Anda di halaman 1dari 11

DAMPAK PEMAKAIAN ENERGI TERHADAP LINGKUNGAN

1. Gas Rumah Kaca


Gas rumah kaca adalah
gas

yang

ada

gas-

di atmosfer yang

menyebabkan efek rumah kaca. Gasgas tersebut sebenarnya muncul secara


alami di lingkungan, tetapi dapat juga
timbul akibat aktivitas manusia.
Gas rumah kaca yang paling banyak
adalah uap air yang mencapai atmosfer
akibat

penguapan

air

dari laut, danau dan sungai.Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua.


Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan
hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan
karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan).
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan
diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis
memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta
mengambil atom karbonnya.

Uap air
Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan
bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca.
Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktivitas manusia
tidak secara langsung memengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada
skala lokal.
Dalam model
disebabkan

iklim,

efek

menyebabkan

rumah

meningkatnya
kaca

meningkatnya

akibat

temperatur
gas-gas

kandungan

uap

atmosfer

yang

antropogenik

akan

air

di troposfer,

dengankelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi


uap

air

mengakibatkan

meningkatnya

efek

rumah

kaca;

yang

mengakibatkan

meningkatnya

temperatur;

dan

kembali

semakin

meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan


sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap
air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan
manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2. Perubahan
dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung
melalui terbentuknya awan.

Karbondioksida
Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke
atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan
kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan
menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang
mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan
hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian.
Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi
karbondioksida

di

atmosfer,

aktivitas

manusia

yang

melepaskan

karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk


menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida
pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi
karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika
prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai
konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah
memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila
dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

Metana
Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk
gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap
panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana
dilepaskan

selama

produksi

dan

transportasi batu

bara, gas

alam,

dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah


organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan
oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari

pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat.

Nitrogen Oksida
Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia
dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan
pertanian. Ntrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar
dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila
dibandingkan masa pre-industri.

Gas lainnya
Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur.
Campuran

berflourinasi

dihasilkan

peleburan alumunium.Hidrofluorokarbon (HCFC-22)

dari

terbentuk

selama

manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan


(furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa
negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai
media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga
mengurangi

lapisan ozon (lapisan

radiasi ultraviolet).

Selama

masa

yang
abad

melindungi
ke-20,

Bumi

gas-gas

ini

dari
telah

terakumulasi di atmosfer, tetapi sejak 1995, untuk mengikuti peraturan


yang ditetapkan dalam Protokol Montreal tentang Substansi-substansi
yang Menipiskan Lapisan Ozon, konsentrasi gas-gas ini mulai makin
sedikit dilepas ke udara.
Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang
dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan. Pada tahun 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru
yang

meningkat

secara

substansial

di

atmosfer.

Bahan

tersebut

adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer


meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka
di atmosfer tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari

gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini
sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.

2. Pemanasan Global
Pemanasan global

adalah

suatu

proses

meningkatnya

suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.


Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74
0.18 C (1.33 0.32 F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan

suhu

rata-rata

global

sejak

pertengahan

abad

ke-20

kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas


rumah

kaca akibat

aktivitas

manusia"

melalui efek

rumah

kaca.

Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah


dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negaranegara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwanyang tidak
setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan

global

akan

meningkat 1.1

hingga

6.4 C (2.0

hingga

11.5 F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu
disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi
gas-gas

rumah

kaca

pada

masa

mendatang,

serta

model-model

sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian


terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air
laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun
walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan
besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya

suhu

global

diperkirakan

akan

menyebabkan

perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut,


meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan
jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain

adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya


berbagai jenis hewan.
Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai
jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan
bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut
akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini
masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika
ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan
pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensikonsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di
dunia

telah

menandatangani

dan

meratifikasi Protokol

Kyoto,

yang

mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Efek umpan balik


Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai
proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada
penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas
rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan
lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri
merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan
menambah

jumlah

uap

air

di

udara

sampai

tercapainya

suatu

kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya


lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO 2 sendiri. (Walaupun
umpan

balik

ini

meningkatkan

kandungan

air

absolut

di

udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak


menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya
berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang
di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek
penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan
kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan

efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan
memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa,
sehingga

meningkatkan

efek

pendinginan.

Apakah

efek

netto-nya

menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa


detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detaildetail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena
awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas
komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk
model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila
dibandingkan

dengan

umpan

balik

uap

air

dan

dianggap

positif

(menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam


Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan

balik

penting

lainnya

adalah

hilangnya

kemampuan

memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika suhu global meningkat, es


yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus
meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air
di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan
memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan
menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang
mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi
terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas
CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada
zona

mesopelagic

sehingga

pertumbuhan diatom daripada fitoplankton


karbon yang rendah.

membatasi

yang merupakan penyerap

Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari,
dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat
memberi

kontribusi

dalam

pemanasan

saat

ini. Perbedaan

antara

mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah


meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya
efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer
bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak
akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan
saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan
tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.)
Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung
berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri
hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi
Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan
dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah
berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama
periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.
Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan
pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas
rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga
mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol
sulfat

juga

telah

dipandang

remeh.

Walaupun

demikian,

mereka

menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim


terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang
terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah
kaca.
Pada

tahun

2006,

sebuah

tim

ilmuwan

dari Amerika

Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan


adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun

terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar


0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini
terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.

Sebuah

penelitian oleh Lockwood dan Frhlich menemukan bahwa tidak ada


hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun
1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam
sinar kosmis.

3. Hujan Asam
Hujan asam

diartikan

sebagai

segala macam hujan dengan pH di bawah


5,6. Hujan secara alami bersifat asam (pH
sedikit
di
bawah
6)
karena karbondioksida (CO2)
di udara yang larut dengan air hujan
memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat
bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang
dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan
pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi
dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat
ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam
sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air
hujan. Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman
tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan
dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang gencar
dilaksanakan.
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung
berapi dan dari proses biologis di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi,
mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik
pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh
proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer
sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah.

Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang


penting di Republik Rakyat Cina, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di
arahan anginnya. Hujan asam dari pembangkit tenaga listrik di Amerika
Serikat bagian Barat telah merusak hutan-hutan diNew York dan New
England. Pembangkit tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara
sebagai bahan bakarnya.
Bukti terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisis es
kutub. Terlihat turunnya kadar pH sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6
menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain diperoleh dari organisme yang dikenal
sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah bertahun-tahun,
organisme-organisme yang mati akan mengendap dalam lapisan-lapisan
sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan meningkat pada pH
tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar kolam akan
memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke
masing-masing lapisan tersebut.
Sejak dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan
nitrogen oksida ke atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan
bahan bakar fosil, terutama batu bara, merupakan sumber utama
meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri kadangkadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini,
ditambah oleh transportasi, merupakan penyumbang-penyumbang utama
hujan asam.
Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan
pertumbuhan populasi dan industri tetapi telah berkembang menjadi lebih
luas.
Penggunaan
cerobong asap yang
tinggi
untuk
mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam,
karena emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara
regional yang memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali, hujan asam
terjadi di daerah yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana
daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak karena
tingginya curah hujan di sini.
Terdapat hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan
berkurangnya populasi ikan di danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak
memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi
akan membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan
menghambat produksi enzim dari larva ikan trout untuk keluar dari
telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperialumunium di danau.

Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan mengeluarkan lendir


berlebihan
di
sekitar insangnya sehingga
ikan
sulit
bernapas.
Pertumbuhan Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga
dihambat oleh tingginya kadar pH.
Tanaman dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara.
Lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga
tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga.
Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa
diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang.
Ion-ion beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman
yang besar bagi manusia. Tembaga di air berdampak pada timbulnya
wabah diare pada anak dan air tercemar alumunium dapat menyebabkan
penyakit Alzheimer.

4. Kabut Asap (smog)


Asbut,

istilah adaptasi dari bahasa

Inggris smog (smoke and fog), adalah


kasus pencemaran udara berat yang bisa
terjadi berhari-hari hingga hitungan bulan.
Di bawah keadaan cuaca yang menghalang
sirkulasi udara, asbut bisa menutupi suatu
kawasan dalam waktu yang lama, seperti
kasus
di London, Los
Angeles, Athena, Beijing, Hong
Kong atau Ruhr
Area dan
terus
menumpuk
membahayakan.

hingga

berakibat

Perkataan "asbut" adalah singkatan dari "asap" dan "kabut", walaupun


pada perkembangan selanjutnya asbut tidak harus memiliki salah satu
komponen kabut atau asap. Asbut juga sering dikaitkan dengan
pencemaran udara.
Istilah "smog" pertama kali dikemukakan oleh Dr. Henry Antoine Des
Voeux pada tahun 1950 dalam karya ilmiahnya "Fog and Smoke", dalam
pertemuan di Public Health Congress. Pada 26 Juli 2005, surat kabar
London, Daily Graphic mengutip istilah ini [H]e said it required no science
to see that there was something produced in great cities which was not
found in the country, and that was smoky fog, or what was known as
smog. (Dr Henry Antoine Des Voeux menyatakan bahwa sebenarnya

tidak diperlukan pengetahuan ilmiah apapun untuk mendeteksi


keberadaan sesuatu yang telah diproduksi di kota besar tetapi tidak
ditemukan di perkampungan, yaitu "smoky fog" (kabut bersifat asap),
atau disebut juga dengan smog (asbut). Hari berikutnya surat kabar
tersebut kembali memberitakan Dr. Des Voeux did a public service in
coining a new word for the London fog (Dr. Des Voeux menjalankan tugas
pelayanan masyarakatnya dengan memperkenalkan istilah baru, asbut).

Anda mungkin juga menyukai