Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap satu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behaviour). Tindakan seseorang biasanya muncul dan
sesuai dengan pola ataupun model yang ada pada masyarakat.
Ada enam tingkatan pengetahuan, yakni
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahun yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, meyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
kata
kerja,
seperti dapat
menggambarkan
(membuat
bagan),
yang
sudah
ada.
Misalnya,
dapat
menyusun,
dapat
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah
ada (Notoadmodjo, 2003)
2.2
Sikap
Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau
bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi
positif atau negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian. Ada penilaian positif,
negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, umpama tertarik kepada seseorang,
benci terhadap suatu iklan, suka makanan tertentu. Ini semua adalah contoh sikap.
Sikap dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman, pendapat umum, dan latar
belakang. Sikap mewarnai pandangan terhadap seseorang terhadap suatu objek,
memengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada
penilaian sebelumnya. Sikap bisa baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam
sikap dan sikap dapat diubah. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan
dengan kepercayaan. Dalam beberapa hal sikap merupakan akibat dari suatu
kumpulan kepercayaan (Maramis, 2006)
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasanbatasan tentang sikap oleh Campbell (1950), Allport (1954), Cardno (1955),
Notoatmodjo menyimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merepakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang
terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
2.2.1 Pembentukan Sikap
Manusia mempunyai dua sumber dasar informasi tentang dunia, yaitu
pengalaman kita sendiri dan apa yang dikatakan orang lain. Penelitian menunjukkan
bahwa pengalaman memang mempengaruhi sikap, namun kadang-kadang tidak
begitu jelas pengaruhnya. Misalnya, kebiasaan melakukan sesuatu karena sikap
positif terhadap hal itu. Karena sikap positif, maka hal itu kemudian lebih sering
dilakukan sehingga stimulus yang didapatkan menjadi lebih sering juga. Lalu
dikatakan bahwa hal itu lebih disenangi dibandingkan hal lain. Karena sikap kita
mengenai banyak aspek lingkungan tidak berdasarkan pada pengalaman langsung,
maka banyak informasi yang diberikan oleh orang lain mengenai hal itu mungkin
merupakan penentu paling penting dalam sikap kita. Sikap kita terhadap hal-hal yang
belum pernah kita temui atau alami dipengaruhi oleh informasi dari orang lain,
mungkin orang-orang yang dekat dengan kita, orang tua, saudara, atau mungkin
sumber berita yang lebih jauh, seperti surat kabar, majalah maupun internet
(Maramis, 2006)
2.2.2 Ciri-ciri dan Fungsi Sikap
Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan
perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapat dikatakan
bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah
sikap. Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi dalam Gultom (2006) adalah sebagai
berikut:
a. Sikap itu dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu perlu dibedakan dari motif-motif
psikologi lainnya, misalnya : lapar, haus adalah motif psikologis yang tidak
dipelajari, sedangkan pilihan kepada salah satu jenis makanan adalah sikap. Beberapa
sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu.
Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu
mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu
tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.
b. Memilik kestabilan (stability)
Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap stabil,
melalui pengalaman, misalnya; perasaan suka dan tidak suka terhadap warna tertentu
(spesifik) yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi.
c. Personal-sociaetalsignificance
Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara
orang dengan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain
menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya.
d. Berisi kognisi dan afeksi
Komponen kognisi daripada sikap berisi informasi yang faktual, misalnya
objek itu dirasakan menyenangkan dan tidak menyenangkan.
e. Approach-avoidance directionality
Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap suatu objek, mereka
akan mendekati dan membantunya. Sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang
unfavorable, maka akan menghindarinya.
Pendekatan fungsional terhadap sikap berusaha menerangkan mengapa kita
mempertahankan sikap-sikap tertentu. Hal ini dilakukan dengan meneliti dasar
motivasi, yaitu kebutuhan apa yang terpenuhi bila sikap itu dipertahankan. Katz
(1960) dalam Maramis (2006) mengemukakan empat fungsi dasar sikap yaitu sebagai
berikut:
Fungsi penyesuaian
Suatu sikap dapat dipertahankan karena mempunyai nilai menolong yang
berguna, memungkinkan individu untuk mengurangi hukuman dan menambah
ganjaran bila berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya. Fungsi ini
berhubungan dengan teori proses belajar.
Fungsi pembelaan ego
Fungsi ini berhubungan dengan teori Freud. Di sini sikap itu membela
individu terhadap informasi yang tidak menyenangkan atau yang mengancam.
Lain daripada sikap dengan fungsi penyesuaian, sikap dengan fungsi
pembelaan ego keluar dari konflik internal individu dan bukan dari
pengalaman dengan objek sikap yang sebenarnya.
Fungsi ekspresi nilai
Beberapa sikap dipegang seseorang karena mewujudkan nilai-nilai pokok dan
konsep dirinya. Kita semua menganggap diri kita sebagai orang yang seperti
ini dan itu (apakah sesungguhnya demikian atau tidak adalah soal lain);
dengan mempunyai sikap tertentu anggapan itu ditunjang. Ganjaran yang
diterima dari itu bukan datang dari lingkungan atau respon dari orang-orang
lain, tetapi dari dalam diri kita sendiri.
Fungsi pengetahuan
Kita harus dapat memahami dan mengatur dunia sekitar kita. Suatu sikap yang
dapat membantu fungsi ini memungkinkan individu untuk mengatur dan
membentuk beberapa aspek pengalamannya.
Sikap yang sama dapat mempunyai berbagai fungsi bagi orang yang berbeda.
Sikap prasangka rasial dapat membantu fungsi pembelaan ego bagi beberapa orang.
Untuk orang lain sikap itu dapat membantu fungsi penyesuaian, yaitu sikap prasangka
dipertahankan karena dipuji oleh orang-orang lain. Selanjutnya, sikap yang sama
dapat mempunyai lebih dari satu fungsi bagi satu orang.
Informasi Dasar :
Kepercayaan
dan penilaian
tentang akibat
perilaku X
Sikap terhadap
perilaku X
Niat untuk
melakukan
perilaku X
Informasi Dasar :
Kepercayaan
normative
Motivasi untuk
menuruti
Perilaku X
Norma subjektif
mengenai
Perilaku X
2.3
secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit
sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya pelayanan
kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai
derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996).
Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan polapola penggunaan pelayanan kesehatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat
dijelaskan hanya karena adanya perbedaan
menggunakan
fasilitas
pelayanan
kesehatan
(karakteristik
predisposisi)
2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada
(karakteristik pendukung)
Predisposing
Enabling
Need
akan
akan akibat dari tindakan yang dilakukan secara positif akan menghasilkan sikap
yang positif pula. Sebaliknya jika seseorang tidak yakin akan akibat dari perilaku
yang dilakukan dengan positif akan menghasilkan sikap yang negatif (Glanz, 2002).
Niat seseorang untuk berperilaku juga dapat dipengaruhi oleh norma individu
dan motivasi untuk mengikuti. Norma individu dapat dipengaruhi oleh norma-norma
atau kepercayaan di masyarakat.
Pendekatan yang digunakan berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor
utama dalam perilaku sakit, yaitu:
1. Perilaku itu sendiri;
2. Sekuensinya;
3. Tempat atau ruang lingkup dan
4. Variasi perilaku selama tahap-tahap perwatan.
Suchman sangat memperhatikan perilaku sakit. Ia mendefenisikan sebagai
cara bilamana gejala dirasakan, dinilai dan kemudian bertindak untuk mengenalinya
sebagai rasa sakit, disconfort atau mengatasi rasa sakit tersebut. Analisis ini untuk
mengidentifikasikan pola pencarian, penemuan dan penyelenggaraan perawatan. Oleh
karena itu pengembangan teori yang mengikuti individu mulai dari cara pandang dan
mengenal penyakit sehingga kembali sehat di tangan petugas kesehatan.
Unsur pertama, perilaku sakit menyangkut serangkaian konsep-konsep yang
menggambarkan alternatif perilaku, berikut akibatnya yaitu:
1. Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna
menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan
sesuai dengan harapan si sakit.
2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan
pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan
dukun.
3. Procastination ialah proses penundaan, menangguhkan atau mengundurkan
upaya pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan.
dengan menggunakan
Pada saat orang mengira bahwa dirinya sakit, maka orang akan mencoba
mengurangi atau mengontrol atau mengurangi gejala tersebut melalui pengobatan
sendiri. Sementara itu pihak keluarga dan teman-teman dimintai nasehat, sistem
rujukan awam (lay-referral system) dapat mempengaruhi seseorang untuk berperan
untuk berperan sakit, sedangkan upaya mendiskusikan gejala itu dengan orang-orang
terdekat atau orang penting lainnya betujuan untuk memperoleh pengakuan yang
diperlukan agar ia mendapat kebebasan dari tuntutan dan tanggung jawab sosial
tertentu. Selanjutnya, pada saat berhubungan dengan pihak pelayanan kesehatan,
pelaksana tenaga kesehatan dapat membantu kebutuhan fisik dan psikologis pasien,
dengan jalan memberikan diagnosis dan pengobatan terhadap gejala, atau
memberikan pengesahan (legitimacy) agar pasien dibebaskan dari tuntutan-tuntutan,
tanggung jawab dan kegiatan tertentu. Seperti juga pada tahap-tahap sebelumnya,
seseorang bisa dipercaya dan menerima tindakan atau saran untuk pengobatan, dan
bisa juga menolaknya. Boleh jadi juga ia akan mencari informasi serta pendapatpendapat dari sumber pelayanan kesehatan lainnya.
Suchman (1965) memformulasikan suatu pernyataan teoritis mengenai
hubungan antara struktur sosial dan orientasi kesehatan dengan variasi respon
individu terhadap penyakit dan perawatan kesehatan. Dalam pengembangan model
ini, Suchman membahas fungsi dari berbagai faktor lain (faktor tempat, variasi respon
terhadap penyakit, perawatan kesehatan) sesuai dengan kelima tahap penyakit dan
proses perawatan kesehatan tersebut.
Struktur sosial kelompok ditentukan oleh keadaan sosial dari tiga tingkat
kelompok, yaitu tingkat komunitas, persahabatan, dan keluarga. Pada tingkat
komunitas, derajat hubungan sosial diukur dengan kuat tidaknya rasa kesukuan, pada
tingkat sosial diukur dengan solidaritas persahabatan, dan pada tingkat keluarga
ditandai dengan kuat tidaknya orientasi terhadap tradisi dan otoritas. Ketiga dimensi
hubungan sosial tersebut dikombinasikan kedalam suatu indeks kosmopolitan
parokial struktur sosial. Parokialisme diartikan sebagai suatu keadaan sosial dimana
terdapat rasa kesukuan yang kuat, solidaritas persahatan tinggi, dan sangat
berorientasi pada tradisi dan otoritas dalam keluarga. Orientasi kesehatan seseorang
dilihat sebagai suatu kontinum yang dibedakan atas orientasi ilmiah ( bersifat
objektif, profesional, dan impersonal ) dan orientasi populer ( bersifat subjektif,
awam dan personal ), yang disesuaikan menurut tingkat pengetahuan pasien
mengenai penyakit, skeptisisme terhadap perawatan kesehatan, dan ketergantungan
seseorang akibat penyakit. Orientasi pada kesehatan populer ditandai oleh rendahnya
tingkat pengetahuan tentang penyakit (dimensi kognitif), tingginya tingkat
skeptisisme terhadap perawatan medis ( dimensi afektif ), dan tingginya tingkat
ketergantungan seseorang akibat penyakit ( dimensi perilaku ).
Suchman mengemukakan hipotesis bahwa, perilaku kesehatan yang terjadi
pada setiap tahap penyakit seperti dikemukakan di atas mencerminkan orientasi
kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok sosial. Variasi perilaku ini
mempengaruhi kemajuan setiap tahap penyakit tersebut. Misalnya, seseorang yang
berorientasi kepada kesehatan polpuler dan
parokial akan berperilaku : kurang cepat tanggap dan kurang serius terhadap bahaya
yang mungkin terjadi selama masa permulaan gejala yang dirasakan; meminta
persetujuan orang lain secara berulang-ulang untuk menyakinkan bahwa ia boleh
Kabeaken (Habeahan) dan marga-marga lainnya. Secara teoritis kesamaan bisa terjadi
karena faktor intensitas dari proses difusi, akulturasi dan asimilasi, disamping
didukung oleh faktor geografi. Demikian juga dari segi komunitas, etnis-etnis
tersebut hidup berdampingan di wilayah Sumatera Utara (Berutu, 1998).
Namun bila mengacu kepada ciri-ciri etnis yang dikategorikan oleh
Koentjaraningrat (1990), bahwa suatu suku bangsa ditandai dengan adanya
kebudayaan tersendiri, wilayah komunitas daerah asal, adanya rasa identitias bersama
dan adanya bahasa, maka masing-masing sub etnis Batak tersebut dapat juga
dikategorikan sebagai etnis atau suku bangsa tersendiri termasuk Pak-pak.
2.5.1 Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pak-pak
Berdasarkan
dialek
dan
wilayah
persebarannya,
Pak-pak
dapat
diklasifikasikan menjadi lima bagian (Suak) besar, yakni Pak-pak Sim-sim, Pak-pak
Keppas, Pak-pak pegagan, Pak-pak Boang dan Pak-pak Kelasen (Berutu, 2002), dan
masing-masing daerah persebarannya adalah:
1. Pak-pak Sim-sim, yakni orang Pak-pak yang menetap dan memiliki hak ulayat di
wilayah Sim-sim. Misalnya marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea,
Tinendung, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik
Indonesia berada pada Kabupaten Pak-pak Bharat.
2. Pak-pak Keppas, yakni orang Pak-pak yang menetap dan berdialek Keppas.
Misalnya marga Ujung, Angkat, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam
administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi,
mencakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Tanah Pinem,
Kecamatan Sidikalang.
diperburuk oleh stereotype dan prasangka suku lain, bahkan oleh orang Pak-pak
sendiri. Keengganan memakai marga asli Pak-pak sangat umum terjadi, mengganti
marga asli dengan marga lain seperti Karo dan Toba sering dijumpai. Marga
Tumangger, Tinambunen, Anak Ampun, Maharaja, Bancin mengaku Simbolon,
marga Berutu jadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi
Sinulingga (Karo), atau Manik, mengaku manik dari Simalungun, bahkan Solin
mengaku Solihin bagi yang merantau kearah Aceh. Kalau tidak mengganti marga,
minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti bahasa Toba (wahyudi,
dkk, 2002). Kebiasaan ini bisa saja, juga terpengaruh dengan hal-hal yang lain seperti
konsep akan sehat dan sakit serta pola pencarian pengobatannya.
2.5.2 Budaya Pak-pak dalam hal Sehat Sakit
Menurut Kustander dalam Swasono (1996) menjelaskan bahwa kesehatan dan
penyakit merupakan kontruksi budaya, yang berkaitan dengan pengertian normal dan
abnormal menurut pandangan berbagai kategori individu dalam suatu kelompok
budaya. Walaupun defenisi tentang normal dan abnormal itu mengandung aspek
persamaan pada berbagai kebudayaan, misalnya mengenai batasan-batasan tentang
kemampuan normal dari tubuh dalam menjalankan fungsinya, namun kelompok
masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda mempunyai klasifikasi dan defenisi
yang berbeda pula mengenai sehat, keadaan sakit, penyakit, maupun ukuranukurannya. Karena itu sulit untuk memperoleh penerapan yang universal terhadap
ukuran kualitas dari skala kehidupan.
Menurut Sudarti dalam Sarwono (1997) Umumnya masyarakat tradisional
memandang sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya,
tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Baik itu karena sakit akibat penyakit
yang biasa diderita masyarakat ataupun penyakit yang dianggap luar biasa dan jarang.
Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang
itu masih dikatakan sehat. Cara pandang masyarakat tentang hal seperti ini juga masih
banyak diyakini oleh masyarakat suku Pak-pak.
Untuk penyakit-penyakit yang tidak lazim misalnya penyakit yang datang
tiba-tiba, atau penyakit yang muncul kebetulan setelah mengunjungi suatu tempat,
maka dianggap sebagai penyakit karena gangguan makhlus halus (begu) atau karena
ula-ula (sihir) yang dilakukan oleh orang lain. Atau penyakit yang lama sembuhnya,
maka dianggap karena kekuatan roh. Karena kalau penyakit biasa pastilah akan cepat
sembuh. Pengobatan yang dilakukan, sesuai dengan penyakit yang di derita. Ada
dengan pengobatan ramuan tradisional yang disebut grama, seperti sinangger yang
merupakan ramuan beras yang digongseng sampai hitam ditambah dengan jahe dan
kunyit, untuk sakit kepala. Gambir yang dicampur air dan diminum untuk obat sakit
perut dan lain-lain (Gajah, 1999). Selain ramuan tradisional ada juga dengan
pengobatan kebatinan yang mana proses penyembuhannya dilakukan dengan doa dan
mantra (tabas) yang dilakukan oleh orang pintar (sipande-pande). Ada juga
pengobatan dari penggabungan kedua jenis tersebut, yaitu ramuan tradisional yang
dibacakan mantra (tabas), misalnya Ramuan pinang dan sirih yang telah di bacakan
mantra (tabas) untuk obat tetanus.
Etiologi penyakit yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib atau akibat
kesalahan tidak hanya berkenaan dengan penyakit fisik melainkan juga mengenai
penyakit jiwa. Misalnya, menurut suku Pak-pak gila (gangguan kejiwaan) terjadi
akibat guna-guna (i bahan kalak) yang masuk kedalam tubuh seseorang sebagai
hukuman atas kesalahannya terhadap orang lain. Mirip dengan suku Jawa, penyakit
semacam itu hanya bisa diobatai oleh dukun. Selain itu ada pula anggapan bahwa gila
terjadi karena masuknya roh jahat (jin) kedalam tubuh seseorang, yang juga hanya
bisa dikeluarkan oleh dukun (Swasono, 1996).
Jenis kelamin
Penghasilan
Agama
Dukungan
Budaya
- Dukungan
Keluarga dan
Masyarakat
Respon Individu
Terhadap
Penyakit
-
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Kepercayaan
Orientasi Kesehatan
- Orientasi ilmiah
- Orientasi populer
Pola Pencarian
Pengobatan
pengalaman dan
orientasi ilmiah maupun orientasi populer. Kombinasi dari parokial struktur sosial
dan orientasi kesehatan akan mempengaruhi respon individu terhadap penyakit yang
akhirnya membentuk pola pencarian pengobatan masyarakat apabila terkena
penyakit.