Anda di halaman 1dari 26

GANGREN DIABETIKUM

dr. Vidya Dewantari

Anggota Kelompok
Irma Nuraeni Hidayat

G1A011005

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

Puti Hasana Kasih

G1A011034

Rachman Fadhilla

G1A011035

Ahmad Albera

G1A011058

Arrosy Syarifah

G1A011059

Rayna Nadia Fauziani N.

G1A011084

Aulia Tri Puspitasari W.

G1A011085

Muhammad Fadlil Azka

G1A011110

Laila Noviatin Nimatul F.

G1A011111

HALAMAN PENGESAHAN

Kelompok 3, anggota :
Irma Nuraeni Hidayat

G1A011005

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

Puti Hasana Kasih

G1A011034

Rachman Fadhilla

G1A011035

Ahmad Albera

G1A011058

Arrosy Syarifah

G1A011059

Rayna Nadia Fauziani N.

G1A011084

Aulia Tri Puspitasari W.

G1A011085

Muhammad Fadlil Azka

G1A011110

Laila Noviatin Nimatul F.

G1A011111

Menyatakan bahwa referat Gangren Diabetikum ini telah diperiksa dan disahkan
oleh pembimbing pada tanggal ............................

Pembimbing,

dr. Vidya Dewantari

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

DAFTAR ISI

BAB I
Latar Belakang

Tujuan

BAB II
Definisi

Epidemiologi

Etiologi

Patomekanisme

Patofisiologi

Penegakan Diagnosis

12

Penatalaksanaan

16

Prognosis

21

BAB III
Kesimpulan

23

DAFTAR PUSTAKA

24

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom klinis kelainan klinis yang
ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin atau keduanya (Waspadji, 2009). Prevalensi
penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 adalah sekitar 8,4
juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun
2030. Hal ini menempatkan Indonesia ke posisi empat besar negara dengan
jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat
(Wild et al., 2004).
Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi pada
penderitanya baik secara mikrovaskular maupun makrovaskular. Salah satu
komplikasi kronis dari diabetes melitus adalah kaki diabetes dan gangren
diabetik yang dapat menyebabkan amputasi pada ekstremitas (Oya et al.,
2011). Hal ini menyebabkan ganggren diabetikum menjadi salah satu
komplikasi diabetes melitus yang paling ditakuti. Hasil pengelolaan gangren
diabetikum sering mengecewakan baik bagi dokter yang mengelola maupun
penyandang diabetes dan keluarga.

Seringnya gangren diabetikum ini

berakhir dengan kecacatan dan kadang sampai terjadi kematian (Burke A,


2002).
Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus tentu akan berdampak
juga pada peningkatan jumlah penderita yang beresiko terkena komplikasi
gangren diabetikum. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, hal ini akan
berdampak negatif bagi penderita. Berdasarkan hal tersebut, kami membuat
refrat dengan mengangkat gangren diabetikum sebagai bahasan utama.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan refrat ini adalah menambah pengetahuan dan
wawasan mahasiswa kedokteran , Universitas Jenderal Soedirman angkatan

2011

mengenai

gangren

diabetikum

melai

dari

definisi

hingga

penatalaksanaan ganren diabetikum.

BAB II
A. Definisi

Gangrene memiliki arti sebagai kematian jaringan, didalam massa yang


besar umumnya diikuti dengan kehilangan suplai vaskular (nutrisi) dan
diikuti invasi bakteri dan pembusukan. Sedangkan Gangrene Diabetikum
memiliki arti gangrene basah yang terjadi pada orang dengan diabetes
(Dorland, 2002). Gangrene Diabetikum adalah luka kehitaman karena
sebagian jaringan mati dan berbau busuk (Misnadiarly, 2006) Gangrene
diabetikum merupakan suatu bentuk kematian jaringan pada penderita
diabetes mellitus oleh karena berkurangnya atau terhentinya aliran darah
kejaringan tersebut (Fitra N, 2008).
B. Epidemiologi
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi
dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki
diabetik berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di
Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan tidak
terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya minat untuk mendalami
masalah kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik juga
masih sangat menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang
besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga menambah
peliknya masalah kaki diabetik (Waspadji, 2007).
Di negara maju kaki diabetic memang juga masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengolahan
dan adanya klinik kaki diabetic yang aktif mengelola sejak pencegahan
primer, nasib penyandang kaki diabetic menjadi lebih cerah.Angka kematian
dan angka amputasi dapat di tekan sampai sangat rendah, menurun sebanyak
49-85% dari sebelumnya.Tahun 2005 International Diabetes Federation
mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat pentingnya pengelolaan kaki
diabetik untuk dikembangkan (Waspadji, 2009).

Di RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetik masih


merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut kaki diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih sangat
besar, masing-masing 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib
para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak
14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca amputasi (Waspadji, 2009).
C. Etiologi
Gangren merupakan suatu komplikasi kronik diabetes yang paling
ditakuti. Hasil pengolahan dari gangrene sering mengecewakan baik bagi
dokter pengolah maupun penyandang diabetes dan keluarga.

Seringnya

gangrene diabetikum ini berakhir dengan kecacatan dan kadang sampai


terjadi kematian (Burke A, 2002).
Infeksi sering menjadi penyulit dari gangrene. Gangrene ini merupakan
penyebab masuknya bakteri dan sering polimikrobial yang menyebar dangan
cepat dan dapat menyebabkan kerusakan berat dari jaringan. Kerusakan ini
menjadi alasan utama untuk melakukan tindakan amputasi (Piliang, 1999).
Pada suatu keadaan infeksi gangrene biasanya disebabkan oleh suatu
organisme dari sekitar kulit yang pada umumnya adalah Staphylococcus
aureus atau Streptococcus. Jika drainase tidak adekuat maka perkembangan
sellulitis dapat mengakibatkan sepsis yang menginfeksi tendon, tulang dan
sendi dibawahnya. Terkadang Staphylococcus aureus dan Streptococcus
dijumpai bersamaan serta bergabung mengakibatkan sellulitis yang luas dan
cepat (Parlindungan L, Zein U et al, 2002).
Streptococcus mensekresi hialuronidase yang dapat mempercepat
penyebaran distribusi necrotizing toxin dari staphylococcus. Enzim dari
bakteri ini juga angiotoksik dan dapat menyebabkan terjadinya in situ
trombosis dari pembuluh darah. Jika pembuluh darah mengalami trombosis

yang kemudian akan menjadi nekrotik dan gangren, keadaan ini mungkin
akan menjadi dasar yang disebut dengan gangren diabetikum (Rani A.A,
Sugando S et al, 2006; Subekti I, 2005).
Ulkus

menjadi

pintu

gerbang

masuknya

bakteri

dan

sering

polimikrobial yang meliputi bakteri gram positif ataupun gram negatif.


Kuman Gram negatif aerob sama seperti kuman anaerob pada umumnya
tumbuh dengan subur pada daerah yang terinfeksi. Kuman aerob ini akan
cepat menginfeksi aliran darah dan terkadang dapat mengakibatkan
bakteriemia yang dapat mengancam kehidupan. Dengan mengetahui faktor
yang dominan dapat diusahakan memperbaiki hasil dari pengobatan maupun
mencegah terjadinya ulkus atau gangrene (Septiyanti, Shahab A, 2006).
Faktor-faktor tersebut merupakan faktor/komponen yang saling
berkaitan dan saling menunjang walaupun tampaknya jika dilihat secara
individu tidak cukup berpengaruh untuk dapat menimbulkan ulkus atau
gangrene (Septiyanti, Shahab A, 2006).
Infeksi bakteri anaerob umumnya dihubungkan dengan adanya nekrosis
jaringan dan osteomyelitis. Jika pembuluh darah kaki mengalami trombosis
yang kemudian menjadi nekrotik dan gangren ini menjadi dasar terjadinya
gangren diabetikum (Fitria N, 2008).
Berbagai kuman yang sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada
gangren diabetik adalah gabungan antara bakteri gram positip dan gram
negatip. Leicter dkk pada tahun 1988 melaporkan penyebab kuman gangren
diabetik 72% adalah gram positif (Staphylococcus aureus 45%, Streptococcus
sp. 27%) dan 49% adalah disebabkan oleh bakteri gram negatif (Proteus sp
23%, Pseudomonas sp. 26%) (Fitria N, 2008).
Manchester,United Kingdom, pada tahun 1999 menjumpai 56,7%
infeksi gangren diabetik disebabkan oleh kuman gram positif aerob
(Staphylococcus sp. 30,4%, Streptococcus sp. 23,65%), kuman gram negatif

aerob 29,8% (Pseudomonas sp. 20,8%, Proteus sp. 9%) dan 13,5%
disebabkan oleh kuman anaerob (Bakterioides fragilis) (Fitria N, 2008).
D. Patomekanisme
Proses kejadian gangren diabetikum berawal dari hiperglikemia
berkepanjangan yang berakibat terjadinya kerusakan pada sistem saraf perifer
yaitu komponen motorik divisi somatik otonom. Kejadian ini bermula pada
gangguan persyarafan neuropati diabetes yang disebabkan oleh hipoksia selsel saraf, sehingga aktivitas tersebut menyebabkan kematian sel dalam jumlah
besar dan mengakibatkan bakteri mudah masuk ke tubuh. Dengan luka sedikit
saja akan ada infeksi pada gangren sehingga gangren cepat meluas ke
jaringan di sekitarnya sebagai akibat dikeluarkannya toksin-toksin oleh
bakteri yang membunuh sel-sel di sekitarnya. Berbagai penelitian
menemukan gangren ini disebabkan oleh gangren khusus yang

terjadi

sebagai respon terhadap infeksi jaringan oleh suatu jenis bakteri aerob yang
disebut clostridium (Flier, 2005).
E. Patofisiologi
Diabetes mellitus (DM) menyebabkan atherosklerosis dan neuropati,
dimana keduanya akan menyebabkan risiko pembentukan ulkus pada
ekstremitas meningkat. Ulkus ini rentan terinfeksi bakteri, misalnya
Clostridium, sehingga akan menyebabkan produksi toksin dan gas gangren
yang menyebabkan berbagai dampak merugikan bagi tubuh (Rowe et al.,
2012).
Atherosklerosis pada DM disebabkan oleh adanya penebalan membran
basalis kapiler, hyanolisis arteriolar, dan proliferasi endotelial. Pada populasi
penderita DM ditemukan peningkatan kalsifikasi dan penebalan arteri media.
Arteri yang bisa mengalami sklerosis antara lain A. aortoiliac, A.
femoropopliteal, dan A.infrapopliteal. Sklerosis ini sangat terkait dengan
tingginya kadar high low-density lipoprotein (LDL) dan very-low-density

lipoprotein (VLDL) pada penderita DM yang turut disertai dengan


peningkatan faktor von Willebrand plasma dan fibrinogen plasma, inhibisi
sintesis prostasiklin, dan peningkatan adhesifisitas platelet (Rowe et al.,
2012).
Adanya

penyakit

vaskular

ini

sedikit

banyak

mempengaruhi

pembentukan edema truncus nervus yang terkait juga dengan adanya


hiperosmolaritas kronis (Tomic-Canic et al., 2004). Hilangnya sensasi atau
kemampuan untuk merasakan rangsang pada ekstremitas inferior (misalnya
kaki) akan menyebabkan fraktur dan cedera yang tidak terdeteksi. Hal ini
didukung dengan adanya suplai arteri yang menurun (akibat atherosklerosis)
akan menyebabkan bengkak dan ulserasi yang sangat rentan terhadap infeksi
bakteri (Rowe et al., 2012). Selain itu, suplai arteri yang menurun juga
menyebabkan berkurangnya oksigen, nutrien, dan mediator yang dibutuhkan
untuk perbaikan luka. Hal ini menyebabkan luka lebih lama terpapar bakteri
maupun virus. Aliran darah yang inadekuat juga menyebabkan sulitnya sistem
imun untuk mempertahankan tubuh (Kamal et al., 1996).
Bakteri Clostridium merupakan bakteri gram positif anaerobik,
memproduksi spora, dan normalnya ditemukan di tanah serta tractus
gastrointestinalis (GIT) manusia dan hewan (Folstad, 2004). Gas gangrene
80-95% disebabkan oleh Clostridium perfingens pada luka, dimana terjadi
penurunan suplai darah yang membuat lingkungan menjadi anaerobik dan
sesuai untuk sang bakteri (Brook, 2005).
Selain itu gas gangren dapat disebabkan oleh Clostridium septicum dari
GIT pada pasien Ca Colon. Organisme akan menembus kapiler dan
menginfeksi jaringan otot walaupun lingkungannya tidak anaerobik (Headley,
2003). Bakteri ini memproduksi toksin protein ekstraseluler seperti alpha
toxin (a phospholipase C) dan theta-toxin (a thiol-activated cytolysin) yang
akan menghidrolisis membran sel, menyebabkan thrombosis microvascular et
causa koagulasi abnormal, dan efek kardiodepresif (Headley, 2003).

Beberapa bakteri lain yang dapat menginfeksi ulkus pada penderita DM


adalah Enterococcus faecalis, S aureus, S epidermidis, dan kelompok B
streptococci sebagai bakteri gram positif. Kemudian ada bakteri gram negatif
seperti Proteusspecies, E coli, Klebsiella species, dan Pseudomonas species.
Bakteri anaerobik juga ditemukan pada beberapa kasus yaitu Peptococcus dan
Bacteroides fragilis (Frykberg et al., 1996).
Anemia refrakter dapat muncul pada penderita gas gangren oleh karena
alpha-toxin di sirkulasi darah yang memediasi hemolisis eritrosit. Alpha-toxin
memiliki efek inotropic pada myocard sehingga menimbulkan hipotensi
refrakter berat. Sedangkan theta-toxin menyebabkan kaskade sitokin yang
berujung pada vasodilatasi perifer. Vaksinasi terhadap toksin alfa dan theta
dapat mengurangi keparahan infeksi. Toksin menyebabkan pembongkaran
jaringan dimana hasilnya seperti creatine phosphokinase, myoglobin, dan
potassium juga dapat menyebabkan toksisitas sekunder dan kerusakan ginjal
(Bryant, 2003).

Gambar X. Ulkus pada Penderita DM yang Berpotensi Menjadi Gangren

Seperti yang dijelaskan di awal, infeksi pada ekstremitas ini didukung


oleh adanya imunopati, neuropati, dan penyakit vaskular (antara lain

10

atherosklerosis). Neuropati diabetikum memiliki beberapa komponen yang


terkait yaitu :
1. Serabut autonom
DM menyebabkan gangguan pola hidrosis (keringat) sehingga
terjadi hipohidrosis yang menyebabkan epidermis kering dan lebih
rentan terhadap infeksi.
2. Serabut somatik
a. Serabut saraf sensori tipe A untuk sensasi sentuhan, getaran,
tekanan, proprioseptor, dan inervasi motorik pada otot intrinsic
pada kaki. Saat terjadi neuropati, beberapa otot akan mengalami
atrofi dan tidak bisa menstabilkan kaki, sendi phalangeal, dan
jari-jari kaki. Jika hal ini berlanjut akan menyebabkan deformitas
ibu jari kaki (Sumpio, 2000).
b. Serabut saraf tipe C untuk mendeteksi stimulus nyeri dan suhu
sebagai fungsi protektif. Jika terjadi neuropati, ia akan kehilangan
sensasi protektifnya dan menyebabkan salah satu faktor
predisposisi untuk terbentuknya fraktur, deformitas kaki, ulkus
(ulserasi) dan infeksi dimana pasien tidak dapat mendeteksi
beban, trauma, dan nyeri (Levin, 1995).

Berbagai hal yang telah dijelaskan juga dapat menyebabkan kelainan

11

berupa kaki Charcot (Charcot foot) yang merupakan osteoartropati


neuropatikum. Hal ini disebabkan oleh adanya beban yang terlalu besar
sehingga

berakibat

pada

fraktur

tulang.

Fraktur

akan

sedemikian

meningkatkan tekanan di sekitarnya sehingga lebih rentan terhadap ulserasi.


Sering juga disebut dengan Rockerbottom foot deformity (Butalia et al.,
2008).

Gambar X. Charcot Foot pada Penderita DM


F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting
karena berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Penilaian ulkus dimulai
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis aktivitas harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus,
deformitas kaki, keluhan neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas, durasi
menderita DM, penyakit komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obatobat yang sedang dikonsumsi, riwayat menderita ulkus/amputasi
sebelumnya (Wijonarko, 2012)
Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai
yang ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot.
Biasanya timbul sewaktu melakukan aktivitas dan berkurang setelah
istirahat beberapa saat. Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari tempat
lesi penyempitan atau sumbatan (Antono, 2012).
Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan penyakit
pada pembuluh darah daerah femoral dan poplitea. Keluhan lebih sering

12

terjadi pada tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi


penyakit arteri obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali
menjadi berat timbul iskemi kritis tungkai bawah (critical limb
iskhemia). Dengan gejala klinis nyeri pada saat istirahat dan dingin pada
kaki. Sering kali gejala tersebut muncul malam hari ketika sedang tidur
dan membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemi berat nyeri dapat menetap
walaupun sedang istirahat. Kira-kira 25% kasus iskemia akut disebabkan
oleh emboli. Sumber emboli biasanya dapat diketahui. Paradoksikal
emboli merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat dengan
cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif yang kecil atau karena
defek septum atrial. Penyebab terbanyak kedua penyakit arteri iskemi
akut adalah thrombus (Antono, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi karakter
ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang
melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer,
trauma atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan
neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya deformitas (Wijonarko,
2012)
Pemeriksaan fisik yang terpenting pada penyakit arteri perifer adalah
penurunan atau hilangnya perabaan nadi pada distal obstruksi, terdengar
bruit pada daerah arteri yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat
dapat terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan
mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis merupakan penemuan
fisik yang tersering. Kemudian dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika
tungkai diangkat/ elevasi dan dilipat, pada daerah betis dan telapak kaki,
akan menjadi pucat. Berbagai faktor berpengaruh pada terjadinya
penyulit. Secara garis besar faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kejadian penyulit DM dapat dibagi menjadi:

13

a. Faktor genetik.
b. Faktor vascular.
c. Faktor metabolik faktor glukosa darah dan metabolit lain yang
abnormal (Antono, 2012).
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium penderita gangrene diabetikum
a. Kadar glukosa darah
Penderita diaberik tentunya mengalami hiperglikemi ayang
disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin, atau
keduanya. Hiperglikemia juga dapat terjadi akibat masukan karbohidrat
berlebih, namun pemakaian glukosa tepi berkurang, dan akibat produksi
glukosa hati bertambah. Sehingga, glukosa tersebut akan masuk ke
aliran darah juga akan meningkat. Hal ini akan mempengaruhi
konsentrasi hemoglobin, dan oksigenasi ke jaringan jaringan. Faktorfaktor tersebut dapat berpengaruh pada kesembuhan luka. Karena itu,
diperlukan pemeriksaan kadar glukosa untuk mengetahui dan
mengontrol agar glukosa selalu senormal mungkin (Sudoyo et al.,
2009).
b. Pemeriksaan vaskularisasi kaki
Hiperglikemia menyebabkan kelainan pembuluh darah pula.
Kelainan neuropati yang mengakibatkan perubahan pada kulit dan otot
juga menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki,
yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Pemeriksaan
vaskularisasi untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah tersebut
bisa dengan cara non invasive, invasive, atau semiinvasiv. Antara lain,
pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI), ankle pressure, toe pressure,
dan juga pemeriksaan ekhodopler (Sudoyo et al., 2009 et Grace, 2007).
c. Arteriografi
Pemeriksaan arteriografi hampir sama dengan pemeriksaan
vaskularisasi diatas. Hanya, pemeriksaan ini lebih spesifik fokus ke
arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Biasanya diikuti dengan
pemeriksaan

tekanan

darah.

Tujuannya

untuk

mempermudah

mendapatkan gambaran pembuluh darah tersebut (Sudoyo et al., 2009).

14

d. Rontgen (X- ray) pada kaki untuk menunjukkan ada tidaknya


osteomyelitis
Osteomyelitis merupakan kelainan pada struktur tulang akibat
adanya infeksi dari luar. Seperti pada penderita diabetes, ulkus kaki
akan menyebabkan kerentanan infeksi yang juga menyebabkan
mudahnya infeksi tersebut meluas. Hal ini dapat ditambah faktor aliran
darah yang kurang yang akan menghambat sembuhnya luka dan
memperparah luka dan infeksi tersebut. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mendeteksi apakah atau sejauh mana infeksi tersebut meluas
(atau belum meluas) pada tulang tibia, fibula, atau tulang lainnya.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi sebelum dilakukannya
amputasi. Sebab, angka kematian pasca amputasi di beberapa rumah
sakit masih tinggi. Contohnya pada RSUPN dr Ciptomangunkusumo
Jakarta (Sudoyo et al., 2009).
e. Kultur resistensi mikroorganisme
Kultur kuman mikroorganisme ini perlu untuk mengetahui infeksi
bakteri apa yang ada pada pasien. Baik itu aerob, multiple maupun
anaerob. Kultur resistensi mikroorganisme ini bertujuan dan berguna
dalam menentukan antibiotic yang dianjurkan pada pasien. Sebab,
pemberian antibiotic merupaakn lini pertama dan harus dalam spectrum
luas, mencakup kuman gram positif dan negative (misal golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap
kuman anaerob (misalnya metronidazol) (Sudoyo et al., 2009).
G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Kontrol metabolik
Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu senormal
mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemiayang
dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin
untuk menormalisasikonsentrasi glukosa darah. Status nutrisi harus di
perhatikan dan di perbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu
kesembuhan luka.

15

Berbagai hal lain harus juga di perhatikan dan diperbaiki, seperti


konsentrasi albumin serum, konsentrasi HB dan derajat oksigenisasi
jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu
akan dapat menghambat kesembuhan lukasekiranya tidak diperhatikan
dan tidak diperbaiki (waspadji,2009).
b. Kontrol vaskular
Keadaan vascular yang buruk

tentu

akan

menghambat

kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat


dikerjakan sesuai keadaan pasien dan juga sesuai kondisi pasien.
Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui
berbagai cara sederhana seperti:
b.1.
Warna dan suhu kulit
b.2.
Perabaan arteridorslis pedis dan arteri tibialisposterior
b.3.
pengukuran tekanan darah
Saat ini tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah dengan cara non-invasif maupun yang
invasive dan semi invasive seperti pemeriksaan ankle brachial index,
ankle pressure, toe pressure, Tcpo2,dan pemeriksaan ekhodopler dan
kemudian pemeriksaan arterio gravi (waspadji,2009).
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya dapat dilakukan
pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut pakular,
yaitu berupa
b.1.
Modifikasi faktor risiko:
b.1.1.
Stop merokok
b.1.2.
Memperbaiki berbagai

faktor

risiko

terkait

aterosklerosis
i.
Hiperglikemia
ii.
Hipertensi
iii.
Dislipidemia
b.1.3.
Walking program.
Latihan kaki merupakan domain usaha yang
dapat

diisi

oleh

jajaran

rehabilitasi

medic

(waspadji,2009).
c. Terapi farmakologis
Mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis ditempat lain ( jantung, otak), mungkin

16

obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan


bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki
penyandang DM. tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup
kuat

untuk

menganjurkan

pemakain

obat

secara

rutin

guna

memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang


DM (waspadji,2009).
c.1.Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau
ada

klaudikasio

revaskularisasi

intermiten

dapat

yang

dianjurkan.

hebat,

tindakan

Sebelum

tindakan

revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriogravi untuk


mendapatkan gambaran pembuluh darah yang jelas, sehingga
dokter ahli bedah vascular dapat lebih mudah melakukan
rencana tindakan dan mengerjakannya (waspadji,2009).
Untuk oklusi yang panjang di anjurkan operasi bedah
pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat difikirkan
untuk prosedur endovascular- PTCA. Pada keadaan sumbatan
akut dapat dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai
teknik bedah tersebut vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih
baik. Paling tidak faktor vascular sudah lebih memadai,
sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada faktor
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka
pada kaki diabetes sebagai terafi ajuvan. Walaupu demikian
masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik
secara

rutin

pada

pengelolaan

umum

kaki

diabetes

(waspadji,2009).
c.2.Wound control.
Perawatan luka sejak pertama kali pasien dating
merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti.
Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin klasifikasi
ulkus PEDIS dilakuakan setelah debridement yang adekuat.
Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing(pembalut )
17

yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan


keadaan luka, dan juga letak luka tersebut (waspadji,2009)..
Dressing yang mengandung komponen zat penyerap
seperti

carbonated

dressing,

alginate

dressing

akan

bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif.


Demikian pula hydrophilic fiber dressing atau silver
impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka
produktif dan terinfeksi. Tetapi tindakan debridement yang
adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan
dahulu sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka.
Debridement yang baik dan adekuat tentu akan sangat
membantu

mengurangi

jaringan

nekrotik

yang

harus

dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi


produksi pus/ cairan dari ulkus/gangrene. Berbagai terapi
topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada
luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine
encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll.
Demikian pula berbagai cara debridement non surgical
dapat

dimanfaatkan

untuk

mempercepat

pembersihan

jaringan nekrotik luka, seperti prepat enzim (waspadji,2009).


Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi,
dressing

seperti

hydrocolloid

dressing

yang

dapat

dipertahankan beberapa hari dapat digunakan. Tentusaja


untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki
diabetes,

suasana

sekitar

luka

yang

kondusif

untuk

penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka


selalu

dalam

keadaan

optimal,

dengan

demikian

penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan yang


harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan
(waspadji,2009).
Selama proses

inflamasi

masih

ada,

proses

penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses

18

selanjutnya
epitelialisasi.

yaitu
Untuk

proses

granulasi

menjaga

suasana

dan

kemudian

kondusif

bagi

kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi


dengan salin. Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali
tempatperawatan kaki diabetes (waspadji,2009).
c.3.Mikrobiologikal control
Data mengenai pola kuman perludiperbaiki secara
berkala untuk setiap daerah yang berbeda. Umumnya
didapatkan pasien dengan infeksi bakteri yang multiple,
anaerob dan aerob. Antibiotic yang di anjurkan harus selalu
disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Sebagai acuan, dari penelitian didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran gram positif dan gram negative serta
kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena
itu untuk lini pertama pemberian antibiotic harus diberikan
antibiotic dengan spectrum luas, mencakup kuman gram
positif

dan

negatif

(misalnya

golongan

sefalosporin)

dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap


kuman anaerob (misalnya metronidazol) (waspadji,2009).
c.4.Pressure control
Jika kaki tetap dipakai untuk berjalan , luka akan selalu
mendapat tekanan (weight bearing) dan luka tidak akan
sempat menyembuh apalagi apabila luka tersebut terletak
dibagian plantar seperti luka pada kaki charcot. Peran jajaran
rehabilitasi medis pada usaha pressure control ini juga sangat
mencolok bebagai cara untuk mencapai keadaan non weight
bearing dapatdilakukan antara lain dengan:
c.4.1. Removable cast walker
c.4.2. Total contact casting
c.4.3. Temporary shoes
c.4.4. Felt padding
c.4.5. Crutches
c.4.6. Wheelchair
c.4.7. Electric carts
c.4.8. Cradled insoles

19

Berbagai cara surgical dapat dipakai untuk mengurangi


tekanan pada luka seperti:
c.4.1. Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses
c.4.2. Prosedur koreksi bedah seperti oprasi untuk
hamer toe, metatarsal head resection, Achilles
tendon

leng

thening,

partial

calcanetomy

(waspadji,2009).
2. Nonfarmakologi
Edukasi sangat penting untuk setiap tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangrene
diabetic maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan
mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka
yang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang
harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak
pencegahan terjadinya ulkus diabetic dan kemudian segera setelah
perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk
mengurangi kecatatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli
rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk
memberikan bantuan bagi para amputee menghindari terjadinya ulkus
baru. Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan
plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus
yang terjadi berikut memberikan prognosis yng jauh lebih buruk daripada
ulkus yang pertama(waspadji,2009).
H. Prognosis
Penyembuhan luka yang lambat dan meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi cenderung terjadi, gangren dapat berkembang, dan terdapat resiko
tinggi perlu dilakukannya amputasi tungkai bawah (Morison, 2004).
Di Amerika pernah dilaporkan bahwa 50% dari semua amputasi nontraumatik terjadi pada pasien diabetes, dengan resiko khusus pada pasien
lansia dan laki-laki secara signifikan beresiko lebih tinggi daripada wanita.
Lebih jauh lagi, amputasi tungkai kontralateral memiliki prognosis yang

20

buruk, 42% pasien mengalami amputasi kedua dalam 1-3 tahun dan 56%
dalam 3-5 tahun (Morison, 2004).
Diperkirakan 50% sampai 75% dari amputasi tersebut sebenarnya bisa
dicegah, namun penatalaksanaan jangka panjang pada pasien diabetes dan
pencegahan terhadap komplikasinya masih memerlukan pendekatan tim
multidisiplin yang terkoordinasi, yang melibatkan dokter, perawat spesialis
diabetes, siropordis, dan orthoist, serta pada beberapa kasus memerlukan ahli
bedah vaskuler dan ahli bedah ortopedi (Morison, 2004).

21

BAB III
Kesimpulan
1. Ganggren diabetikum adalah salah satu komplikasi diabetes melitus yang
dapat menimbulkan kecacatan dan kematian pada penderita.
2. Ganggren diabetikum dapat ditangani dengan melakukan kontrol
metabolik, kontrol vaskular,terapi farmakologi dan edukasi kepada
penderita.

22

DAFTAR PUSTAKA
Antono. 2012. Peran intervensi perifer pada kasus kaki diabetik. Available at:
http://www.medistra.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=175
Brook I. 2005. Recovery of anaerobic bacteria from wounds after lawn-mower
injuries. Pediatr Emerg Care. Feb 2005;21(2):109-10.
Bryant AE. Biology and pathogenesis of thrombosis and procoagulant activity in
invasive infections caused by group A streptococci and Clostridium
perfringens. Clin Microbiol Rev. Jul 2003;16(3):451-62.
Burke A., 2002. Diabetic Foot Infection in Chasles S (Ed), Vol. 2:1-10
Butalia S, Palda VA, Sargeant RJ, Detsky AS, Mourad O. 2008. Does this patient
with diabetes have osteomyelitis of the lower extremity?. JAMA. Feb 20
2008;299(7):806-13.
Fitra, Nanang., 2008. Pola Kuman Aerob dan Senditifitas Pada Diabetik, Vol. 2:
6-16
Flier, J. 2005. Obesity. Dalam : D.F. Kasper. 2005. Harrisons Principle of
Internal Medicine. New York: McGraw-Hill.
Folstad SG. 2004. Soft tissue infections. In: Tintinalli JE, et al, eds. Emergency
Medicine: A Comprehensive Study Guide. 6th ed. McGraw Hill; 2004:979986.
Frykberg RG, Veves A. 1996. Diabetic foot infections. Diabetes Metab Rev. Oct
1996;12(3):255-70.
Grace, Piece A., Borley, Neil R. Alih bahasa: Umami, Vidhia. 2007. At a Glance
Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga

23

Headley AJ. 2003. Necrotizing soft tissue infections: a primary care review. Am
Fam Physician. Jul 15 2003;68(2):323-8.
Kamal K, Powell RJ, Sumpio BE. 1996. The pathobiology of diabetes mellitus:
implications for surgeons. J Am Coll Surg. Sep 1996;183(3):271-89.
Levin ME. 1995. Preventing amputation in the patient with diabetes. Diabetes
Care. Oct 1995;18(10):1383-94.
Misnadiarly., 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal Gejala,
Menanggulangi Dan Mencegah Komplikasi Edisi 1. Jakarta : Pustaka
Populer Obor. pp. 30-31
Morison, M.J., 2004. Manajemen Luka. Jakarta: EGC. pp. 181-182
Parlindungan L, Zein U ed al., 2002. Pola Kuman Bakteri Anaerob dan Resistensi
Antibiotik pada Ganggren Diabetik.
Piliang S., 1999.Kaki Diabetic Klasifikasi,Patogenesis Dan Diagnosis Dalam
Simposium Kaki Diabetic. Medan. pp. 1 -5
Rani AA, Sugondo S et al., 2005. Panduan Peyanan Medik Perhimpunan
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. pp. 9 15
Rowe VL, Kaufman JL, Talavera F. 2012. Diabetic Ulcers. Medscape Article. Sep
25 2012;460282-overview a0104.
Septiyanti, Shahab A, 2006., The Profile of Diabetic Ganggren Patient
Hospitalized in Internal Medicine RSMH; in Kongres Nasional
Perhimpunan Penyakit Dalam Indonesia XIII, Palembang. pp. 88 -89
Subekti I, 2005. Pathogenesis of Diabetic Neuropathy in Jakarta Diabetic
Meeting, Jakarta:Penerbit Departemen Penyakit Dalam FKUI. pp. 53 60
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus, et al. 2009. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
24

Sumpio BE. 2000. Foot ulcers. N Engl J Med. Sep 14 2000;343(11):787-93.


Tambunan, M. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Millitus Terpadu. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI
Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: FKUI, 2009: pp .
1961-1966
Wijonarko. 2012. TEHNIK DRESSING PADA ULCUS KAKI DIABETIKUM.
Available

at:

http://www.scribd.com/doc/55464085/Manajemen-Ulkus-

Kaki-Diabetik
Wild, Sarah, Gojka Roglic, Anders Green, Richard Sicree & Hilary King. 2004.
Global Prevalence of Diabetes : Estimates for The Year 200 and Projections for
2030. Diabetes Care 27 : 1047-1053.

25

Anda mungkin juga menyukai