dan
"kafah" serta terlepas dari pengaruh
anminisme dan Hindu. Namun upaya
tersebut ternyata tidak membawa hasil
seperti dengan yang diharapkan, justru
menimbulkan keresahan di kalangan rakyat,
sebab rakyat sudah berabad-abad terbiasa
hidup dengan adat dari kepercayaan lama.
Keresahan yang menimbulkan gangguan
keamanan negara itu, masih ditambah
dengan musibah lain, yaitu berjangkitnya

Sunan Kalijogo mengetahui bahwa rakyat


menyukai perayaan, keramaian yang
dihubungkan dengan upacara-upacara
keagamaan. Apalagi jika perayaan,
keramaian itu disertai irama gamelan, tentu
akan sangat menarik perhatian rakyat untuk
datang menghadiri. Timbullah gagasan
Sunan Kalijogo agar kerajaan
menyelenggarakan perayaan, keramaian
setiap menyongsong hari kelahiran Nabi
Muhammad saw, pada bulan Rabiulawal.
Untuk menarik perhatian rakyat agar mau
rnasuk ke Masjid Besar, dibunyikanlah
gamelan yang ditempatkan di halaman
masjid. Para Wali dapat berdakwah langsung
di hadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di halaman
masjid itu dapat ditafsirkan sebagai makruh,

Perayaan sekaten
Adapun pada Upacara Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta ada 24 macam
gunungan yang dibuat, yang terdiri dari 12
buah gunungan kakung (laki-laki) dan 12
buah gunungan putri. Di sela-sela itu
terdapat anak-anakan atau saradan dan 24
buah ancak cantaka. Namun dalam
pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di
Keraton Kasunanan Surakarta tidak harus
sebanyak 24 buah. Hal itu terjadi karena
keraton tidak mempunyai daerah kekuasaan
lagi. Sepasang gunungan itu merupakan
suatu bentuk selamatan yang dilaksanakan
oleh pihak keraton agar terhindar dari segala
macam bahaya. Pelaksanaan selamatan
gunungan yang merupakan perwujudan rasa
syukur raja terhadap Allah SWT atas semua

Gunungan kakung dan gunungan


putri

Gamelan sekaten yang mulai dibunyikan pada tanggal 5


Rabiul Awal pukul empat sore merupakan saat yang paling
ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat
mulai berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk
mendengarkan gamelan dipukul pertama kalinya gamelan
tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama
perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai
dibunyikan pada pukul sembilan, waktu Ashar dan Dzuhur
berhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu
Maghrib dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul
12 malam. Bila perayaan sekaten jatuh pada hari Jumat,
gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib sampai siang,
karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam

Pada tanggal 12 Rabiul Awal tepatnya pada


siang hari kira-kira pada pukul sepuluh,
gunungan setelah diberi doa dan
serangkaian sesaji, dikeluarkan dari keraton
disertai dengan arak-arakan dari keraton.
Gunungan itu dibawa dari keraton lewat alunalun lalu ke Masjid Agung untuk diberi doa
terlebih dahulu oleh penghulu keraton.

Sekian dan terimakasih

Anda mungkin juga menyukai