Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap satu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behaviour). Tindakan seseorang biasanya muncul dan
sesuai dengan pola ataupun model yang ada pada masyarakat.
Ada enam tingkatan pengetahuan, yakni
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahun yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, meyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

Universitas Sumatera Utara

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya


terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analisys)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabaran materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemanpuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan

kata

kerja,

seperti dapat

menggambarkan

(membuat

bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.


5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi

yang

sudah

ada.

Misalnya,

dapat

menyusun,

dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap


suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemapuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

Universitas Sumatera Utara

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah
ada (Notoadmodjo, 2003)

2.2

Sikap
Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau

bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi
positif atau negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian. Ada penilaian positif,
negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, umpama tertarik kepada seseorang,
benci terhadap suatu iklan, suka makanan tertentu. Ini semua adalah contoh sikap.
Sikap dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman, pendapat umum, dan latar
belakang. Sikap mewarnai pandangan terhadap seseorang terhadap suatu objek,
memengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada
penilaian sebelumnya. Sikap bisa baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam
sikap dan sikap dapat diubah. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan
dengan kepercayaan. Dalam beberapa hal sikap merupakan akibat dari suatu
kumpulan kepercayaan (Maramis, 2006)
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasanbatasan tentang sikap oleh Campbell (1950), Allport (1954), Cardno (1955),
Notoatmodjo menyimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

Universitas Sumatera Utara

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merepakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang
terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
2.2.1 Pembentukan Sikap
Manusia mempunyai dua sumber dasar informasi tentang dunia, yaitu
pengalaman kita sendiri dan apa yang dikatakan orang lain. Penelitian menunjukkan
bahwa pengalaman memang mempengaruhi sikap, namun kadang-kadang tidak
begitu jelas pengaruhnya. Misalnya, kebiasaan melakukan sesuatu karena sikap
positif terhadap hal itu. Karena sikap positif, maka hal itu kemudian lebih sering
dilakukan sehingga stimulus yang didapatkan menjadi lebih sering juga. Lalu
dikatakan bahwa hal itu lebih disenangi dibandingkan hal lain. Karena sikap kita
mengenai banyak aspek lingkungan tidak berdasarkan pada pengalaman langsung,
maka banyak informasi yang diberikan oleh orang lain mengenai hal itu mungkin
merupakan penentu paling penting dalam sikap kita. Sikap kita terhadap hal-hal yang
belum pernah kita temui atau alami dipengaruhi oleh informasi dari orang lain,
mungkin orang-orang yang dekat dengan kita, orang tua, saudara, atau mungkin

Universitas Sumatera Utara

sumber berita yang lebih jauh, seperti surat kabar, majalah maupun internet
(Maramis, 2006)
2.2.2 Ciri-ciri dan Fungsi Sikap
Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan
perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapat dikatakan
bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah
sikap. Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi dalam Gultom (2006) adalah sebagai
berikut:
a. Sikap itu dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu perlu dibedakan dari motif-motif
psikologi lainnya, misalnya : lapar, haus adalah motif psikologis yang tidak
dipelajari, sedangkan pilihan kepada salah satu jenis makanan adalah sikap. Beberapa
sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu.
Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu
mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu
tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.
b. Memilik kestabilan (stability)
Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap stabil,
melalui pengalaman, misalnya; perasaan suka dan tidak suka terhadap warna tertentu
(spesifik) yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

c. Personal-sociaetalsignificance
Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara
orang dengan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain
menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya.
d. Berisi kognisi dan afeksi
Komponen kognisi daripada sikap berisi informasi yang faktual, misalnya
objek itu dirasakan menyenangkan dan tidak menyenangkan.
e. Approach-avoidance directionality
Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap suatu objek, mereka
akan mendekati dan membantunya. Sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang
unfavorable, maka akan menghindarinya.
Pendekatan fungsional terhadap sikap berusaha menerangkan mengapa kita
mempertahankan sikap-sikap tertentu. Hal ini dilakukan dengan meneliti dasar
motivasi, yaitu kebutuhan apa yang terpenuhi bila sikap itu dipertahankan. Katz
(1960) dalam Maramis (2006) mengemukakan empat fungsi dasar sikap yaitu sebagai
berikut:
Fungsi penyesuaian
Suatu sikap dapat dipertahankan karena mempunyai nilai menolong yang
berguna, memungkinkan individu untuk mengurangi hukuman dan menambah
ganjaran bila berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya. Fungsi ini
berhubungan dengan teori proses belajar.
Fungsi pembelaan ego

Universitas Sumatera Utara

Fungsi ini berhubungan dengan teori Freud. Di sini sikap itu membela
individu terhadap informasi yang tidak menyenangkan atau yang mengancam.
Lain daripada sikap dengan fungsi penyesuaian, sikap dengan fungsi
pembelaan ego keluar dari konflik internal individu dan bukan dari
pengalaman dengan objek sikap yang sebenarnya.
Fungsi ekspresi nilai
Beberapa sikap dipegang seseorang karena mewujudkan nilai-nilai pokok dan
konsep dirinya. Kita semua menganggap diri kita sebagai orang yang seperti
ini dan itu (apakah sesungguhnya demikian atau tidak adalah soal lain);
dengan mempunyai sikap tertentu anggapan itu ditunjang. Ganjaran yang
diterima dari itu bukan datang dari lingkungan atau respon dari orang-orang
lain, tetapi dari dalam diri kita sendiri.
Fungsi pengetahuan
Kita harus dapat memahami dan mengatur dunia sekitar kita. Suatu sikap yang
dapat membantu fungsi ini memungkinkan individu untuk mengatur dan
membentuk beberapa aspek pengalamannya.
Sikap yang sama dapat mempunyai berbagai fungsi bagi orang yang berbeda.
Sikap prasangka rasial dapat membantu fungsi pembelaan ego bagi beberapa orang.
Untuk orang lain sikap itu dapat membantu fungsi penyesuaian, yaitu sikap prasangka
dipertahankan karena dipuji oleh orang-orang lain. Selanjutnya, sikap yang sama
dapat mempunyai lebih dari satu fungsi bagi satu orang.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Perubahan Sikap


Fishbein dan Ajzen ( 1975 ) dalam Maramis ( 2006 ) menyusun suatu Model
Perubahan Perilaku. Untuk mengubah perilaku X perlu ada niat ( intensi ) untuk
mengubahnya. Niat itu dikuatkan oleh sikap positif terhadap perilaku X. Sikap itu
dikuatkan oleh kepercayaan dan penilaian positif tentang akibat perilaku X. Intensi
itu juga dikuatkan oleh norma subjektif yang baik mengenai perilaku X. Norma
subjektif ini dikuatkan oleh kepercayaan normatif dan motivasi untuk menuruti (Smet
1994)
Kepercayaan, Sikap, Niat, dan Perilaku
( Belief,Attitute, Intention, and Behavior )

Informasi Dasar :
Kepercayaan
dan penilaian
tentang akibat
perilaku X

Sikap terhadap
perilaku X
Niat untuk
melakukan
perilaku X

Informasi Dasar :
Kepercayaan
normative
Motivasi untuk
menuruti

Perilaku X

Norma subjektif
mengenai
Perilaku X

Model Perubahan Perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975)

2.3

Teori tentang Penggunaan Pelayanan Kesehatan


Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996),

menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan

Universitas Sumatera Utara

secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit
sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya pelayanan
kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai
derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996).
Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan polapola penggunaan pelayanan kesehatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat
dijelaskan hanya karena adanya perbedaan

morbidity rate atau karakteristik

demografi penduduk, tetapi faktor-faktor sosial budaya atau faktor-faktor penting


yang menyebabkan tidak digunakannya fasilitas kesehatan. Penggunaan pelayanan
kesehatan tidak perlu diukur hanya dalam hubungannya dengan individu tetapi dapat
diukur berdasarkan unit keluarga (Sarwono, 1997).
Banyak teori yang berkaitan dengan alasan seseorang ketika memilih dan
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, diantaranya :
2.3.1 Teori Andersen/ Health System Model
Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang
mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan yaitu :
1. Mudahnya

menggunakan

fasilitas

pelayanan

kesehatan

(karakteristik

predisposisi)
2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada
(karakteristik pendukung)

Universitas Sumatera Utara

3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan)

Predisposing

Enabling

Need

Health Service Use

Ilustrasi Model Anderson


2.3.2 Model Kepercayaan Kesehatan / Health Belief Model
HBM telah berkembang di tahun 1950 oleh para ahli psikologi sosial.
Berkembangnya pelayanan kesehatan masyarakat akibat kegagalan dari orang atau
masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit
yang diselenggarakan oleh provider (Glanz, 2002).
Ada 5 variabel yang menyebabkan seseorang mengobati penyakitnya :
1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)
Persepsi seseorang terhadap resiko dari suatu penyakit. Agar seseorang bertindak
untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia
rentan terhadap penyakit tersebut.
2. Keparahan yang dirasakan (perceived seriousness)
Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan penyakit dapat
disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang dirasakan misalnya dapat
menimbulkan kecacatan, kematian, atau kelumpuhan, dan juga dampak sosial
seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial.
3. Keuntungan yang dirasakan (perceived benefits)
Penerimaan seseorang terhadap pengobatan penyakit dapat disebabkan karena
keefektifan dari tindakan yang dilakukan untuk mengurangi penyakit. Faktor

Universitas Sumatera Utara

lainnya termasuk yang tidak berhubungan dengan perawatan seperti, berhenti


merokok dapat menghemat uang.
4. Hambatan yang dirasakan (perceived barriers)
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan pencegahan penyakit

akan

mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Pada umumnya manfaat tindakan


lebih menentukan daripada rintangan atau hambatan yang mungkin ditemukan
dalam melakukan tindakan tersebut.
5. Isyarat atau tanda-tanda untuk bertindak (cues to action)
Kesiapan seseorang

akibat kerentanan dan manfaat yang dirasakan dapat

menjadi faktor yang potensial untuk melakukan tindakan pengobatan. Selain


faktor lainnya seperti faktor lingkungan, media massa, atau anjuran dari keluarga,
teman-teman dan sebagainya.
6. Keyakinan akan diri sendiri (self efficacy)
Kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam pengambilan tindakan
(Glanz, 2002).
2.3.3 Theory of Reasoned Action
TRA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 untuk melihat hubungan
keyakinan, sikap, niat dan perilaku. Fishbein, 1967 mengembangkan TRA ini dengan
sebuah usaha untuk melihat hubungan sikap dan perilaku (Glanz, 2002).
Faktor yang paling penting dalam seseorang berperilaku adalah adanya niat.
Niat akan ditentukan oleh sikap seseorang. Dan sikap ditentukan oleh keyakinan
seseorang akibat dari tindakan yang akan dilakukan. Diukur dengan evaluasi
terhadap masing-masing akibat. Jadi, seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat

Universitas Sumatera Utara

akan akibat dari tindakan yang dilakukan secara positif akan menghasilkan sikap
yang positif pula. Sebaliknya jika seseorang tidak yakin akan akibat dari perilaku
yang dilakukan dengan positif akan menghasilkan sikap yang negatif (Glanz, 2002).
Niat seseorang untuk berperilaku juga dapat dipengaruhi oleh norma individu
dan motivasi untuk mengikuti. Norma individu dapat dipengaruhi oleh norma-norma
atau kepercayaan di masyarakat.

2.4 Aspek Sosial Budaya dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan


Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang
berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan, tetapi
ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan, yaitu adanya celah diantara
kelas sosial dan budaya dalam penggunaan pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002).
Seseorang yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah merasa diri
mereka lebih rentan untuk terkena penyakit dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari kelas atas. Sebagai hasilnya mereka yang berpenghasilan rendah lebih
tidak mungkin untuk mencari pencegahan penyakit (Sarafino, 2002).
2.4.1 Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan
a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua
b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan
berpendidikan tinggi
c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan
penganut agama lain.
d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan
diantaranya adalah :
a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan.
c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan
tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga
meningkat.
e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi
pelayanan kesehatan.
2.4.3 Reaksi dalam Proses Mencari Pengobatan
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak
merasakan sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apaapa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga
merasakan sakit, maka baru timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Penyelidikan
E.A. Suchman (1965) tentang perilaku kesehatan dalam konteks sosial budaya cukup
memberi harapan, dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi
kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. Model
Suchman yang terpenting adalah menyangkut pola sosial dan perilaku sakit yang
tampak pada cara orang

mencari, menemukan, dan melakukan perawatan.

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan yang digunakan berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor
utama dalam perilaku sakit, yaitu:
1. Perilaku itu sendiri;
2. Sekuensinya;
3. Tempat atau ruang lingkup dan
4. Variasi perilaku selama tahap-tahap perwatan.
Suchman sangat memperhatikan perilaku sakit. Ia mendefenisikan sebagai
cara bilamana gejala dirasakan, dinilai dan kemudian bertindak untuk mengenalinya
sebagai rasa sakit, disconfort atau mengatasi rasa sakit tersebut. Analisis ini untuk
mengidentifikasikan pola pencarian, penemuan dan penyelenggaraan perawatan. Oleh
karena itu pengembangan teori yang mengikuti individu mulai dari cara pandang dan
mengenal penyakit sehingga kembali sehat di tangan petugas kesehatan.
Unsur pertama, perilaku sakit menyangkut serangkaian konsep-konsep yang
menggambarkan alternatif perilaku, berikut akibatnya yaitu:
1. Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna
menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan
sesuai dengan harapan si sakit.
2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan
pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan
dukun.
3. Procastination ialah proses penundaan, menangguhkan atau mengundurkan
upaya pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan.

Universitas Sumatera Utara

4. Self medication adalah proses pengobatan sendiri

dengan menggunakan

berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.


5. Discontinuity adalah melakukan proses membatalkan atau penghentian
pengobatan (Muzaham, 1995).
Menurut paradigma Suchman, urutan peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat,
yaitu: pengalaman dengan gejala penyakit, penilaian terhadap peran sakit, kontak
dengan perawatan medis, jadi pasien, sembuh atau masa rehabilitasi. Pada setiap
tingkat setiap orang harus mengambil keputusan-keputusan dan melakukan perilakuperilaku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tingkat permulaan terdapat
tiga dimensi gejala yang menjadi pertanda adanya ketidakberesan dalam diri
seseorang, yaitu:
1. Adanya rasa sakit, kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa dialami.
2. Pengetahuan seseorang tentang gejala tersebut mendorongnya membuat
penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan akibat penyakit serta gangguan
terhadap fungsi sosialnya.
3. Perasaan terhadap gejala penyakit tersebut berupa rasa takut atau cemas.
Perlu diketahui bahwa kesimpulan yang diperoleh seseorang pada tahap
pengenalan gejala penyakit (seperti juga pada tahap-tahap lainnya), berbeda satu
sama lain. Secara teoritis, setelah tahap pengalaman gejala hingga tahap mengira
bahwa dirinya sakit, terbuka beberapa alternatif yang dapat dipilih seseorang,
misalnya menolak anggapan bahwa dirinya sakit atau mengulur waktu mencari
pertolongan medis.

Universitas Sumatera Utara

Pada saat orang mengira bahwa dirinya sakit, maka orang akan mencoba
mengurangi atau mengontrol atau mengurangi gejala tersebut melalui pengobatan
sendiri. Sementara itu pihak keluarga dan teman-teman dimintai nasehat, sistem
rujukan awam (lay-referral system) dapat mempengaruhi seseorang untuk berperan
untuk berperan sakit, sedangkan upaya mendiskusikan gejala itu dengan orang-orang
terdekat atau orang penting lainnya betujuan untuk memperoleh pengakuan yang
diperlukan agar ia mendapat kebebasan dari tuntutan dan tanggung jawab sosial
tertentu. Selanjutnya, pada saat berhubungan dengan pihak pelayanan kesehatan,
pelaksana tenaga kesehatan dapat membantu kebutuhan fisik dan psikologis pasien,
dengan jalan memberikan diagnosis dan pengobatan terhadap gejala, atau
memberikan pengesahan (legitimacy) agar pasien dibebaskan dari tuntutan-tuntutan,
tanggung jawab dan kegiatan tertentu. Seperti juga pada tahap-tahap sebelumnya,
seseorang bisa dipercaya dan menerima tindakan atau saran untuk pengobatan, dan
bisa juga menolaknya. Boleh jadi juga ia akan mencari informasi serta pendapatpendapat dari sumber pelayanan kesehatan lainnya.
Suchman (1965) memformulasikan suatu pernyataan teoritis mengenai
hubungan antara struktur sosial dan orientasi kesehatan dengan variasi respon
individu terhadap penyakit dan perawatan kesehatan. Dalam pengembangan model
ini, Suchman membahas fungsi dari berbagai faktor lain (faktor tempat, variasi respon
terhadap penyakit, perawatan kesehatan) sesuai dengan kelima tahap penyakit dan
proses perawatan kesehatan tersebut.
Struktur sosial kelompok ditentukan oleh keadaan sosial dari tiga tingkat
kelompok, yaitu tingkat komunitas, persahabatan, dan keluarga. Pada tingkat

Universitas Sumatera Utara

komunitas, derajat hubungan sosial diukur dengan kuat tidaknya rasa kesukuan, pada
tingkat sosial diukur dengan solidaritas persahabatan, dan pada tingkat keluarga
ditandai dengan kuat tidaknya orientasi terhadap tradisi dan otoritas. Ketiga dimensi
hubungan sosial tersebut dikombinasikan kedalam suatu indeks kosmopolitan
parokial struktur sosial. Parokialisme diartikan sebagai suatu keadaan sosial dimana
terdapat rasa kesukuan yang kuat, solidaritas persahatan tinggi, dan sangat
berorientasi pada tradisi dan otoritas dalam keluarga. Orientasi kesehatan seseorang
dilihat sebagai suatu kontinum yang dibedakan atas orientasi ilmiah ( bersifat
objektif, profesional, dan impersonal ) dan orientasi populer ( bersifat subjektif,
awam dan personal ), yang disesuaikan menurut tingkat pengetahuan pasien
mengenai penyakit, skeptisisme terhadap perawatan kesehatan, dan ketergantungan
seseorang akibat penyakit. Orientasi pada kesehatan populer ditandai oleh rendahnya
tingkat pengetahuan tentang penyakit (dimensi kognitif), tingginya tingkat
skeptisisme terhadap perawatan medis ( dimensi afektif ), dan tingginya tingkat
ketergantungan seseorang akibat penyakit ( dimensi perilaku ).
Suchman mengemukakan hipotesis bahwa, perilaku kesehatan yang terjadi
pada setiap tahap penyakit seperti dikemukakan di atas mencerminkan orientasi
kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok sosial. Variasi perilaku ini
mempengaruhi kemajuan setiap tahap penyakit tersebut. Misalnya, seseorang yang
berorientasi kepada kesehatan polpuler dan

cenderung pada afiliasi kelompok

parokial akan berperilaku : kurang cepat tanggap dan kurang serius terhadap bahaya
yang mungkin terjadi selama masa permulaan gejala yang dirasakan; meminta
persetujuan orang lain secara berulang-ulang untuk menyakinkan bahwa ia boleh

Universitas Sumatera Utara

meninggalkan tanggung jawab tertentu ; berusaha melakukan pengobatan sendiri


dengan obat paten atau ramuan-ramuan dan ragu bertindak pada saat ia mengetahaui
dirinya sakit; lalai dalam mencari pertolongan medis, bertukar-tukar dokter serta
sanksi terhadap diagnosis pelayanan kesehatan, selama masa kontak dengan
pelayanan medis; sulit mengatasi berbagai masalah yang timbul pada saat sakit dan
tidak sanggup menjalankan aturan perawatan medis; dan cepat meninggalkan uperan
sakit ( atau, bila ia menderita penyakit kronis ia menolak sakit berkepanjangan atau
mengabaikan rehabilitasi kesehatannya ).

2.5 Masyarakat Pak-pak


Banyak kalangan dan ahli mengelompokkan Pak-pak sebagai bagian dari sub
etnis Batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan
dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur
sosial, bahasa dan sistem kekerabatan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya, sama
seperti orang Karo, Toba, Simalungun dan Mandailing, orang Pak-pak juga menganut
sistem patrilineal. Dengan demikian klen (marga) diperhitungkan berdasarkan garis
keturunan lak-laki. bentuk perkawinan adalah eksogami marga, artinya seseorang
harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap
melanggar adat karena dikategorikan sebagai sumbang (incest) (wahyudi, dkk, 2002).
Secara geografis pun sub etnis Pak-pak berbatasan langsung dengan sub etnis
Batak lainnya. Malah beberapa nama marga dari masing-masing sub etnis hampir
sama sebutannya dan bahkan diakui berasal dari nenek moyang yang sama.
Contohnya marga : Manik Siketang (Sihotang), Lembeng (Limbong), Solin (Selian),

Universitas Sumatera Utara

Kabeaken (Habeahan) dan marga-marga lainnya. Secara teoritis kesamaan bisa terjadi
karena faktor intensitas dari proses difusi, akulturasi dan asimilasi, disamping
didukung oleh faktor geografi. Demikian juga dari segi komunitas, etnis-etnis
tersebut hidup berdampingan di wilayah Sumatera Utara (Berutu, 1998).
Namun bila mengacu kepada ciri-ciri etnis yang dikategorikan oleh
Koentjaraningrat (1990), bahwa suatu suku bangsa ditandai dengan adanya
kebudayaan tersendiri, wilayah komunitas daerah asal, adanya rasa identitias bersama
dan adanya bahasa, maka masing-masing sub etnis Batak tersebut dapat juga
dikategorikan sebagai etnis atau suku bangsa tersendiri termasuk Pak-pak.
2.5.1 Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pak-pak
Berdasarkan

dialek

dan

wilayah

persebarannya,

Pak-pak

dapat

diklasifikasikan menjadi lima bagian (Suak) besar, yakni Pak-pak Sim-sim, Pak-pak
Keppas, Pak-pak pegagan, Pak-pak Boang dan Pak-pak Kelasen (Berutu, 2002), dan
masing-masing daerah persebarannya adalah:
1. Pak-pak Sim-sim, yakni orang Pak-pak yang menetap dan memiliki hak ulayat di
wilayah Sim-sim. Misalnya marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea,
Tinendung, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik
Indonesia berada pada Kabupaten Pak-pak Bharat.
2. Pak-pak Keppas, yakni orang Pak-pak yang menetap dan berdialek Keppas.
Misalnya marga Ujung, Angkat, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam
administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi,
mencakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Tanah Pinem,
Kecamatan Sidikalang.

Universitas Sumatera Utara

3. Pak-pak Pegagan, yakni Pak-pak yang berdialek Pegagan. Misalnya marga


Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi
pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi Kecamatan
Sumbul, Pegagan Hilir dan Tiga Lingga.
4. Pak-pak Kelasen, yakni Pak-pak yang berdialek Kelasen. Misalnya marga
Tumangger, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, dan lainlain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada
Kabupaten Tapanuli Utara Kecamatan Parlilitan dan kecamatan Pakkat,
Kabupaten Tengah Kecamatan Barus.
5. Pak-pak Boang, yakni Pak-pak yang berdialek Boang. Misalnya marga Sambo,
Penarik, Sasraan dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik
Indonesia berada pada Kabupaten Aceh Selatan, Kecamatan Simpang Kiri dan
kecamatan Simpang Kanan (Berutu, 1998)
Pengakuan atas dasar identitas dan permasalahan yang nyata dihadapi, serta
menyatukan langkah untuk maju kedepan merupakan salah satu masalah besar
masyarakat ini. Friksi antar suak maupun antar agama pada dasarnya ada dalam
masyarakat. Ditambah dengan penguasaan tanah antar marga. Maka Pak-pak
dikatakan cukup sulit untuk bersatu. Hal ini juga dibarengi dengan gap atau
kesenjangan komunikasi antar rakyat dan penguasa (pemerintah, orang kaya atau
tokoh-tokoh masyarakat). Bahkan ketidak sepakatan antara pandangan mengenai
sifat-sifat antropologis dan psikologis (perilaku) Pak-pak diantara mereka cukup
tajam. Begitu pula dengan pandangan diantara mereka atas pemerintah yang selama
ini telah lebih berkuasa dibanding dengan tokoh-tokoh masyarakat adat. Situasi ini

Universitas Sumatera Utara

diperburuk oleh stereotype dan prasangka suku lain, bahkan oleh orang Pak-pak
sendiri. Keengganan memakai marga asli Pak-pak sangat umum terjadi, mengganti
marga asli dengan marga lain seperti Karo dan Toba sering dijumpai. Marga
Tumangger, Tinambunen, Anak Ampun, Maharaja, Bancin mengaku Simbolon,
marga Berutu jadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi
Sinulingga (Karo), atau Manik, mengaku manik dari Simalungun, bahkan Solin
mengaku Solihin bagi yang merantau kearah Aceh. Kalau tidak mengganti marga,
minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti bahasa Toba (wahyudi,
dkk, 2002). Kebiasaan ini bisa saja, juga terpengaruh dengan hal-hal yang lain seperti
konsep akan sehat dan sakit serta pola pencarian pengobatannya.
2.5.2 Budaya Pak-pak dalam hal Sehat Sakit
Menurut Kustander dalam Swasono (1996) menjelaskan bahwa kesehatan dan
penyakit merupakan kontruksi budaya, yang berkaitan dengan pengertian normal dan
abnormal menurut pandangan berbagai kategori individu dalam suatu kelompok
budaya. Walaupun defenisi tentang normal dan abnormal itu mengandung aspek
persamaan pada berbagai kebudayaan, misalnya mengenai batasan-batasan tentang
kemampuan normal dari tubuh dalam menjalankan fungsinya, namun kelompok
masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda mempunyai klasifikasi dan defenisi
yang berbeda pula mengenai sehat, keadaan sakit, penyakit, maupun ukuranukurannya. Karena itu sulit untuk memperoleh penerapan yang universal terhadap
ukuran kualitas dari skala kehidupan.
Menurut Sudarti dalam Sarwono (1997) Umumnya masyarakat tradisional
memandang sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya,

Universitas Sumatera Utara

tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Baik itu karena sakit akibat penyakit
yang biasa diderita masyarakat ataupun penyakit yang dianggap luar biasa dan jarang.
Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang
itu masih dikatakan sehat. Cara pandang masyarakat tentang hal seperti ini juga masih
banyak diyakini oleh masyarakat suku Pak-pak.
Untuk penyakit-penyakit yang tidak lazim misalnya penyakit yang datang
tiba-tiba, atau penyakit yang muncul kebetulan setelah mengunjungi suatu tempat,
maka dianggap sebagai penyakit karena gangguan makhlus halus (begu) atau karena
ula-ula (sihir) yang dilakukan oleh orang lain. Atau penyakit yang lama sembuhnya,
maka dianggap karena kekuatan roh. Karena kalau penyakit biasa pastilah akan cepat
sembuh. Pengobatan yang dilakukan, sesuai dengan penyakit yang di derita. Ada
dengan pengobatan ramuan tradisional yang disebut grama, seperti sinangger yang
merupakan ramuan beras yang digongseng sampai hitam ditambah dengan jahe dan
kunyit, untuk sakit kepala. Gambir yang dicampur air dan diminum untuk obat sakit
perut dan lain-lain (Gajah, 1999). Selain ramuan tradisional ada juga dengan
pengobatan kebatinan yang mana proses penyembuhannya dilakukan dengan doa dan
mantra (tabas) yang dilakukan oleh orang pintar (sipande-pande). Ada juga
pengobatan dari penggabungan kedua jenis tersebut, yaitu ramuan tradisional yang
dibacakan mantra (tabas), misalnya Ramuan pinang dan sirih yang telah di bacakan
mantra (tabas) untuk obat tetanus.
Etiologi penyakit yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib atau akibat
kesalahan tidak hanya berkenaan dengan penyakit fisik melainkan juga mengenai

Universitas Sumatera Utara

penyakit jiwa. Misalnya, menurut suku Pak-pak gila (gangguan kejiwaan) terjadi
akibat guna-guna (i bahan kalak) yang masuk kedalam tubuh seseorang sebagai
hukuman atas kesalahannya terhadap orang lain. Mirip dengan suku Jawa, penyakit
semacam itu hanya bisa diobatai oleh dukun. Selain itu ada pula anggapan bahwa gila
terjadi karena masuknya roh jahat (jin) kedalam tubuh seseorang, yang juga hanya
bisa dikeluarkan oleh dukun (Swasono, 1996).

2.6 Kerangka Pikir

Jenis kelamin
Penghasilan
Agama
Dukungan
Budaya
- Dukungan
Keluarga dan
Masyarakat

Parokial Struktur Sosial

Respon Individu
Terhadap
Penyakit
-

Umur
Pendidikan
Pengalaman
Kepercayaan

Orientasi Kesehatan
- Orientasi ilmiah
- Orientasi populer

Pola Pencarian
Pengobatan

Skema kerangka pikir diatas menggambarkan bahwa jenis kelamin,


penghasilan, agama, dukungan budaya, dukungan keluarga dan masyarakat akan
mempengaruhi parokial struktur sosial. Umur, pendidikan,

pengalaman dan

kepercayaan seseorang akan mempengaruhi orientasinya terhadap kesehatan, baik itu

Universitas Sumatera Utara

orientasi ilmiah maupun orientasi populer. Kombinasi dari parokial struktur sosial
dan orientasi kesehatan akan mempengaruhi respon individu terhadap penyakit yang
akhirnya membentuk pola pencarian pengobatan masyarakat apabila terkena
penyakit.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai