Anda di halaman 1dari 3

Hanya Ingin Jadi Orang Baik

Hari ini aku lelah fisik dan batin. Seharian tadi aku melangkahkan kaki untuk mencari barisan kata
penyampai fakta. Tak mudah. Aku harus berlari, berkejaran dengan waktu dan debu. Aku harus
berlomba, beradu dengan manusia, sekedar untuk mendapat rangkaian kalimat yang keluar dari mulut
sang pejabat. Sekedar meminta ucapan dari sekumpulan orang yang mengaku orang baik. Padahal,
sejarah memaparkan, sebagian mereka adalah pembual. Pembual besar.
Kadang aku harus sedikit merayu dan memaksa. Bukan apa-apa, tanpa rayu dan paksaan, ada
narasumberku yang enggan membuka mulutnya. Padahal dari kalimatnya lah aku mendapat upah.
Padahal dari ceritanya lah aku mendapat penghargaan. Sekedar ucapan, berita kamu bagus.
Tak jarang aku harus berpura-pura iba, mengumbar senyum dan seolah ikut merasai mereka yang
memikul duka. Padahal kutahu luka mereka bukan sembarang luka. Luka mereka adalah luka teramat
dalam yang tak akan pernah hilang. Luka yang tak pernah kering oleh panasnya matahari. Luka yang tak
pernah bisa diterbangkan oleh angin.
Namun aku malah memaksanya kembali mengingat dan memaparkan lukanya. Tanpa hatiku memaknai,
merasakan lukanya. Tanpa tanganku menawarkan, melingkarkan sebuah pelukan, memberikan sedikit
rasa nyaman. Lagi-lagi demi sebuah pujian, demi sebuah kekaguman.
Pernah aku dihadapkan pada pilihan. Saat aku harus memutuskan satu saja dari dua. Saat kulihat luka
menganga disekitarku, aku harus memilih. Mencoba mengobati luka mereka sesegera atau
mendahulukan membuat cerita dari luka itu. Dan aku memilih mendapat acungan jempol, karena cerita
ku memampangkan luka itu.
Seringkali aku memaksa membuka memori mereka. Kenangan yang tak ingin dibuka. Dan aku
memaksanya membuka atau memaksaku membukanya. Tanpa seijin pemiliknya, tanpa merasai
akibatnya. Dan itu demi sebuah cerita. Cerita yang membuatku dikejar kalimat berbunga.
Waktu lalu, aku juga pernah menjual kata-kata manis. Seolah aku adalah peri yang bisa membantu si
kecil. Padahal tak lain itu adalah bagian dari strategi. Berpura-pura simpati. Kepura-puraan untuk
mulusnya penyusunan sebuah kisah. Kisah sejati dan mengharukan. Demi tetesan air mata pendengar
cerita. Indikator keberhasilan penyajian cerita duka.

Pernah aku menatap bencana dengan datar. Karena itu bukan bencanaku. Bencana itu milik tokoh dalam
kisahku. Aku hanya sekedar menyampaikan bencana itu dengan kata-kata haru. Tambahan pemanis
disana-sini. Menuntun si tokoh untuk berekspresi sesuai dengan skenarioku.
Seolah itu adalah fiksi, bukan nyata. Tak perlu dimaknai, tak perlu dihargai. Hanya dibungkus. Untuk
santapan mata dan kuping sekumpulan orang yang dinamakan penonton. Penonton cerita. Makin banyak
mereka, makin baguslah aku.
Tapi, hari ini aku lelah.
Hari ini, aku tiba-tiba saja ingin merenung. Merenungi makna hidupku, merasai peranku dalam perjalanan
sang waktu. Kali ini aku merasa tak lagi berhati. Kali ini di kepalaku hanya ada obsesi. Obsesi dihargai
manusia dan diimbali deretan angka di rekeningku setiap bulan berganti.
Hari ini aku hanya ingin mengingat. Merindui masa saat aku bercita sederhana. Menjadi orang baik.
Orang yang memberi arti bagi orang lain. Tak pernah melukai, meski setitik. Tak pernah menyakiti, meski
senoktah.
Padahal aku tak pernah ingin berpura-pura dalam hidupku. Aku ingin menjadi aku. Dengan idealismeku
dulu. Menyampaikan apa yang perlu kusampaikan. Tak perlu menyampaikan kepalsuan. Aku ingin
menyampaikan kebenaran. Jika kepalsuan itu harus disampaikan, semata untuk membuat si palsu
terkuak. Aku ingin menjadi orang baik.
Padahal aku ingin, dengan peranku aku memberi secercah harap. Seberkas asa. Bagi mereka, Tuhan.
Mereka yang dihempas duka, mereka yang terluka, mereka yang menahan jerit. Meski sekedar uluran
tangan. Pelukan seorang saudara. Sekedar menenangkan. Meski hanya sementara. Menjadi orang baik.
Padahal, dengan peranku, aku bisa tulus berbagi dengan mereka. Membiarkan mereka membagi luka,
memberi sedikit kehangatan. Dengan ikhlasku, dengan kerelaanku. Sebagai saudara, sebagai teman,
sebagai tempat berbagi. Menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku tak usah berpura-pura. Aku bisa lebih memaknai senyumku untuk
menghadiahkan sedikit bahagia dihati mereka. Dengan simpati yang tak lagi palsu. Sebenar-benarnya
simpati.
Padahal dengan peranku, dengan kelurusan niatku, aku ingin membuat cerita-ceritaku bermakna.
Membuat kisah-kisah dari tanganku dapat merubah dunia. Membuat manusia lain lebih merasa dan
berterimakasih atas takdir mereka yang lebih. Membuat mereka berlomba menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku bisa mengungkap dusta dan mengusir si durjana. Dengan keteguhan dan
keberanianku, aku bisa menghapus kotoran-kotoran dunia. Menuntut mereka untuk menjadi orang baik.
Wahai Penguasa Dunia, Penguasa Diriku..

Ampuni aku yang telah menutup hati dan mengebalkan rasa. Ampuni aku yang tidak memaknai peranku.
Aku mencintai peranku, Yang Maha Perkasa. Aku ingin lelah fisik dan batinku memberi arti, hanya
bagiMu, Penulis Skenario sesungguhnya, bukan sekedar kekaguman para ciptaanmu.
Penguasaku, luruskan langkahku. Untuk menjadi ciptaanmu yang tak sia-sia. Yang tak terlupa oleh
kecantikan fana. Yang tak membuat peranku, amanahMu, mengantarku pada amarahMu. Yang selalu
diingatkan untuk menjadi orang baik. Seperti cita sederhanaku dulu.
Raja Dunia, tetapkan niatku untuk memaknai setiap detik peranku. Merasainya, menikmatinya,
mensyukurinya sebagai sebuah kepercayaan-Mu padaku. Kuatkan aku untuk melangkahkan kakiku dan
menghargai keringatku dengan harapan hanya balasan-Mu. Menjadi orang baik.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah padaKu. (Adz
Dzariyaat:56)

Anda mungkin juga menyukai