Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hanya merupakan bagian kecil
masuknya Indonesia dalam globalisasi. Globalisasi merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, Indonesia masih setengah-setengah dalam melihat globalisasi. Di satu sisi, pemerintah telah membuka diri dengan globalisasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) yang dilakukan oleh pemerintah dengan negara lain. Di sisi lain, masyarakat masih awam terhadap globalisasi dan membuat mereka belum sepenuhnya siap menerima globalisasi. Masyarakat pun rentan menjadi pihak yang dirugikan dalam proses globalisasi. Padahal, kedua pihak tersebut merupakan aktor-aktor penting pembangunan. Menurut penulis, terdapat dua faktor yang mendampingi dua aktor tersebut, yaitu persepsi global untuk pemerintah dan budaya lokal untuk masyarakat. Sayangnya, kedua faktor tersebut identik dengan sifat saling menegasikan. Persepsi global dianggap melunturkan budaya lokal karena dianggap telah berpikiran luar negeri. Budaya lokal dianggap menghambat modernisasi yang merupakan hasil yang sering dikaitkan dengan globalisasi. Oleh karena itu, tujuan tulisan ini adalah menjelaskan peran strategis generasi muda dalam menciptakan sinkronisasi persepsi global dengan aktor pemerintah dan budaya lokal dengan aktor masyarakat demi terlaksananya pembangunan bangsa yang berkelanjutan (sustainable development). Secara sosiologis, persepsi menentukan tindakan yang dipilih seseorang setelah mendapat rangsangan dari luar. Sedangkan, persepsi global merupakan tanggapan seseorang dari rangsangan globalisasi sehingga mampu membuat pilihan tindakan yang efektif. Landasan teori selanjutnya adalah model pembangunan solutif dalam teori pembangunan, yaitu pemberdayaan (empowerement). Esensi utama pemberdayaan adalah menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek
pembangunan, melainkan subjek pembangunan sehingga budaya lokal masyarakat
menempati posisi yang tidak bisa dikesampingkan. Tulisan ini akan menggunakan teori perubahan sosial dan analisis Individual-Institutional Opportunity Axus (IION) Kewiralembagaan dalam menjelaskan peran strategis generasi muda dalam upaya sinkronisasi persepsi global dan budaya lokal dua aktor pembangunan. Metode penulisan yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Dalam menyusun tulisan ini, penulis menggunakan beberapa literatur, seperti buku dan laporan riset. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pihak. Tulisan ini membahas inefektivitas pembangunan karena kurang adanya kolaborasi pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah memandang masyarakat sebagai pihak yang masih bodoh, sehingga perlu dibangun. Hal ini membuat model pembangunan bersifat sentralistik, top down, dan menempatkan masyarakat hanya sebatas objek. Sedangkan, masyarakat yang belum memiliki persepsi global cenderung menolak globalisasi. Masyarakat memandang globalisasi mengancam budaya dan perekonomian mereka. Generasi muda memiliki peran strategis dalam membangun sinkronisasi tersebut melalui edukasi terhadap masyarakat mengenai persepsi global dan negosiasi terhadap pemerintah agar mampu mengakomodasi budaya-budaya lokal dalam proses pembangunan. Secara teoritis, generasi muda merupakan generasi marjinal. Di satu sisi generasi muda berada dalam lingkungan keluarga yang masih memegang erat budaya-budaya lokal. Namun, di sisi lain mereka telah terbuka dengan modernisasi dan globalisasi melalui pendidikan dan teknologi informasi. Dalam analisis IION, generasi muda mampu melakukan tiga inisiasi dalam pembangunan, yaitu creation, modification, dan recognition. Kesimpulan tulisan ini adalah generasi muda memiliki peran strategis dalam menciptakan kolaborasi pemerintah dengan masyarakat berupa sinkronisasi persepsi global dan budaya lokal untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan di era globalisasi. Kata kunci: budaya lokal, generasi marjinal, globalisasi, pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan, persepsi global