Anda di halaman 1dari 13

BAHAN BAKAR ALTERNATIF BIODIESEL (BAGIAN I.

PENGENALAN)
BODE HARYANTO
Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Kimia
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki beragam sumberdaya energi. Sumberdaya energy berupa
minyak, gas, batubara, panas bumi, air dan sebagainya digunakan dalam berbagai
aktivitas pembangunan baik secara langsung ataupun diekspor untuk mendapatkan
devisa. Sumberdaya energy minyak dan gas adalah penyumbang terbesar devisa
hasil ekspor. Kebutuhan akan bahan bakar minyak dalam negeri juga meningkat
seiring meningkatnya pembangunan. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa sejak
pertengahan tahun 80-an terjadi peningkatan kebutuhan energi khususnya untuk
bahan bakar mesin diesel yang diperkirakan akibat meningkatnya jumlah industri,
transportasi dan pusat pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) diberbagai daerah di
Indonesia. Peningkatan ini mengakibatkan berkurangnya devisa negara disebabkan
jumlah minyak sebagai andalan komoditi ekspor semakin berkurang karena dipakai
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Disisi lain, bahwa cadangan minyak yang
dimiliki Indonesia semakin terbatas karena merupakan produk yang tidak dapat
diperbaharui. Oleh sebab itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mencari bahan
bakar alternatif.
Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel
didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel ( tahun 1900). Penelitian di
bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan
hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui
(renewable). Perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an
dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir
sama dengan minyak diesel fosil yang dikenal dengan biodiesel.
Indonesia adalah negara penghasil minyak nabati terbesar dunia, selain
menghasilkan minyak sawit (Crude Palm Oil = CPO), juga menghasikan minyak
lainnya seperti minyak kopra yang jumlahnya cukup besar. Ini merupakan potensi
bahan baku yang besar untuk tujuan pengembangan BBM alternatif tersebut. Salah
satu bahan baku yang dipakai yaitu fraksi stearin yang diperoleh dari sisa
pengolahan CPO di pabrik minyak nabati (Fractination Refining Factory). Produksi
minyak sawit dewasa ini cenderung meningkat dan diperkirakan akan berlanjut satu
atau dua dekade ke depan.
Pembuatan biodiesel dari minyak nabati dilakukan dengan mengkonversi
trigliserida (komponen utama minyak nabati) menjadi metil ester asam lemak,
dengan memanfaatkan katalis pada proses metanolisis/esterifikasi. Beberapa katalis
telah digunakan secara komersial dalam memproduksi biodiesel. Selain itu, juga
diupayakan katalis katalis dari sisa produksi alam seperti, janjang sawit, abu sekam
padi dan sebagainya.

2002 digitized by USU digital library

PERKEMBANAGAN BIODIESEL
2.1.Gagasan Awal
Gagasan awal dari perkembangan biodiesel adalah dari suatu kenyataan yang
terjadi di Amerika pada pertengahan tahun 80-an ketika petani kedelai kebingungan
memasarkan kelebihan produk kedelainnya serta anjloknya harga di pasar. Dengan
bantuan pengetahuan yang berkembang saat itu serta dukungan pemerintah
setempat, mereka/petani mampu membuat bahan bakar sendiri dari kandungan
minyak kedelai menjadi bahan bakar diesel yang lebih dikenal dengan biodiesel.
Produk biodiesel dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk alat-alat pertanian dan
transportasi mereka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, para ahli telah menyimpulkan bahwa
bahan bakar biodiesel memiliki sifat fisika dan kimia yang hampir sama dengan
bahan bakar diesel konvensional dan juga memiliki nilai energi yang hampir setara
tanpa melakukan modifikasi pada mesin diesel. Pengunaan biodiesel di Eropa
dilakukan dengan mencampur bahan bakar biodiesel dengan diesel konvensional
dengan perbandingan tertentu yang lebih dikarenakan menjaga faktor teknis pada
mesin terhadap produk baru serta menjaga kualitas bilangan setana biodiesel yang
harus sama atau lebih besar 40.
Keunggulan lain dari bahan bakar ini adalah dalam melakukan kendali kontrol
polusi, dimana biodisel lebih mudah dari pada bahan bakar diesel fossil karena tidak
mengandung sulfur bebas dan memiliki gas buangan dengan kadar pengotor yang
rendah dan dapat didegredasi. Di sisi lain, secara ekonomi menguntungkan bagi
negara barat dan Eropa karena sumbernya tidak perlu di impor seperti bahan bakar
konvensional. Sumber minyak nabati lainnya yang diolah menjadi biodiesel yaitu
dari rapeseed (canola), bunga matahari dan safflower.
Sementara itu beberapa negara sudah memproduksi biodiesel secara pabrik,
seperti ditulis pada Pollution Control Drives New Interest In Biodisel, Livorno Italia
telah dibangun pabrik dengan kapasitas 60.000 metrik ton per tahun akhir tahun
1992 dan di Kansas city pabrik ester oil (biodiesel) memproduksi 2,1 juta galon per
tahun dan juga dibangun di St.Louis. Kementrian Jerman awal tahun 1992
mengeluarkan dana sebesar 5,3 juta DM untuk peneliti rapeseed biodiesel di Bonn
dan menyimpulkan bahwa rapeseed biodisel dapat melayani pasokkan cadangan
bahan bakar diesel.
2.2. Indonesia dan Potensinya
Minyak kelapa sawit sangat berpotensi sebagai bahan baku biodiesel
dan
bagi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar dunia mempunyai peluang
untuk menghasilkan bahan bakar biodiesel. Tujuan utama adalah bagaimana kita
dapat memanfaatkan sumber yang melimpah di Indonesia menjadi lebih bermanfaat.
Jika hal ini dilaksanakan maka selain dapat mengendalikan produksi sawit di saat
panen besar, keuntunggan lainnya adalah mengurangi impor minyak diesel yang
menyita cadangan devisa negara. Menurut laporan DitJen Migas (1998) kebutuhan
bahan bakar diesel meningkat setiap tahunnya seperti disajikan pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Produksi dan Komsumsi Minyak Diesel di Indonesia (juta liter)
Minyak Diesel
Tahun
1994/95

Minyak Solar

Produksi

Konsumsi

Produksi

Konsumsi

11866,2

16342,0

1148,0

1905,6

2002 digitized by USU digital library

1995/96
1996/97
1997/98
1998/99*

13465,1
14345
15673,9
16208,9

17621,5
19706,2
22092,1
22423,4

978,5
842,4
984,4
1714,6

1637,4
1576,4
1512,8
2642,8

Sumber : DitJen Migas dan Pusat Penelitian Energi ITB,*) Perkiraan


Berdasarkan informasi yang diterima kemampuan memproduksi minyak solar
dan diesel Indonesia saat ini sudah sesuai dengan kapasitas yang dimiliki sehingga
ada kecendrungan akan meningkatnya impor di tahun-tahun mendatang walaupun di
tahun 1999 kebutuhan bahan bakar diesel menurun tidak sesuai dengan perkiraan
pada tabel di atas, namun setelah pasca krisis ekonomi di Indonesia kebutuhan
diperkirakan akan meningkat kembali.
Tabel 2. Perkembangan Sawit Indonesia
Tahun
TBS
Minyak Sawit (CPO)
(Ton)
(Ton)
1991
12.530.568
2.677.600
1992
14.620.681
3.266.250
1993
16.959.977
3.421.449
1994
17.435.070
4.008.062
1995
18.922.870
4.350.085
1996
20.648.680
4.746.823
Sumber : DitJen Perkebunan RI, diolah

Ekspor (CPO)
(Ton)
106.163
76.003
165.572
350.787
281.959
690.260

Tabel 2. di atas menyajikan peningkatan produksi TBS dan CPO tiap


tahunnya. Peningkatan itu tidak diikuti oleh peningkatan ekspor yang berarti yang
dapat dilihat dari fluktuasi ekspor CPO menurut pelabuhan muat di atas, hal yang
sama juga terjadi untuk ekspor Olein (minyak goreng) dan Palm Stearin. Menurut
data di atas menunjukkan volume ekspor 1996 hingga 2001 mungkin saja menurun.
Ada faktor-faktor yang sangat mempengaruhi pemasaran produk-produk sawit
Indonesia yang belum dapat diatasi pemerintah saat ini, apalagi ketika seluruh areal
perkebunan sawit sudah menghasilkan (35% perkebunan diperkirakan mulai
menghasilkan tahun 2003) membuat Indonesia mengalami masalah baru ditengah
limpahan kekayaan sendiri, sehingga harus dicari alternatif pengolahan produk CPO
tersebut.
Harga jual kelapa sawit dan CPO dapat tiba-tiba tidak terkendali, ketika
panen berlimpah harga sawit menjadi rendah, yang sering dirugikan adalah petani
karena harus tetap menanggung beban operasional perkebunan sawit mereka,
seperti yang terjadi belakanggan ini. Dengan memiliki pabrik-pabrik biodiesel, maka
akan lebih mudah untuk mengendalikan produksi CPO, dalam arti jika produksi CPO
berlebih dan harga di pasar internasional kurang baik maka seluruh hasil buah sawit
dalam bentuk CPO dapat dikonversi menjadi biodiesel sehingga volume dan harga
ekspor CPO dapat dikendalikan dan biodieselnya dapat memasok kebutuhan bahan
bakar diesel dalam negeri, yang berarti menurunkan beban devisa untuk impor. Dan
jika pengembangan pembuatan biodiesel dimulai dari sekarang tidak mustahil sekitar
tahun 2010 ketika diperkirakan Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO dan
olein terbesar di dunia dan juga pengekspor bahan bakar biodiesel dunia.
Negara tetangga Malaysia selangkah lebih maju dalam penelitian sawit
khususnya biodiesel, dari beberapa laporan badan riset sawit PORIM di Malaysia
telah berhasil melakukan berbagai uji biodiesel dari minyak sawit. Perusahaan mobil
Mercedes menjadi sponsor penelitian tersebut yang tentunya sangat membantu
dalam megembangkan biodiesel di negara tersebut. Lembaga-lembaga pendidikan,

2002 digitized by USU digital library

penelitian dan perusahaan di Indonesia tentunya tertarik untuk mengembangkan


produk ini dan diharapkan Indonesia telah memiliki pabrik dengan skala pilot
ditahun 2005 dan 2010 memiliki pabrik biodiesel tujuan ekspor.

2002 digitized by USU digital library

KEUNGGULAN BIODIESEL
3.1. Biodiesel Sebagai Bahan Bakar Alternatif
Produksi dan penggunaan BBM alternatif harus segera direalisasikan untuk
menutupi kekurangan terhadap kebutuhan BBM fosil yang semakin meningkat.
Biodiesel dapat dibuat dari bermacam sumber, seperti minyak nabati, lemak hewani
dan sisa dari minyak atau lemak (misalnya sisa minyak penggorengan).
Biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar diesel
petroleum. Kelebihan tersebut antara lain :
1. Merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan dapat dibiodegradasi
2. Mempunyai bilangan setana yang tinggi.
3. Mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx.
4. Terdapat dalam fase cair.
Bahan bakar diesel dikehendaki relatif mudah terbakar sendiri (tanpa harus
dipicu dengan letikan api busi) jika disemprotkan ke dalam udara panas bertekanan.
Tolok ukur dari sifat ini adalah bilangan setana, yang didefinisikan sebagai % volume
n-setana di dalam bahan bakar yang berupa campuran n-setana (n-C16H34) dan metil naftalena (-CH3-C10H7) serta berkualitas pembakaran di dalam mesin diesel
standar. n-setana (suatu hidrokarbon berantai lurus) sangat mudah terbakar sendiri
dan diberi nilai bilangan setana 100, sedangkan -metil naftalena (suatu hidrokarbon
aromatik bercincin ganda) sangat sukar terbakar dan diberi nilai bilangan setana nol.
3.2.

Karakteristik Minyak Diesel


Bilangan setana yang baik dari minyak diesel adalah lebih besar dari 30
dengan volatilitas yang tidak terlalu tinggi supaya pembakaran yang terjadi di
dalamnya lebih sempurna. Minyak diesel dikehendaki memiliki kekentalan yang
relatif rendah agar mudah mengalir melalui pompa injeksi. Untuk keselamatan
selama penanganan dan penyimpanan, titik nyala harus cukup tinggi agar terhindar
dari bahaya kebakaran pada suhu kamar. Kadar belerang dapat menyebabkan
terjadinya keausan pada dinding silinder. Jumlah endapan karbon pada bahan bakar
diesel dapat diukur dengan metode Conradson atau Ramsbottom untuk
memperkirakan kecenderungan timbulnya endapan karbon pada nozzle dan ruang
bakar. Abu kemungkinan berasal dari produk mineral dan logam sabun yang tidak
dapat larut dan jika tertinggal dalam dinding dan permukaan mesin dapat
menyebabkan kerusakan nozzle dan menambah deposit dalam ruang bakar. Air
dalam jumlah kecil yang berbentuk dispersi dalam bahan bakar sebenarnya tidak
berbahaya bagi bagian-bagian mesin. Tetapi di daerah dingin, air tersebut dapat
membentuk kristal-kristal es kecil yang dapat menyumbat saringan pada mesin.
Tabel 3. Persyaratan Mutu Minyak Diesel
Jenis Minyak Diesel
Mesin
putaran
tinggi

Mesin
industri

Mesin putaran
rendah dan
sedang

Bilangan setana

40

40

30

Temperatur didih, C

288

282 338

Sifat

2002 digitized by USU digital library

Kekentalan pada 38C,


mm2/s

1,4 2,5

2,0 4,3

5,8 26,4

38

52

55

Kadar belerang, % berat

0,50

0,50

2,00

Kadar air dan sedimen,


% volume

0,05

0,05

0,50

Kadar abu, % berat

0,01

0,01

0,1

Ramsbottom residu
karbon dalam 10 %
residu destilasi, % massa

0,15

0,35

Titik nyala, C

Sumber : American Society for Testing and Material (ASTM) D-975, 1991
Tabel 3. menyajikan berbagai sifat atau persyaratan bahan bakar diesel pada
3 mesin dengan kecepatan putaran yang berbeda. Persyaratan mutu ini harus
dipenuhi bahan bakar yang akan direkomendasikan sebagai pengganti bahan bakar
diesel fosil seperti biodiesel.
Sumber data kelayakan bahan bakar diesel dari
American Society for Testing and Material (ASTM) D-975, 1991.

2002 digitized by USU digital library

BERBAGAI MINYAK NABATI YANG DI USULKAN SEBAGAI BAHAN BAKU


4.1. Metil Ester Asam Lemak Sebagai Komponen Biodiesel
Metil ester asam lemak memiliki rumus molekul Cn-1H2(n-r)-1COOCH3 dengan
nilai n yang umum adalah angka genap antara 8 sampai dengan 24 dan nilai r yang
umum 0, 1, 2, atau 3. Beberapa metil ester asam lemak yang dikenal adalah :
1. Metil stearat,
C17H35COOCH3 [n = 18 ; r = 0]
2. Metil palmitat,
C15H31COOCH3 [n = 16 ; r = 0]
3. Metil laurat,
C11H23COOCH3 [n = 12 ; r = 0]
4. Metil oleat,
C17H33COOCH3 [n = 18 ; r = 1]
5. Metil linoleat,
C17H31COOCH3 [n = 18 ; r = 2]
6. Metil linolenat,
C17H29COOCH3 [n = 18 ; r = 3]
Kelebihan metil ester asam lemak dibanding asam-asam lemak lainnya :
1. Ester dapat diproduksi pada suhu reaksi yang lebih rendah.
2. Gliserol yang dihasilkan dari metanolisis adalah bebas air.
3. Pemurnian metil ester lebih mudah dibanding dengan lemak lainnya karena titik
didihnya lebih rendah.
4. Metil ester dapat diproses dalam peralatan karbon steel dengan biaya lebih
rendah daripada asam lemak yang memerlukan peralatan stainless steel.
Metil ester asam lemak tak jenuh memiliki bilangan setana yang lebih kecil
dibanding metil ester asam lemak jenuh (r = 0). Meningkatnya jumlah ikatan
rangkap suatu metil ester asam lemak akan menyebabkan penurunan bilangan
setana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk komponen biodiesel lebih
dikehendaki metil ester asam lemak jenuh seperti yang terdapat dalam fraksi stearin
minyak sawit.
4.2. Minyak Nabati Sebagai Komponen Biodiesel
Industri pengolahan minyak sawit menghasilkan fraksi olein dan stearin.
Fraksi olein lebih baik digunakan untuk pembuatan minyak goreng, karena asam
lemak tak jenuh yang terkandung di dalamnya lebih mudah dihancurkan di dalam
tubuh. Fraksi stearin biasanya digunakan sebagai bahan baku pada pabrik oleokimia
dan untuk diekspor. Akan tetapi, saat ini ekspor stearin mendapat saingan dari
negara lain yang juga penghasil kelapa sawit seperti Malaysia. Akibatnya, fraksi
stearin akan terus berlimpah karena produksi oleokimia dalam negeri sampai kini
juga masih sangat sedikit dibanding produksi bahan baku yang terus meningkat.
Stearin memiliki asam lemak jenuh yang lebih banyak daripada fraksi olein,
karena itu fraksi stearin memiliki bilangan setana lebih besar. Kedua alasan di atas
menjadikan fraksi stearin sebagai sumber yang tepat untuk dijadikan bahan baku
pembuatan biodiesel.
Tabel 4. Kandungan Asam Lemak Beberapa Minyak Nabati.
Asam
Lemak

Sawit

Inti
Sawit
(%)

Kelapa

Kedel
ai
(%)

Bunga
Mataha
ri
(%)

Heksanoat

0.5

0.5

Kano
la
(Rap
e)
(%)
-

Oktanoat

3 10

69

(%)

2002 digitized by USU digital library

(%)

Dekanoat

10

3 14

6 10

Laurat

12

0,1 1,0

37

44 51

52
Miristat

14

0,9 1, 5

7 17

13 18

Palmitat

16

41,8

29

8 10

7 10

48

3,49

46,8
Stearat

18

4,2 5,1

13

13

36

25

0,48

Eikosanoa

20

0,2 0,7

0,6

02

01

Dekasano
at
Palmitolea
t
Oleat

22

01

16

0,6

0,3

18
18

5,5
7,5
Tr 2,5

20
35
40
57
5 - 14

64,4

11
23
13

20 35

Linoleat

37,3
40,8
9,1 11,0

45 68

22,30

8,23

Linolenat
3 18
0 0,6
sumber : CIC Indochemical, (1992); Goering (1982)
N : jumlah karbon
R : Ikatan Rangkap

Tabel 4. Menyajikan kandungan asam lemak dari beberapa minyak nabati.


Data yang disajikan mengenai persen kandungan asam lemak jenuh (r = 0) dan
tidak jenuh (r>0) dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya angka setana
yang dimiliki tiap jenis asam lemak. Asam lemak dari sawit memiliki Asam lemak
jenuh yang lebih tinggi sehingga dapat diperkirakan memiliki bilangan/angka setana
yang lebih tinggi. Minyak kedelai adalah bahan baku biodiesel yang dikembangkan di
Amerika Serikat. Bahan baku dari minyak Bunga matahari dan Rapseed (kanola)
dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel di Eropa, memiliki angka setana
dibawah biodiesel sumber minyak sawit.

2002 digitized by USU digital library

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL


Biodiesel dapat berupa metil ester ataupun etil ester tergantung dari jenis
alkohol yang digunakan. Tetapi yang paling sering diproduksi adalah metil ester
karena metanol mudah didapat dan tidak mahal.
Reaksi kimia yang terjadi pada pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut :

NaOH

trigliserida

alkohol

biodiesel
(metil ester)

gliserol

Kondisi proses produksi biodiesel dengan menggunakan katalis basa adalah:


1. Reaksi berlangsung pada temperatur dan tekanan yang rendah (150F dan
20 psi).
2. Menghasilkan konversi yang tinggi (98%) dengan waktu reaksi dan terjadinya
reaksi samping yang minimal.
3. Konversi langsung menjadi biodiesel tanpa tahap intermediate.
4. Tidak memerlukan konstruksi peralatan yang mahal.
Secara umum, pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut :
Katalis dan stearin dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian dialirkan metanol
hasil destilasi ke bagian bawah reaktor. Katalis yang umum digunakan adalah
natrium hidroksida (kaustik soda). Campuran bereaksi pada temperatur 150F
selama 1 sampai 8 jam dengan pengadukan yang kuat. Katalis yang ditambahkan
harus cukup untuk mengkatalis reaksi dan juga bereaksi dengan asam lemak bebas.
Jika kandungan asam lemak bebas terlalu tinggi (lebih dari 0,5 % - 1 %), atau
jika terdapat air dalam reaksi, sabun akan terbentuk dengan terlebih dahulu
membentuk emulsi dengan metanol dan minyak, sehingga reaksi metanolisis tidak
dapat terjadi. Karena itu minyak yang digunakan harus diolah sedemikian rupa untuk
membuang asam lemak bebas dan semua laju umpan masuk dijaga agar bebas air.
Biasanya dalam pembuatan biodiesel digunakan metanol berlebih supaya
minyak ataupun lemak yang digunakan terkonversi secara total membentuk ester.
Kelebihan metanol dapat dipisahkan dengan proses destilasi. Metanol yang diperoleh
kembali ini dapat digunakan lagi untuk proses pembuatan biodiesel selanjutnya.
Pada tahap ini juga perlu dijaga agar air tidak terakumulasi pada alur pengeluaran
metanol.
Setelah reaksi selesai dan metanol telah dipisahkan, terbentuk dua produk
utama, yaitu gliserol dan metil ester. Karena adanya perbedaan densitas (gliserol 10
lbs/gal dan metil ester 7,35 lbs/gal) maka keduanya dapat terpisah secara gravitasi.
Gliserol terbentuk pada lapisan bawah sementara metil ester pada lapisan atas.

2002 digitized by USU digital library

Gliserol yang dihasilkan mengandung katalis yang tidak terpakai dan sabun.
Pemurnian gliserol dapat dilakukan dengan penambahan asam membentuk garam
dan dialirkan ke tempat penyimpanan gliserol kotor. Gliserol yang diperoleh biasanya
memiliki kemurnian sekitar 80 88 % dan dapat dijual sebagai gliserol kotor.
Setelah dipisahkan dari gliserol, metil ester dicuci dengan air hangat untuk
membuang residu katalis dan sabun, lalu dikeringkan dan dialirkan ke tempat
penyimpanan. Metil ester yang dihasilkan biasanya mempunyai kemurnian 98 % dan
siap dijual sebagai bahan bakar (biodiesel).

2002 digitized by USU digital library

10

BERBAGAI KATALIS PADA PROSES PEMBUATAN BIODIESEL


Sesuai dengan fungsinya, katalis dimanfaatkan untuk mempercepat suatu
reaksi, ikut bereaksi tetapi tidak ikut terkonsumsi menjadi produk. Percobaan untuk
menguji performa beberapa katalis telah dilakukan pada proses pembuatan Biodiesel
dan disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel di bawah menunjukkan bahwa
kandungan silika yang banyak bersifat tidak aktif pada reaksi metanolisis dan yang
sangat aktif adalah katalis dengan kandungan senyawa komponen Kalsium dan
Natrium. Senyawa dengan nilai 10 memberi arti katalis mampu mengkonversi
hingga 95%, tetapi pada kenyataannya katalis tersebut juga banyak sekali
menghasilkan sabun.
Tabel 5.

Katalis Metanolisis dan Produksi Metil Ester Asam-asam Lemak


Relatif
Produksi Metil Ester
Katalis
Komposisi
Asam Lemak relatif

MgO

98% MgO

SiO2

93% SiO2 ; 3% Al2O3

CaO

7% CaO ; 92% Al2O3

CaO.MgO

9,22% CaO ; 91% MgO

CaO. Al2O3

14,8% CaO ; 85,2% Al2O3

CaO.SiO2

12,6% CaO ; 87,4% SiO2

CaO bubuk

10

CaO.MgO. Al2O3

6,34% CaO ; 5,64% MgO ; 86% Al2O3

K2CO3.MgO

4,76% K2CO3 ; 95,2% MgO

K2CO3.Al2O3

14,2% K2CO3 ; 85% Al2O3

K2CO3 bubuk

Na2CO3 bubuk
Fe2O3.MgO

0,5

0,8
2,73% Fe2O3 ; 97,3% MgO

1,5% - 3,6% CH3ONa ; 98,5% - 96,5%


SiO2
Sumber : Peterson dan Scarrah, 1984 (dikutip dari Zahrina, 2000)
CH3ONa.SiO2

Katalis-katalis dengan komponen Kalsium dan Magnesium kurang baik digunakan


sebagai katalis karena cendrung membentuk sabun (memiliki sifat ganda). Senyawa
yang mengikat komponen Si, Mg dan Al cendrung berfungsi sebagai penyangga
katalis.
Katalis Logam seperti Cu dan Sn pada reaksi metanolisis tidak ditemukan
hasil berupa metil ester. Katalis yang bersumber dari limbah seperti janjang sawit
dan limbah sekam padi juga dapat digunakan sebagai katalis. Sekam padi
mengandung senyawa dengan komponen K dan Na, janjang sawit banyak
mengandung komponen K yang baik sebagai katalis. Tabel 6 menyajikan bagian
bagian senyawa kimia dari abu sekam padi.

2002 digitized by USU digital library

11

Tabel 6. Kandungan Senyawa Kimia dalam Abu Sekam Padi


Senyawa Kimia

Kadar (%)

SiO2

91,16

K2O dan Na2O

4,75

CaO

0,65

MgO

0,99

Fe2O3

0,21

SO3

0,10

2002 digitized by USU digital library

12

DAFTAR PUSTAKA
1.

Anonim, Biodiesel, INFORM, Vol 7, No.8, (1996).

2.

Anonim, Kelapa Sawit , International Contact Business System,


Inc, Jakarta, 198, (1997).

3.

Anonim, "Standard Spesification for Diesel Fuel Oils", American


Society

for

Testing

and

Material,

An

American

National

Standard,

Philadelphia, (1991).
4.

Haryanto Bode, Studi Neraca Energi Pembuatan Biodiesel dari Minyak


Sawit, Thesis Magister ITB, 2000.

5.

Zarina Ida, Studi Evaluasi Efektifitas Katalis Abu Tandan Sawit Pada
Metanolisis Stearin, Thesis Magister ITB, 2000.

6.

Georing, C.E., A.W., Schwab, M.J., Daugherty, E.H. Pryde and Heakin, A. J.
,
"Fuel Properties of Eleven Vegetables Oils", Transactions of the American
Society of Agriculture Engineering, 4172-1477, (1982).
Ketaren, S., "Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan", UI Press
Jakarta, (1986).

8.

Michellan, M., "Palm Oil", Journal American Oil Chemists Society, 60(2),
320A-325A, (1983).

9.

Varese, R., Varese, M., "Methyl Ester Biodiesel: Opportunity or Necessity",


INFORM, Vol 7, No.8, (1996).

2002 digitized by USU digital library

13

Anda mungkin juga menyukai