Anda di halaman 1dari 23

NEW EMERGING DISEASE

AVIAN INFLUENZA

Disusun Oleh :
KELOMPOK 6
M. Irvan Dwi Fitra

1102010154

Yusra Dina

1102010306

Arief Rachman

1102011044

Prathita Amanda A.

1102011208

Pembimbing :
dr. Citra Dewi, M.Kes
KEPANITERAAN KEDOKTERAN KOMUNITAS
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 29 FEBRUARI 2016 4 APRIL 2016

PENDAHULUAN

Flu Burung (Avian Influenza/ AI) merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kerugian
ekonomis dan juga dapat berdampak terhadap kehilangan nyawa pada manusia, sehingga
penyakit flu burung dikelompokkan pada penyakit kategori I, yaitu penyakit strategis.
Penyakit Avian Influenza adalah penyakit yang sudah lama terkenal di seluruh dunia,
penyakit ini dapat menyebabkan banyak kematian unggas di suatu daerah sehingga dapat
mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak. Selain itu Avian Influenza merupakan
penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ( zoonosis ) sehingga pencegahan dan
penganggulangan terjadinya penyakit ini perlu mendapat perhatian dan tindakan yang tepat.
Suatu jenis influenza unggas baru, yang dikenal sebagai influenza A H5N1, pertama kali
diperhatikan di Hong Kong pada tahun 1997 mengakibatkan 18 orang positif terinfeksi dengan 6
orang meninggal dan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Braunwald, dkk;
2003).
Burung-burung yang bermigrasi merupakan hospes reservoir utama dalam penyebaran
H5N1 keseluruh dunia. Burung-burung tersebut akan singgah pada sebuah daerah dan
menginfeksi unggas-unggas domestik di daerah tersebut. Beberapa unggas tidak menununjukkan
gejala terinfeksi H5N1 walaupun dia sebenarnya telah terinfeksi. Bebek domestik merupakan
salah satu contoh unggas yang tidak menunjukkan gejala meskipun ia telah terinfeksi H5N1. Hal
ini semakin menambah tingginya risiko manusia untuk terjangkit H5N1, (WHO, 2005).
WHO pada bulan November 2004 menyatakan bahwa pada serbuan pertama pandemi
wabah H5N1 ini sebagian besar negara berkembang tidak bisa mengakses vaksin sehingga
pandemi diperkirakan akan menyebar dan meluas dengan cepat. Pandemi adalah sebuah kejadian
luar biasa yang efeknya mampu berpengaruh pada semua sektor kehidupan termasuk sektor
sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, sebuah langkah penanganan dan pencegahan yang tepat
sangat diperlukan terkait ancaman pandemi virus mematikan H5N1 yang terjadi saat ini, (WHO,
2005.1

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Aviant Influenza
1.1. Definisi
Avian influenza merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1
(H=hemaglutinin; N=neuraminidase) yang pada umumnya menyerang unggas (burung dan
ayam).
Penyakit ini menular dari unggas ke unggas tetapi dapat juga menular ke manusia
(zoonosis).Sebagian besar kasus infeksi pada manusia berhubungan dengan adanya riwayat
kontak dengan peternakan unggas atau benda yang terkontaminasi. Sumber virus diduga berasal
dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi.2

1.2 Epidemiologi
Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza A telah menghantui
manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang manusia dan telah
menyebabkan pandemi, sehingga tidak mengherankan jika kewaspadaan global terhadap wabah
pandemi flu burung mendapatkan perhatian yang serius.
Diawali pada tahun 1918 dunia dikejutkan oleh wabah pandemi yang disebabkan virus influenza,
yang telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang mewabah saat itu adalah
virus H1N1 yang dikenal dengan Spanish Flu. Tahun 1957 kembali dunia dilanda wabah
global yang disebabkan oleh kerabat dekat virus yang bermutasi menjadi H2N2 atau yang
dikenal dengan Asian Flu yang telah merenggut 100.000 jiwa meninggal. Pada tahun 1968,
virus flu kembali menyebabkan wabah pandemi dengan merubah dirinya menjadi H3N2. Mutan
virus yang dikenal dengan Hongkong Flu ini telah menyebabkan 700.00 orang meninggal
dunia. Saat ini dunia kembali dikagetkan dengan merebaknya avian influenza H5N1 yang
pertama kali menyerang dan menewaskan 6 orang penduduk Hongkong pada tahun 1997 dari 18
orang yang terinfeksi Tahun 2003 sebanyak 83 orang terinfeksi dengan subtipe virus lainnya
yaitu H7N7, dan H9N2. 1
Tahun 2004, subtipe H5N1 dan H7N2 telah menginfeksi puluhan penduduk Vietman, Thailand,
dan Kanada. Virus H5N1 lebih patogen daripada subtype lainnya sehingga disebut dengan
Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI). Sampai dengan akhir bulan Agustus 2006,
telah dilaporkan sebanyak 241 kasus infeksi dan 141 diantaranya telah meninggal dunia.

Berdasarkan hasil kajian secara genomik, dikenal beberapa subtipe dari avian influenza, namun
demikian selama 6 tahun terakhir hanya subtipe H5, H7 dan H9 yang diketahui mampu
menyebar dari unggas ke manusia
Selama tahun 2003-2004 telah teridentifikasi dua jenis genotipe baru dari HPAI yang telah
menyebabkan wabah di Thailand, Cambodia, Vietnam, Laos, Korea, Japan, China dan Malaysia.
Virus HPAIH5N1 yang diisolasi dari beberapa korban yang meninggal di Vietnam menunjukkan
bahwa virus tersebut telah resisten terhadap amantadine dan rimantadine.1

1.3 Etiologi
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam nukleat
virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein.
Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat.
Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang
spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang
mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang terletak
dibagian terluar dari virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari (i)
protein nukleokapsid (NP) (ii). Hemaglutinin (HA), (iii). Neuraminidase (NA), dan protein
matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus
influenza A, B, dan C. Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena sangat
patogen baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi, di seluruh dunia. Virus influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena
mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift sehingga
membentuk varian-varian baru yang lebih patogen. Terdapat 15 jenis subtipe HA dan 9 jenis
subtipe NA. Dari berbagai penelitan seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa
beberapa subtipe virus influenza A telah menyebabkan wabah pandemi antara lain H7N7 (1977),
H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Virus influenza B
adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang

ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus
influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis.2
H5N1 berarti subtipe dari permukaan antigen yang tampak pada virus, yaitu
hemagglutinin tipe 5 dan neuraminidase tipe 1. Genotif Z merupakan genotif yang dominan pada
H5N1. Genotif Z endemik pada burung-burung di wilayah asia tenggara dan menunjukkan
ancaman pandemik yang berkepanjangan. Virus influenza tipe A memiliki 10 gen dengan 8
pembagian molekul RNA yaitu:2
a. PB 2 (polimerase basic 1)
b. PB1 (polimerase basic 2)
c. PA (polimerase acidic)
d. HA (hemagglutin)
e. NP (nukcleoprotein)
f. NA (neuraminidase)
g. M1 dan M2 (matrix)
h. NS1 dan NS2 (non-structural)

Sumber: Institute Virology of Leipzig

1.4 Patofisiologi
Terdapat dua faktor yang menentukan tingkat pathogen virus AI, yaitu :
Protein hemaglutinin (HA), yang terdapat pada permukaan virus. Adanya cleavage site pada
protein HA akan meningkatkan sifat pathogen virus AI. Protein HA jugA berperan dalam proses
infeksi virus ke dalam sel dengan cara berinteraksi secara langsung dengan reseptor di
permukaan sel hospes. Selain itu protein HA juga berfungsi dalam perpindahan virus dari satu
sel ke sel lain. Melalui cara akumulasi mutasi pada HA, maka virus AI bisa meningkat daya
penularannya.
Gen Nonstruktural Protein (gen NS). Keberadaan gen NS akan menciptakan virus yang kebal
terhadap dua faktor yang berkaitan dengan sistem imun tubuh, yaitu interferon (IFN) dan tumor
necrosis factor alpha (TNF- ), yang memiliki peran anti virus. Hasil uji coba menunjukkan
bahwa bahwa virus rekombinan yang memiliki NS yang berasal dari virus pathogen, seperti
H1N1 berhasil menghambat ekspresi gen yang diregulasi oleh interferon.
Virus AI dikeluarkan oleh unggas penderita lewat cairan hidung, mata dan feses. Unggas peka
akan tertular bisa secara kontak langsung dengan unggas penderita maupun secara tidak langsung
melalui udara yang tercemar oleh droplet yang dikeluarkan hidung dan mata atau muntahan
penderita. Tinja yang mengering dan hancur menjadi serbuk yang mencemari udara yang
terhirup oleh manusia atau hewan lain,kemungkinan juga merupakan cara penularan yang
efektif. Tinja, dan muntahan penderita yang mengandung virus seringkali mencemari pakan, air
minum, kandang dan peralatan kandang akan menularkan penyakit dari unggas penderita ke
unggas peka dalam satu flok kandang.
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection) di mana virus
dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa
akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor
spesifik yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus
berasal. Virus avian influenza manusia (Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha
2,6 sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel di mana didapatkan residu asam sialat yang
dapat berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus AI dapat berikatan
dengan membran sel mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu 2,3 linkage. Adanya perbedaan
pada reseptor yang terdapat pada membran mukosa diduga sebagai penyebab mengapa virus AI
tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung
reseptor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran pernapasan
dapat dicegah. Tetapi virus yang mengandung neurominidase pada permukaannya
dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran
napas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut.

Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar
ke sel-sel di dekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu
pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya
mengkerut dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan
hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi. 3

Sumber : WHO 2006

1.5 Diagnosis
Tampilan klinis manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa.
Diawali dengan demam, mialgia, sakit tenggorokan, batuk, dan sesak napas. Dalam
perkembangannya kondisi tubuh dengan sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera
ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi.
Masa inkubasi penyakit, dimana saat mulai terpapar virus hingga mulai timbul gejala sekitar 3
hari dengan rentang 2 hingga 5 hari. Sebagian besar penderita mengalami produksi dahak yang
meningkat, 30% diantaranya dahaknya bercampur darah. Diare dialami oleh 70% penderita.
Semua penderita menunjukkan limfopenia dan sebagian besar penderita mengalami
trombositopenia.
Dalam penegakan diagnosis, terdapat beberapa kriteria diagnosis yang digunakan sesuaidengan
temuan klinis yang didapatkan pada penderita pada tahapan dan waktu tertentu, yaitu: 4
a) Kasus observasi :Panas > 380C dan
>1 gejala berikut :
- Batuk

- Radang tenggorokan
- Sesak napas yang pemeriksaan klinis dan laboratoriumnya sedang berlangsung
b) Kasus suspect (kasus tersangka) : Demam > 380C dan
> 1 gejala berikut :3
- Batuk
- Nyeri tenggorokan
- Sesak napas
dan salah satu di bawah ini :
- Hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa mengetahui subtype-nya
- kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan penderita yang confirmed
- kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan unggas yang mati karena sakit
- bekerja di laboratorium 1 minggu sebelum timbul gejala yang memproses sampel dari orang
atau binatang yang disangka terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza
- hasil laboratorium tertentu positif untuk virus influenza A (H5) seperti tes antibodispesifik pada
1 spesimen serum
c) Kasus probable : Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah
ini:3
- Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4 kali terhadap H5 dengan
pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda
- Hasil laboratorium terbatas untuk Influensa H5 menggunakan neutralisasi tes
- Dalam waktu singkat menjadi penumonia berat/gagal napas/meninggal dan terbukti tidak ada
penyebab lain.
d) Kasus confirmed (kasus pasti) :
- Hasil biakan virus positif Influenza A (H5N1), atau,
- hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5, atau,
- peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar >4 kali
- hasil dengan IFA positif untuk antigen H5.3

Kelompok Risiko Tinggi


Kelompok yang perlu diwaspadai dan berisiko tinggi terinfeksi flu burung adalah :
- Peternakan/pemrosesan unggas (termasuk dokter hewan/Ir. Perternakan)
- Pekerja laboratorium yang memproses sampel pasien/unggas terjangkit
- Pengunjung perternakan/pemrosesan unggas (1 minggu terakhir)
- Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit/mati mendadak yang belum diketahui
penyebabnya dan atau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir.
- Pernah kontak dengan penderita AI konfirmasi dalam 7 hari terakhir.

Kriteria Rawat

Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu :


1) sesak napas dengan frekuensi napas 30 kali/menit,
2) Nadi 100 kali/menit. ada gangguan kesadaran,
3) kondisi umum lemah
4) Suspek dengan leukopeni
5) Suspek dengan gambaran radiologi pneumoni
6) Kasus probable dan confirm.

Sumber: WHO 2006

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Gambaran Radiologi
1) Foto Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral, dapat ditemukan gambaran infiltrat di paru yang
menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Paling banyak ditemukan konsolidasi
multifokal; efusi dan limfadenopati dapat selalu dilihat, begitu pula dengan perubahan cystic.
Penampakan penyakit pada radiologi lebih awal memberikan prediksi yang bagus dari mortalitas,
termasuk penemuan konsisten dengan acute respiratory distress syndrom (ARDS), seperti difus,
ground glass appearance bilateral.3,7
Pada foto toraks, semua penumonia memperlihatkan tanda-tanda radiologis yang positif.
Gambaran penumonia pada foto toraks sama seperti gambaran konsolidasi radang. Jika udara
dalam alveoli digantikan oleh eksudat radang, maka bagian paru tersebut akan tampak putih pada
foto Roentgen. Kelainan ini dapat melibatkan sebagian atau seluruh lobus (pneumonia lobaris)
atau berupa bercak yang mengikutsertakan alveoli secara tersebar (bronkopneumonia).
Gambaran radiologisnya memperlihatkan bayangan homogen berdensitas tinggi pada satu
segmen, lobus paru atau pada sekumpulan segmen lobus yang berdekatan, berbatas tegas.8

Studi yang dilakukan investigator dari Universitas Oxford, U.K., mengemukakan bahwa
konsolidasi pulmonar yang cukup buruk pada foto X-ray adalah prediktor survival yang baik.
Pada radiografi dada dapat menunjukkan satu atau banyak infiltrat.9
Foto X-ray dada tidak patognomonik untuk flu burung tetapi dapat memperlihatkan adanya
infeksi secara umum. Riwayat kontak dengan burung dan penyakit yang bertambah buruk,
memberikan tanda-tanda radiografi dari penyebaran infeksi pada paru adalah kunci dari
mengidentifikasi penyakit.
Gambaran pneumonia progresif meningkat dengan tingkat mortalitas tinggi telah diobservasi
khususnya pada laporan kasus yang terlambat. Kebanyakan gambaran radiologi yang abnormal
adalah infiltrasi pneumonik yang banyak dengan segmental dan distribusi multifokal, paling
banyak terlokalisasi di bagian bawah dari paru-paru.
2) Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi dan mengukur efusi pleura dan konsolidasi di paru.
Konsolidasi paru pada USG tampak seperti struktur jaringan hiperechoic dan dengan wedgeshaped. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa ultrasound paru memiliki tampilan yang
tinggi untuk mendiagnosis konsolidasi alveolar dan berguna untuk menuntun biopsi paru
perkutaneus.12
3) Pemeriksaan CT-Scan
Gambaran menyebar atau bercak pada ground-glass ditambah dengan konsolidasi adalah
gambaran umum pada CT-scan. Nodul sentrilobuler kecil menunjukkan perdarahan alveolar
mungkin terlibat. Jarang terjadi efusi pleura. Pada sebuah studi, gambaran CT-scan menunjukkan
konsolidasi ruang udara atau ground-glass dengan distribusi lobuler.13

4) Gambaran Histopatologi
Paru-paru secara tipikal menunjukkan kerusakan alveolar yang difus. Pada kasus dengan waktu
penyakit yang pendek (< 10 sampai 12 hari), menunjukkan fase inflamasi eksudatif dari
kerusakan alveolar difus (edema, eksudat fibrosa, pembentukan membran hialin) adalah
predominan. Pada kasus dengan pemanjangan waktu penyakit, merubah konsistensi dengan fase
proliferatif fibrosa (mengatur kerusakan alveolar yang difus) dan tingkat fibrosis akhir (fibrosis
interstitial) telah diperlihatkan.14

5) Pemeriksaan Laboratorium

Untuk uji konfirmasi dilakukan ;


-

Kultur dan identifikasi virus H5N1.

Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5.

Uji serologi, yang meliputi:

1).Immunofluorescence (IFA) test: ditemukan antigen positif dengan menggunakan antibodi


monoklonal influenza H5N1
2).Uji netralisasi: didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1 sebanyak 4 kali
dalam serum
3) Uji penapisan:
a). Rapid test untuk mendeteksi influenza A
b). HI Test dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1
c). Enzyme immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
Selain itu dilakukan pemeriksaan :
- Hematologi : hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, total limfosit. Umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni atau limfositosis relatif, dan trombositopeni.
- Kimia : Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, kreatin kinase, analisa gas darah.
Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan kreatinin kinase, sedangkan analisa gas darah dapat normal atau
abnormal.3
1.7 Diagnosa Banding
1) Severe Acute Respiratory Syndrome
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran napas yang
disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat. SARS secara klinis
lebih banyak melibatkan saluran napas bagian bawah, dibandingkan dengan saluran napas bagian
atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada
trakea ataupun bronkus.3
Manifestasi utama SARS adalah gejala penyakit paru seperti batuk-batuk kering disertai sesak
yang semakin lama semakin berat. Sering pula ditemukan ronchi pada basal paru saat
pemeriksaan fisis.14

Gambaran radiologis yang paling banyak ditemukan adalah ground glass opacification yang
tidak menutupi gambaran pembuluh darah dibawahnya, yang dapat muncul unilateral atau
bilateral. Konsolidasi paling sering terjadi pada lapangan paru perifer serta bagian basal dan
bagian tengah paru, namun konsolidasi dapat berlanjut ke daerah sentral paru. Konsolidasi yang
didapatkan dengan air bronchograms sign ditemukan pada beberapa pasien tetapi konsolidasi
lobaris tidak ditemukan. Tidak ditemukan pula efusi pleura atau pembesaran hilar.15
2) Pneumonia Bakterial
Pneumonia bakterial disebabkan oleh infeksi patogen pada paru-paru dan dapat timbul sebagai
proses penyakit primer atau proses akhir penyakit dari seseorang yang telah lemah. Pneumonia
lebih jauh lagi dikategorikan sebagai community-acquired pneumonia (CAP) atau hospitalized
atau institutional-acquired pneumonia (HAP atau IAP).
Air bronchograms dapat dievaluasi saat terinfeksi S. pneumoniae. Konsolidasi terbuka dan air
bronchograms sign saling berhubungan dengan insidens tinggi dari bakteriemia. Legionella
memiliki predileksi di lapangan bawah paru, sedangkan klebsiella memiliki tendensi untuk
muncul pada lapangan atas paru.16

1.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi,
immunomodulator. Antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada 48 jam pertama.
Adapun pilihan obat :3
1. Penghambat M2 :
a. Amantadin (symadine)
b. Rimantidin (flu-madine), dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari
2. Penghambatan neuramidase (WHO) :
a. Zanamivir (relenza)
b. Oseltamivir (tami-flu), dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu.3
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi.

Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada kasus
pneumonia berat, ARDS, respiratory care di ICU sesuai indikasi.3
Sumber lain menyebutkan bahwa penderita flu burung perlu rawat inap di bangsal isolasi atau
ICU tergantung beratnya kasus. Bangsal isolasi khusus ditata untuk penyakit menular kasus berat
seperti flu burung. Terdapat pintu masuk khusus, ruang ganti pakaian, ruang perawatan serta
pintu keluar yang berbeda dengan pintu masuk. Tersedia pakaian khusus, masker, kaca mata
pelindung, sarung tangan dan pelindung kaki. Petugas perawat telah melakukan standard
universal precaution.
Semua penderita yang telah memenuhi kriteria flu burung dan telah diseleksi di triage IGD
untuk dirawat paling sedikit 1 minggu, karena ditakutkan ada transmisi lewat udara.7
1. Tindakan di bangsal isolasi

Oksigenasi, pertahankan saturasi O2 > 90%

Hidrasi, pemberian cairan parenteral (infus)

Terapi simptomatis untuk gejala flu seperti analgetika/antipiretika, dekongestan dan antitusif
Amantadine/ Rimantadine (obat penghambat haemaglutinin) diberikan awal infeksi 5
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Namun ini tidak dianjurkan lagi karena resistensi virus H5N1
yang cepat terjadi terhadap obat ini.
Oseltamivir/ Zanamivir (obat penghambat neurominidase) 75 mg 2 kali sehari. Pemberian
selama 5 hari.
2.

Perawatan di Ruang Rawat Intensif (ICU)

Indikasi untuk dikirim ke ICU bila didapatkan tanda :

Frekuensi napas > 30x/menit

Sesak napas yang berat

Rasio PaO2 < 250

Foto thoraks terjadi penambahan infiltrat > 50%

Sistolik < 90 mmHg, diastolik < 60 mmHg

Membutuhkan ventilator mekanik (gagal napas)

Membutuhkan vasopressor (dopamin/dobutamin) > 4 jam

Syok septik

Fungsi ginjal memburuk (kreatinin > 4 mg/dl).7

Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan oseltamivir dengan dosis 75
mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu)

1.9 Pencegahan
Prinsip dasar yang diterapkan dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan Avian
influenza atau flu burung ini, adalah:
- Mencegah kontak antara hewan peka dengan virus AI
- Menghentikan produksi virus AI oleh unggas tertular (menghilangkan virus AI dengan
dekontaminasi/disinfeksi)
- Meningkatkan resistensi (pengebalan) dengan vaksinasi
- Menghilangkan sumber penularan virus, dan
- Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
- Menjauhkan unggas dari pemukiman manusia untuk mengurangi kontak penyebaran virus
- Segera memusnahkan unggas yang mati mendadak dan unggas yang jatuh sakit utnuk memutus
rantai penularan flu burung, dan jangan lupa untuk mencuci tangan setelahnya.
- Laporkan kejadian flu burung ke Pos Komando Pengendalian Flu Burung di nomor 0214257125 atau dinas peternakan-perikanan dan dinas kesehatan daerah tempat tinggal anda.
Dalam pelaksanaannya, dapat dilakukan melalui 9 tindakan yang merupakan satu kesatuan satu
sama lainnya yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
- Peningkatan biosekuriti
- Vaksinasi
- Depopulasi (pemusnahan terbatas atau selektif) di daerah tertular
- Pengendalian lalu lintas keluar masuk unggas
- Surveillans dan penelusuran (tracking back)
- Pengisian kandang kembali (restocking)

- Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru


- Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
- Monitoring dan evaluasi
Yang harus dilakukan untuk melindungi peternakan pada saat tidak terjadi wabah AI :
Menjaga agar ternak unggas dalam kondisi baik, antara lain, mempunyai akses ke air bersih dan
makanan yang memadai, kandang yang memadai, menerima produk-produk yang bebas cacing
dan sudah divaksinasi
Menjaga ternak agar selalu berada di lingkungan yang terlindung
Memeriksa barang-barang yang masuk ke dalam peternakan
Melaksanakan biosecurity yang baik dan tepat
Yang harus dilakukan untuk melindungi peternakan pada saat terjadi wabah AI :
Memelihara ternak di tempat yang terlindungi
Tidak membeli atau menerima hewan baru ke dalam peternakan
Membatasi dan mengendalikan orang yang masuk ke peternakan
Membersihkan pekarangan, membersihkan kandang, peralatan, sepeda motor (alat transportasi)
secara berkala
Manajemen litter/kotoran ayam yang baik.
Diperlukan kontrol yang ketat dan tindakan pencegahan penyakit untuk menekan kejadian
penyakit AI dan penularan AI ke manusia. Kontrol dan tindakan pencegahan yang penting
dilakukan secara rinci dijelaskan di bawah ini.
1. Sanitasi
Menghindari kontak dengan ternak penderita dan bahan-bahan yang terkontaminasi tinja dan
sekret unggas serta reservoir virus, dengan beberapa langkah, yaitu alat-alat yang digunakan
dalam peternakan dibersihkan, dicuci dengan deterjen dan didesinfeksi. Di lingkungan kandang
peternakan, desinfektan yang bisa digunakan berupa campuran Kalium Permanganat (KMnO4),
dengan formalin. Hal ini dilakukan pada kandang yang tertutup rapat, dengan cara mencampur 7
gram KMnO4 dengan 14 ml formalin untuk tiap 1 meter kubik kandang. Pada saat desinfeksi,
suhu ruangan harus tidak lebih dari 15 derajat Celcius, kelembaban relative 60 sampai dengan 80
persen. Bejana diisi lebih dahulu dengan KMnO4, ditambah larutan formalin, pintu dan ventilasi
ditutup rapat selama 7 jam, sehingga desinfeksi akan sempurna. Setelah selesai, pintu dan

ventilasi kembali dibuka agar udara segar masuk dan menghilangkan bau tak sedap. Kaporit 5%
juga sering digunakan untuk menyemprot kandang dan kerangka sarang, tempat pakan dan
kendaraaan. Untuk sterilisasi alat-alat dan meja kerja di pabrik pakan, RPH dan pengolahan
daging sering digunakan sodium hipoklorida (NaOCl) yang dengan cepat membunuh virus dan
tidak menimbulkan residu atau bau tidak sedap. Cairan soda kostik 94% yang dicampur air dan
dipanaskan menjadi larutan 1% sampai 2% digunakan untuk mencuci hamakan lantai, dinding
kandang, RPA, pabrik pengolahan pakan, kendaraan. Setelah 6 -12 jam obat disemprotkan,
dibersihkan dengan air bersih. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan
dsn setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran pencernaan unggas
harus menggunakan pelindung berupa masker dan kacamata renang. Mengkonsumsi daging dan
telur yang dimasak sampai matang sempurna. Virus AI peka terhadap panas, pada suhu 70
derajat Celsius mati selama 2 sampai dengan 10 menit. Tidak perlu panik, daging unggas, telur
dan produk olahan yang sudah matang serta dijual dipasar boleh dikonsumsi. Melaksanakan
kebersihan lingkungan dan kebersihan diri dengan cara mandi setelah bekerja bagi kelompok
rawan.
Pembatasan import ayam dari negara-negara wabah, seperti Thailand, Hongkong dan Vietnam
dan dilakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi. Meningkatkan pemantauan epidemik
terhadap burung migran guna menemukan sumber asal wabah flu burung, seperti beberapa
pulau : Pulau Rakit Utara, Gosong dan rakit Selatan atau Pulau Biawak yang menjadi tempat
persinggahan burung dari Australia dan Eropa. Di pulaupulau tersebut jutaan ekor burung tinggal
dalam waktu cukup lama, 2 2,5 bulan, kawin dan berproduksi, menetaskan telur.
2. Vaksinasi
Vaksin unggas yang dibuat harus cocok dengan virus yang akan mewabah, karena vaksin untuk
infeksi sub tipe virus tertentu tidak efektif digunakan sebagai vaksin untuk infeksi sub tipe virus
lain. Oleh karena virus influenza mudah berubah sifat, maka sangat penting upaya bisa
memprediksi virus yang akan mewabah guna pembuatan vaksin. Hal ini tentunya diperlukan
tenaga ahli di bidang epidemiologi dan juga peralatan laboratorium yang memadai. Unggas yang
sehat yang berada sekitar 5 kilometer sekitar daerah wabah harus divaksinasi darurat. Pada
manusia, orang yang beresiko mendapat flu burung harus mendapatkan pencegahan dengan
oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 1 minggu. Meskipun vaksinasi yang digunakan tidak
efektif terhadap virus H5N1, namun akan mengurangi resiko penyusunan ulang nateri genetik
dari virus influenza manusia dan burung di tubuh manusia, dengan kata lain akan mencegah
pembentukan tipe baru virus influenza yang lebih ganas.
Kelompok individu yang dianjurkan vaksinasi menurut WHO adalah :
a) Semua orang yang kontak dengan ternak atau peternakan yang dicurigai atau diketahui terkena
virus AI (H5N1), khususnya orang yang melakukan kontak dengan hewan/ternak yang

terjangkit/mati akibat AI, orang-orang yang tinggal dan bekerja pada peternakan dimana
dilaporkan atau dicurigai terkena AI atau di tempat pemusnahan ternak penderita.
b) Para pekerja kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien yang diketahui atau
dicurigai menderita H5N1 (c) jika jumlah vaksin memadai, maka para pekerja kesehatan dalam
unit gawat darurat di area terjangkit H5N1 pada unggas bisa diberikan.
3. Eliminasi
Eliminasi penyakit dilakukan dengan upaya karantina, pemotongan dan pemusnahan,
dekontaminasi, desinfeksi, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di Tiongkok,
semua unggas dalam radius 3 kilometer di sekitar daerah wabah harus dimusnahkan guna
memberantas flu burung yang berbahaya.
4. Isolasi
Tindakan isolasi dilakukan dengan mencegah penularan dari flok unggas yang terinfeksi ke flok
lain, membatasi lalu lintas orang dan barang dari dan ke peternakan yang terinfeksi guna
mencegah penularan penyakit ke peternakan dan wilayah lain.
5. Biosekuritas
Biosekuritas merupakan hal yang utama dalam kontrol dan pencegahan penyakit AI. Pencegahan
penularan virus H5N1 dari unggas ke manusia dibagi dalam 2 kelompok :
1.

Kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang):

Menggunakan pelindung (Masker, kacamata renang, sarung tangan) setiap berhubungan dnegan
bahan yang berasal dari saluran cerna unggas
Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung
Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).
Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
Imunisasi.
3. Masyarakat umum:
Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :

a) Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
b) Memasak daging ayam sampai dengan suhu 80 C selama 1 menit dan pada telur sampai
dengan suhu ?64C selama 4,5 menit.
Basuh tangan sesering mungkin, peternak sebaiknya juga melakukan disinfeksi tangan (dapat
dengan alcohol 70%, atau larutan pemutih / khlorin 0,5% untuk alat2 / instrumen)
Melakukan pengamatan pasif terhadap kesehatan mereka yang terpajan dan keluarganya.
Memperhatikan keluhan-keluhan seperti Flu, radang mata, keluhan pernafasan.
1.10 Prognosis
Berdasarkan jurnalAvian Influenza A (H5N1) Infection in Humans, prognosis dari infeksi
H5N1 tergolong buruk. Berdasarkan data yang di dapat, angka kematian di Thailand sebesar
89% dan banyak terjadi pada anak-anak yang berumur dibawah 15 tahun. Kematian rata-rata
terjadi anatara 9-10 hari setelah penyakit muncul (rentan 6-30 hari) dan kebanyakan pasien
meninggal karena kegagalan sistem pernafasan.
Sumber lain juga mengatakan prognosis dari kasus infeksi H5N1 tergolong buruk, sebab dari
kasus yang telah terjadi pada tahun 2008, angka kematian akibat infeksi H5N1 adalah sebesar
63,27%. Angka kematian yang cukup tinggi untuk sebuah penyakit infeksi. Sampai sekarangpun
perkiraan case mortality rate menurut WHO untuk kasus ini masih tinggi, yaitu sebesar 60%.18

DAFTAR PUSTAKA

1. Bombang H, Wahyudin B. Flu burung (avian influenza). Jurnal medikal nusantara. [online].
2005. [cited 26 Maret 2016]. Volume 26. No.3. 216-21. Available from URL:
http://med.unhas.ac.id/Datajurnal/tahun2005vol26/vol26No.30k.
2. Ghafar A, dkk. Update on Influenza A (H5N1) Virus Infection in Humans. The New England
Journal of Medicine; N Engl Med 2008;358:261-73. Diakses tanggal 26 Maret 2016.
3. Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT. Influenza burung (avian influenza). Dalam: Sudoyo
A,eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Volume 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h.1719-26.
4. Judarwanto, W. Penatalaksanaan flu burung pada manusia. Dalam: Jurnal kedokteran dan
F\farmasi dexa media. No 4. Volume 18. Jakarta; 2005. h.171-3.
5. Sapoetra A. Infeksi virus influenza A H5N1. Dalam: Ebers papyrus jurnal kedokteran dan
kesehatan fakultas kedokteran Universitas Tarumanegara. Volume 10 No 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara; 2004. h.117-21.
6. Radji M. Avian influenza A (H5N1): patogenesis, pencegahan dan penyebaran pada manusia.
Dalam: Majalah ilmu kefarmasian. Volume III. No 2. Jakarta; 2006. h.55-65.
7. Bennet NJ. Avian influenza. [online]. 2008 January 6th. [cited 2016 maret 26]. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/238049.
8. Budjang N. Radang paru yang tidak spesifik. Dalam: Ekayuda I,eds. Radiologi diagnostik.
Edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru; 2005. h.100-7.
9. Sandrick K. X-rays Can predict survival after exposure to avian flu. [online]. 2006. [cited
2016 Maret 26]. Available from URL: http://www.diagnosticimaging.com.
10. Anonim. Avian influenza. In: Lopez FA. Slaven EM. Stone SC,eds. Infectious diseases
emergency department diagnosis and management. 1st ed. USA: The McGraw-Hill Companies,
Inc; 2007. p.404-5.
11. Baya A, Etlikb B, Onera AF, et al. Radiological and clinical course of pneumonia in patients
with avian influenza H5N1. In: European journal of radiology. [online]. 2007. [cited 2016 Maret
26]. Volume 61. 245-50. Available from URL: http://ejr.com/volume61issue2.
12. Bouhemad B, Mao Zhang, Qiu Lu, Jean. Clinical review : bedside lung ultrasound in critical
care practice. [online]. 2007. [cited 2016 maret 26]. Available from URL:
http://ccforum.com/content/11/1/205.
13. Kim, AE.Lee, KS.L, Steven. Viral pneumonia in adults: radiologic and pathologic findings.
Radiographic journal. [online]. 2002. [cited 2016 Maret 26]. Volume 22. 137-49. Available from
URL: http://radiographics.rsnajnls.org/cgi/content/full/22/suppl_1/S137.

14. Korteweg C, Jiang Gu. Pathology, moleculer biology, and pathogenesis of avian influenza A
(H5N1) infection in humans. The american journal of pathology. [online]. 2007, December 18.
[cited 2016 Maret 26]. Volume 172. 1155-70. Available from : http://www.ajp.amjpathol.org/cgi.
15. Chen K, Rumende CM. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Dalam: Sudoyo A
et.al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006; h.1722-5
16. Cheung CW, Yiu MWC, Leong LLY, Chan FL. Clinical and radiological features of SARS in
Hongkong. [online]. 2005. [cited 2016 Maret 26]. Available from URL:
http://www.diagnosticimaging.com
17. Stephen, JM. Pneumonia bacterial. [online]. 2008. [cited 2016 Maret 26]. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/807707.
18. WHO. 2005. Responding to The Avian Influenza Pandemic Threat; Recomended Strategic
Action. WHO/CDS/CSR/GIP/2005.8. Diakses tanggal 26 Mareti 2016

Anda mungkin juga menyukai