Anda di halaman 1dari 26

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Tinjauan Pustaka


1. Status Gizi
a. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. (Supriasa, 2001).
b. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu
yang beresiko atau dengan status gizi buruk. (Gizi dan Kesehatan Mayarakat,
2007).
Penilaian status gizi bertujuan untuk :
1) Memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian
status gizi.
2) Memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari
masing-masing metode yang ada.
3) Memberikan

gambaran

singkat

mengenai

pengumpulan

data,

perencanaan dan implementasi untuk penilaian status gizi.

Metode dalam penilaian status gizi dibagi dalam dua kelompok, yaitu
secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung
terdiri dari penilaian dengan melihat tanda klinis, tes laboratorium, metode
biofisik dan antropometri. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
langsung berupa survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan
pengukuran antropometri.

c. Klasifikasi Status Gizi


Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di
Indonesia adalah WHO-NCHS. Terakhir, berdasarkan temu pakar gizi di
Bogor tanggal 19-21 Januari dan di Semarang tanggal 24-26 Mei 2000
merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan sebagai baku
antropometri di Indonesia. (Nasution, 2009).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, membuat rujukan penilaian
status gizi anak balita yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hal ini
sesuai dengan yang telah disampaikan di atas. Kriteria jenis kelamin inilah
yang membedakan baku WHO-NCHS dengan baku Harvard yang sebelumnya
digunakan.
Penggolongan status gizi pada tabel indeks berat badan menurut tinggi
badan didasarkan kepada standar deviasi (SD) dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1
Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan BB/TB (Z-Skor)
Status Gizi

BB/TB (Z-Skor)

Sangat Kurus

< -3SD

Kurus

< -2SD

Normal

-2SD sampai +2SD

Gemuk

> +2SD

Sumber : Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Departemen Gizi


dan Kesehatan Masyarakat FKUI. Jakarta : Grafindo (2007 : 210)

Beberapa ahli telah menggunakan buku untuk mengklasifikasikan status


gizi diantaranya adalah menurut Gomez (1956) yaitu sebagaimana pada Tabel
2.

Tabel 2
Klasifikasi KEP Menurut Gomez
Kategori (Derajat KEP)

BB/U (% Baku)

0 = Normal

Lebih dari 90%

1 = Ringan

89 75%

2 = Sedang

74 60%

3 = Berat

< 60%

Sumber : Penilaian Status Gizi. I Dewa Nyoman Supriasa,


Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar Jakarta : EGC (2001 : 73)

Sedangkan menurut Buku WHO-NCHS (1996) klasifikasi status gizi


sebagaimana dalam Tabel 3.
Tabel 3
Klasifikasi KEP Menurut Cara WHO
BB/TB

BB/U

TB/U

Status Gizi

Normal

Rendah

Rendah

Baik, pernah kurang

Normal

Normal

Normal

Baik

Normal

Tinggi

Tinggi

Tinggi, masih baik

Rendah

Rendah

Tinggi

Buruk

Rendah

Rendah

Normal

Buruk, kurang

Rendah

Normal

Tinggi

Kurang

Tinggi

Tinggi

Rendah

Lebih, obesitas

Tinggi

Tinggi

Normal

Lebih, tidak obesitas

Tinggi

Normal

Rendah

Lebih, pernah kurang

Sumber : Penilaian Status Gizi. I Dewa Nyoman Supriasa,


Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar Jakarta : EGC (2001 : 76)

2. Antropometri
a. Pengertian Antropometri
Antropometri adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan
energi.
Antropometri telah lama dikenal sebagai indikator untuk penilaian status
gizi perorangan maupun masyarakat. Antropometri sebagai indikator status
gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, diantaranya umur,
berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada,
lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Kombinasi antara beberapa
parameter antropometri disebut indeks antropometri. (Supriasa, 2001).
b. Keunggulan Antropometri
Beberapa keunggulan antropometri, antara lain : (Supriasa, 2001).
1) Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel
yang besar.
2) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih.
3) Alatnya murah, mudah dibawa dan tahan lama.
4) Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.

5) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.


Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi
buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas.
6) Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada
periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
7) Metode antropometri dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang
rawan gizi.
c. Kelemahan Antropometri
Kelemahan antropometri, antara lain : (Supriasa, 2001).
1) Tidak sensitif : metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu
singkat, disamping itu tidak dapat membedakan zat gizi tertentu seperti
zink dan Fe.
2) Faktor diluar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi)
dapat menurunkan spesifikasi dan sensitifitas pengukuran antropometri.
3) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran, dapat mempengaruhi
presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi.

d. Indeks Antropometri (Supriasa, 2001).


1) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan
yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
Berdasarkan karakteristik berat badan, maka indeks berat badan menurut
umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat
karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi saat ini (current nutritional status).
a) Kelebihan Indeks BB/U
-

Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.

10

Berat badan dapat berfluktuasi.

Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil.

Dapat mendeteksi kegemukan (over weight).

b) Kelemahan Indeks BB/U


-

Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila


terdapat edema maupun asites.

Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur


sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang
belum baik.

Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah


usia lima tahun.

Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh


pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan.

Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah


sosial budaya setempat. Dalam hal ini orang tua tidak mau
menimbang anaknya, karena dianggap seperti barang dagangan,
dan sebagainya.

2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat
badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam
waktu yang pendek. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973)
menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status
gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.
a) Kelebihan Indeks TB/U
-

Baik untuk menilai status gizi masa lampau.

Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

b) Kelemahan Indeks TB/U

11

Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.

Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak,


sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.

Ketepatan umur sulit didapat.

3) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB
merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini
(sekarang) dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal,
kurus). Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.
a) Kelebihan Indeks BB/TB
-

Tidak memerlukan data umur.

Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus).

Indikator status gizi saat ini (current nutrition status).

b) Kelemahan Indeks BB/TB


-

Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek,


cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya,
karena faktor umur tidak dipertimbangkan.

Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan


pengukuran panjang atau tinggi badan pada kelompok balita.

Membutuhkan dua macam alat ukur.

Pengukuran relatif lebih lama.

Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.

Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran,


terutama bila dilakukan oleh kelompok non-profesional.

4) Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)


Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan
otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi
dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan

12

parameter antropometri yang sangat sederhana dan merupakan parameter


yang labil, dapat berubah-ubah dengan cepat. Indeks lingkar lengan atas
sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Pada usia dua sampai
lima tahun perubahannya tidak tampak secara nyata, oleh karena itu
lingkar lengan atas banyak digunakan dengan tujuan screening individu,
tetapi dapat juga digunakan untuk pengukuran status gizi.
a) Kelebihan Indeks LLA/U
-

Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.

Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri.

Alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan


gizi, sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan
menulis.

b) Kelemahan LLA/U
-

Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat.

Sulit menentukan ambang batas.

Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan terutama anak usia


dua sampai lima tahun yang perubahannya tidak nampak nyata.

Tabel 4
Status Gizi Menurut Indeks Antropometri
Indeks
Status Gizi
BB/U

TB/U

BB/TB

Gizi Baik

> 80%

> 85%

Gizi Kurang

61-80%

71-85%

81-90%

71-85%

Gizi Buruk

< 60%

< 70%

< 80%

< 70%

> 90%

LLA/U
> 85%

Sumber : Penilaian Status Gizi. I Dewa Nyoman Supriasa,


Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar Jakarta : EGC (2001 : 70)

13

3. Kurang Energi Protein


a. Pengertian Kurang Energi Protein
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, yang dimaksud
dengan Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaaan makanan sehari-hari
sehingga tidak mencukupi Angka Kecukupan Gizi (AKG). (Depkes, 1999).
Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari, sehingga
tidak memenuhi angka kecukupan gizi. (Wadana, dkk, 2008).
Menurut Depkes RI (1999) dalam buku Pedoman Tata Laksana KEP Pada
Anak di Puskesmas dan di Rumah Tangga, bahwa berdasarkan gejala klinis
ada tiga tipe. Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan
hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat atau gizi buruk secara garis
besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmikkwashiorkor. (Depkes, 1999)

b. Etiologi Kurang Energi Protein


Penyebab utama Kurang Energi Protein adalah ketidaksesuaian antara zat
gizi yang diperoleh dari makanan dan kebutuhan tubuh. Ada beberapa
penyebab kekurangan gizi, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak
langsung. Penyebab langsung karena asupan yang kurang dan penyakit
infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain ketersediaan bahan
makanan di rumah tangga yang tidak mencukupi kebutuhan, kedua karena
kekurangan fasilitas kesehatan dan lingkungan yang tidak sehat, ketiga karena
keterbatasan pelayanan dan perhatian kepada anak dan ibu, yang dipengaruhi
norma kebudayaan dan sistem nilai yang kadang salah konsep. Penyebab
dasar yang berkaitan dengan masyarakat adalah tingkat pendidikan, ekonomi,
situasi politik, dan situasi pelaksanaan hak-hak (distribusi sumber daya,
kedudukan wanita).

Kemiskinan telah dipandang

sebagai

penyebab

kekurangan gizi, tetapi kalau diamati lebih jauh terbukti bahwa kurang gizi
sebenarnya akar permasalahan dari kemiskinan. (Irianto, 2000)

14

c. Klasifikasi Kurang Energi Protein


Menurut baku median WHO NCHS, KEP dibagi beberapa tingkatan
yaitu : (Aritonang, 2004).
1) KEP Ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80 % dan/atau
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 70-80% baku median WHONCHS.
2) KEP Sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB 60-70% baku median WHO-NCHS.
3) KEP Berat bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB
<60% baku median WHO-NCHS.

Sedangkan klasifikasi KEP berdasarkan KMS balita : (Direktorat Bina


Gizi Masyarakat, 1997)
1) KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada
pita warna kuning diatas garis merah atau BB/U 70-80% baku median
WHO-NCHS.
2) KEP sedang bila hasil penimbangan BB pada KMS berada dibawah garis
merah atau BB/U 70-80% baku median WHO-NCHS.
3) KEP berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median WHONCHS pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat dan KEP sedang.

KEP berat secara klinis terdapat dalam tiga tipe yaitu kwashiorkor,
marasmus dan marasmik kwashiorkor. KEP melihat berat badan bila disertai
edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat tipe kwashiorkor.
KEP nyata adalah istilah yang digunakan di lapangan, yang meliputi KEP
sedang dan KEP berat dan pada KMS sedang dibawah garis merah (tidak ada
garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS). KEP total adalah
jumlah KEP ringan, KEP sedang dan KEP berat. (Wadana, dkk, 2008).

15

d. Kondisi Akibat Kurang Energi Protein


1) Marasmus
Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori
yang kronis. Penyebab marasmus adalah diet yang kurang kilokalori dan
protein dalam jangka waktu lama (kronis). Deteriosasi fungsi tubuh terjadi
perlahan dan menghasilkan penyusutan otot. Penghambatan menjadi lebih
sempurna, semua makanan dan fisik serta emosional mengalami mundur
pada orang lansia yang miskin karena sering kali tidak ada makanan yang
bermutu atau mempunyai masalah emosional dan mental. Penyakit lain
yaitu TBC, gastroenteritis,

disentri, diare infeksiosa atau terjangkit

parasit, bersamaan dengan tidak ada pemeliharaan kesehatan menjadi


penyebab dari marasmus. Karakteristik dari marasmus adalah berat badan
sangat rendah, dengan gejala antara lain : (Gizi dan Kesehatan
Masyarakat, 2007).
a) Kurus kering, tampak hanya tulang dan kulit.
b) Otot dan lemak bawah kulit atrofi.
c) Wajah seperti orang tua (berkeriput).
d) Layu dan kering.
e) Diare umum terjadi.
2) Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah sindrom klinik yang timbul sebagai akibat adanya
kekurangan protein baik kualitas atau kuantitas ataupun kedua-duanya
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, tetapi umumnya cukup kebutuhan
kalori. Gejala umum kwashiorkor adalah sebagai berikut : (Gizi dan
Kesehatan Mayarakat, 2007).
a) Pertumbuhan dan mental mundur, perkembangan mental apatis.
b) Edema.
c) Depigmentasi rambut dan kulit.
d) Karakteristik di kulit : timbul sisik yang disebut flaky paint dermatosis.
e) Hipoalbuminemia, infiltrasi lemak dalam hati yang reversible.

16

f) Atrofi kelenjar acini dari pankreas, sehingga produksi enzim untuk


mengeluarkan juice duodenum terhambat.
g) Infeksi dan diare.
h) Anemia sedang (selalu bentuk normokhromik, tetapi sering kali bentuk
makrositik).
i) Menderita kekurangan vitamin A, karena ketidakcukupan sintesis
plasma protein pengikat retinol sehingga sering kali timbul gejala
kebutaan yang permanen.
3) Marasmus Kwashiorkor
Merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus dengan BB/TB < 60% disertai edema yang tidak mencolok.
(Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
e. Faktor Faktor Kurang Energi Protein
Banyak faktor yang berhubungan dengan timbulnya gizi kurang gizi
(KEP). Bagan di bawah ini menyajikan berbagai faktor yang penyebab kurang
gizi yang diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional.
Dari bagan ini terlihat tahapan penyebab timbulnya KEP pada anak balita,
yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah.
(RANPG 2006-2010, 2007).
Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya
gizi buruk atau kurang, yaitu asupan zat gizi yang bersumber dari makanan
dan infeksi penyakit. Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait
dengan berbagai faktor penyebab tidak langsung yaitu ketahanan dan
keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi lingkungan.
(RANPG 2006-2010, 2007).

17

Dampak

Penyebab
langsung

Penyebab
Tidak langsung

KURANG GIZI

Makan
Tidak Seimbang

Tidak Cukup
Persediaan Pangan

Penyakit Infeksi

Pola Asuh Anak


Tidak Memadai

Sanitasi dan Air


Bersih/Pelayanan
Kesehatan Dasar
Tidak Memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok Masalah
di Masyarakat

Kurang pemberdayaan wanita


dan keluarga, kurang pemanfaatan
sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah
(nasional)

Krisis Ekonomi, Politik,


dan Sosial

Diagram 1 : Penyebab kurang gizi


(UNICEF 1990, disesuaikan dengan kondisi Indonesia)

18

1) Penyebab Langsung
Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang
mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena
makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam,
akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat
melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi.
Dalam kenyataannnya keduanya secara bersama-sama merupakan
penyebab kurang gizi. (RANPG 2006-2010, 2007).
2) Penyebab Tidak Langsung
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan dikeluarga (household food security) adalah
kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutu gizinya.
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup
tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk
mencapai gizi baik dan hidup sehat.
Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar
merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya
kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan
masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi isu penting
saat ini antara lain terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya
sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air
maupun udara. (RANPG 2006-2010, 2007).

19

1) Faktor Internal
Faktor internal antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan rasa atau suku bangsa.
Apabila faktor internal ini dapat berinteraksi dalam lingkungan yang baik
dan optimal maka akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal pula.
Faktor internal yang berhubungan dengan status gizi diantaranya :
a) Umur Balita
Masa balita merupakan masa dimana terjadi pertumbuhan badan yang
cukup pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram
berat badannya. Dalam keadaan seperti ini anak balita justru paling sering
mengalami kekurangan gizi sehingga anak balita merupakan kelompok
umur yang rentan menderita kekurangan gizi. (Sediaoetama, 2000).
b) Jenis Kelamin Balita
Kebutuhan zat gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dan
biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki aktifitas fisik yang
lebih tinggi. Khumaidi menyebutkan bahwa anak laki-laki biasanya
mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam hal makanan dibandingkan
anak perempuan. (Gizi dan Kesehatan Masyarkat, 2007).
c) Status Kesehatan Balita
Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama, dan bila bekerja
bersama-sama

akan

memberikan

prognosis

yang

lebih

buruk,

dibandingkan bila kedua faktor tersebut masing-masing bekerja sendirisendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi
memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi.
Kuman-kuman yang tidak terlalu berbahaya pada anak-anak dengan gizi
baik, akan bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi buruk.
(Santoso Soegeng, Anne Lies, 2004).

20

2) Faktor Eksternal
Faktor

eksternal

atau

faktor

lingkungan

sangat

menentukan

tercapainya potensi genetik yang optimal. Apabila kondisi lingkungan


kurang mendukung atau buruk, maka potensi genetik yang optimal tidak
akan tercapai. Lingkungan ini meliputi lingkungan bio-fisiko-psikososial
yang akan mempengaruhi setiap individu mulai dari masa konsepsi sampai
akhir hayatnya. Faktor ekternal yang berpengaruh antara lain asupan
nutrisi, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan.
a) ASI
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam-garam organik yang diseksresi oleh kelenjar payudara Ibu, sebagai
makanan utama bagi bayi. (Soetjiningsih, 1997)
ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Tidak ada satu pun makanan
lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan
yang meliputi aspek gizi, aspek kekebalan dan aspek kejiwaan berupa
jalinan kasih sayang yang penting untuk perkembangan mental dan
kecerdasan anak.
Komposisi ASI tidak konstan dan tidak sama dari waktu ke waktu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi ASI diantaranya adalah
stadium laktasi, ras, keadaan nutrisi dan diit Ibu. Di dalam ASI secara
garis besar didapatkan dua macam kekebalan yaitu : (Soetjiningsih, 1997)
1) Faktor kekebalan non spesifik
a) Faktor pertumbuhan Laktobasilus bifidus
Laktobasilus bifidus di dalam usus bayi akan mengubah laktosa
yang banyak terdapat di dalam ASI menjadi asam laktat dan asam
asetat sehingga suasana akan lebih asam. Suasana yang asam ini
akan menghambat pertumbuhan kuman Escherichia coli patogen
dan Enterobacteriaceae.
Maka bayi-bayi yang mendapat ASI sejak lahir, kuman
komensal terbanyak di dalam ususnya adalah Laktobasilus bifidus,

21

sebaliknya flora usus dari bayi-bayi yang mendapat susu sapi ialah
kuman-kuman gram negatif terutama bakteroides dan koliform dan
bayi-bayi yang mendapat susu botol lebih peka terhadap infeksi
kuman patogen karena tidak adanya perlindungan seperti halnya
bayi-bayi yang mendapat ASI.
b) Laktoferin
Di dalam ASI yang matur laktoferin selain menghambat
pertumbuhan Candida albicans, juga secara sinergis dengan SIgA
menghambat pertumbuhan Escherichia coli patogen.
c) Lisozim (muramidase)
Di dalam ASI terdapat enzim lisozim dalam kadar yang cukup
tinggi (sampai 2 mg/100 ml), 5000 kali lebih banyak daripada di
dalam air susu sapi.
Khasiat lisozim bersama-sama dengan sistem komplemen SIgA
ialah memecahkan dinding sel bakteri dari kuman-kuman
Enterobacteriaceae dan kuman-kuman gram positif. Diduga
lisozim juga melindungi tubuh bayi terhadap berbagai infeksi
virus, antara lain herpes hominis.
2) Faktor kekebalan spesifik
a) Sistem komplemen
Telah dibuktikan bahwa di dalam ASI terdapat ke sebelas
komponen dari sistem komplemen, meskipun beberapa diantaranya
kadarnya sangat rendah.
b) Khasiat seluler
Kolostrum Ibu mengandung 0,5 10 x 10 berbagai macam
sel/ml, yang terutama terdiri dari makrofag (sampai 90%), limfosit
(1-15%) dan sedikit leukosit polimorfonuklear. Di dalam ASI yang
matur kadar ini akan menurun, tetapi oleh karena volume ASI
lebih banyak dari kolostrum, maka jumlah absolut dari sel-sel ini
masih cukup tinggi.

22

c) Imunoglobulin
Semua macam immunoglobulin dapat ditemukan di dalam ASI
Imunoglobulin A (IgA) merupakan immunoglobulin terpenting,
tidak saja karena konsentrasinya yang tinggi, juga karena aktifitas
biologiknya. Dari kelas IgA ini, SIgA adalah yang paling dominan.
Fungsi utama dari SIgA adalah mencegah perlekatan kumankuman patogen pada dinding mukosa usus halus.. SIgA juga
diduga dapat menghambat proliferasi kuman-kuman tersebut di
dalam usus, meskipun tidak dapat membunuhnya.
d) Bakteriostatik
Telah dibuktikan secara in vitro bahwa IgG bersama-sama
dengan laktoferin mempunyai sifat bakteriostatik terhadap E.coli
b) MP-ASI
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan bergizi
yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia enam bulan keatas atau
berdasarkan indikasi medis, sampai anak berusia dua puluh empat bulan
untuk mencapai kecukupan gizi (Depkes, 2000).
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan
keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara
bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal
kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini. (MP-ASI, 2000)
Beberapa jenis MP-ASI yang sering diberikan adalah :
1). Buah, terutama pisang yang mengandung cukup kalori. Buah jenis lain
yang sering diberikan pada bayi adalah : pepaya, jeruk, dan tomat sebagai
sumber vitamin A dan C.

23

2). Makanan bayi tradisional :


a). Bubur susu buatan sendiri dari satu sampai dua sendok makan
tepung beras sebagai sumber kalori dan satu gelas susu sapi sebagai
sumber protein.
b). Nasi tim saring, yang merupakan campuran dari beberapa bahan
makanan, satu sampai dua sendok beras, sepotong daging, ikan atau
hati, sepotong tempe atau tahu dan sayuran seperti wortel dan bayam,
serta buah tomat dan air kaldu.
3). Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam
kaleng, karton, karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis makanan
seperti ini perlu dibaca dengan teliti komposisinya yang tertera dalam
labelnya.
Menurut WHO Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang dianggap
baik adalah apabila memenuhi beberapa kriteria hal berikut :
a). Waktu pemberian yang tepat, artinya MP-ASI mulai diperkenalkan
pada bayi ketika kebutuhan bayi akan energi dan zat-zat melebihi dari apa
yang didapatkannya melalui ASI.
b). Memadai, maksudnya adalah MP-ASI yang diberikan memberi energi,
protein dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
anak.
c).

Aman,

makanan

yang

diberikan

bebas

dari

kontaminasi

mikroorganisme baik pada saat disiapkan, disimpan maupun saat


diberikan pada anak.
d). Dikonsumsi dengan selayaknya, yaitu makanan yang diberikan harus
sesuai dengan tanda-tanda nafsu makan dan kekenyangan anak (WHO,
1998)

24

Tabel 5
Pola Pemberian ASI/MP-ASI
Pola Pemberian ASI/MP-ASI
Golongan Umur
(Bulan)

ASI

Makanan
Lumat

Makanan Lunak

Makanan
Keluarga

0-6
6-9
9-12
12-24
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3726/1/fkm-arifin4.pdf

c) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan formal membentuk nilainilai progresif bagi
seseorang terutama dalam menerima hal-hal baru. Tingkat pendidikan formal
merupakan faktor yang ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap
dan menekuni pengetahuan yang diperoleh. Peranan orang tua, khususnya ibu,
dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi bagi keluarga,
khususnya anak menjadi penting. Masukan gizi anak sangat tergantung pada
sumber-sumber yang ada di lingkungan sosialnya, salah satu yang sangat
menentukan adalah ibu.
Kualitas pelayanan ibu dalam keluarga ditentukan oleh penguasaan
informasi dan faktor ketersediaan waktu yang memadai. Kedua faktor tersebut
antara lain faktor determinan yang dapat ditentukan dengan tingkat
pendidikan, interaksi sosial dan pekerjaan. (Soekirman, 2000)

25

d) Tingkat Pengetahuan
Timbulnya malnutrisi pada balita tidak lepas dari pengetahuan ibu
tentang gizi baik dari segi kebiasaan pola makan, kebersihan, kualitas dan
kuantitas yang akan mempengaruhi gizi balitanya, bila ibu memiliki
pengetahuan yang kurang tentang gizi bagi balita tentunya akan
berdampak langsung bagi asupan nutrisi balita.
Rendahnya pengetahuan ibu merupakan faktor penting, karena
mempengaruhi kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya yang ada
untuk mendapatkan kecukupan bahan makanan. Pengetahuan tentang
kandungan zat gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan makanan
bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan
yang berharga tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi. (Moehji,
2003)
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan hal tersebut terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Notoatmodjo (2003)
pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkat, yaitu :
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di
pelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang
digunakan untuk
menyebutkan,
sebagainya.

mengukur

menguraikan,

bahwa

orang

mendefinisikan,

tahu

antara

lain:

menyatakan,

dan

26

2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek
atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan,
meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukumhukum, rumus, metode dan prinsip dalam konteks atau situasi yang
lain.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu merupakan suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

27

e) Tingkat Pendapatan
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama
pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena
keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada
konsumsi pangan.
Rendahnya daya beli masyarakat merupakan halangan utama yang
akan berpengaruh terhadap asupan nutrisi keluarga dari segi kualitas
maupun kuantitas. Sehingga kandungan gizi lengkap seperti karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral jarang terpenuhi. Sebenarnya,
sekalipun daya beli masyarakat rendah kekurangan gizi akan bisa diatasi
jika ibu tahu bagaimana seharusnya memanfaatkan segala sumber yang
dimiliki. (Kristijono A, 2000).

28

B. Kerangka Teori

Faktor Interna
1. Genetik
2. Umur
3. Jenis Kelamin
4. Status Kesehatan

Status Gizi
Balita
Faktor Eksterna
1. Geografis
2. Adat Istiadat Keluarga
3. Asupan Nutrisi
a. ASI
b. MP-ASI
4. Pengetahuan Orang tua
5. Penghasilan Orang tua

Diagram 2 : Kerangka Teori Penelitian

29

C. Kerangka Konsep

Variabel
Independen

Variabel
Dependen

Status
Kesehatan
ASI

Derajat KEP
Balita

MP-ASI

Pengetahuan
Orang Tua
Penghasilan
Orang Tua

Diagram 3 : Kerangka Konsep Penelitian

30

D. Hipotesis
H1 : Ada hubungan status kesehatan berupa keadaan sakit sebelum dan selama KEP
dengan derajat KEP pada balita di Puslitbang Gizi Bogor.
H2 : Ada hubungan lama pemberian ASI dengan derajat KEP pada balita di
Puslitbang Gizi Bogor.
H3 : Ada hubungan jenis MP-ASI dengan derajat KEP pada balita di Puslitbang Gizi
Bogor.
H4 : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan orang tua dengan derajat KEP pada
balita di Puslitbang Gizi Bogor.
H5 : Ada hubungan antara jumlah penghasilan orang tua dengan derajat KEP pada
balita di Puslitbang Gizi Bogor.

Anda mungkin juga menyukai