Anda di halaman 1dari 97

Jurnal

ISSN 1410-7244
13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006

TANAH DAN IKLIM


Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 28, Desember 2008
Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari Batuan
Sedimen Masam di Provinsi Riau
N. Suharta dan B.H. Prasetyo
Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan
Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman
Enni D. Wahjunie, O. Haridjaja, Soedodo H., dan Sudarsono
Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi
Rehabilitasinya
Achmad Rachman, Deddy Erfandi, dan M. Nasil Ali
Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi
Tradisional
Sukristiyonubowo
Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah pada
Tanah Kaolinitik dan Smektitik
M. Masjkur dan A. Kasno
Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah,
Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang
Didominasi Smektit
D. Nursyamsi, K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim, dan A. Sofyan
Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di
Indonesia
E. Surmaini dan E. Susanti

Departemen Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN

ISSN 1410-7244

Jurnal
Tanah dan Iklim
Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 28, Desember 2008
Terakreditasi berdasarkan Keputusan
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia No. 1417/D/2006
Ketua pengarah :
Kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian
Ketua penyunting :
Le Istiqlal Amien
Anggota penyunting :
Abdurachman Adimihardja
Diah Setyorini
D. Subardja
Kasdi Subagyono
Kusumo Nugroho
Santun R.P. Sitorus
Sudarsono
Penyunting pelaksana :
Karmini Gandasasmita
Rizatus Shofiyati
Yiyi Sulaeman
Widhya Adhy
Mitra bestari :
Supiandi Sabiham
A.M. Fagi
Suyamto Hardjosuwirjo
Penerbit :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian
Alamat redaksi :
Jl. Ir. H.Juanda No. 98 Bogor 16123
Telp. (0251) 8323012
Fax (0251) 8311256
e-mail : csar@indosat.net.id
www.soil-climate.or.id
Frekuensi terbit :
Setahun dua kali

Dari Redaksi
Jurnal Tanah dan Iklim Edisi No. 28 tahun 2008
mengetengahkan 7 judul tulisan yang ditulis oleh
peneliti dari bidang tanah dan iklim dari lembaga
penelitian dan perguruan tinggi. Dalam edisi ini, topiktopik yang diketengahkan yaitu mengenai: Susunan
Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan
dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau;
Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori
Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi
Tanaman; Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah
Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya;
Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah
Berteras Dengan Irigasi Tradisional; Korelasi Beberapa
Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah
pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik; Pengaruh Asam
Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K
Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi
Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit;
dan Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap
Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia.
Untuk memperkaya khasanah keilmuan di bidang
tanah dan iklim, Redaksi mengharapkan partisipasi para
pembaca untuk memberikan kontribusi dengan
mengirimkan tulisan, komentar, dan saran ke Jurnal
Tanah dan Iklim. Sejak tahun 2007, Jurnal Tanah dan
Iklim terbit dua kali setahun, dalam bulan Juli dan
Desember. Redaksi juga mengajak pembaca sekalian
untuk turut menyebarluaskan hasil penelitiannya melalui
jurnal ini sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang
ilmu tanah dan agroklimat. Semoga informasi yang
kami sajikan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi
peningkatan pemahaman kita tentang sumberdaya
tanah dan iklim sehingga dapat dipergunakan dengan
baik.
Bogor, Desember 2008

Redaksi

Jurnal Tanah dan Iklim


Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 28, Desember 2008

DAFTAR ISI
Halaman
Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari
Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau
N. Suharta dan B.H. Prasetyo ...............................................................

Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan


Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman
Enni D. Wahjunie, O. Haridjaja, Soedodo H., dan Sudarsono .....................

15

Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi


Rehabilitasinya
Achmad Rachman, Deddy erfandi, dan M. Nasil Ali .................................

27

Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi
Tradisional
Sukristiyonubowo ...............................................................................

39

Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah
pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik
M. Masjkur dan A. Kasno ....................................................................

55

Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K


Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanahtanah yang Didominasi Smektit
D. Nursyamsi, K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim, dan A. Sofyan ..............

69

Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di


Indonesia
Elza Surmaini dan Erni Susanti ..............................................................

83

Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan


dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau
Mineralogical Composition and Physico-chemical Characteristic of Forest Land Soil
Developed from Acid Sedimentary Rocks in Riau Province
N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO1

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian tanaman
pangan sering dibatasi oleh menurunnya secara drastis sifat dan
karakteristik tanah setelah digunakan selama 2 atau 3 tahun.
Hilangnya bahan organik di lapisan atas melalui proses
mineralisasi maupun erosi merupakan penyebab utama
menurunnya kesuburan tanah. Untuk mempelajari sifat dan
karakteristik tanah sebagai dasar pemanfaatannya untuk tanaman
pertanian telah dilakukan studi pada tanah bervegetasi hutan dari
batuan sedimen masam di Provinsi Riau. Hasil penelitian
menunjukkan bahan induk tanah sangat berpengaruh terhadap
susunan mineralogi, sifat fisik, dan sifat kimia tanahnya. Tanah
dari batuan sedimen masam di daerah penelitian tergolong
berpelapukan lanjut dicirikan oleh dominasi mineral kaolinit
dengan cadangan mineral sangat rendah. Sifat kimia tanah
berbahan induk batuliat lebih baik dibandingkan tanah berbahan
induk batupasir seperti diperlihatkan oleh kandungan basa-basa
dapat tukar, kapasitas tukar kation, dan K potensial yang lebih
tinggi, akan tetapi dibatasi oleh kandungan Aldd yang tinggi. Sifat
fisik menunjukkan, tanah rentan terhadap erosi dan pemadatan.
Oleh karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian atau
tanaman hutan, mensyaratkan perlunya tindakan konservasi
tanah dan menghindari daerah berlereng (>8%) khususnya untuk
tanaman pangan, selain perlunya meningkatkan kesuburan tanah
melalui pemupukan. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi
lahan pertanian, selain meningkatkan proses mineralisasi bahan
organik, juga memutus siklus biologi yang berpengaruh terhadap
menurunnya kesuburan tanah.
Kata kunci: Hutan, Batuan sedimen masam, Batuliat, Batupasir,
Siklus biologi, Bahan organik

ABSTRACT
Exploitation forest land for food crops agricultural use
often limited by drastically change of soil properties and soil
characteristics after two or three years of usage. The loose of
organic matter through mineralization processes and erosion is
causal factor for decreasing fertility of the soils. To study soil
properties and soil characteristics as foundation for agricultural
use, the forest land derived from sedimentary rock in Riau
Province have been studied. The Research result indicates that
parent material has great influence on mineral composition,
physical and chemical properties of the soils. Soil from
sedimentary rock in the study area were very developed,
indicated by domination of kaolinite and very low of mineral
reserve. Soils derived from claystone have better chemical
properties compare to soil derived from sandstone as shown by
exchangeable bases, cation exchange capacity, and potential K,
but limited by highly Al exchangeable. The physical properties of

ISSN 1410 7244

the soils indicate that the soil is susceptible for erosion and
compaction. For that reasons, the exploitation of forest land for
agriculturing or forest plantation use need soil conservation
practices, avoid the slopping area (>8%) especially for food
plantation, and fertilizer. Changing the forest land to agricultural
land not only increase mineralization of organic matter but also
interrupt biological cycles that influential on decreasing soil
fertility.
Keywords : Forest, Acid sedimentary rocks, Claystone,
Sandstone, Biological cycles, Organic matter

PENDAHULUAN
Tanah hutan atau tanah dengan vegetasi
tanaman hutan, dapat terbentuk dari berbagai
macam bahan induk tanah yaitu bahan volkan,
bahan sedimen, ataupun dari bahan aluvium baik
organik maupun mineral. Salah satu bahan induk
pembentuk tanah tersebut di Indonesia adalah
batuan
sedimen
masam.
Suharta
(2007)
mengemukakan bahwa tanah-tanah yang terbentuk
dari batuan sedimen masam dicirikan oleh sifat-sifat
yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman yaitu reaksi tanah masam, kandungan hara
dan basa-basa yang dapat dipertukarkan rendah,
kejenuhan basa rendah, akan tetapi kejenuhan
aluminium tinggi. Driessen (1976) menunjukkan
bahwa kesuburan tanah hutan dari batuan sedimen
masam sangat tergantung pada lapisan permukaan
tanah yang relatif lebih kaya akan bahan organik
dibandingkan
dengan
lapisan
di bawahnya.
Selanjutnya dikemukakan, pemanfaatan lahan hutan
untuk pertanian tanaman pangan sering dibatasi oleh
menurunnya kesuburan tanah lapisan atas secara
drastis. Oleh karena itu, pemanfaatannya hanya satu
atau dua kali tanam dan setelah itu ditinggalkan.
1. Peneliti pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, Bogor.

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Adanya proses siklus biologi pada tanah bervegetasi


hutan telah ditunjukkan oleh Quideau et al. (1999)
yang mampu mempertahankan kesuburan tanah
lapisan atas, mengurangi proses mineralisasi bahan
organik, dan mengurangi run off atau bahaya erosi.
Chen et al. (2004), Fraga dan Salcedo (2004), Wu
dan
Tiessen
(2002),
menunjukkan
bahwa
pengelolaan lahan akan berpengaruh terhadap
kuantitas dan kualitas bahan organik tanahnya. Oleh
karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman
pertanian yang mempunyai karakteristik berbeda
dengan tanaman hutan, perlu mempertimbangkan
sifat dan karakteristik tanahnya sebagai dasar untuk
menetapkan teknik pengelolaannya.
Makalah ini bertujuan untuk mengemukakan
sifat dan karakteristik tanah hutan sebagai dasar
pemanfaatannya baik untuk tanaman hutan maupun
tanaman pertanian, terutama tanaman pangan
semusim berakar dangkal.

BAHAN DAN METODE


Bahan
Tujuh buah pedon yang terdiri atas empat
pedon bervegetasi hutan alami dan tiga pedon
bervegetasi hutan tanaman industri (HTI) jenis
Acacia mangium di Kabupaten Kuantan Sengingi,
Provinsi Riau telah dibuat di lapangan. Sebanyak 37
contoh tanah telah diambil dari setiap horizon pada
ketujuh

pedon

tersebut

untuk

dianalisis

di

laboratorium. Tanah-tanah yang diteliti berkembang

dari batuan sedimen masam batupasir dan batuliat,


dan telah diklasifikasikan berdasarkan Taksonomi
Tanah (Soil Survey Staff, 2003) sebagai Typic
Kandiudults,

Acrudoxic

Kandiudults,

dan

Typic

Hapludults (Tabel 1).


Daerah penelitian dicirikan oleh tipe hujan A
(Schmidt and Ferguson, 1951) yang menunjukkan
bahwa di daerah penelitian tidak terdapat bulan
kering yang nyata atau distribusi curah hujan merata
sepanjang tahun. Terletak pada ketinggian antara 70
hingga 127 m dpl, pada landform tektonik dengan
bentuk wilayah berombak sampai bergelombang.
Formasi geologi daerah ini tersusun dari formasi
Palembang Tengah terdiri atas batupasir dan batuliat
dan pada beberapa tempat tersusun dari batuliat
berpasir (Silitonga and Kastowo, 1995; Suwarna et
al., 1991).
Metode
Penelitian di lapangan meliputi pengamatan
sifat morfologi berdasarkan petunjuk dalam Guideline
for Soil Profile Description (FAO, 1990). Analisis
sifat kimia tanah telah dilaksanakan di laboratorium
tanah Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau. Sedangkan
analisis sifat fisik tanah, penetapan susunan
mineralogi fraksi pasir dan liat, dilakukan di
laboratorium
Balai
Besar
Penelitian
dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian di
Bogor.
Susunan mineral fraksi pasir ditetapkan
dengan metode line counting, dihitung hingga 100

Tabel 1. Lokasi dan informasi dari tujuh pedon yang diteliti


Table 1. Location and information of seven pedons investigated
Pedon

Ketinggian

HP.14
MD.61
EY.44
HP.24
UG.194
UY.110
DD.232

m dpl
127
120
126
70
79
93
119

Lokasi geografi
10105921
10105841
10105244
10104628
10105800
10200640
10102800

BT
BT
BT
BT
BT
BT
BT

dan
dan
dan
dan
dan
dan
dan

002327
004511
002148
004227
002157
004447
000459

Klasifikasi tanah*)
LS
LS
LS
LS
LS
LS
LS

Typic Kandiudults
Typic Kandiudults
Typic Kandiudults
Acrudoxic Kandiudults
Acrudoxic Kandiudults
Typic Hapludults
Typic Hapludults

*) Soil Survey Staff (2003); **) HTI = Hutan Tanaman Industri (Acacia mangium)

Lereng
%
3
6
14
20
8
23
28

Bahan
induk

Penggunaan
lahan

Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batuliat
Batuliat

HTI**
Hutan alam
HTI
Hutan alam
Hutan alam
Hutan alam
HTI

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

butir menggunakan mikroskop polarisasi. Sedangkan


susunan mineral fraksi liat ditetapkan dengan alat
Difraktometer Sinar-X, model PW 1130. Analisis
sifat fisik tanah meliputi penetapan tekstur 4 fraksi
(metode pipet), berat isi, pori drainase, pori air
tersedia, pori total, permeabilitas dan stabilitas
agregat. Sedangkan analisis sifat kimia tanah
meliputi pH (H2O), C-organik (Walkey and Black), P
dan K potensial (HCl 25%), susunan kation,
kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa (NH4OAc
1 N pH 7,0), dan kemasaman terekstrak aluminium
(KCl 1N). Prosedur analisis tanah mengacu pada Soil
Survey Laboratory Methods Manual (Soil Survey
Laboratory Staff, 1992). Analisis statistik sederhana
menggunakan program Excel, sedangkan penetapan
sifat kimia tanah horizon A dan Bt/Bto dilakukan
dengan cara pembobotan menggunakan parameter
kedalaman tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat morfologi
Pedon-pedon yang diteliti mempunyai solum
dalam. Tanah dari bahan induk batupasir mempunyai
ketebalan solum >150 cm, sedangkan tanah dari
batuliat <150 cm (Tabel 2). Ketebalan horizon A
dari semua pedon yang diteliti bervariasi antara 9
hingga 13 cm. Warna tanah coklat tua kekuningan
hingga coklat tua kekelabuan. Struktur tanah gumpal
agak bersudut dan kersai dengan konsistensi teguh
hingga gembur atau lepas.
Horizon B mempunyai ketebalan antara 97
hingga lebih dari 150 cm. Dibandingkan dengan
horizon A, warna tanah pada horizon B lebih kuning
atau merah, yaitu berwarna kuning kecoklatan atau
kemerahan hingga coklat kuat. Struktur tanah
gumpal agak bersudut yang bila diremas pecah

Tabel 2. Beberapa karakteristik morfologi dari pedon-pedon yang diteliti


Table 2. Some morphological characteristics of pedons studied
Pedon

Horizon

Tebal
cm

Warna

Tekstur

Struktur

Konsistensi

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults


HP.14
A
9
ydb (10 YR 3/4)
Bto
>151
by (10 YR 6/6)
MD.61
A
9
ydb (10 YR 4/4
Bto
>141
sb (7,5 YR 5/8)
EY.44
A
10
vdgb (10 YR 3/2)
Bto
>140
yb-sb (10 YR 5/6-7,5 YR 5/8)

SCL
SCL
SCL
C
SL
SCL

m sb
m sb > f g
fg
m sb > f g
fg
m sb

t,
t,
f,
t,
f,
t,

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults


HP.24
A
13
gdb-db (10 YR 3/2-4/3)
Bto
>137
yb-by (10 YR 5/4-6/6)
UG.194
A
12
db (10 YR 3/3)
Bto
>138
yb (10 YR 5/6)

LS-SL
SL
SL
SCL

vf sb
m sb > f g
fg
m sb > f sb

f, so/po
f, ss/sp
vf, so/po
f-t, ss/sp

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults


UY.110
A
13
db (10 YR 4/3)
Bt
97
yb-sb (10 YR 5/6-7,5 YR 5/6)
DD.232
A
11
vdgb (10 YR 3/2)
Bt
114
yb-ry (10 YR 5/6-5 YR 6/6)

C
C
SL-SCL
C

f sb
m sb > f sb
fg
m sb > f sb

f,
t,
f,
t,

ss/sp
ss/sp
ss/sp
s/p
ss/po
ss/sp

s/p
s/p
ss/sp
s/p

Keterangan :
Warna
: yb = coklat kekuningan; by = kuning kecoklatan; ydb = coklat tua kekuningan; gdb = coklat tua
kekelabuan; db = coklat tua; vdgb = coklat sangat tua kekelabuan; sb = coklat kuat; ry = kuning
kemerahan.
Tekstur
: C = liat; SCL = lempung liat berpasir; SL = lempung berpasir; LS = pasir berlempung.
Struktur
: m = medium; vf = sangat halus; sb = gumpal agak bersudut; g = granuler atau kersai; f = halus;
Konsistensi : t = teguh; f = gembur; s = lekat; ss = agak lekat; so = tidak lekat; sp = agak plastis; p = plastis

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

menjadi kersai dengan konsistensi agak teguh


hingga gembur. Struktur demikian sangat sesuai
untuk perkembangan perakaran tanaman lahan
kering berakar dalam. Bentuk struktur kersai pada
horizon Bt atau Bto merupakan satu indikasi bahwa
tanah telah mengalami pelapukan lanjut seperti
ditunjukkan oleh sifat kimia tanah yang miskin basabasa.

Susunan mineral fraksi liat

Hasil analisis susunan mineral fraksi liat dari


tujuh pedon yang diteliti disajikan pada Tabel 4 dan
contoh difraktogramnya disajikan pada Gambar 1.
Kaolinit mendominasi susunan mineral liat, diikuti
oleh kuarsa dan sedikit vermikulit, illit, smektit, dan
goetit. Kelas mineralogi dari pedon yang diteliti
tergolong kaolinitik. Susunan mineral liat demikian

Komposisi mineral

menunjukkan tingginya intensitas pelapukan dan


pencucian basa-basa serta pembebasan Al dan Fe

Susunan mineral fraksi pasir

dari mineral liat ke dalam larutan tanah.

Hasil analisis mineral fraksi pasir (Tabel 3)


menunjukkan, dari ke lima pedon yang diteliti kuarsa
dan opak mendominasi susunan mineral. Sedangkan
mineral mudah lapuk antara lain ortoklas, sanidin,
dan muskovit sangat sedikit. Demikian juga untuk
mineral lainnya yaitu limonit, mineral lapukan,
fragmen batuan, dan turmalin juga sangat sedikit.
Susunan mineral fraksi pasir demikian menunjukkan
tanah telah mengalami pelapukan lanjut. Mineral
fraksi pasir pada tanah berbahan induk batupasir
mempunyai kandungan kuarsa yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanah berbahan induk batuliat.
Rendahnya kandungan mineral mudah lapuk
baik pada tanah berbahan induk batuliat maupun
batupasir, menunjukkan bahwa cadangan sumber
hara mineral sangat rendah. Dengan demikian, untuk
mendapatkan nutrisi yang baik bagi pertumbuhan
tanaman, sangat diperlukan adanya penambahan
hara dari luar antara lain melalui pemupukan.

Kaolinit dengan nilai difraksi sekitar 7,1 A0


terdapat dalam jumlah dominan di seluruh pedon
yang diteliti. Perbedaan susunan mineral antar pedon
yang diteliti adalah mineral lainnya. Pada tanah
berbahan induk batupasir, kaolinit disertai oleh
vermikulit dengan kuarsa atau goetit, sedangkan
tanah dari batuliat, kaolinit disertai kuarsa dengan
illit atau smektit. Terdapatnya mineral vermikulit,
illit, dan smektit, sejalan dengan hasil analisis
susunan mineral fraksi pasir yang menunjukkan
adanya mika (muskovit) walaupun dalam jumlah
sangat sedikit. Mika adalah salah satu mineral
primer

yang

menghasilkan

dalam
illit,

proses

pelapukannya

vermikulit,

atau

lingkungannya.

Dalam

lingkungan

masam

Zr

intensif dengan sekuen pelapukan mika illit

Qz

Lm

Ze

Wm

Rf

Or

Sn

Mk

Tr

Tanah dari bahan induk batupasir


98
sp
1
HP.14
93
sp
5
HP.24
85
sp
6
MD.61
96
1
2
UG.194

sp
1
sp
sp

sp
-

sp
sp
sp
sp

1
1
9
1

sp
-

sp
sp
sp
sp

sp
sp
sp
sp

Tanah dari bahan induk batuliat


UY.110
6
1
73

sp

18

sp

sp

sp

sp

Keterangan : Op = opak; Zr = zircon; Qz = kuarsa; Lm = limonit; Ze = zeolit; Wm = mineral lapukan; Rf


= Fragmen batuan; Or = ortoklas; Sn = sanidin; Mk = muskovit; Tr = turmalin; sp = sangat sedikit (<1%).

mika

bersifat tidak stabil dan akan mengalami pelapukan

Table 3. Mineral composition of total sand fraction


Op

smektit

tergantung dari tingkat pelapukan atau kondisi

Tabel 3. Susunan mineral fraksi pasir total


Pedon

akan

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Tabel 4. Susunan mineral fraksi liat


Table 4. Mineral composition of clay fractions
Pedon

Kaolinit

Illit

Tanah dari bahan induk batupasir


++++
HP.14
++++
HP.24
++++
MD.61
++++
EY.44
++++
UG.194

Vermikulit

Smektit

+
++
++
+

+
(+)
+
+
+

Tanah dari bahan induk batuliat


UY.110
+++
DD.232
++++
(+)

Kuarsa

Goetit

Kelas mineralogi

(+)
(+)

Kaolinitik
Kaolinitik
Kaolinitik
Kaolinitik
Kaolinitik

+
++

Kaolinitik
Kaolinitik

Keterangan : ++++ = dominan; +++ = banyak; ++ = cukup; + = sedikit; (+) = sangat sedikit

Gambar1. Difraktogram X-Ray dari contoh MD 61/III


Figure 1.

X-Ray difractogram of sample MD 61/III

vermikulit kaolinit, sedangkan dalam lingkungan


lebih basa akan terbentuk sekuen pelapukan mika
illit smektit kaolinit (Loughnan, 1969). Kaolinit
yang dijumpai dalam jumlah dominan di seluruh
pedon yang diteliti, diduga berasal dari feldspar atau
hasil lapukan mika.
Sifat fisik
Tekstur

Hasil analisis besar butir menunjukkan tekstur


tanah untuk pedon dari batuliat adalah liat, dan dari

batupasir adalah lempung liat berpasir (liat hingga


lempung berpasir). Kandungan pasir dari pedon
berbahan induk batupasir berkisar antara 54 hingga
76%, sedangkan kandungan pasir dari pedon
berbahan induk batuliat berkisar antara 10 hingga
39%. Sebaliknya kandungan liat dari pedon
berbahan induk batupasir berkisar dari 8 hingga
35%, dan yang berbahan induk batuliat berkisar
antara 38 hingga 63%. Kondisi ini menunjukkan
bahwa tekstur tanah sangat dipengaruhi oleh jenis
bahan
induk
tanah.
Bahan
induk
batuliat
menghasilkan tanah dengan kandungan liat tinggi,
5

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 5. Beberapa sifat fisik pedon-pedon dari bahan induk batupasir


Table 5. Some physical properties of pedons from sandstone

HP.14

A
B

1,54
1,46

2,46
2,55

Pori drainase
Air tersedia
Cepat
Lambat
% volume
37,0
8,0
4,8
8,5
42,7
12,6
4,7
8,2

HP.24

A
B

1,21
1,41

2,53
2,60

52,0
45,7

26,0
19,2

4,0
4,5

11,4
6,7

9,09
2,93

42
54

EY.44

A
B

1,20
1,17

2,39
2,65

49,8
55,9

23,8
28,9

3,8
4,0

11,0
9,4

9,46
3,62

40
142

Pedon

Horizon

BI

PD
-1

g cc

RPT

Permeabilitas

Stabilitas agregat

cm jam-1
0,20
1,10

indeks
100
51

Keterangan : BI = berat isi (bulk density); PD = berat partikel (particle density); RPT = ruang pori total (total pore
space); Stab.agr = stabilitas agregat (agregat stability); Lapisan A = atas dan B = bawah.

sedangkan batupasir menghasilkan tanah dengan


kandungan pasir tinggi.
Berat isi dan berat partikel

Berat isi dari pedon yang diteliti (Tabel 5)


tergolong tinggi berkisar antara 1,20 hingga 1,54 di
lapisan atas dan 1,17 hingga 1,46 di lapisan bawah.
Tingginya nilai berat isi dari pedon yang diteliti
merupakan salah satu karakteristik tanah-tanah dari
batuan sedimen masam yang menunjukkan indikasi
tingkat kepadatan tanah dan rendahnya kandungan
bahan
organik.
Pedon
HP.14
dan
EY.44
memperlihatkan nilai berat isi di lapisan atas lebih
tinggi daripada di lapisan bawah, sedangkan pedon
HP.24 memperlihatkan hal sebaliknya. Tingginya
nilai berat isi di lapisan atas diakibatkan oleh adanya
pemadatan
pada
waktu
pengolahan
lahan
menggunakan alat berat. Secara morfologis adanya
pemadatan ditunjukkan oleh bercak karatan
berwarna kelabu dan kuning kecoklatan sebagai
akibat proses oksidasi dan reduksi. Proses ini terjadi
karena terganggunya pergerakan air dan sirkulasi
udara di dalam penampang tanah.
Pemadatan dapat berpengaruh terhadap sifat
fisik, kimia dan biologi tanah, serta diduga sebagai
salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan
pertanian. Faktor yang berpengaruh terhadap
pemadatan tanah adalah tekstur, kandungan liat,
susunan mineralogi liat, kelembaban tanah, berat isi,

dan kandungan bahan organik (Imhoff et al., 2004).


Nilai berat partikel (particle density) berkisar
antara 2,39 hingga 2,53 untuk lapisan atas dan
2,55 hingga 2,65 untuk lapisan bawah. Nilai berat
partikel di lapisan atas lebih rendah daripada di
lapisan bawah, akan tetapi baik lapisan atas maupun
lapisan bawah, keduanya mempunyai nilai berat
partikel tergolong tinggi.
Ruang pori tanah

Hasil penetapan ruang pori total tergolong


rendah sampai sedang. Ruang pori total pada
horizon A bervariasi dari 37 hingga 52%, sedangkan
pada horizon B bervariasi antara 43 hingga 56%.
Rendahnya ruang pori total pada horizon A pedon
HP.14, berkaitan erat dengan adanya pemadatan
tanah. Sebagai perbandingan, tanah Oxisols dari
daerah Sanggauledo, Provinsi Kalimantan Barat yang
berkembang dari bahan basaltik, mempunyai ruang
pori total lebih dari 65% volume, baik horizon A
maupun B (Suharta et al., 1995).
Hasil penetapan pori aerase tanah atau pori
drainase cepat menunjukkan, pori aerase berkisar
antara 8,0-28,9% yaitu tergolong rendah sampai
tinggi. Pedon HP.24 dan EY.44 mempunyai pori
aerase tergolong tinggi, yang berarti tanah tergolong
baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering.
Sedangkan HP.14 rendah di lapisan atas karena

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

pemadatan dan sedang di lapisan bawah.


Rendahnya pori aerase pada pedon tersebut sejalan
dengan tingginya berat isi. Peningkatan pori aerase
dapat dilakukan antara lain melalui penambahan
bahan organik, pengolahan tanah pada kapasitas
lapang, atau secara vegetatif dengan menanam
tanaman berakar dalam.
Hasil penetapan pori drainase lambat tergolong
rendah (<5%), baik pada horizon A maupun horizon
B. Hal tersebut menjelaskan bahwa tanah mudah
melepaskan air atau tanah berdrainase baik,
sehingga sesuai untuk tanaman lahan kering.
Hasil penetapan pori air tersedia menunjukkan
horizon A lebih tinggi dibandingkan dengan horizon
B. Hal ini terjadi karena bahan organik pada horizon
A lebih tinggi daripada horizon B. Pori air tersedia
pada horizon A berkisar antara 8,5 hingga 11,4
tergolong rendah sampai sedang, sedangkan pada
horizon B berkisar antara 6,7 hingga 9,4 tergolong
rendah. Khusus untuk pedon HP.14, baik pada
horizon A yang mengalami pemadatan maupun
horizo B, pori air tersedia tergolong rendah. Tanah
dengan pori air tersedia demikian menunjukkan
tanah mudah mengalami kekeringan. Akan tetapi
curah hujan yang tinggi dengan distribusi hampir
merata sepanjang tahun, merupakan keuntungan
bagi pertumbuhan tanaman lahan kering di daerah
ini, karena air akan tersedia sepanjang tahun. Salah
satu teknologi untuk meningkatkan pori air tersedia
adalah meningkatkan kandungan bahan organik.
Permeabilitas

Permeabilitas tanah di lapisan bawah lebih


lambat daripada di lapisan atas. Keadaan seperti ini
dapat disebabkan oleh pengaruh pengolahan tanah,
perakaran tanaman, atau pemadatan pedogenesis
karena adanya penimbunan liat seperti yang terjadi
pada tanah yang mempunyai horizon argilik. Hasil
penetapan menunjukkan, permeabilitas tanah di
lapisan atas berkisar antara lambat sampai agak
cepat (0,20 - 9,46 cm jam-1), sedangkan di lapisan
bawah tergolong agak lambat sampai sedang (1,10 3,62 cm jam-1). Khusus untuk pedon HP.14,

permeabilitas tanah di lapisan atas lebih lambat


daripada lapisan bawah yang diakibatkan oleh
pemadatan tanah. Tanah dengan permeabilitas
lambat, di satu pihak dapat mengurangi jumlah
kehilangan hara karena pencucian, sedangkan di lain
pihak dapat meningkatkan aliran permukaan (run off)
yang berdampak pada terjadinya erosi dan hilangnya
tanah lapisan atas yang kaya kandungan hara dan
bahan organik. Permeabilitas sedang sangat sesuai
untuk pengembangan tanaman lahan kering.
Kemantapan/stabilitas agregat

Hasil penetapan menunjukkan kemantapan


agregat pada horizon A tergolong tidak stabil (<50),
kecuali pedon HP.14 yang mengalami pemadatan
tergolong stabil. Pada horizon B, kemantapan
agregat tergolong agak stabil, kecuali EY.44
tergolong sangat stabil. Dari hasil penetapan dapat
dikemukakan bahwa tanah bervegetasi hutan yang
diteliti umumnya tergolong tidak stabil dan sangat
rentan terhadap erosi permukaan. Nilai permeabilitas
yang lambat, juga akan memberikan pengaruh
negatif terhadap meningkatnya aliran permukaan
dan sekaligus meningkatkan bahaya erosi.
Sifat kimia
Beberapa sifat kimia dari tujuh pedon yang
diteliti disajikan pada Tabel 6 dan 7.
C-organik dan reaksi tanah

Kandungan C-organik dari 7 pedon yang diteliti


menunjukkan sedang sampai tinggi (2,2 - 5,2%)
untuk horizon A, akan tetapi pada horizon B
kandungannya menurun dengan sangat tajam hingga
sangat rendah (0,1 - 0,8%). Tidak ada perbedaan
yang nyata antara kandungan bahan organik pada
vegetasi hutan alami dan HTI yang telah dikelola
selama dua musim panen (14 - 15 tahun). Dengan
demikian pengelolaan lahan untuk HTI selama dua
musim tanam tidak menunjukkan pengaruh nyata
terhadap kandungan bahan organik tanah.

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 6. Tekstur, reaksi tanah, C-organik, P dan K potensial


Table 6. Texture, soil reaction, organic-C, potential P and K
Pedon

Horizon

Kedalaman
cm

Tekstur
Pasir-K Pasir-H
Debu
Liat
..................... % .....................

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults


7
62
0-9
HP.14
A
5
62
9-28
Bto1
6
60
28-55
Bto2
7
53
55-99
Bto3
6
61
99-130
Bto4
5
57
130-150
Bto5

C-org.
%

HCl 25%
K2O
P2O5
.... mg kg-1 ....

11
10
9
11
9
9

30
23
25
29
24
29

4,6
4,5
4,7
4,6
4,6
4,6

2,2
0,4
0,2
0,2
0,2
0,2

69
34
29
22
25
22

122
64
73
76
57
58

MD.61

A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

0-9
9-33
33-65
65-116
116-150

47
43
36
35
30

4
2
2
3
2

22
20
17
16
15

27
35
45
46
45

4,5
4,4
4,4
4,4
4,3

2,4
0,6
0,4
0,2
0,2

30
15
11
18
14

141
67
82
66
67

EY.44

A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

0-10
10-34
34-63
63-104
104-150

67
63
55
52
50

4
5
5
3
4

14
11
12
11
11

15
22
28
34
35

5.7
4,4
4,3
4,4
4,4

4,7
1,3
0,7
0,3
0,3

61
47
41
39
39

269
111
76
87
19

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults


15
9
69
0-4
HP.24
A
16
9
67
4-13
BA
18
8
61
13-43
Bto1
14
9
63
43-85
Bto2
12
9
61
85-150
Bto3

8
8
13
15
19

4,5
4,5
4,5
4,4
4,7

4,6
1,8
0,7
0,2
0,2

170
89
60
41
38

62
25
22
21
21

8
8
7
8
6

17
20
23
23
22

3,7
4,2
4,3
4,5
4,4

3,4
1,4
0,9
0,7
0,7

70
43
35
47
40

81
34
24
53
48

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults


8
17
0-13
UY.110
A
9
16
13-33
Bt1
6
13
33-64
Bt2
4
14
64-110
Bt3
5
38
110-150
BC

23
23
23
18
21

51
52
59
61
37

3.8
4,1
4,1
4,3
4,3

3,3
1,6
0,8
0,6
0,3

200
115
110
104
119

688
476
542
614
588

6
4
5
4
3
5

26
2
19
26
28
35

35
38
44
52
62
54

4,0
4,2
4,2
4,4
4,6
4,7

5,2
1,1
0,6
0,2
0,2
0,1

60
20
22
14
14
11

265
144
279
246
251
213

UG.194

DD.232

A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

A
AB
Bt1
Bt2
Bt3
BC

0-12
12-29
29-50
50-82
82-150

0-11
11-36
36-72
72-105
105-125
125-150

68
63
61
62
67

33
35
32
18
7
6

7
9
10
7
6

Keterangan : Pasir-K = Pasir kasar; Pasir-H = Pasir halus

pH (H2O)

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Tabel 7. Kation dapat tukar, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, dan Al dapat tukar
Table 7. Exchangeable cation, cation exchange capacity, base saturation, and exchangeable Al
Pedon

Horizon

NH4OAc 1N pH 7,0
KCl 1 N
Kejenuhan
KTK
KTK
KTK
3+
basa
Al
Ca
Mg
K
Na
Jml
Kej. Al
tanah
liat
efektif
-1
-1
.. cmol- kg ..
%
cmol- kg
%

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults


0,22 0,02 0,92
0,37
0,30
HP.14 A
0,06 0,02 0,18
0,06
0,03
Bto1
0,06 0,02 0,14
0,06
0,03
Bto2
0,07 0,02 0,13
0,07
0,03
Bto3
0,02 0,01 0,27
0,02
0,03
Bto4
0,01 0,02 0,11
0,01
0,04
Bto5

4,33
1,87
2,01
2,32
2,07
2,30

19,13
8,16
9,08
7,98
8,71
8,33

2,61
1,54
1,85
2,05
1,97
1,70

21
10
7
5
13
4

1,70
1,36
1,71
1,92
1,70
1,60

65
88
93
94
86
94

MD.61

A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

0,22
0,09
0,06
0,07
0,09

0,17
0,04
0,02
0,02
0,04

0,24
0,08
0,07
0,07
0,10

0,04
0,03
0,06
0,04
0,05

0,68
0,22
0,22
0,23
0,25

7,37
4,58
5,24
6,22
6,16

26,81
12,94
11,63
13,43
13,79

3,53
3,88
4,75
4,76
4,29

9
5
4
4
4

2,85
1,66
4,53
4,53
4,05

81
94
95
95
94

EY.44

A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

0,55
0,04
0,03
0,04
0,03

0,58
0,39
0,11
0,04
0,04

0,24
0,10
0,14
0,23
0,12

0,01
0,01
0,01
0,01
0,01

1,36
0,55
0,29
0,31
0,21

8,68
3,18
4,95
3,85
4,12

59,49
14,64
17,53
11,33
11,76

3,08
2,16
3,42
3,85
4,02

15
17
6
8
5

1,73
1,61
3,12
3,54
3,81

56
75
91
92
95

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults


0,42 0,14 1,47
0,41
0,81
HP.24 A
0,04 0,03 0,31
0,10
0,14
BA
0,06 0,02 0,18
0,06
0,05
Bto1
0,04 0,04 0,12
0,03
0,04
Bto2
0,02 0,03 0,10
0,01
0,03
Bto3

7,57
2,99
1,83
1,52
1,40

94,52
35,41
13,70
10,50
7,57

3,09
2,11
1,34
1,42
1,40

20
10
10
15
7

1,61
1,80
1,16
1,20
1,30

52
85
86
84
93

0,03
0,02
0,02
0,02
0,03

0,47
0,13
0,10
0,08
0,15

6,41
4,16
2,76
2,47
2,55

38,02
20,65
12,28
10,65
11,77

2,69
1,94
1,41
1,29
1,36

7
3
4
3
6

2,22
1,81
1,31
1,21
1,21

83
93
93
94
89

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults


1,11
2,17
UY.110 A
0,82 0,05
0,25
Bt1
0,40 0,04
0,24
0,17
Bt2
0,24 0,04
0,18
0,14
Bt3
0,21 0,03
0,18
0,26
BC
0,21 0,05
0,21

4,15
0,92
0,63
0,56
0,74

20,30
16,75
17,88
21,38
23,87

39,71
32,12
30,93
33,96
65,13

16,05
15,19
17,20
20,07
26,44

20
5
4
3
3

11,90
14,27
16,57
19,51
25,70

74
94
96
97
97

0,05
0,05
0,05
0,05
0,05
0,04

1,76
0,61
0,29
0,37
0,43
0,30

13,66
7,90
7,59
12,63
14,37
10,27

36,16
20,79
17,19
24,13
23,19
18,87

6,08
5,28
5,23
7,43
10,04
8,02

12
8
4
3
3
2

4,31
4,67
4,94
7,05
9,62
7,82

71
88
94
95
96
97

UG.194 A
Bto1
Bto2
Bto3
Bto4

DD.232 A
AB
Bt1
Bt2
Bt3
BC

0,21
0,02
0,02
0,02
0,03

0,67
0,07
0,03
0,03
0,04
0,02

0,13
0,04
0,02
0,02
0,04

0,73
0,035
0,12
0,20
0,24
0,06

0,09
0,06
0,04
0,03
0,04

0,32
0,14
0,09
0,10
0,10
0,07

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Bahan organik mempunyai peranan besar


terhadap kualitas tanah baik sifat fisik, kimia,
maupun biologi tanah. Ponge et al. (2002)
mengemukakan bahwa kandungan bahan organik di
dalam tanah dipengaruhi oleh faktor alami yaitu
iklim, bahan induk tanah, besar dan arah lereng,
serta faktor non-alami yang disebabkan oleh
perubahan penggunaan lahan, praktek silvikultur,
dan pengolahan tanah. Sedangkan pengaruh
penggunaan lahan terhadap kandungan bahan
organik dan kesuburan tanahnya diperlihatkan oleh
Wu dan Tiessen (2002). Padang rumput alami yang
digunakan untuk tanaman pangan, kandungan bahan
organiknya berkurang sebanyak 22, 37, dan 55%
setelah penggunaan selama 8, 16, dan 41 tahun.
Dikemukakan selanjutnya bahwa kehilangan bahan
organik terutama disebabkan oleh erosi dan proses
mineralisasi. Demikian juga unsur hara P dalam
bentuk P-organik juga berkurang karena proses
tersebut.
Peran bahan organik di dalam tanah tidak
hanya ditentukan oleh kuantitas, tetapi juga
kualitasnya (Ponge et al., 2002). Kualitas humus
dicerminkan oleh tingkat kemasaman, ketersediaan
hara, aktivitas biologi, dan macam gugus fungsional.
Selanjutnya dikemukakan bahwa eumull adalah
humus terbaik dengan tingkat kemasaman rendah,
sedangkan dysmoder mempunyai tingkat kemasaman
tinggi dan miskin unsur hara. Jenis humus di daerah
penelitian tergolong dysmoder dengan tingkat
kemasaman tinggi. Keeratan hubungan antara bahan
organik tanah dengan nilai kapasitas tukar kation,
kandungan P dan tekstur tanah telah banyak
diperlihatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya
(Suharta, 2007; Suharta et al., 1995).
Reaksi tanah dari batuan sedimen masam,
tergolong masam sampai sangat masam. Tidak ada
perbedaan antara pH tanah dari batupasir maupun
batuliat. Reaksi tanah pada horizon A berkisar antara
3,7 hingga 5,7, sedangkan pada horizon B antara
4,1 hingga 4,7. Reaksi tanah untuk pedon UY.110,
DD.232 dan UG.194 cenderung meningkat sesuai
dengan kedalaman, sedangkan pedon lainnya
cenderung menurun atau relatif konstan.
10

P dan K potensial (HCl 25%)

Kandungan P sangat rendah, baik tanah yang


berasal dari batupasir maupun batuliat. Akan tetapi
kandungan K menunjukkan ada perbedaan yang
nyata antara tanah dari batupasir dibandingkan
dengan tanah dari batuliat. Tanah dari batupasir
dicirikan oleh kandungan K sangat rendah, sedangkan
tanah dari batuliat menunjukkan kandungan K tinggi.
Hubungan antara hara P dan K dengan fraksi pasir,
liat, dan C-organik menunjukkan: P2O5 berkorelasi
positif dengan C-organik (P2O5 = 0,0171 C-org +
0,2702 dengan R2 = 0,2943), sedangkan dengan
fraksi pasir dan liat tidak berkorelasi. Kandungan
berkorelasi
positif
dengan
fraksi
liat
K2 O
(K2O=0,0528 liat +23,809 dengan R2=0,4237),
dan negatif dengan fraksi pasir (K2O=-0,0748 pasir
+ 64,179 dengan R2 = 0,4415). Dengan Corganik, korelasinya lebih rendah (K2O=0,0014 Corg +0,9309 dengan R2 = 0,0355). Dibandingkan
dengan tanah dari batuan sedimen masam dari
Provinsi Kalimantan Barat, kandungan P di daerah
penelitian hanya berkorelasi positif dengan C-organik
(Suharta,
2007).
Sedangkan
kandungan
K
memperlihatkan karakteristik yang sama dengan
tanah dari batuan sedimen masam di Provinsi
Kalimantan Barat yaitu berkorelasi positif dengan Corganik dan fraksi liat, sedangkan dengan fraksi
pasir berkorelasi negatif.
Basa-basa dapat ditukar dan kejenuhan basa

Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan


kandungan basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, dan K)
antara tanah dari batuliat dibandingkan dengan
tanah dari batupasir. Akan tetapi tidak terlihat
adanya
perbedaan
yang
disebabkan
oleh
penggunaan lahan hutan alami maupun hutan
tanaman industri. Kandungan basa-basa dapat tukar
pada tanah-tanah dari batuliat, baik pada horizon A
maupun B, lebih tinggi dibandingkan dengan tanahtanah dari batupasir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
tanah dengan kandungan pasir tinggi, pencucian
basa-basa terjadi lebih intensif dibandingkan tanah
bertekstur halus yang terbentuk dari batuliat.

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Kapasitas tukar kation

Kejenuhan basa dan aluminium

Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan


yang nyata antara KTK-tanah dari batupasir
dibandingkan dengan tanah dari batuliat, akan tetapi
tidak menunjukkan perbedaan antara tanah
bervegetasi hutan alami dan hutan tanaman industri.
KTK-tanah dari batuliat lebih tinggi dibandingkan
tanah dari batupasir baik pada horizon A maupun B.

Tanah yang terbentuk dari batupasir maupun


batuliat mempunyai kejenuhyan basa yang tergolong
sangat rendah yaitu <20% pada horizon A dan
<10% pada horizon B. Rendahnya nilai kejenuhan
basa menunjukkan bahwa selain tanah telah
mengalami pencucian intensif, bahan induk tanah
dari batuan sedimen masam tergolong miskin basabasa dapat tukar.

KTK-efektif pada sebagian horizon dari


batupasir mempunyai nilai <1,50 (HP.24 dan
UG.194), yang berarti tanah mempunyai sifat acric
(tanah tua). Sifat acric ini dapat berdampak pada
pemupukan, karena pupuk yang digunakan akan
mudah tercuci. Tanah dari batuliat mempunyai KTKliat lebih besar daripada tanah dari batupasir yaitu
berkisar antara 17,19 dan 65,13 cmol- kg-1, dan
tidak mempunyai sifat acric.
Kapasitas
tukar
kation
(KTK)
tanah
dipengaruhi oleh jenis mineral liat dan kandungan
bahan organik. Oleh karena itu tanah-tanah dengan
jenis mineral liat sama, nilai KTK-tanah akan
berkorelasi positif dengan kandungan bahan organik.
Analisis regresi sederhana untuk tanah-tanah dari
batupasir menunjukkan hubungan positif antara
kandungan bahan organik dengan KTK tanah dengan
nilai R2=0,4968, sedangkan untuk tanah dari
batuliat memperlihatkan nilai korelasi yang rendah
yaitu R2=0,0061. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
tanah-tanah dari batupasir mempunyai susunan
mineral liat yang sama yaitu kaolinit dengan kuarsa
dan vermikulit. Sedangkan tanah dari batuliat, satu
pedon didominasi kaolinit, kuarsa dengan sedikit illit
dan satunya lagi didominasi kaolinit, kuarsa dengan
sedikit smektit. Adanya jenis mineral yang berbeda
menunjukkan bahwa nilai KTK-tanah tidak hanya
ditentukan oleh jumlah bahan organik, akan tetapi
ditentukan juga oleh jenis mineral liatnya. Peran
bahan organik terhadap KTK-tanah diperlihatkan oleh
Bram (1971), bahwa penurunan bahan organik
sebesar 50% pada Oxisols Siera Leone telah
mengakibatkan penurunan nilai kapasitas tukar
kation sebesar 30%.

Kejenuhan aluminium menunjukkan nilai


sangat tinggi baik untuk tanah-tanah yang terbentuk
dari
batupasir
maupun
batuliat.
Kejenuhan
aluminium bervariasi antara 52 hingga 83% untuk
horizon A dan antara 75 hingga 97% untuk horizon
B. Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan
kedalaman tanah. Perbedaan antara batupasir dan
batuliat, terletak pada jumlah Aldd yang lebih tinggi
pada tanah dari batuliat (antara 4,31 hingga 25,70
cmol- kg-1) dibandingkan tanah dari batupasir (antara
1,20 hingga 4,53 cmol- kg-1). Kondisi ini sama
dengan tanah-tanah dari batuan sedimen masam di
Provinsi Kalimantan Barat (Suharta, 2007). Mineral
smektit pada tanah berbahan induk batuliat tidak
stabil pada lingkungan masam, dan mengalami
pelapukan yang intensif serta membebaskan Aldd
dalam jumlah yang cukup signifikan.
Siklus biologi
Salah satu karakteristik tanah hutan adalah
adanya pengkayaan lapisan permukaan tanah yang
disebabkan oleh proses siklus biologi. Quideau et al.
(1999) mengemukakan, siklus biologi terjadi karena
adanya pengambilan berbagai unsur oleh akar
tanaman dari dalam tanah dan kemudian
dikembalikan ke permukaan tanah atau dekat
permukaan tanah mineral melalui daun-daun serta
ranting
tanaman
sebagai
litter.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa efektivitas unsur yang diangkut
ke permukaan tanah melalui siklus biologi
tergantung pada jenis vegetasi dan macam
unsurnya. Quideau et al. (1999) menggunakan
nisbah Ca/Mg sebagai indeks untuk mengukur
efektivitas siklus biologi. Dikemukakan selanjutnya,

11

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

bahwa unsur Ca lebih mobil daripada Mg, sehingga


jumlah Ca yang diangkut ke permukaan tanah akan
lebih banyak dibandingkan dengan Mg yang kurang
mobil. Dengan demikian nisbah Ca/Mg akan semakin
meningkat sesuai dengan fungsi waktu.
Tabel 8. Beberapa karakteristik sifat kimia tanah
pada horizon A dan B
Table 8. Some soil chemical characteristics of A
and B horizons
Pedon

HoriCa2+ Mg2+
K+
KB P2O5 K2O
zon
....... cmol- kg-1 ....... % .. mg kg-1 ..

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults


HP.14
A
0,30 0,37 0,22 21 69
122
Bto 0,03 0,04 0,04
8 26
66
MD.61

A
Bto

0,22
0,08

0,17
0,03

0,24
0,08

9
4

30
15

141
71

EY.44

A
Bto

0,55
0,04

0,58
0,15

0,24
0,15

15
9

61
42

269
73

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandudults


HP.24
A
0,81 0,41 0,42 20 170
62
Bto 0,07 0,05 0,04 11
57
22
UG.194

A
Bto

0,21
0,02

0,13
0,03

0,09
0,04

7
4

70
41

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults


UY.110
A
2,17 1,11 0,82 20 200
Bt
0,21 0,20 0,27
4 112
DD.232

A
Bt

0,67
0,04

0,73
0,13

0,32
0,10

12
4

60
16

81
40
688
555
265
227

Hasil analisis dari tujuh pedon yang diteliti


terhadap basa-basa dapat tukar, kejenuhan basa,
dan kandungan P dan K potensial horizon A dan
Bt/to, menunjukkan bahwa kandungan unsur-unsur
tersebut pada horizon A lebih tinggi dibandingkan
horizon B (Tabel 8). Hal tersebut menunjukkan ada
penimbunan unsur hara pada horizon A atau horizon
permukaan yang diakibatkan oleh siklus biologi.
Basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, dan K) di horizon A,
walaupun kriterianya tergolong sangat rendah,
jumlah absolut dapat mencapai 10 kali lipat
dibandingkan horizon di bawahnya. Demikian juga
kejenuhan basa, kandungan P dan K di lapisan atas
dapat mencapai 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan
horizon di bawahnya. Khusus untuk K dari batuliat,

12

pengkayaan di lapisan atas kurang nyata


dibandingkan unsur lainnya. Hal ini dapat dijelaskan
karena tanah berbahan induk batuliat mempunyai
kandungan K yang cukup tinggi di dalam tanah
sehingga pengaruh siklus biologi kurang signifikan.
Pengkayaan lapisan atas (siklus biologi) baik pada
tanah dengan vegetasi hutan alami maupun HTI
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlu
diingat bahwa HTI baru diusahakan dua kali panen
atau selama 14-15 tahun.

Pemanfaatan lahan bervegetasi hutan


Pemanfaatan hutan alami untuk tanaman
pangan atau tanaman hutan industri akan
berdampak terhadap kuantitas maupun kualitas
bahan organiknya (Chen et al., 2004; Fraga and
Salcedo, 2004; Wu and Tiessen, 2002). Sistem
perladangan dengan sistem tebas bakar tanpa
memperhatikan tindakan konservasi tanahnya telah
memotong siklus biologi, dan mengakibatkan
hilangnya tanah lapisan atas yang tipis tetapi kaya
bahan organik. Fraga dan Salcedo (2004)
mengemukakan ada dua proses utama yang
menyebabkan kehilangan bahan organik yaitu
meningkatnya proses mineralisasi dan erosi. Dalam
kondisi hutan alami, kehilangan bahan organik
melalui
proses
mineralisasi
lebih
dominan
dibandingkan proses erosi, sedangkan dalam kondisi
terbuka, kedua proses tersebut dominan. Tanah
hutan di daerah studi tergolong tidak stabil atau
rentan bahaya erosi. Oleh karena itu, dengan
hilangnya tanaman penutup tanah, sinar matahari
akan langsung berinteraksi dengani lapisan humus
atau bahan organik, dan berdampak terhadap
meningkatnya proses mineralisasi bahan organik.
Dalam keadaan terbuka dan berlereng, kehilangan
tanah melalui proses erosi juga akan meningkat
karena didukung oleh curah hujan yang tinggi
disertai dengan sifat fisik tanah yang tidak stabil.
Driessen et al. (1976) memperlihatkan pengaruh
sistem perladangan terhadap karakteristik tanah di
Provinsi Kalimantan Tengah. Kehilangan tanah
lapisan atas karena erosi dapat mencapai 80% atau

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

lebih dari semua nutrisi yang terkandung dalam


tanah tersebut. Salah satu cara alami untuk
meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan
mengembalikan fungsi siklus biologi dengan
membiarkan tanah tersebut kembali menjadi hutan.
Pembukaan kembali tanah hutan untuk perladangan
dilakukan setelah 13 hingga 15 tahun kemudian.
Perubahan suhu mikro yang diakibatkan oleh
pembukaan hutan untuk pertanian tanaman pangan,
telah
mengakibatkan
meningkatnya
proses
mineralisasi bahan organik. Oleh karena itu tindakan
mengurangi suhu tanah dengan menggunakan
penutup tanah (mulsa) berupa serasah kayu-kayuan
atau hasil panen, akan dapat menurunkan suhu
tanah dan berdampak pada meningkatnya proses
humifikasi (pembentukan asam-asam humus). Dalam
kondisi hutan alami, C-organik tanah lebih bersifat
aromatik dibandingkan dengan hutan tanaman pinus
(Chen et al., 2004) atau tanaman pangan (Ding et
al., 2002). Bahan organik yang bersifat aromatik
bersifat hidrofobik, membentuk agregat tanah lebih
stabil sehingga tidak rentan terhadap erosi. Oleh
karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman
pangan lahan kering, perlu memperhatikan besarnya
lereng yang berkaitan dengan erosi; menurunkan
suhu permukaan tanah dengan memanfaatkan
serasah atau tanaman penutup tanah (mulsa); dan
teknik pengelolaan lahan dengan menerapkan sistem
konservasi. Pemupukan masih sangat diperlukan
karena tanah-tanah dari batuan sedimen masam
tergolong miskin unsur hara.

KESIMPULAN
1. Jenis bahan induk tanah sangat berperan
terhadap susunan mineralogi, sifat fisik, dan
kimianya. Tanah berbahan induk batuliat
mempunyai sifat kimia lebih baik dibandingkan
dengan tanah berbahan induk batupasir, kecuali
kandungan Aldd lebih tinggi.
2. Karakteristik tanah di bawah vegetasi hutan
alami tidak berbeda nyata dengan tanah di
bawah vegetasi Hutan Tanaman Industri (Acacia

mangium) yang telah dikelola selama 14-15


tahun atau dua kali musim panen.
3. Sifat tanah dari batuan sedimen masam dari
pedon yang diteliti tergolong rentan terhadap
bahaya erosi sehingga pemanfaatannya untuk
tanaman
pertanian
memerlukan
tindakan
konservasi dan menghindari penggunaan daerah
berlereng (>8%), khususnya untuk tanaman
pangan berakar dangkal.
4. Kandungan unsur-unsur pada horizon A yang
lebih tinggi dibandingkan horizon B menunjukkan
ada penimbunan unsur hara pada horizon A atau
horizon permukaan yang diakibatkan oleh siklus
biologi.

DAFTAR PUSTAKA
Bram, E. 1971. Continuous Cultivation of West
African Soils: Organic matter diminuation
and effects of applied lime and phosphorus.
Plant and Soil 35:401-414.
Chen, C.R., Z.H. Xu, and N.J. Mathers. 2004. Soil
carbon pools in adjacent natural and
plantation forest of subtropical Australia.
Soil Sci. Soc. Am. J. 68:282-291.
Ding, G., J.M. Novak, D. Amarasiriwardena, P.G.
Hunt, and B. Xing. 2002. Soil organic matter
characteristics as affected by tillage
management. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:421429.
Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976.
The influence of shifting cultivation on a
Podzolic soil from Central Kalimantan. In:
Peat and Podzolic Soils, and Their Potential
for Agriculture in Indonesia. Pp 95-115. In
Proceedings ATTA 106 Midterm Seminar,
Tugu, October 13-14, 1976. Soil Research
Institute, Bogor.
FAO. 1990. Guidelines for Soil Profile Description,
FAO, Rome.
Fraga, V.S. and I.H. Salcedo. 2004. Declines of
organic nutrient pools in tropical semi-arid
soils under subsistence farming. Soil sci.
Am. J. 68:215-224.
Imhoff, S., A.P. Da Silva, and D. Fallow. 2004.
Susceptibility to compaction, load support

13

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

capacity, and soil compressibility of


Hapludox. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:17-24.

Investigation Report No. 41. Version 1.0.


USDA, Washingthon DC.

Loughnan, F.C. 1969. Chemical Weathering of


Silicate
Minerals.
American
Elsevier
Publishing Company, Inc. New York.

Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy.


Natural Resources Conservation Service.
United States Department of Agriculture.
Ninth Edition.

Ponge, J.F., R. Chevalier, and P. Loussot. 2002.


Humus Index: an integrated tool fr the
assesement of forest floor and topsoil
properties. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:19962001.
Quideau, S.A., R.C. Graham, O.A. Chadwick, and
H.B. Wood. 1999. Biogeochemical cycling of
calcium and magnesium by Ceanothus and
Chemise. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:18801888.
Silitonga, P.H. and N. Kastowo. 1995. Geological
map of the Solok Quadrangle, Sumatera,
scale 1:250.000. Geological Research and
Development Centre, Bandung.
Smith and Fergusson. 1951. Rainfall Types Based
on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia
with Western New Guinea. Jawatan
Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Soil Survey Laboratory Staff. 1992. Soil Survey
Laboratory Methods Manual. Soil Survey

14

Suharta, N. 2007. Sifat dan karakteristik tanah dari


batuan
sedimen
masam
di
Provinsi
Kalimantan Barat serta implikasinya terhadap
pengelolaan lahan. Jurnal Tanah dan Iklim
25:11-26.
Suharta, N., M. Sukardi, dan B.H. Prasetyo.
Karakteristik tanah Oxisol sebagai
pengelolaan lahan. Studi kasus pada
Sanggauledo, Provinsi Kalimantan
Pemberitaan Penelitian Tanah dan
13:9-20.

1995.
dasar
Oxisol
Barat.
Pupuk

Suwarna, N., T. Budhitrisna, S. Santoso, and S.A.


Mangga. 1991. The geology of the Rengat
Quadrangle Sumatera, scale 1:250.000.
Geological Research and Development
Centre, Bandung.
Wu, R. and H. Tiessen. 2002. Effect of landuse on
soil degradation in Alpine grassland soil,
China. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:1648-1655.

Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda


dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman
Water Movement in the Soil with Different Pore Characteristics and Its Effect to Crop Water Availability
ENNI D. WAHJUNIE1, O. HARIDJAJA1, SOEDODO H.2, DAN SUDARSONO3

ABSTRAK
Pengetahuan tentang pergerakan air dalam tanah sangat
penting perannya dalam ketersediaan air bagi tanaman.
Ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering sampai saat ini
masih menjadi masalah. Hujan yang merupakan sumber air utama
pada lahan kering, datangnya tidak selalu sinkron dengan
kebutuhan air tanaman. Untuk mengoptimalkan ketersediaan air
bagi tanaman di lahan kering tersebut, diperlukan penelitian
tentang hubungan antara pergerakan air dalam tanah dengan
sifat-sifat hujan maupun sifat-sifat pori yang mengikat dan
menghantarkan air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pergerakan air pada tanah yang memiliki karakter pori berbeda
akibat perbedaan pengelolaan tanah. Penelitian dilakukan pada
tiga blok lahan dengan jenis tanah Inceptisols yang telah dikelola
dengan akhir periode ditanami kangkung, padi sawah, dan kacang
tanah. Penelitian dilakukan di Desa Bojong, Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor pada tahun 2006. Pengamatan dilakukan
terhadap kadar air tanah, hujan, dan iklim setiap hari, yang
digunakan untuk mengkaji fluks aliran air, laju pergerakan air
transient, dan distribusi air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
fluks aliran air dan laju pergerakan air transient nyata dipengaruhi
oleh jumlah hujan secara kuadratik. Fluks aliran air dalam tanah di
lahan bekas kacang tanah lebih besar daripada di lahan bekas
kangkung dan sawah, sedangkan pergerakan air transient di lahan
bekas sawah lebih besar daripada di lahan bekas kangkung dan
kacang tanah. Kadar air tanah selama musim tanam di lahan
bekas sawah nyata lebih besar dibandingkan dengan lahan yang
lain. Jumlah air hujan yang dapat diretensi tanah di lahan bekas
kacang tanah lebih tinggi dibanding di lahan yang lain. Hasil
penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan air
irigasi bagi tanaman.
Kata kunci : Pergerakan air, Karakteristik pori tanah, Fluks aliran
air, Pergerakan air transient, Ketersediaaan air

ABSTRACT
The understanding of water movement in the soils plays
an important role for crop water availability. Up to now, crop
water availability in dryland still has a problem. Rainfall is the
main source of crop water availability in dryland, but it is
unpredictable to cover crop water requirements. To optimize the
crop water availability in dryland, the study of the relationship
between water movement, rainfall, and soil pores characteristics
in the soils is required. This research was aimed to investigate
the water movement in the soils with different soil pores due to
the difference of soil management. The study was conducted at
three blocks of lands with the soil type of Inceptisols, located at
Bojong Village, Kemang Sub DIstrict, Bogor District in 2006. The
soils investigated were abandoned large frog (Ipomoea reptans),
paddy, and peanuts that reflected soil management. The data

ISSN 1410 7244

measurements were focused on water content, rainfall, climate


data, water flux, transient water movement, and water
distribution. The results showed that the water fluxes and the
transient water movements were significantly affected by the
amount of rainfall. The water fluxes in the abandoned peanuts
were significantly higher than those at the other lands, while the
transient water movements at abandoned paddy field were
significantly higher than those at the land with large frog and
peanuts. The soil water content during the growing season at the
abandoned paddy field was significantly higher compared to the
other lands. The amount of rainfall which are held in the soils
during the growing season at the abandoned peanuts was
significantly high. The result of this research can be use to
estimate crop water requirement for irrigation.
Keywords : Water movement, Soil pore characteristics,Water
flux, Transient water movement, Water availability

PENDAHULUAN
Pergerakan air dalam tanah di lahan kering
sangat penting perannya dalam pergerakan hara
(nutrient transport) dan dapat digunakan untuk
estimasi ketersediaan air dan udara bagi tanaman.
Ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering
sampai saat ini masih menjadi masalah, terutama
akhir-akhir ini berkaitan dengan dampak perubahan
iklim global yang berpengaruh terhadap siklus
hidrologi. Hujan yang merupakan sumber air utama
pada lahan kering, datangnya tidak selalu sinkron
dengan kebutuhan air bagi tanaman, sehingga
produksi tanaman tidak dapat mencapai optimum.
Pada saat hujan besar, sebagian besar air dapat
hilang melalui aliran permukaan atau terperkolasi ke
zone di bawah perakaran, sehingga tidak tersedia
bagi tanaman. Pada hari-hari tanpa hujan tanaman
dapat kekurangan air. Penelitian dalam upaya
peningkatan ketersediaan air bagi tanaman lahan
1. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, IPB, Bogor.
2. Pengajar pada Departemen Keteknikan Pertanian, IPB, Bogor.
3. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

15

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

kering telah banyak dilakukan melalui perbaikan


struktur tanah, pengaturan pola tanam, maupun
efisiensi irigasi (Subagyono et al., 2004). Namun
usaha-usaha tersebut jarang dilakukan oleh petani.
Pada umumnya petani mengelola lahannya sesuai
jenis tanaman yang diusahakan, dan mengikuti pola
tanam yang mudah dan murah.
Untuk memaksimalkan ketersediaan air bagi
tanaman diperlukan data tentang jumlah, intensitas,
dan

distribusi

hujan,

besarnya

peresapan

air

(infiltrasi), kemampuan maksimum tanah meretensi


air, jumlah air yang hilang dari zone perakaran,
kebutuhan air tanaman, dan dinamika kelembaban
tanah. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang
kaitan antara sifat-sifat hujan dengan pergerakan air
maupun dinamika kadar air dalam tanah. Dinamika
kadar air dalam tanah lahan kering sangat ditentukan
oleh pergerakan air, maupun laju perubahan kadar
air dalam tanah.
Pergerakan air maupun laju perubahan kadar
air dalam tanah sangat ditentukan oleh karakteristik
pori tanah yang menyusun struktur tanah, seperti
distribusi pori, kontinuitas pori, dan tortuositas pori
(Hillel, 1980). Akibat berbagai pengelolaan tanah
yang telah dilakukan oleh petani, tanah lahan kering
memiliki struktur tanah yang sangat bervariasi,
sehingga berpengaruh pada karakteristik porinya.
Bagarello et al. (2004) menyatakan bahwa
perbedaan
struktur
tanah
akibat
berbagai
pengelolaan, dapat mempengaruhi kemampuan
tanah meretensi air maupun pergerakan air baik
jenuh maupun tak jenuh dalam tanah. Adapun
Perfect et al. (2002) menyatakan bahwa laju
pergerakan air dapat mempengaruhi distribusi air
dan kelarutan hara dalam tanah, sehingga hara
terdistribusi secara merata pada zone perakaran.
Pergerakan dan distribusi air yang ada dalam tanah
juga sangat tergantung pada sifat-sifat hujan yang
jatuh (Edwards et al., 1992; Toor et al., 2004).
Penelitian tentang hubungan hujan dengan
pergerakan air dalam tanah selama ini masih banyak
dilakukan pada skala laboratorium. Pergerakan jenuh
dapat terjadi pada saat hujan dengan jumlah dan
16

intensitas tinggi yang menyebabkan seluruh pori


terisi air (Sugita et al., 2004). Namun hujan yang
terjadi dalam waktu singkat sering hanya melewati
pori-pori makro tanah, melalui proses aliran
preferential (Stenhuis et al., 1996). Begitu hujan
berhenti, atau hanya terjadi hujan ringan yang tidak
sampai menjenuhi tanah, pergerakan tak jenuh
terjadi ke segala arah mengikuti perbedaan potensial
air tanah (Hillel, 1980). Pergerakan air ke atas dapat
terjadi pada hari-hari tanpa hujan (Hanks and
Ashcroft, 1986). Pengaruh hujan terhadap pergerakan
dan distribusi air dalam tanah juga sangat
tergantung pada karakteristik pori tanah dalam
kaitannya dengan kadar air sebelum hujan dan laju
infiltrasi tanah (Shipitalo et al., 1990). Bodhinayake
et al. (2004) menyatakan bahwa pori tanah yang
banyak berkaitan dengan pergerakan air secara
cepat adalah pori makro dan meso. Hanya pori-pori
makro yang kontinu dan saling bersambungan yang
berperan dalam pergerakan air secara cepat (Dunn
and Philips, 1992).
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk
mengatasi kebutuhan air di lahan kering diperlukan
informasi tentang keterkaitan antara curah hujan
dengan pergerakan air dan dinamikanya pada tanah
yang memiliki karakteristik pori berbeda akibat
perbedaan pengelolaan tanah. Informasi ini berguna
dalam pengelolaan tanah pada lahan kering,
terutama dalam kaitannya dengan konservasi air dan
ketersediaannya bagi tanaman. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji: 1). Pergerakan air pada
tanah dengan karakteristik pori berbeda akibat
pengelolaan, 2). Karakteristik pori yang paling
mempengaruhi pergerakan air dan dinamika kadar
air, serta 3). Ketersediaan air pada lahan kering
dengan karakteristik pori berbeda akibat pengelolaan
tanah.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di lapangan, Desa Bojong,
Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mulai bulan
Februari sampai dengan Juni 2006, pada tanah
Inceptisols (Typic Eutrudepts) yang memiliki karakter

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

pori berbeda akibat perbedaan pengelolaan tanah


pada lahan kering (Tabel 1). Karakteristik tanah dari
lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 1. Pengelolaan lahan yang dilakukan selama
lima tahun sebelum percobaan
Table1.
Blok

Land management practices for five years


before research
Pengelolaan lahan selama
lima tahun sebelum percobaan

1.

Padi gogo, terung, kacang panjang, oyong, cabe,


jagung, dua tahun terakhir kangkung darat,
pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan
dengan pupuk kandang 10 t ha-1.

2.

Padi sawah rotasi dengan kacang tanah dan


oyong, terakhir padi sawah. Pada musim kering
dilakukan pengolahan tanah sedalam cangkul,
pemupukan dengan pupuk kandang 10 t ha-1.

3.

Rotasi kacang tanah, singkong dan oyong, terakhir


kacang tanah. Pengolahan tanah sedalam cangkul,
pemupukan dengan pupuk kandang 10 t ha-1.

Percobaan lapangan
Percobaan ini menggunakan rancangan acak
kelompok/blok, dimana pada tiap blok dari ke tiga
lahan yang memiliki karakter pori tanah berbeda

dibuat 10 petak pertanaman sebagai ulangan,


dengan ukuran tiap petak 5 m x 5 m. Pada seluruh
petak ditanami jagung manis dengan pemupukan
urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis
300 kg, 200 kg, dan 150 kg per hektar. Selama
satu musim tanam dilakukan pengamatan terhadap
kadar air, hujan dan iklim setiap hari. Pengukuran
kadar air tanah dilakukan dengan soil moisture meter
setiap hari pada tiap jarak kedalaman tanah 10 cm
dari permukaan tanah pada tiap petak lahan.
Pengukuran kadar air secara gravimetri (berikut
untuk kalibrasi) dilakukan dengan cara mengambil
contoh tanah secara komposit dari tiap jarak
kedalaman tanah 10 cm dari permukaan tanah pada
tiap petak lahan setiap satu minggu sekali.
Pengambilan contoh tanah tersebut dengan
menggunakan bor berdiameter 2 cm. Penakar hujan
otomatis dipasang pada lahan percobaan untuk
mengamati hujan periodik, harian, dan intensitas
hujan periodik, maupun harian. Data iklim
dikumpulkan dari stasiun klimatologi Pangkalan TNIAU Atang Senjaya Bogor. Selanjutnya data yang
diperoleh digunakan untuk penetapan fluks aliran air,
laju pergerakan air transient, dan distribusi air tiap
kedalaman tanah.

Tabel 2. Sifat-sifat fisik tanah pada lahan blok 1, 2, dan 3


Table 2. Soil physics characteristics at block 1, 2, and 3
No.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.

Blok
(kedalaman)
cm
1 (0-10)
1 (10-20)
1 (20-30)
1 (30-40)
1 (40-50)
Rataan
2 (0-10)
2 (10-20)
2 (20-30)
2 (30-40)
2 (40-50)
Rataan
3 (0-10)
3 (10-20)
3 (20-30)
3 (30-40)
3 (40-50)
Rataan

BI

RPT

ISA

DMR

RPDSC

RPDC

RPDL

RPD

g cm-3
1,02
1,00
1,14
1,16
1,15
1,09
1,05
1,02
0,99
0,98
0,97
1,00
0,96
0,96
0,96
0,95
0,95
0,96

%
61,29
61,94
58,35
57,75
58,05
59,48
61,64
62,52
64,86
65,29
65,43
63,95
64,76
64,50
66,75
67,29
67,02
66,06

42,92
43,41
37,42
37,55
37,48
39,76
83,10
85,68
33,41
32,42
32,88
53,50
46,85
47,78
39,45
40,78
40,12
43,00

1,93
1,95
1,86
1,90
1,88
1,90
3,26
3,27
1,76
1,71
1,73
2,35
2,34
2,33
2,12
2,18
2,15
2,22

............................................ %
4,79
14,21
3,76
22,75
4,91
15,15
3,20
23,27
4,50
4,46
4,43
13,40
3,16
2,98
3,38
9,52
3,41
3,57
4,13
11,11
4,15
8,07
3,78
16,01
7,19
6,40
2,13
15,72
9,15
7,69
1,81
18,64
7,90
9,45
2,22
19,57
5,41
10,35
3,27
19,02
6,65
9,91
2,74
19,30
7,26
8,76
2,43
18,45
11,38
10,06
2,35
23,80
10,53
10,80
2,80
24,12
13,53
7,10
1,58
22,21
14,47
6,48
1,43
22,38
14,01
6,83
1,38
22,22
12,78
8,25
1,91
22,94

RP
RP air
RP air
mikro
mobil
imobil
vol ............................................
13,13
25,42
27,19
34,11
12,70
25,97
26,63
35,31
14,48
30,46
20,23
38,12
16,71
31,52
14,88
42,87
15,95
31,00
17,58
40,47
14,59
43,47
21,30
38,18
17,39
28,54
23,11
38,53
16,81
27,07
23,98
38,54
18,12
27,88
22,58
42,99
17,37
28,90
21,45
43,84
17,74
28,39
22,01
43,42
17,48
45,50
22,63
41,46
15,08
25,88
29,23
35,53
13,34
27,03
29,36
35,13
19,49
25,04
24,99
41,76
19,64
25,28
26,67
40,62
19,62
25,18
25,84
41,18
17,44
43,12
27,22
38,84
RPAT

Keterangan : BI = bobot isi; RPT = ruang pori total; ISA = indeks stabilitas agregat; RPDSC = ruang pori drainase sangat cepat; RPDC =
ruang pori drainase cepat; RPDL = ruang pori drainase lambat; RPAT = ruang pori air tersedia; RP = ruang pori

17

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Analisis data
Perhitungan fluks aliran air dilakukan untuk
seluruh zone perakaran (kedalaman 50 cm) maupun
tiap zone 10 cm kedalaman tanah, dengan
pendekatan neraca air (Wagenet, 1986). Pada lahan
kering yang relatif datar, neraca air dapat dihitung
sebagai berikut:
D = P ET - S ........................................... (1)
dimana :
D
P

yang diperhitungkan. Menurut Hanks dan Ashcroft


(1986), pergerakan air transient merupakan
perubahan kadar air setiap saat dan dapat
menunjukkan perubahan storage selama selang
waktu yang diperhitungkan.
d dt-1 = dfluks dx-1 (cm/cm.waktu) .................(2)
dimana :
d dt-1

= Laju pergerakan air transient


-1

dfluks dx

= drainase air pada kedalaman yang


diperhitungkan (mm)
= Hujan (mm)

ET = Evapotranspirasi (mm)
S = Perubahan cadangan air (mm)
Besarnya drainase (D) dari tiap kedalaman
tanah yang diperhitungkan tiap hari merupakan fluks
aliran air per hari (Wagenet, 1986). Evapotranspirasi
dihitung dengan model Penmann, dan perubahan
cadangan air merupakan selisih cadangan air dari
suatu hari dikurangi dengan cadangan air hari
sebelumnya.
Pergerakan air transient diperhitungkan dari
perbedaan fluks antara dua titik kedalaman tanah

= Perubahan fluks per satuan jarak

Kebutuhan air irigasi ditetapkan berdasarkan


defisit kadar air terhadap kadar air minimum tersedia
bagi tanaman, yaitu selisih antara kadar air lapangan
terhadap kadar air minimum tersedia bagi tanaman
dikalikan dengan kedalaman zone perakaran yang
diperhitungkan. (Shaxson and Barber, 2003). Kadar
air minimum tersedia bagi tanaman merupakan kadar
air pada kondisi 50% air tersedia.
Jumlah air hujan yang dapat diretensi tanah
pada zona perakaran dapat diperhitungkan dari
jumlah hujan dikurangi dengan air yang terdrainase
(fluks aliran positif) pada tiap zone kedalaman tanah
yang diperhitungkan. Apabila fluks negatif (aliran ke
atas) atau nol, maka seluruh jumlah hujan dapat
diretensi oleh tanah.

Tabel 3. Konduktivitas hidrolik jenuh, tak jenuh, kapasitas retensi air maksimum, dan titik layu
permanen pada lahan blok 1, 2, dan 3
Table 3. Saturated, unsaturated hydraulic conductivity, maximum water retention capacity,
permanent wilting point at block 1, 2, and 3
Blok (kedalaman)
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3

18

cm
(0-10)
(10-20)
(20-30)
(30-40)
(40-50)
(0-10)
(10-20)
(20-30)
(30-40)
(40-50)
(0-10)
(10-20)
(20-30)
(30-40)
(40-50)

Konduktivitas
Konduktivitas hidrolik tak jenuh
hidrolik jenuh
..... cm jam-1 ....
11,03 Ln () + 7,46
0,92
12,32 Ln() + 8,10
0,92
11,56 Ln() + 8,32
0,92
12,87 Ln() + 8,86
0,92
11,57 Ln() + 8,40
0,92
11,39 Ln () + 7,89
2,38
11,65 Ln () +7,84
2,38
10,93 Ln() + 7,33
2,38
12,31 Ln() + 7,79
2,38
12,31 Ln() + 7,79
2,38
11,96 Ln () + 7,65
1,87
12,14 Ln() + 7,72
1,87
10,99 Ln () + 7,23
1,87
10,99 Ln() + 7,23
1,87
12,09 Ln () + 7,47
1,87

Kapasitas retensi
Titik layu
air maksimum
permanen
.............. % vol ..............
38,54
25,42
38,67
25,97
45,46
30,46
48,23
31,52
47,18
31,00
45,92
28,54
43,88
27,07
46,00
27,88
46,27
28,90
46,13
28,39
40,96
25,88
40,38
27,03
44,54
25,04
44,91
25,28
44,80
25,18

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

Analisis statistik

0,89 pada lahan blok 1; 0,63 pada lahan blok 2; dan


0,88 pada lahan blok 3. Pada jumlah hujan rendah,
sebagian besar air membasahi lapisan tanah dan
terikat kuat dalam pori mikro tanah. Pada kondisi ini,
apabila tanah belum jenuh, terjadi aliran tak jenuh
dalam tanah. Hujan-hujan rendah yang terjadi secara
berulang dapat menyebabkan aliran air melalui
matrik tanah, sehingga membasahi tanah secara
berangsur. Pada kejadian hujan besar, kadar air
tanah makin tinggi sampai mencapai kapasitas
retensi maksimum. Kelebihan air di atas kapasitas
retensi maksimum tanah merupakan air yang
menyumbangkan pada fluks aliran air pada saat
hujan. Semakin besar jumlah hujan, kelebihan air
yang keluar dari zona kedalaman tanah tertentu
makin besar, sehingga fluks aliran air makin besar.
Menurut Sugita et al. (2004), hujan besar dapat
menyebabkan pergerakan air hanya melalui pori-pori
makro tanpa menembus matrik tanah.

1. Untuk melihat pengaruh curah hujan terhadap


pergerakan air (fluks) dan laju pergerakan air
transient dilakukan analisis regresi dan korelasi.
2. Untuk melihat sifat-sifat pori yang paling
berpengaruh terhadap pergerakan air dan laju
pergerakan air transient dilakukan analisis regresi
berganda.
3. Untuk melihat perbedaan pergerakan air, laju
pergerakan air transient, dan kadar air antar tiap
blok lahan dilakukan uji beda nilai tengah (uji t).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pergerakan air dalam tanah
Pergerakan air pada zone perakaran sedalam
50 cm, yang ditentukan dalam fluks aliran air, lokasi
penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Fluks aliran
air yang melalui zona perakaran pada ketiga blok
lahan meningkat secara kuadratik dengan makin
besarnya jumlah hujan dengan koefisien korelasi
16
16

-1
-1

Walaupun pola fluks aliran air pada berbagai


jumlah hujan antara blok 1, 2, dan 3 sama, tetapi
kemiringan kurva maupun jumlah hujan untuk mulai
terjadinya fluks aliran air positif (aliran ke bawah)

2
1 Fluks
Fluks (blok
(blok 1)
0,04CH
CH++
X 10-4
r = 0,89
= 0,04
7 x710-4
CH CH
; r2=; 0,89
1) =
2
2
2 Fluks
Fluks (blok
(blok 2)
0,04
+ 0,0011
r = 0,63
= --0,20
0,20 - 0,04
CHCH
+ 0,0011
CH CH
; r 2= ;0,63
2) =

12
12
Fluks (cm
Fluks
(cm hari
hari ))

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

3 Fluks
= 0,24
0,0013
CH CH
; r 2=; 0,88
3
Fluks (blok
(blok 3)
0,24+ +
0,0013
r = 0,88
3) =

-4
-4
0

20
20

40

60
60

80
80

100
100

Curah hujan (mm)


(mm)
Gambar 1. Fluks aliran air pada berbagai jumlah hujan di lahan blok 1,
2, dan 3
Figure 1.

Fluxs water movement on various amount of rainfall at


block 1, 2, and 3
19

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

berbeda-beda. Pada hari-hari tanpa hujan, secara


rataan di lahan blok 1 dan 2 terjadi aliran air ke atas
(fluks negatif), sedangkan pada lahan blok 3 terjadi
aliran ke bawah (Tabel 4). Hal ini menunjukkan
bahwa retensi air yang tinggi pada hujan-hujan
sebelumnya di lahan blok 3 dapat menyebabkan
terjadinya aliran air gravitasi/drainase pada hari-hari
tidak hujan.
Besarnya fluks aliran air pada hujan yang sama
berbeda-beda antara ke tiga blok lahan (Tabel 4).
Fluks aliran air pada lahan blok 3 (lahan bekas
kacang tanah) nyata lebih besar dibanding fluks
aliran air di lahan blok 1 dan 2, terutama pada
hujan-hujan rendah (curah hujan < 10 mm). Namun
pada jumlah hujan yang lebih tinggi (curah hujan >
10 mm), fluks aliran air antara blok 1 dan 3 lahan
tidak berbeda nyata, tetapi fluks aliran air kedua
blok ini nyata lebih tinggi dibanding lahan blok 2.
Perbedaan fluks aliran air antara tiap blok
lahan disebabkan oleh perbedaan pengelolaan tanah
dan tanaman pada tiap blok lahan yang telah
menyebabkan perbedaan karakteristik pori yang
berbeda-beda (Tabel 1 dan 2). Karakteristik pori
berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik jenuh
maupun tak jenuh, sehingga berpengaruh terhadap
fluks

aliran

air.

Berdasarkan

analisis

regresi

berganda, konduktivitas hidrolik jenuh tanah blok 1,

2, dan 3 nyata dipengaruhi oleh ruang pori drainase


sangat cepat, ruang pori air imobil, ruang pori air
mobil, stabilitas pori, ruang pori drainase cepat, dan
ruang pori air tersedia dalam tanah dengan koefisien
korelasi sebesar 0,88 (Ks = -14,36 - 0,09 RPDSC
+ 0,27 RP air imobil + 0,25 RP air mobil + 0.02
St. Pori - 0,06 RPDC - 0,01 RPAT; R = 0,88).
Karakteristik pori secara langsung juga sangat
berpengaruh terhadap fluks aliran air. Berdasarkan
analisis regresi berganda pengaruh karakteristik pori
terhadap fluks aliran air menunjukkan bahwa fluks
aliran air sangat dipengaruhi oleh ruang pori drainase
cepat, stabilitas pori, ruang pori air mobil, dan ruang
pori mikro dengan koefisien korelasi sebesar 0,86
(Fluks = -2,93 - 0,06 RPDC - 0,01 St. Pori + 0,07
RP air mobil + 0,08 RP mikro; R = 0,86). Di antara
ruang pori tersebut, ruang pori air mobil dan ruang
pori mikro di lahan blok 3 nyata lebih tinggi
dibanding di lahan blok 1 dan 2 (Tabel 2), sehingga
meningkatkan fluks aliran air pada lahan blok 3.
Fluks aliran air pada zone perakaran dapat
menunjukkan laju distribusi air hujan pada zona
perakaran tersebut. Semakin besar fluks aliran air,
memungkinkan pergerakan dan distribusi air
sepanjang zone perakaran makin lancar. Pada hujanhujan rendah (curah hujan < 10 mm) memungkinkan
distribusi air di lahan blok 3 (lahan bekas kacang
tanah) lebih baik dibanding lahan blok 1 dan 2.

Tabel 4. Fluks aliran air dan laju pergerakan air transient pada lahan blok 1, 2, dan 3
Table 4. Water flux and rate of transient water movement at block 1, 2, and 3
Curah hujan
mm

Fluks rataan
d dt-1 rataan
1
2
3
1
2
3
-1
................................................... cm hari ...................................................

(-) 0,14 b

(-) 0,24 b

0,19 a

(-) 1,06 y

(-)0,09 x

(-) 2,31 z

0-10

0,07 b

(-) 0,25 c

0,30 a

0,02 y

1,85 x

(-) 0,97 z

10-20

0,66 a

(-) 0,80 b

1,13 a

2,26 x

3,73 x

0,22 y

20-30

1,84 a

(-) 0,48 c

1,17 b

3,87 x

5,50 x

1,75 y

30-50

2,23 a

0,26 b

2,17 a

5,09 y

8,19 x

1,41 z

> 50

7,33 a

2,33 b

7,47 a

1,28 y

8,37 x

(-) 0,09 y

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda berdasarkan
uji statistik( 1%).

20

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

Pergerakan air transient merupakan pergerakan


air dalam tanah yang kecepatannya selalu berubah
setiap saat. Karena terjadi perubahan kecepatan
setiap waktu, maka laju pergerakan air secara
transient tersebut merupakan perubahan kadar air
per satuan waktu (Hanks and Ashcroft, 1986). Pada
kedalaman

perakaran

tertentu,

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

0,83; 0,80; dan 0,62. Pada hujan rendah tambahan

Pergerakan air transient dalam tanah

jarak

PADA

perubahan

kadar air per satuan waktu dapat mencerminkan


perubahan storage setiap saat. Laju pergerakan air
transient tergantung pada perubahan fluks aliran air
dan mencerminkan dinamika kadar air dalam tanah.
Laju pergerakan air transient pada lahan blok

air hujan meningkatkan potensial air di permukaan


tanah, sehingga terjadi perbedaan potensial air yang
besar antara permukaan tanah dengan lapisan di
bawahnya yang relatif lebih kering. Semakin besar
jumlah hujan, perbedaan potensial air tanah antara
lapisan tanah atas dengan di bawahnya makin besar
yang menyebabkan perbedaan fluks antara kedua
lapisan tanah tersebut makin besar, sehingga laju
pergerakan air secara transient juga makin besar.
Dengan hujan yang lebih besar lagi, kadar air lapisan
tanah sampai kedalaman tertentu makin besar,
sehingga perbedaan potensial air lapisan permukaan
dengan di bawahnya makin kecil dan menyebabkan

1, 2, dan 3 nyata dipengaruhi oleh besarnya hujan

laju

(Gambar 2). Laju pergerakan air transient pada lahan

(menurun). Apabila tanah telah mencapai kapasitas

blok 1, 2, dan 3 meningkat secara kuadratik dengan

retensi maksimum, laju penambahan kadar air per

makin besarnya curah hujan sampai nilai maksimum

satuan waktu mencapai maksimum, dan apabila

dan setelah mencapai nilai maksimum menurun

tanah

kembali, dengan koefisien korelasi masing-masing

penambahan air tidak ada lagi (nol). Laju pergerakan

pergerakan

telah

air

transient

mencapai

makin

keadaan

rendah

jenuh

laju

20
2 2
1 d/dt
d dt-1(blok
(blok 1) =
-1,12++
0,30
0,004
= 0,83
0,30
CHCH- 0,004
CHCH
; r ;=r 0,83
1) =-1,12
2 2
2 d
dt-1(blok
(blok 2) 2)
==
0,26
CHCH
0,0019
d/dt
0,26
- 0,0019CH
CH; r; =
r =0,80
0,80

dd/dt
dt-1 (cm
hari-1)
(cm/hari)

15

2 2
3 d
(blok 3) = -2,23 + 0,21 CH 0,002 CH ; ;r r
dt-1 (blok
0,62
d/dt
3) = - 2,23 + 0,21 CH - 0,002 CH ==0,62

10

-5
0

20

40

60

80

100

Curah hujan (mm)


(mm)
Gambar 2. Pergerakan air transient pada berbagai jumlah hujan di lahan blok
1, 2, dan 3
Figure 2.

Transient water movement on various amount of rainfall at block


1, 2, and 3
21

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

menunjukkan

ruang pori air imobil, dan ruang pori air mobil dengan

maksimum pada curah hujan paling rendah, diikuti

koefisien korelasi 0,93 (d dt-1 = -1,85 - 0,04

oleh lahan blok 3 dan lahan blok 2 (Gambar 2). Laju

RPDSC + 0,04 RP air imobil + 0,02 RP air mobil; R

pergerakan air transient maksimum pada lahan blok

= 0,93).

air

transient

pada

lahan

blok

1 tercapai pada curah hujan 37,5 mm, pada lahan


blok 2 pada curah hujan 68,4 mm, dan pada lahan
blok 3 pada curah hujan 52,5 mm. Keadaan ini
membuktikan bahwa kemampuan retensi maksimum
tanah di blok 1 (terutama pada kedalaman 0-20) cm
paling rendah, sehingga laju pergerakan air transient
cepat mencapai maksimum.

Laju pergerakan air transient menunjukkan laju


perubahan

kadar

air

tanah,

yang

pada

zona

kedalaman tertentu dapat menunjukkan perubahan


storage.

Semakin

lambat

laju

pergerakan

air

transient, tanah makin lambat perubahan kadar


airnya, sehingga apabila tanah telah mencapai
retensi maksimum akan lebih mengkonservasi air.

Pada hujan yang sama mengakibatkan laju


pergerakan air transient yang berbeda-beda (Tabel

Hal ini terlihat pada lahan blok 3 (lahan bekas


kacang tanah).

4). Laju perubahan kadar air pada lahan blok 2 nyata


lebih tinggi dibanding lahan blok 1 dan 3. Keadaan

Distribusi air dalam tanah

ini dapat terjadi karena tidak adanya struktur tanah


yang baik pada tanah bekas sawah akibat proses
pelumpuran, sehingga meningkatkan jumlah pori
mikro yang dapat meretensi air. Menurut Sharma
dan De Datta (1985) dan Prihar et al. (1985), poripori makro tanah-tanah yang disawahkan menurun
sedangkan

pori-pori

mikro

meningkat

sehingga

kemampuan tanah mengikat air meningkat, terutama


pada potensial rendah (kemampuan tanah mengikat
air antara potensial 1 sampai 15 bar meningkat).

Jumlah, fluktuasi, dan distribusi air yang ada


dalam

karakteristik pori tanah dalam mengikat air maupun


dalam pergerakan air. Berdasarkan analisis regresi
karakteristik

pori

terhadap

kemampuan retensi tanah maksimum (kadar air pada


kapasitas retensi maksimum tanah blok 1, 2, dan 3
sangat dipengaruhi oleh ruang pori mikro, ruang pori
air tersedia, ruang pori air imobil, dan stabilitas pori
KL

bagi

yang masuk dan tertinggal dalam tanah ditentukan


oleh kemampuan retensi tanah dan pergerakan air
dalam tanah. Pada potensial air tanah rendah ( 1
bar),

kadar

air

tanah

sangat

ditentukan

oleh

kapilaritas dan distribusi ukuran pori tanah. Pada


potensial yang lebih tinggi, kadar air tanah lebih
Kadar air tanah selama periode pertumbuhan
tanaman selalu berfluktuasi dengan pola yang sama
pada seluruh kedalaman tiap blok lahan (Gambar 3).
Pola perubahan kadar air tiap kedalaman menurut
waktu mengikuti pola curah hujan dan fluks aliran
air.

keadaan kapasitas lapang) menunjukkan bahwa

dengan koefisien korelasi 0,99 (

ketersediannya

ditentukan oleh tekstur tanah (Hillel, 1980).

lahan blok 1, 2, dan 3 disebabkan oleh perbedaan

antara

menentukan

tanaman selama masa pertumbuhan. Jumlah air

Perbedaan laju pergerakan air transient antara

berganda

tanah

= - 0,38 +

Apabila

terjadi

hujan

maka

diikuti

oleh

kenaikan kadar air pada hari berikutnya, di mana


peningkatan kadar air tanah lebih dulu terjadi pada
lapisan atas diikuti oleh lapisan di bawahnya. Namun
pada

hari-hari

tanpa

hujan,

aliran

air

terjadi

1,04 RP mikro - 0,03 RPAT - 0,01 RP air imobil -

sebaliknya yaitu dari bawah ke atas (fluks negatif)

19x10-4 St. Pori; R = 0,99). Karakteristik pori tanah

melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat

juga

air

proses evapotranspirasi. Kenaikan kadar air tersebut

nyata

lebih nyata pada lapisan bawah dibandingkan lapisan

nyata

transient.

mempengaruhi

Laju

pergerakan

laju
air

pergerakan
transient

dipengaruhi oleh ruang pori drainase sangat cepat,


22

atas (Gambar 3).

75

-15

-30

225
150

-15

-30

(30-40)
(40-50)

TLP

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

-15

-30

55
(10-20)
(20-30)
(30-40)
(40-50)

35

KL

25

100

(0-10)

(0-10)
Kad arair
air(%
(% vol.)
v o l)
Kadar

K
a d a r air
a ir(%
(% vol.)
v o l)
Kadar

(20-30)

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

55

45

KL
TLP

25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

15

200

Waktu (minggu)

(10-20)

Fluks

300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(0-10)

45

75

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

55

15

CH

Fluks
F luk s (mm)
(m m )

150

15

Fluks

Curah
hujan,
kadarairair
Curah
hujan,fluks,
Fluks, dan
dan Kadar
blokblok
3 3
400
30

KKadar
a d a r air
a ir (%
(% vol.)
v o l)

225

CH

Fluks
Flu k s(mm)
(m m )

Fluks

FFluks
lu k s (mm)
(m m i)

C u ra h hujan
h u ja n(mm)
(m m )
Curah

CH

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

Curah
hujan,Fluks,
fluks,
kadar
air blok
Curah hujan,
dandan
Kadar
air blok
2 2
300
30
C u rahhujan
h u jan(mm)
(m m )
Curah

Curah
fluks,dan
dan
kadar
air blok
Curahhujan,
hujan, Fluks,
Kadar
air blok
1 1
300
30

PADA

C ura h hujan
h u ja n(mm)
(m m )
Curah

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

(10-20)

45

(20-30)
(30-40)
(40-50)

35

KL
TLP

25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

Gambar 3. Distribusi curah hujan, fluks, dan kadar air tanah pada lahan blok 1, 2, dan 3
Figure 3.

Rainfall distribution, flux, and soil water content at block 1, 2, and 3

Kadar air tanah pada ke tiga blok lahan selalu


berada pada selang air tersedia (Gambar 4). Namun
mengingat kedalaman efektif perakaran jagung
manis hanya sekitar 20 cm, walaupun kadar air
tanah masih berada pada selang air tersedia bagi
tanaman, pada hari-hari tanpa hujan menunjukkan
perlu adanya irigasi agar tercapai produksi yang
optimum. Keadaan ini diperlukan pada lahan blok 1
dan sedikit pada lahan blok 2 dan 3 pada kedalaman
(0-20) cm. Menurut Allen et al. (1998), Shaxson
dan Barber (2003); air tersedia yang cukup untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung adalah
30% air tersedia (maximum soil water deficit),
jumlah air tersimpan dalam tanah yang dapat segera
tersedia bagi tanaman tanpa tanaman mengalami
stres), bahkan untuk tanaman jagung manis di atas
50% (Allen et al., 1998). Pada kondisi di bawah
maximum soil water deficit, tanaman sudah mulai
kesulitan dalam menyerap air. Pada keadaan
demikian sebagian stomata tanaman menutup,
sehingga terjadi evapotranspirasi aktual yang

besarnya di bawah evapotranspirasi potensial.


Apabila kondisi ini sering terjadi, maka produksi
tanaman dapat menurun.
Kadar air rataan tiap kedalaman dari tiga blok
lahan menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar
3). Pada seluruh lahan, kadar air tanah lapisan
bawah, (40-60) cm, nyata paling besar dibanding
lapisan di atasnya, (20-40) cm, dan lapisan atas, (020) cm nyata paling kecil. Lapisan permukaan
merupakan lapisan yang paling tinggi dalam fluktuasi
kadar airnya akibat pengaruh hujan dan evaporasi
(Hanks and Ashcroft, 1986).
Kadar air pada lahan blok 2 (lahan bekas
sawah) selalu lebih besar diikuti oleh kadar air tanah
pada blok 3 dan blok 1 (Gambar 3). Perbedaan kadar
air tiap kedalaman antar blok ini disebabkan oleh
perbedaan sifat-sifat struktur tanah yang mempengaruhi distribusi pori sehingga berpengaruh pada
sifat retensi dan pergerakan air dalam tanah. Seperti
telah disebutkan di atas bahwa kemampuan retensi
23

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

50

Kadar (% vol)

Kadar air (% vol)

50

40

30
KL

KA min. tersedia

TLP

KA (20 cm)

10

20

30
40
Waktu (hari)

50

60

30
KA min. tersedia

20

20
Blok 1

40

70

10

20

KL

30

TLP

40

50

KA (0-20)

60

70

Waktu (hari)

Blok 2

Kadar air (% vol)

60
50
40
30
KA min. tersedia

KL

TLP

Rataan 20 cm

20
0

20

Blok 3

40
Waktu (hari)

60

Gambar 4. Kebutuhan air irigasi pada lahan blok 1, 2, dan 3


Figure 4.

Irrigation water requirement at blok 1, 2, and 3

Tabel 5. Jumlah air hujan teretensi dan kebutuhan air irigasi pada lahan blok 1, 2, dan 3
Table 5. Amount of rainfall retained and irrigation water requirement at block 1, 2, and 3
Waktu
minggu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rataan

Blok 1
hujan teretensi

mm
21
7
59
67
7
10
55
23
4
16
26,85

% hujan
39
90
68
66
99
99
65
100
100
55
78,13

Blok 2
Blok 3
Defisit air hujan teretensi Defisit air hujan teretensi Defisit air
mm
mm
% hujan
mm
mm
% hujan
mm
0,00
43
81
0,00
36
100
0,00
4,25
18
100
0,00
47
72
0,00
3,89
56
74
0,00
87
73
0,00
0,00
71
67
0,00
9
100
0,00
13,75
1
100
0,00
8
97
0,00
20,65
46
65
0,00
44
70
0,00
0,00
28
61
0,00
29
64
0,00
4,33
2
94
0,00
2
100
0,00
58,48
4
90
6,39
4
100
1,06
10,98
33
86
35,99
34
89
2,33
116,34
30,11
81,82
42,38
30,11
86,52
3,39

maksimum (kapasitas lapang) lahan penelitian nyata


dipengaruhi oleh ruang pori mikro, ruang pori air
tersedia, ruang pori air imobil, dan stabilitas pori
dengan koefisien korelasi 99% ( (KL) = -0,38 +
1,04 RP mikro - 0,03 RPAT - 0,01 RP air imobil 19x10-4 St. Pori; R = 0,99).
Berdasarkan jumlah hujan yang dapat teretensi
(Tabel 5) dan laju perubahan kadar air (Tabel 4 dan
Gambar 2) yang mencerminkan perubahan storage,

24

lahan blok 3 (lahan bekas kacang tanah) memiliki


kemampuan meretensi air hujan yang lebih besar
dan laju perubahan kadar air yang lebih rendah
dibanding lahan bekas kangkung (blok 1) maupun
lahan bekas sawah (blok 2). Hal ini menunjukkan
bahwa tanah di blok 3 lebih dapat mengkonservasi
air.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa lahan
bekas kacang tanah yang memiliki zone perakaran

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

paling dalam, dapat menyediakan air bagi tanaman


lebih kontinu dibanding lahan yang lain.
Air tersedia yang besar di lapisan > 20 cm
yang dapat menyumbangkan air ke lapisan di
atasnya pada hari-hari tanpa hujan. Variabilitas
kadar air rataan selama musim tanam pada lahan
blok 3 tidak terlalu besar (Gambar 3 dan 4). Apabila
ditinjau dari sifat-sifat fisik yang berkaitan dengan
ketersediaan air, lahan bekas kacang tanah
merupakan lahan yang telah dikelola secara baik.
Pada lahan bekas kangkung darat yang
memiliki zona perakaran paling dangkal memiliki
fluktuasi kadar air yang besar. Tanah yang memiliki
zona perakaran lebih dangkal, dengan lapisan bawah
zona perakaran yang lebih padat kurang dapat
menstabilkan kadar air tanah,karena kemampuan
dalam meretensi air hujan lebih rendah (Tabel 5) dan
kemampuan retensi maksimum tanah paling rendah
(Tabel 3), terutama pada kedalaman (0-20) cm. Di
samping itu, lahan bekas kangkung memiliki ruang
pori air tersedia yang lebih rendah dibanding lahan
yang lain (Tabel 2). Pada lahan demikian perlu
dirotasikan dengan tanaman berakar lebih dalam
untuk memperbaiki struktur tanah agar tercipta
distribusi pori yang baik di bawah kedalaman 20 cm,
agar pergerakan dan ketersediaan air dan udara
dalam tanah lebih lancar.
Pada
lahan
bekas
sawah,
walaupun
kemampuan retensi airnya tinggi, namun karena
pergerakan airnya kurang lancar, perlu penambahan
bahan organik pada waktu digunakan untuk
tanaman lahan kering. Karena pada musim hujan
dirotasikan dengan padi sawah, sebaiknya tidak
disarankan untuk ditanami tanaman berakar lebih
dalam dari kedalaman lapisan bajak agar tidak
merusak lapisan bajak.
Mengingat kedalaman perakaran jagung manis
hanya sampai 20 cm dari permukaan tanah, maka
untuk mencapai produksi optimum lahan blok 1, dan
2 dan 3 perlu tambahan air irigasi karena terjadi
defisit air sampai di bawah kadar air minimum
tersedia bagi tanaman. (Gambar 4 dan Tabel 5). Dari
Gambar 4 tersebut terlihat bahwa lahan blok 1, 2,
dan 3 menunjukkan defisit air yang berbeda. Defisit
air tertinggi terjadi pada lahan blok 1, diikuti oleh

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

lahan blok 2, dan terakhir pada lahan blok 3. Lahan


blok 3 menunjukkan paling bisa menjaga
kelembaban tanah sepanjang musim pertumbuhan,
sehingga hanya sedikit memerlukan air irigasi.

KESIMPULAN
1. Pergerakan air (fluks aliran air maupun laju
pergerakan air transient) pada tanah lahan kering
selain dipengaruhi oleh karakteristik pori, juga
dipengaruhi oleh jumlah hujan. Semakin besar
jumlah hujan, fluks aliran air makin besar ;
sedangkan laju pergerakan air transient
meningkat
sampai
maksimum,
kemudian
menurun kembali dengan makin besarnya hujan.
2. Pergerakan air pada tanah dengan berbagai
macam pengelolaan tanah dan tanaman sangat
dipengaruhi oleh karakteristik pori tanahnya.
Karakteristik pori yang berpengaruh terhadap
fluks aliran air adalah ruang pori drainase cepat,
ruang pori air mobil, dan stabilitas pori, dan
ruang pori mikro; sedangkan karakteristik pori
yang berpengaruh terhadap laju pergerakan air
transient adalah ruang pori drainase sangat
cepat, ruang pori air mobil, dan ruang pori air
imobil.
3. Lahan bekas kacang tanah yang memiliki fluks
aliran air paling besar, laju pergerakan air
transient (dinamika perubahan kadar air) paling
kecil dan solum tanah/zona perakaran paling
dalam; lebih kontinu menyediakan air bagi
tanaman dan membutuhkan air irigasi paling
sedikit.
4. Lahan bekas kacang tanah dapat meretensi air
hujan paling besar karena banyak memiliki poripori mikro, sedangkan lahan bekas kangkung
paling sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith.
1998. Crop evapotranspiration-Guidelines for
computing crop water requirement-FAO
Irrigation and drainage paper 56. FAO. Rome.
25

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Bagarello, V., M. lovino, and D. Elrick. 2004. A


Simplified falling-head technique for rapid
determination of field - saturated hydraulic
conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:6673.
Bodhinayake, W., B. Cheng Si, and C. Xiao. 2004.
New method for determining waterconducting macro- and mesoporosity from
tension infiltrometer. Soil Sci. Soc. Am. J.
68:760-769.
Dunn, G.H. and R.E. Phillips. 1992. Equivalent
diameter of simulated macropore systems
during saturated flow. Soil Sci. Soc. Am. J.
56:52-58.
Edwards, W.M., M.J. Shipitalo, W.A. Dick, and L.B.
Owens. 1992. Rainfall intensity affects
transport of water and chemicals through
macropores in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am.
J. 56:52-58.
Hanks, R.J. and G.L. Ashcroft. 1986. Applied Soil
Physics. Springer-Verlag. Heidelberg.
Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics.
Academic Press. New York.
Perfect, E.M.C., Sukop, and G.R. Haszler, 2002.
Prediction of dispersivity for undisturbed soil
columns from water retention parameters.
Soil Sci. Soc. Am. J. Pp. 696-701.
Prihar, S.S., B.P. Ghildyal, D.K. Painuli, and H.S.
Sur. 1985. Physical properties of mineral
soils affecting rice-based cropping systems.
Pp 57-70. In IRRI (1985). Soil Physics and
Rice International Rice Research Institue. Los
banos, Laguna, Philippines.
Sharma, P.K. and S.K. De Datta. 1985. Effect of
puddling on soil physical properties and
processes. Pp. 217-234. In IRRI (1985). Soil

26

Physics and Rice. International Rice Research


Institut. Los Banos, Laguna, Philippines.
Shaxson, F. and R. Barber. 2003. Optimizing Soil
Moisture for Plant Production. FAO Soils
Bull. 79. http://www.fao.org/DOCREP/006/
Y4690E00.HTM.
Shipitalo, M.J., W.M. Edwards, W.A. Dick, and L.B.
Owens. 1990. Initial storm effects on
macropore transport of surface-applied
chemicals in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J.
54: 1530-1536
Stenhuis, T.S., C.J. Ritsema, and L.W. Dekker.
1996. Fingered flow in unsaturated soil:
From nature to model. Special issue.
Geoderma 70:83-324.
Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talaohu.
2004. Teknologi konservasi air pada pertanian
lahan kering. Dalam U. Kurnia, A. Rachman,
dan A. Dariah (Eds.) Teknologi Konservasi
Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat
Litbang Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Sugita, F., T. Kishii, and M. English. 2004. Effects
of macropore flow on solute transport in a
vadose zone under repetitive rainfall events.
In Proceedings of Groundwater Quality
2004, the 4th International Groundwater
Quality Conference, held at Waterloo,
Canada, July 2004.
Torr,

G.S., L.M. Condron, H.J.Di, and K.C.


Cameron. 2004. Seasonal fluctuations in
phosphorus loss by leaching from a
grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:
1429-1436.

Wagenet, R.J. 1986. Water and solute flux. In A.


Klute (Ed.) Methods of Soil Analysis. Am.
Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc
Madison, Wisconsin USA.

Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya
Affects of Tsunami on Soil Properties in NAD and Its Rehabilitation Strategy
ACHMAD RACHMAN1, DEDDY ERFANDI1,

DAN

M. NASIL ALI2

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Gelombang tsunami yang terjadi akibat gempa bumi di


pantai barat Sumatera pada tanggal 26 Desember 2004 telah
menyebabkan terjadinya peningkatan salinitas lahan-lahan
pertanian dan rusaknya sistem irigasi dan drainase di sepanjang
pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tujuan
penelitian ini adalah untuk memonitor perubahan salinitas tanah di
daerah yang terkena tsunami. Pengambilan contoh tanah pada
beberapa kedalaman dan pengukuran salinitas menggunakan
electromagnetic induction technique (EM38) telah dilakukan di
beberapa tempat. Tingkat salinitas tanah dipengaruhi oleh
karakteristik lumpur yang terbawa oleh tsunami ke lahan
pertanian dan tingkat permeabilitas tanah. Garam-garam telah
bergerak ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, khsusunya
pada tanah yang teksturnya lebih kasar, dimana umumnya petani
menanam kacang tanah pada musim kemarau. Pada lahan
persawahan yang teksturnya lebih berat, garam-garam
terakumulasi di dekat permukaan tanah, mungkin disebabkan oleh
genangan air yang lebih lama pada saat tsunami dan terdapatnya
lapisan tapak bajak yang menghambat pergerakan air ke dalam
tanah. Beberapa rekomendasi telah diberikan kepada petugas dan
petani sehingga mereka dapat mengurangi kehilangan hasil
sebagai akibat dari tsunami. Rekomendasi tersebut di antaranya
adalah menghindari menanam pada bagian lahan yang
salinitasnya masih tinggi, meningkatkan laju pencucian horizontal
dan vertikal, memperbaiki kesuburan tanah, dan menanam
tanaman yang toleran terhadap salinitas yang relatif tinggi.

Gempa bumi dan tsunami yang memporak


porandakan kawasan pantai barat dan timur Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 26
Desember 2004 telah menimbulkan berbagai
masalah yang memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk mengatasinya. Cakupan persoalan jangka
panjang untuk sektor pertanian meliputi antara lain
hilangnya sebagian lahan usahatani karena terendam
air laut secara permanen, rusaknya lahan usahatani
oleh erosi, meningkatnya kadar garam (salinitas)
tanah, rusaknya sistem irigasi dan drainase,
lumpuhnya sistem produksi dan pemasaran hasil
pertanian, dan rendahnya ketersediaan tenaga kerja
pertanian yang terampil. Daftar panjang masalah
yang diakibatkan oleh tsunami di NAD tersebut
menggambarkan berbagai isu yang menentukan
keberhasilan proses rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh setelah tsunami.

Kata kunci : Tsunami, Salinitas, Pencucian, Rehabilitasi

ABSTRACT

Provinsi NAD dengan total luas 5,5 juta ha


memiliki sawah irigasi (teknis, semi teknis, desa,
tadah hujan, pasang surut, dan lebak) seluas
336.017 ha yang tersebar di sepanjang pantai barat
dan utara seluas 156.458 ha dan di pantai timur
seluas 179.559 ha. Sawah berigasi teknis dan semi
teknis terdapat seluas 139.139 ha, umumnya
dijumpai berturut-turut di Pidie, Aceh Utara, Aceh
Besar, Nagan Raya, Bireun, Aceh Barat, dan Aceh
Timur. Sawah tadah hujan terdapat seluas 127.090
ha, 70.190 ha diantaranya berada di pantai timur,
sisanya seluas 56.900 ha berada di pantai barat dan
utara (Badan Pusat Statistik, 2003). Dengan
demikian nampak jelas bahwa areal persawahan baik
irigasi maupun tadah hujan dijumpai lebih luas di

The giant tsunami waves following the earthquake of the


west coast of Sumatra on December 26, 2004, have caused soil
salinisation of agricultural lands and damaged to irrigation and
drainage channels along the coastal areas of Aceh Province,
Indonesia. The objective of this study was to monitor the changes
in soil salinity of the tsunami-affected sites. Regular collection of
soil samples for soil laboratory analyses and field salinity
measurement using an electromagnetic induction technique
(EM38) have been conducted. The level of soil salinity in tsunami
affected areas appears to be related to the characteristics of the
deposited mud and soil permeability. Salt appears to have
penetrated deeper into the sandier soils, commonly used to grow
peanut during dry seasons. In the heavier rice soil, salt
accumulate closer to the soil surface, probably because they
were flooded at the time of the tsunami and often have a dense
impermeable plough layer. Recommendations have been made to
farmers that would allow them to reduce crop losses on tsunami
affected soils. This includes avoid planting land that is still saline,
enhance salt leaching horizontaly and vertically, improve soil
fertility, and grow salt tolerant crops.

1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Keywords : Tsunami, Salinity, Leaching, Rehabilitation

2. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nanggroe


Aceh Darussalam.

ISSN 1410 7244

27

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

pantai timur dibandingkan dengan di pantai barat


dan utara Provinsi NAD. Jika diasumsikan bahwa
rata-rata produktivitas lahan sawah di NAD adalah
4,2 t ha-1 per musim tanam, maka dengan total luas
sawah sebesar 336.017 ha akan diperoleh beras
sebanyak 1,4 juta t ha-1 per musim tanam.
Hasil analisis citra satelit yang dilakukan Balai
Penelitian Tanah, Bogor memperlihatkan bahwa luas
lahan persawahan yang terkena dampak tsunami
dengan tingkat kerusakan yang bervariasi sekitar
29.000 ha. Dengan demikian potensi kehilangan
hasil berupa beras adalah sebesar 120.000 ton per
musim tanam. Selain lahan persawahan yang rusak,
diperkirakan terdapat sekitar 184.000 ha lahan
kering dari total 1,9 juta ha yang ada, juga terkena
dampak tsunami (Rachman et al., 2005).

tanah yang selanjutnya akan menghambat perkembangan akar tanaman (Ben-Hur et al., 1998).
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
pengaruh kejadian tsunami terhadap sifat-sifat kimia
tanah di NAD dan merumuskan strategi untuk
merehabilitasi lahan pertanian.

BAHAN DAN METODE


Pengambilan contoh tanah dan lumpur tsunami
dilakukan pada 1, 7, 9, dan 12 bulan setelah
tsunami. Khusus untuk contoh lumpur, pengambilan
contoh hanya dilakukan satu kali yaitu pada satu
bulan setelah tsunami. Pengambilan contoh tanah
pada bulan ke-7 dilakukan di tiga kabupaten masing-

Tsunami tidak hanya menyebabkan kerusakan


fisik terhadap bangunan, jalan, jembatan, sistem
sanitasi dan lainnya, tetapi juga menyebabkan
tercemarnya lahan pertanian yang disebabkan oleh
intrusi air laut dan terendapnya lumpur berkadar
garam tinggi di atas permukaan tanah.

masing di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, dan

Salinitas tanah merupakan faktor pembatas


penting pertumbuhan tanaman. Kadar garam yang
tinggi dalam larutan tanah akan menyebabkan
osmotik potensial larutan dalam tanah berkurang.
Larutan akan bergerak dari daerah yang konsentrasi
garamnya rendah ke konsentrasi tinggi. Akibatnya
akar tanaman kesulitan menyerap air, karena air
terikat kuat pada partikel-partikel tanah dan dapat
menyebabkan terjadinya kekeringan fisiologis pada
tanaman (Gunes et al., 1996; Cornillon and Palloix,
1997). Pada kondisi dimana konsentrasi garam
dalam larutan tanah sangat tinggi, maka air dari
dalam sel tanaman bergerak keluar, dinding
protoplasma mengkerut dan sel rusak karena terjadi
plasmolisis. Selain tanaman harus mengatasi tekanan
osmotik tinggi, pada beberapa tanaman dapat terjadi
ketidak-seimbangan hara disebabkan kadar hara
tertentu terlalu tinggi, dan adanya bahaya potensial
keracunan natrium dan ion lainnya (FAO, 2005).
Konsentrasi natrium yang tinggi dalam tanah yang
ditunjukkan oleh nilai ESP (exchangeable sodium
percentage) >15 mengakibatkan rusaknya struktur

Besar, dan Peuneung di Banda Aceh.

28

Aceh Barat untuk mendapatkan gambaran secara


umum mengenai sifat-sifat tanah. Pengamatan pada
bulan ke-9 dan 12 dilakukan di empat lokasi masingmasing di Cot Lheu Rheng dan Panteraja di
Kabupetan Pidie, Lhok Nga di Kabupaten Aceh
Selain pengambilan contoh tanah, dilakukan
juga pengukuran salinitas tanah menggunakan alat
electromagnetic conductivity meter (EM-38). Alat ini
mengukur secara cepat salinitas tanah tanpa membongkar atau mengganggu tanah dengan memanfaatkan induksi elektromagnetik (electromagnetic induction) dari aliran listrik yang dipancarkan ke dalam
tanah. Alat yang digunakan tersebut terdiri atas
sebuah alat pemancar pada salah satu ujungnya dan
penerima

pada

ujung

yang

lainnya.

Dari

alat

pemancar tersebut akan dipancarkan medan magnet


ke dalam tanah yang kemudian mendorong terjadinya aliran listrik lemah di dalam tanah. Aliran listrik
lemah ini kemudian diukur oleh alat penerima. Nilai
yang diukur secara digital menunjukkan daya hantar
listrik

(DHL)

atau

ECa

tanah.

Alat

ini

dapat

mengukur DHL tanah sampai pada kedalaman 1,5


meter tanpa harus mengebor tanah atau membongkar tanah (McNeil, 1986; Slavich, 1990).

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

Contoh lumpur tsunami yang mengendap


setelah kejadian tsunami diambil di dua transek
berbeda yaitu di Darussalam dan Lhok Nga. Pada
masing-masing transek ditetapkan lima titik
pengambilan contoh berdasarkan jarak dari pantai,
masing-masing 1; 2,5; 3,5; 4; dan 4,5 km untuk
transek Darussalam dan 1; 2; 3,5; 4; dan 5 km
untuk transek Lhok Nga. Selain contoh lumpur
diambil juga contoh tanah pada dua lapisan (0-10
cm dan 10-20 cm) tepat di bawah endapan lumpur.
Pengambilan contoh lumpur tsunami dan tanah
dilakukan pada tanggal 26-29 Januari 2005 atau
sebulan setelah terjadinya tsunami di Aceh. Contoh
tanah dan lumpur tsunami dianalisis di laboratorium
kimia tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor untuk
penetapan tekstur, pH, daya hantar listrik (DHL), C
organik, kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K),
natrium (Na), dan kapasitas tukar kation (KTK)
mengikuti prosedur analisis kimia tanah di lab. Balai
Penelitian Tanah (Sulaeman et al., 2005). Contoh
tanah untuk penetapan DHL menggunakan campuran tanah dan air 1 banding 5. Hasil pembacaan (ECw)
kemudian dikonversi ke ECe dengan mengalikan
faktor koreksi sesuai dengan tekstur tanahnya.
Faktor koreksi untuk tanah dengan kandungan liat
<10% adalah 17; 13,8 untuk kandungan liat 1025%; 9,5 untuk kandungan liat 25-30%; 8,6 untuk
kandungan liat 30-45%; dan 7 untuk kandungan liat
>45% (Hughes, 1999).

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur ini dapat


terinfiltrasi ke dalam tanah dan berpotensi untuk
meningkatkan salinitas tanah di daerah perakaran,
merusak struktur tanah, dan mencemari air tanah
(Cardon et al., 2003; Franzen, 2003).
Nilai ESP (exchangeable sodium percentage),
EC (electrical conductivity), dan Na (natrium) untuk
transek

Darussalam

disajikan

pada

Gambar 1,

sedangkan untuk transek Lhok Nga disajikan pada


Gambar 2. Pada umumnya tingkat salinitas melebihi
batas kritis untuk pertumbuhan tanaman. Tingkat
salinitas (ECe), nilai ESP, dan Na dari contoh tanah
yang diambil di transek Lhok Nga umumnya lebih
tinggi

dibandingkan

dengan

tanah

di

transek

Darussalam, khususnya untuk tanah di lapisan


permukaan (0-10 cm). Lokasi pengambilan contoh
tanah di Lhok Nga umumnya tanah sawah sehingga
cenderung menahan air laut dan lumpur dalam
petakan sehingga memperbesar potensi peningkatan
salinitas tanah. Sementara di Darussalam, pengamatan dilakukan umumnya di lahan bukan sawah
sehingga lumpur tsunami cenderung cepat terbilas
air hujan.
Terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan
ECe dari <1 dS m-1 pada tanah yang tidak terkena
tsunami menjadi setinggi 40,97 dS m-1 pada tanah
yang terkena tsunami. Terdapat juga peningkatan
ECe pada lapisan di bawah permukaan tanah (10-20
cm) namun lebih rendah dibandingkan dengan di

HASIL DAN PEMBAHASAN

permukaan tanah. Nilai ECe, ESP, dan Na di dua

Sifat-sifat lumpur tsunami dan tanah


satu bulan setelah tsunami

kat dari daerah pantai ke arah daratan. Nilai tertinggi

Air laut mengandung garam yang tinggi


(>500 me l-1), terutama dalam bentuk NaCl,
kombinasi basa-basa kation (K, Ca, Mg), sulfat,
bikarbonat dan klorin (anion). Apabila air laut ini
menggenangi lahan pertanian akan menyebabkan
meningkatnya salinitas tanah. Bencana tsunami di
Aceh tidak hanya menggenangi lahan pertanian
dengan air laut, tetapi juga mengendapkan lumpur

lokasi transek menunjukkan kecenderungan meningdijumpai pada jarak sekitar 3,5 km dari pantai
kemudian mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil analisis tanah, tanah yang
terkena tsunami dapat digolongkan sebagai tanah
saline-sodic yang ditandai oleh nilai ESP tanah >
15% dengan pH <8,5. Faktor utama penyebab meningkatnya nilai ESP adalah terakumulasinya ion Na
yang terbawa lumpur tsunami dalam konsentrasi yang
sangat tinggi (>1 cmolc kg-1) di permukaan tanah.

29

30
120
0 - 10 cm

35

10 - 20 cm

30
25
20
15

20
0 - 10 cm

100

0 - 10 cm

80
60

10 - 20 cm

15

10 - 20 cm

Na,(%)
%
Na

40

ESP
ESP,(%)
%

ECEC
tanah
(dS
m-1)
tanah,
dS/m

45

10

40
5

10

20

0
1,00
1.00

2,50
2.50

3,50
3.50

4,00
4.00

0
1,00
1.00

4,50
4.50

3,50
3.50

4,00
4.00

1.00
1,00

4,50
4.50

2.50
2,50

3.50
3,50

4.00
4,00

4.50
4,50

Jarak
pantai, km
Jarak
daridari
pantai
(km)

Jarakdari
daripantai
pantai, km
Jarak
(km)

Gambar 1. Nilai EC, ESP, dan Na pada dua kedalaman tanah pada transek Darussalam, Januari 2005
Figue 1.

EC, ESP, and Na values of soil collected from the Darussalam transect at two depths, January 2005

120

45
0 - 10 cm

35

20

100

25
20

15

10 - 20 cm

80

Na, (%)
%
Na

30

0 - 10 cm

0 - 10 cm

10 - 20 cm

ESP
ESP,(%)
%

ECEC
tanah
m-1)
tanah,(dS
dS/m

40

60

10 - 20 cm

10

40

15

10

20

0
1,00
1.00

2,00
2.00

3,50
3.50

4,00
4.00

Jarak
dari
(km)
Jarak
daripantai
pantai, km

5,00
5.00

1.00
1,00

2.00
2,00

3.50
3,50

4.00
4,00

Jarak
dari
(km)
Jarak
daripantai
pantai, km

5.00
5,00

1.00
1,00

2.00
2,00

3.50
3,50

4.00
4,00

Jarak
daridari
pantai
Jarak
pantai, (km)
km

Gambar 2. Nilai EC, ESP, dan Na pada dua kedalaman tanah pada transek Lhok Nga, Januari 2005
Figure 2.

EC, ESP, and Na values of soil collected from the Lhok Nga transect at two depths, January 2005

5.00
5,00

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Jarak
daripantai
pantai, km
Jarak
dari
(km)

2,50
2.50

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

Konsentrasi ion Na dalam tanah yang tinggi akan


merusak struktur tanah, mengganggu keseimbangan
unsur hara, dan menurunkan ketersediaan air untuk
pertumbuhan tanaman.
Menurut Emerson dan Bakker (1973), tanah
mulai terdispersi pada kandungan Na tanah sekitar
5%. Makin tinggi kandungan Na tanah, makin
mudah tanah terdispersi. Partikel tanah yang telah
terdispersi akan bergerak menyumbat pori-pori tanah
menyebabkan tanah memadat dan suplai oksigen
untuk pertumbuhan akar dan mikroba tanah
menurun drastis. Infiltrasi juga sangat terhambat
menyebabkan sangat sedikit air yang masuk ke
dalam tanah dan sebagian besar tergenang di
permukaan dan menyebabkan terjadinya pelumpuran.
Sangat sedikit tanaman yang dapat tumbuh jika
kondisi tersebut telah terjadi. Pertumbuhan tanaman
terhambat, selain oleh jeleknya sifat fisik tanah juga
karena terbentuknya ion-ion beracun seperti Na+,
OH-, dan HCO3-.
Gelombang tsunami juga membawa lumpur
dari dasar laut yang kemudian mengendap di lahan
pertanian, sumur-sumur, kolam, cekungan, dan
tempat-tempat lain (Gambar 3). Ketebalan lumpur
bervariasi dari <5 cm sampai sekitar 20 cm. Makin
jauh dari pantai endapan lumpur makin halus dengan
kandungan liat tertinggi sekitar 43% dan terendah
sekitar 8% (Tabel 1). Selain mengandung garamgaram yang berpotensi meningkatkan salinitas
tanah, lumpur tsunami juga mengandung C organik

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

dan kation-kation seperti Ca, Mg, dan K yang tinggi


sampai sangat tinggi. Dengan demikian apabila
konsentrasi Na dapat dikurangi melalui pencucian
disertai dengan pemberian amelioran tanah seperti
gypsum atau pupuk organik, lumpur tsunami berpotensi untuk memperbaiki kandungan C organik
dan kation-kation tanah.
Sifat-sifat tanah tujuh bulan setelah tsunami
Periode kering selama beberapa bulan di Aceh
Besar dan Banda Aceh, kemungkinan akan menyebabkan bergeraknya garam ke lapisan permukaan
tanah melalui proses evaporasi. Evaporasi yang
tinggi akan membawa garam-garam dari dalam
tanah ke permukaan tanah sehingga berpotensi
mengganggu pertumbuhan tanaman. Rata-rata
(n=20) nilai pH, ECe, ESP, dan Na lebih tinggi di
permukaan tanah (top soil) dibandingkan dengan di
bawah permukaan tanah (sub soil) (Tabel 2). Reaksi
tanah (pH) umumnya netral sampai agak alkalis
(7,51,1) sedangkan kadar kation dapat ditukar
sedang sampai tinggi, kecuali K yang rendah sampai
sedang (0,40,4). Pengaruh tingginya salinitas
tanah di daerah permukaan tanah (0-20 cm) dapat
diamati di sejumlah daerah pada pertengahan tahun
2005, dimana tanaman padi, jagung, kacangkacangan, dan sayuran menunjukkan gejala pertumbuhan vegetatif yang terhambat atau pertumbuhan
vegetatif bagus tetapi proses pengisian polong
kurang sempurna.

Paddy
Paddy bunds
bunds
covered
covered with
with mud
mud

Gambar 3. Endapan lumpur tsunami pada minggu keempat Januari 2005 di A) halaman BPTP dan B) Seubun
Lhok Nga
Figure 3.

Deposited tsunami sediments on the fourth week of January 2005 at A) BPTP station and B)
Seubun Lhok Nga
31

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Karakteristik kimia dan fisik endapan lumpur tsunami yang diambil dari lahan-lahan pertanian
pada bulan Januari 2005
Table 1. Selected chemical and physical characteristics of deposited sediments of marine origin
collected from affected agricultural field in January 2005
Desa
Lamcot
Keuneuneu
Lampineung
Tanjung
Miuree

Kandungan
Pasir
Liat
.. % ..
52,8
7,8
26,2
42,8
12,3
42,3
47,2
24,8
6,2
41,9

Tebal
lumpur
cm
10 - 20
15 - 25
15 - 25
<5
<10

ECe

dS m-1
60,86
84,19
80,11
38,95
19,80

%
2,93
4,11
2,27
0,97
2,82

Nilai tukar kation


Ca
Mg
K
Na
.. cmolc kg-1 ..
24,69
6,85
0,46
13,62
20,11
24,54
2,23
59,69
18,57
26,22
2,85
56,93
8,57
10,80
0,82
18,87
18,86
19,72
2,36
13,84

Tabel 2. Sifat-sifat tanah di Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat tujuh bulan setelah tsunami
Table 2. Selected soil chemical and physical properties of soil collected from Aceh Besar, Aceh
Jaya, and Aceh Barat at seven months after tsunami
Anasir tanah
Tekstur
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH
H2 0
KCl
Susunan kation
Ca (cmolc kg-1)
Mg (cmolc kg-1)
K (cmolc kg-1)
Na (cmolc kg-1)
KTK (cmolc kg-1)
ECe (dS m-1)
ESP (%)
SAR

Aceh Besar
Top soil
Sub soil

Aceh Barat
Top soil
Sub soil

67,6 (31,5)
13,3 (12,6)
19,2 (19,5)

41,9 (24,3)
23,2 (9,1)
34,9 (16,8)

59,3 (28,1)
18,7 (11,2)
22,0 (17,8)

43,9 (24,6)
24,9 (11,8)
31,3 (18,3)

49,3 (31,9)
28,7 (19,0)
22,0 (15,0)

56,9 (34,8)
23,9 (17,5)
19,3 (17,7)

7,5 (1,1)
7,2 (1,4)

7,3 (0,6)
6,7 (0,8)

5,8 (1,4)
5,6 (1,5)

5,3 (0,8)
4,8 (0,9)

5,1 (1,0)
4,6 (1,1)

5,0 (1,0)
4,5 (0,8)

16,3 (10,1)
7,3 (5,7)
0,4 (0,4)
7,5 (12,7)
9,9 (8,9)
31,8 (48,6)
145 (275)
2,5 (4,3)

14,8 (7,2)
7,5 (4,6)
0,4 (0,4)
7,1 (8,2)
14,6 (9,8)
16,5 (21,2)
68,5 (91,1)
2,1 (2,3)

11,5 (10,0)
4,1 (2,7)
0,2 (0,1)
3,0 (4,2)
14,8 (15,8)
7,3 (4,6)
27,3 (31,3)
1,1 (1,4)

8,3 (4,4)
4,0 (3,8)
0,2 (0,2)
2,0 (1,9)
15,2 (12,1)
5,5 (5,0)
15,2 (8,5)
0,8 (0,6)

6,0 (5,3)
5,0 (5,4)
0,2 (0,2)
2,7 (4,5)
21,0 (24,3)
8,3 (10,2)
14,2 (12,3)
1,0 (1,3)

4,8 (4,2)
5,6 (9,0)
0,3 (0,4)
7,7 (17,1)
16,9 (23,5)
16,1 (29,8)
25,6 (203)
2,2 (3,6)

Salinitas tanah di Aceh Jaya dan Aceh Barat


yang diamati pada bulan Juli dan Agustus 2005
umumnya masih cukup tinggi, rata-rata di atas 5,5
dS m-1. Reaksi tanah umumnya masih masam,
meskipun telah terjadi peningkatan pH tanah dari
rata-rata 4,5 sebelum tsunami (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, 1990) menjadi 5,8 di Aceh
Jaya dan 5,1 di Aceh Barat. Ca dapat ditukar tinggi
di Aceh Jaya, rendah di Aceh Barat, Mg dan Na
tinggi, sedangkan K rendah untuk kedua kabupaten.
Pengkayaan Ca dan Na oleh tsunami pada tanahtanah bergambut di Aceh Barat dan Aceh Jaya
belum dapat meningkatkan reaksi tanah mendekati
netral. Kalium berperan sangat penting dalam
meningkatkan
ketahanan
tanaman
terhadap
kekeringan, memperkuat batang tanaman, dan
meningkatkan kualitas buah. Dengan demikian,
32

Aceh Jaya
Top soil
Sub soil

tanah-tanah yang kahat terhadap K menyebabkan


tanaman rentan terhadap kekeringan, mudah rebah
apalagi jika pemupukan N cukup tinggi, dan kualitas
bijinyapun kurang baik.
Pencucian garam-garam dalam kurun waktu 9 dan 12
bulan setelah tsunami

Chlorida

(Cl-)

adalah

satu

unsur

utama

pembentuk salinitas tanah diikuti oleh natrium (Na).


Cl bersifat sangat larut dalam tanah dan hampir
dapat

diabaikan

jumlahnya

yang

difiksasi

oleh

partikel liat. Oleh karena itu Cl sangat mudah tercuci


ke dalam tanah pada kondisi dimana cukup air dan
struktur

tanah

mendukung

terjadinya

proses

pencucian. Pada kondisi dimana terdapat lapisan

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

tanah yang hantaran hidrauliknya sangat rendah,


maka Cl akan terakumulasi di lapisan tersebut.
Untuk melihat sejauh mana proses pencucian garamgaram, dilakukan pengambilan contoh tanah pada
berbagai kedalaman tanah di beberapa tempat.
Gambar 4 A, B, C, dan D memperlihatkan
distribusi Cl pada berbagai kedalaman di Cot Lheu
Rheng, Panteraja Pidie, Lhok Nga, dan Peuneung
Aceh Besar. Secara umum nampak bahwa
konsentrasi Cl di permukaan tanah telah mengalami
penurunan yang sangat nyata (sekitar 300-1.400%)

A
2.000
2000

4.000
4000

6.000
6000

0
O

500
500

1000
1.000

1500
1.500

2000
2.000

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

Cl (ppm )

8.000
8000 10.000
10000

20
40

Sept 05
60

Nov 05
Okt 07

80

20
40

Sept 05

60

Nov 05
80

Okt 07

100

100

Cl (ppm)
O
0

1.000
1000

2.000
2000

3.000
3000

Cl (ppm )
0
O

4.000
4000

20

20

40

60

Sept 05
Nov 05

80

100

Okt 07

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

dari bulan September, November 2005, dan Oktober


2007. Umumnya konsentrasi Cl meningkat pada
kedalaman 40 cm kecuali di Cot Lheu Rheng (A)
yang mengalami penurunan mengikuti kedalaman
tanah. Kecenderungan yang sama juga terjadi
terhadap paramater lainnya seperti Na (Gambar 5)
dan ECe (Gambar 6). Penurunan ini diduga
disebabkan oleh tingginya curah hujan yang terjadi
selama periode September s/d November 2005 yang
menyebabkan terjadinya pencucian, baik secara
horizontal maupun vertikal.

Cl (ppm )
O
0

DI

1000
1.000

2000
2.000

3000
3.000

4000
4.000

40

60

Sept 05
Nov 05

80

Okt 07

100

Gambar 4. Perubahan konsentrasi Cl pada berbagai kedalaman tanah di A)


Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh
Besar, dan D) Peuneung, Banda Aceh
Figure 4.

Changes in Cl values over time by soil depth at A) Cot Lheu


Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and
D) Peuneung, Banda Aceh

33

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

-1
olc+kg
/kg)
Na (cm
(cmol
)

A
0

10

Na (cm
olc+/kg)
(cmol
kg-1)

B
15

20

10

20

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman Tanah (cm)

40

Sept 05

60

Nov 05
80

Okt 07

20
40

Sept 05

60

Nov 05
80

Okt 07

100

10 0

Na (cm
(cmol
kg-1)
Na
olc+/kg)

C
0

D
8

-1
Na(cmol
(cmol
/kg)
Na
c kg
)

10

10

20

40

60

Sept 05
Nov 05

80

Okt 07

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

0
20

40
60

Sept 05
Nov 05

80

Okt 07

100

10 0

Gambar 5. Konsentrasi Na pada berbagai kedalaman tanah di A) Cot Lheu


Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, dan
D) Peuneung, Banda Aceh
Figure 5.

Changes in Na values over time by soil depth at A) Cot Lheu


Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and
D) Peuneung, Banda Aceh

Pengukuran salinitas menggunakan EM38

Hasil pengukuran salinitas tanah di laboratorium berkorelasi positif dengan hasil pengukuran
dengan EM38 (Gambar 7). Dengan persamaan regresi
sebagai berikut:
ECe = (5,26* ECa) 0.94

r2 = 0,72

Persamaan ini sejalan dengan padanan antara


ECa dan ECe yang dikemukakan oleh Rhoades et al.
(1989). Tanah yang bertekstur lempung dengan nilai
ECa 1,7 dS m-1 dikelompokkan ke dalam tanah yang
salinitasnya tinggi. Dengan memasukkan angka
ECa=1,7 tersebut ke dalam persamaan regresi maka

34

diperoleh nilai ECe = 8 dS m-1 yang termasuk dalam


kelompok tanah dengan salinitas yang sama yaitu
tinggi.
STRATEGI REHABILITASI
Pencegahan dan rehabilitasi lahan pertanian
pasca tsunami diperlukan untuk mengembalikan
produktivitas lahan pertanian di NAD. Tiga tindakan
perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan dan
memulihkan kembali produktivitas lahan pertanian,
khususnya sawah, di daerah bekas tsunami, adalah:
1) tindakan pencegahan, 2) tindakan rehabilitasi, dan
3) tindakan untuk menumbuhkan motivasi petani.

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

10

20

30

40

50

60

70

80

20

20

40

Sept 05
60

Nov 05
Okt 07

80

100

10

20

30

40

40

Sept 05
60

Nov 05
Okt 07

80

100

C
0

10

ECe(dS
(dS/m
ECe
m-1)
20

ECe (dS/m)
(dS m-1)
ECe

D
30

40

20

20

40

Sept 05

60

Nov 05
80

Okt 07

100

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

ECe
ECe (dS/m
(dS m)-1)
0

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

ECe
m-1))
ECe (dS
(dS/m

DI

10

20

30

40

40

60

Sept 05
Nov 05

80

Okt 07

100

Gambar 6. Nilai ECe pada berbagai kedalaman tanah di A) Cot Lheu Rheng,
Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, dan D)
Peuneung, Banda Aceh
Figure 6.

Changes in ECe values over time by soil depth at A) Cot Lheu


Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and
D) Peuneung, Banda Aceh

Tindakan pencegahan
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
masuknya air laut ke lahan pertanian sewaktu terjadi
pasang. Upaya reklamasi akan menjadi sangat siasia apabila lahan pertanian rentan terhadap genangan
air laut pasang. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan membangun tanggul-tanggul, baik yang
berupa bangunan sipil teknis maupun secara vegetatif.
Lahan pertanian yang sudah tergenangi air laut
secara permanen perlu dialihkan untuk penggunaan
lain, karena lahan yang sebelum tsunami permukaannya lebih tinggi dari permukaan air laut, setelah
tsunami menjadi lebih rendah sehingga akan terge-

nang secara permanen. Tindakan untuk mengembalikan fungsinya sebagai lahan pertanian akan sia-sia
atau membutuhkan biaya dan teknologi yang mahal.
Untuk itu intervensi pemerintah berupa pemberian
modal awal ke petani tambak akan sangat penting,
mengingat dibutuhkan investasi yang cukup besar
untuk membangun tambak.
Tindakan rehabilitasi
Tindakan rehabilitasi lahan pertanian yang
terkena tsunami perlu dilakukan untuk menurunkan
tingkat
salinitas
dan
memperbaiki
petakan.
Penurunan kadar salinitas tanah dapat dilakukan

35

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

12

ECe,
dS/m
ECe (dS
m-1)

10

menghindari risiko tersebut, pada lahan pertanian


yang telah direklamasi perlu dilakukan tindakan
rehabilitasi.

ECe
5,26(ECa) -0.94
0,94
ECe=
= 5.26(ECa)
r2 = 0,72
2
r = 0.72

8
6
4
2
0
0

-1

ECa,(dS
dS/m
ECa
m )

Gambar 7. Korelasi antara salinitas tanah yang diukur


menggunakan EM38 (ECa) dengan
pengukuran di laboratorium (ECe)
Figure 7.

Relationship between ECa as measured in


the field using an EM38 meter and ECe as
measured on soil samples in the
laboratory

dengan cara membilas lahan beberapa kali sehingga


garamnya terbuang melalui aliran air permukaan.
Cara ini dapat sangat efektif menurunkan salinitas
tanah jika tersedia air tawar, saluran irigasi dan
drainase yang memadai. Saluran drainase yang
berfungsi baik dapat membuang garam-garam dari
lahan pertanian, sehingga memungkinkan ditanami
kembali dengan kacang tanah dan tanaman palawija
lain. Selain itu, pembangunan kembali pematangpematang sawah yang rusak diterjang tsunami perlu
segera dilaksanakan. Pematang tersebut sebaiknya
lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum tsunami
untuk menampung lebih banyak air hujan berkadar
garam rendah, sehingga dapat lebih efektif
menurunkan kadar garam tanah.
Pencucian garam ke lapisan tanah lebih dalam
sehingga menjauhi zona perakaran dapat dilakukan
terutama pada daerah yang permeabilitas tanahnya
cukup baik, air tanahnya dalam (>2 m), dan curah
hujannya sedang sampai tinggi. Teknik pencucian ini
dapat efektif dilakukan selama musim penghujan,
namun berisiko meningkatkan kadar salinitas tanah
di daerah perakaran selama musim kemarau akibat
tingginya penguapan dari pori-pori tanah. Untuk

36

Tindakan rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Tindakan
rehabilitasi ini dapat dilakukan antara lain dengan: 1)
pemberian bahan pembenah tanah seperti pupuk
kandang, pupuk organik, gypsum, abu sekam, dan
pemulsaan. Pemberian bahan pembenah tanah yang
tersedia di lokasi seperti pupuk kandang, sekam
padi, dan pupuk organik lainnya sebanyak 5-10 t ha-1
sangat penting dilakukan untuk memperbaiki struktur tanah, keseimbangan hara, kemampuan menyimpan air (water holding capacity) dan mengurangi
penguapan jika bahan-bahan tersebut disebar di
permukaan tanah; 2) perbaikan permeabilitas
(drainase internal) tanah melalui pengolahan tanah
dalam dan perbaikan struktur tanah. Pengolahan
tanah menggunakan bajak singkal sedalam 30 cm
sangat dianjurkan untuk mengurangi rasio lumpur
tsunami terhadap volume tanah; serta 3) penyesuaian
pola tanam yaitu dengan menanam varietas-varietas
tanaman yang toleran terhadap salinitas tanah yang
tinggi. Beberapa jenis tanaman semusim yang
banyak ditanam petani dan tumbuh baik adalah bawang merah, cabe, padi, kacang tanah, dan jagung.
Tindakan untuk menumbuhkan motivasi petani
Tindakan ketiga dan yang tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan kedua tindakan
sebelumnya adalah menumbuhkan kembali motivasi
petani untuk kembali ke lahan usahataninya.
Rendahnya motivasi petani untuk bertani akan
berakibat terbengkalainya program pembangunan
pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah,
karena ujung tombak dari sistem produksi pertanian
adalah petani itu sendiri. Beberapa kegagalan panen
yang dialami petani akibat kurang siapnya lahan
pertanian untuk menopang pertumbuhan tanaman
dikhawatirkan akan semakin melemahkan motivasi
petani. Yang perlu segera dilakukan adalah menyadarkan petani bahwa kondisi lahan mereka sudah
berbeda dibandingkan dengan sebelum tsunami,

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

karena itu cara bercocok tanam, penggunaan


varietas, dan pupuk perlu disesuaikan. Kegiatan
penyuluhan, baik dalam bentuk tatap muka, penyebaran brosur, dan pembuatan demplot perlu
dilakukan. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan penyuluhan tersebut, petani bergairah kembali bekerja
di lahan usahataninya.

KESIMPULAN
1. Genangan air laut dan endapan lumpur tsunami
telah meningkatkan nilai ECe permukaan tanah,
yang diukur sebulan setelah tsunami, menjadi
40,97 dS m-1. Peningkatan ECe juga terjadi pada
tanah lapisan bawah (10-20 cm) meskipun
masih lebih rendah dibandingkan dengan tanah
permukaan (0-10 cm).
2. Peningkatan salinitas tanah akibat tsunami
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Transek
Lhok Nga yang umumnya digunakan sebagai
lahan persawahan menunjukkan salinitas tanah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan transek
Darussalam yang umumnya digunakan untuk
pertanian lahan kering. Salinitas tanah juga
dipengaruhi oleh jarak lokasi pengamatan dari
pantai. Makin jauh dari pantai, salinitas tanah
cenderung makin tinggi.
3. Lumpur tsunami yang mengandung C organik
dan kation-kation seperti Ca, Mg, dan K yang
relatif tinggi, disamping garam-garam terlarut,
selain berpotensi untuk meningkatkan KTK tanah
juga berpotensi mengganggu keseimbangan hara
dalam tanah. Gejala pengisian biji yang tidak
sempurna pada kacang tanah dan padi dijumpai
merata di daerah tsunami meskipun pertumbuhan
vegetatif tanaman sangat baik.
4. Pengukuran salinitas tanah di laboratorium
berkolerasi positif (r2 = 0,72) dengan pengukuran salinitas tanah menggunakan EM38.
5. Salinitas tanah umumnya telah menurun sejalan
dengan waktu akibat pencucian oleh hujan
terutama pada tanah yang teksturnya berpasir.
Namun demikian di beberapa tempat yang

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

drainase horizontal maupun vertikal, relatif


kurang lancar, salinitas tanah umumnya masih
menjadi kendala produksi pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada
ACIAR
(Australian
Centre
for
International
Agricultural Research) dan kepada staf BPTP NAD
yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat
berjalan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia.
http://www.bps.go.id.
Ben-Hur, M., M. Agassi, R. Keren, and J. Zhang.
1998. Compaction, aging and raindrop
impact effect on hydraulic properties of
saline and sodic Vertisols. Soil Scie. Soc.
Am. J. 62:1377-1383.
Cardon, G.E., J.G. Davis, T.A. Bauder, and R.M.
Waskom. 2003. Managing Saline Soil. Colorado State University Cooperative Extension.
7/03. No. 0.503 www.ext.colostate.edu.
Cornillon, P. and A. Palloix. 1997. Influence of
sodium chloride on the growth and mineral
nutrient of pepper cultivars. J. Plant
Nutrients 20:1085-1094.
Emerson, W.W. and A.C. Bakker. 1973. The
comparative
effects
of
exchangeable
calcium, magnesium and sodium on some
physical properties of red-brown earth
subsoils: 2. The spontaneous dispersion of
aggregates in water. Aust. J. Soil Res.
11:151-157.
FAO. 2005. Final Report for SPFS-Emergency Study
on Rural Reconstruction Along the Eastern
Coast of NAD Province. Government of the
Republic of Indonesia, Ministry of Agriculture, Food and Agriculture Organization of
the United Nations. Nippon Koei Co. Ltd.
Franzen, D. 2003. Managing Saline Soils in North
Dakota. North Dakota State University,
Fargo, ND 58105, SF-1087 (revised), www.
ag.ndsu.nodak.edu

37

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Gunes, A., A. Inal, and M. Alpaslan. 1996. Effect of


salinity on stomatal resistance, proline, and
mineral composition of pepper. J. Plant Nutr.
19:389-396.
Hughes, J.D. 1999. SOILpak for southern irrigators.
NSW Agriculture, Australia.
McNeil, J.D. 1986. Genonics EM38 ground conductivity meter. Operating instruction and
survey interpretation techniques. Technical
Note TN-21, Geonics Ltd., Canada.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Buku
Keterangan dan Peta Satuan Lahan dan
Tanah lembar 0421, 0420, 0521, 0519,
0620, 0618, 0518. Puslittanak. Bogor.
Rachman, A., Wahyunto, and F. Agus. 2005.
Integrated management for sustainable use

38

of tsunami-affected land in Indonesia. Paper


presented at the Mid-Term Workshop on
Sustainable Use of Problem Soils in Rainfed
Agriculture, Khon Khaen, 14-18 April 2005.
Rhoades, J.D., N.A. Manteghi, P.J. Shouse, and
W.J. Alves. 1989. Soil Electrical Conductivity and Soil Salinity: New Formulations
and Calibrations. Soil Sci. Soc. Am. J. 53:
433-442.
Slavich, P.G. 1990. Determining ECa depth profile
from electromagnetic induction measurements. Aust. J. Soil Res. 28:443-452.
Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Petunjuk
Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air,
dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Deptan.

Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional
Sediment and Nutrient Mobility in Terraced Paddy Fields under Traditional Irrigation System
SUKRISTIYONUBOWO1

ABSTRAK
Mobilitas sedimen dan hara pada sistem sawah berteras
dengan irigasi tradisional telah diteliti di Desa Keji, Kabupaten
Semarang pada Musim Hujan 2003-2004. Tujuan penelitian
adalah mengevaluasi sedimen dan hara tanaman yang terbawa
masuk melalui air irigasi dan yang terangkut keluar oleh larutan
sedimen selama pertumbuhan tanaman padi dan mempelajari
mobilitas sedimen dan hara tanaman pada musim hujan.
Perlakuan yang diuji, meliputi Praktek Petani, Praktek Petani +
Jerami, Perbaikan Teknologi, dan Perbaikan Teknologi + Jerami.
Debit air irigasi saat pelumpuran adalah yang tertinggi, dan
bervariasi mulai 2,55 1,23 sampai 3,10 0,55 l detik-1.
Sebaliknya, pada stadia vegetatif debit air irigasi adalah yang
terkecil, yaitu antara 0,33 0,15 dan 0,54 0,15 l detik-1, dan
pada stadia generatif antara 1,38 0,28 dan 1,60 0,06 l detik-1.
Selanjutnya, debit larutan sedimen saat pelumpuran berkisar
mulai 0,89 0,20 sampai 1,31 0,34 l detik-1. Pada stadia
vegetatif debit larutan sedimen adalah yang terkecil, yaitu antara
0,21 0,07 dan 0,78 0,52 l detik-1, sedangkan pada stadia
generatif antara 1,13 0,06 dan 1,32 0,09 l detik-1. Hanya
pada saat pelumpuran sedimen yang terbawa masuk oleh air
irigasi lebih kecil dari pada sedimen yang terangkut keluar oleh
larutan sedimen. Banyaknya sedimen yang tersimpan adalah
antara 647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1 dari total sedimen yang
terbawa masuk oleh air irigasi antara 2.715 sampai 5.521 kg ha-1
musim-1. Sebaliknya, hara terlarut (nitrogen, fosfor dan kalium)
yang terbawa masuk oleh air irigasi tersimpan di persawahan,
yang bervariasi antara 7,20 - 13,62 kg N; 0,13 - 0,20 kg P; dan
7,25 - 13,42 kg K ha-1 musim-1. Secara statistik, antar perlakuan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, baik untuk jumlah
sedimen maupun hara yang tersimpan. Hasil penelitian ini
mendemonstrasikan adanya fungsi lain (external services) yang
diberikan oleh sistem sawah berteras, selain sebagai tempat
memproduksi beras
Kata kunci :

Debit, Sedimen, Nitrogen, Fosfor, Kalium, Sawah


berteras

ABSTRACT
Sediment and nutrient mobility in terraced paddy fields
under traditional irrigation system have been investigated in Keji
Village, the Semarang District during the Wet Season 20032004. The aims were to evaluate the incoming and outgoing
sediment and nutrient during rice growth cycle and to study the
mobility of sediment and nutrient in the wet season. The
treatments included Farmer Practices, Farmer Practices + Rice
Straw, Improved Technology, and Improved Technology + Rice
Straw. The discharge of irrigation water during puddling was the
greatest varying between 2.55 1.23 and 3.10 0.55 l second-1,
while during the vegetative phase was the lowest ranging from
0.33 0.15 to 0.54 0.15 l second-1. At the generative stage

ISSN 1410 7244

was about 1.38 0.28 to 1.60 0.06 l second-1. Furthermore,


the discharge of suspended sediment during puddling varied
between 0.89 0.20 and 1.31 0.34 l second-1, while at
vegetative phase was the lowest ranging from 0.21 0.07 to
0.78 0.52 l second-1. At generative stage was about 1.13
0.06 to 1.32 0.09 l second-1. Only during the puddling that the
incoming sediment was lower than outgoing sediment. The total
amount of deposited sediment varied between 647 and 1,589 kg
ha-1 season-1 from the total incoming sediment of 2,715 to 5,521
kg ha-1 season-1. In contrast, the incoming dissolved nutrient
(nitrogen, phosphorus and potassium) was trapped in the paddy
field areas, varying between 7.20 and 13.62 kg N; 0.13 and
0.20 kg P; and from 7.25 to 13.42 kg K ha-1 season-1. There
were no significantly different among treatments, both for
sediment and nutrient deposited. These results demonstrate that
terraced paddy field system is not only place for producing rice,
but also providing an environmental services, like nutrient and
sediment conserving.
Keywords : Discharge, Sediment, Nitrogen, Phosphorus,
Potassium, Terraced paddy field

PENDAHULUAN
Di Indonesia, beras tidak hanya merupakan
bahan makanan utama, namun juga sebagai sumber
pendapatan dan penyedia lapangan pekerjaan.
Seiring dengan meningkatnya (1) permintaan akan
beras akibat bertambahnya jumlah penduduk, (2)
kebutuhan lahan untuk perumahan, kawasan industri
dan fasilitas jalan, (3) kompetisi kebutuhan air
antara sektor pertanian, industri dan rumah tangga,
dan (4) pencemaran air, menyebabkan luas lahan
sawah beririgasi yang tersedia untuk penanaman
padi menjadi semakin menciut dan keberadaan air
untuk kepentingan irigasi menjadi semakin langka
yang pada akhirnya menurunkan produksi padi
(Baghat et al., 1996; Bouman and Tuong, 2001;
BPS, 2002). Oleh sebab itu, sistem sawah berteras
perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik guna
membantu pemenuhan target tambahan produksi
dua juta ton per tahun dan menjamin ketahanan
beras nasional (Anonim, 2007).
1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor

39

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Sedimen dan unsur hara yang diperlukan


tanaman dapat terangkut melalui angin (wind
erosion), air (water erosion), pengolahan tanah
(tillage erosion), dan perpindahan masa tanah (mass
movement) yang dapat menimbulkan masalah
lingkungan dan pertanian, sehingga memerlukan
penelitian lebih lanjut (Uexkull, 1970; Lal, 1998; Lal
et al., 1998; Agus dan Sukristiyonubowo, 2003;
Duque et al., 2003; Phomassack et al., 2003;
Sukristiyonubowo et al., 2003 dan 2004; Toan et
al., 2003; Visser et al., 2005; Aksoy and Kavvas,
2005; Sukristiyonubowo, 2007 dan 2008).
Beberapa hasil penelitian terdahulu melaporkan
bahwa banyaknya unsur hara yang terangkut dari
lahan pertanian dipengaruhi oleh iklim, tanah,
topografi lahan, tipe penggunaan lahan, dan cara
pengelolaan lahan dan tanaman (Lal, 1998; Lal et
al., 1998; Agus et al., 2003; Sukristiyonubowo et
al., 2003; Robichaud et al., 2006; Udawatta et al.,
2006; Sukristiyonubowo, 2007). Berkaitan dengan
iklim, Daniel et al. (1998) melaporkan bahwa
jumlah, intensitas, dan waktu terjadinya hujan
adalah yang paling dominan mempengaruhi jumlah
kandungan dan jenis bahan-bahan kimia termasuk
pupuk yang terkandung dalam aliran permukaan
(surface run-off). Secara spesifik, Schuman dan
Burwell (1974) mencatat bahwa intensitas dan
lamanya peristiwa hujan, kecepatan infiltrasi, kondisi
kelembaban awal tanah, dan kondisi kesuburan
tanah berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH4N dan NO3-N pada runoff. Selanjutnya, Kissel et al.
(1976), dan Douglas et al. (1998) menyimpulkan
bahwa N dan P yang hilang melalui runoff tergolong
kecil, walaupun pemupukan diberikan secara sebar
dan pengolahan tanah dilakukan secara atas bawah
(uphill and downhill). Kesimpulan yang sama
dikemukakan Alberts et al. (1978) bahwa N dan P
terlarut yang hilang dari lahan pertanian berkisar 2%
dari jumlah pupuk yang diberikan dalam setahun dan
sistem teras sangat nyata melindungi keberadaan
hara tanaman.
Telah banyak diteliti dan dipublikasikan bahwa
penanaman padi di lahan basah banyak memerlukan
air dan paling tidak efisien dalam menggunakan air
40

dibandingkan dengan tanaman biji-bijian lainnya.


Pada penanaman padi sawah (wetland rice
cultivation), air diberikan mulai dari fase penjenuhan
tanah (land soaking) sampai dengan akhir fase
pertumbuhan
generatif
(Anonim,
1977;
Sukristiyonubowo, 2007). Dari beberapa hasil
penelitian yang dilakukan di India, Filipina, dan
Jepang dikemukakan bahwa produktivitas air (water
productivity) pada penanaman padi sawah berkisar
antara 0,14-1,10 g kg-1 air (Bhuiyan, 1992; Bhuiyan
et al., 1994; Bouman and Tuong, 2001; Cabangon
et al., 2002; Tabal et al., 2002; IWMI, 2004).
Produktivitas air yang lebih baik dilaporkan pada
sawah Vitric Andosol di Jepang yaitu sekitar 1,52 g
gabah kg-1 air (Anbumozhi et al., 1998).
Irigasi tradisional pada sawah berteras
umumnya dilakukan dengan membuka dan menutup
saluran air masuk dan saluran air keluar yang
dibangun secara sederhana oleh petani. Sumber air
irigasi berasal dari mata air yang ada di kawasan
atas atau air hujan yang mengalir melalui kanal-kanal
alami. Cara ini memungkinkan sedimen dan unsur
hara terbawa masuk dan terangkut keluar lahan
sawah melalui pergerakan air tersebut. Fenomena ini
sangat menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut dalam
hubungannya dengan kondisi di lahan (on-site
impacts) dan di luar lahan (off-site impacts).
Penelitian mengenai hubungan antara pelumpuran
dengan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah,
pertumbuhan dan hasil padi telah banyak dibahas
dan dipublikasikan (Ghildyal, 1971; Naphade and
Ghildyal, 1971; Sanchez, 1973; Sharma and De
Datta, 1986; Adachi, 1990; Cabangon and Tuong,
2000; Kirchhof et al., 2000; Kukal and Sidhu,
2004). Namun demikian, penelitian mengenai
mobilitas sedimen dan hara tanaman pada sawah
termasuk sistem sawah berteras masih jarang
dilakukan. Hasil penelitian saat pelumpuran pada
sistem sawah berteras menunjukkan bahwa
sejumlah tanah dan unsur hara N dan P terangkut
keluar, sebaliknya sejumlah kalium dideposit pada
lahan sawah. Besarnya tanah yang hilang (soil loss)
bervariasi antara 239-530 kg ha-1 pada musim hujan
dan antara 154-270 kg ha-1 pada musim kemarau,

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

sedangkan kalium yang tersimpan berkisar 0,58 kg


K ha-1 pada musim hujan dan 0,44 kg K ha-1 pada
musim kemarau (Sukristiyonubowo, 2007; 2008).
Tulisan ini membahas mobilitas sedimen dan hara
selama pertumbuhan tanaman padi pada musim hujan
2003-2004 (MH 2003-2004). Tujuannya adalah
untuk mengevaluasi sedimen dan hara yang masuk
dan keluar selama siklus pertumbuhan padi dan
mempelajari pergerakan sedimen dan hara tanaman
selama siklus pertumbuhan padi pada MH 20032004.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada MH 2003-2004
di Desa Keji, Kabupaten Semarang. Desa Keji
terletak pada ketinggian antara 390-510 m dpl
dengan rata-rata curah hujan tahunan 3.140 mm
(Sukristiyonubowo, 2007). Dua belas sawah
berteras, menggambarkan empat perlakuan dan tiga
ulangan, dengan jumlah teras dan luasan yang
berbeda digunakan dalam penelitian ini. Teras
bersifat datar, berlainan ukuran, tersusun dari atas
ke bawah menuju sungai. Masing-masing teras
mempunyai satu saluran air masuk dan satu saluran
air keluar. Saluran air masuk pada teras paling atas,
dimana air irigasi masuk ke lahan sawah disebut
saluran air masuk utama (main inlet) dan saluran air
keluar pada teras paling bawah, dimana larutan
sedimen mengalir menuju ke sungai disebut saluran
air keluar utama (main outlet). Karakteristik
selengkapnya dari masing-masing lahan sawah
disajikan pada Tabel 1.
Pengamatan dilakukan pada perlakuan Praktek
Petani (FP), Praktek Petani + Pengembalian Jerami
(FP+RS), Perbaikan Teknologi (IT) dan Perbaikan
Teknologi + Pengembalian Jerami (IT+RS).
Perlakuan diatur mengikuti pola Rancangan Acak
Kelompok, dimana masing-masing perlakuan diulang
tiga kali. Banyaknya jerami yang dikembalikan ke
sawah adalah 33% ha-1 musim-1 dari total produksi
jerami musim sebelumnya. Takaran tersebut sebagai
kesepakatan bersama dengan petani, mengingat di
desa ini jerami merupakan sumber pakan utama
untuk ternak sapi. Pada perlakuan FP, petani hanya
memberi urea sebanyak 50 kg ha-1 musim-1,

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

sedangkan takaran pemupukan pada perlakuan IT


dan IT+RS adalah 100 kg urea, 100 kg TSP, dan
100 kg KCl ha-1 musim-1.
Pelumpuran dilakukan antara Desember 2003
dan Januari 2004. Penanaman dilakukan dengan
cara pindahan (transplanting) yang dilakukan pada
bulan Januari 2004. Tindak agronomis selengkapnya
disajikan pada Tabel 2.
Mobilitas sedimen dan hara didefinisikan
sebagai pergerakan sedimen dan hara yang terbawa
masuk oleh air irigasi ke areal persawahan dan yang
terangkut keluar oleh larutan sedimen menuju
sungai. Analisis statistik hanya ditekankan pada
penghitungan nilai rerata (mean) dan standar deviasi
(standard deviation). Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan dilakukan analisis sidik ragam (Anova),
dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) dengan selang kepercayaan 5% yang
dihitung dengan menggunakan program SPSS versi
11.5 for Windows.
Urea diberikan dua kali, yaitu pada umur 21
and 35 hari setelah tanam (HST) masing-masing
setengah takaran, sedangkan TSP dan KCl diberikan
semua pada umur 21 HST. Banyaknya pupuk yang
diberikan setiap teras dihitung berdasarkan takaran
pupuk per hektar dikalikan dengan ratio antara
jumlah tanaman per teras dengan jumlah tanaman
per hektar. Penanaman dilakukan pada saat bibit
berumur 21 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25
cm.
Pengamatan meliputi pengambilan contoh dan
pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen
pada saluran air masuk utama (main inlet) dan
saluran air keluar utama (main outlet), seta kadar
lumpur dan konsentrasi hara terlarut. Pengamatan
dilakukan selama pertumbuhan dan perkembangan
tanaman padi, yaitu mulai dari pelumpuran sampai
dengan akhir stadia generatif. Lamanya waktu bukatutup saluran air masuk utama dan air keluar utama
selama pengairan berlangsung juga dicatat, untuk
menghitung total volume air irigasi dan larutan
sedimen. Data ini diperlukan untuk menduga
sedimen dan hara terlarut yang terbawa masuk dan
yang terangkut keluar, dengan cara mengalikannya
dengan kadar lumpur atau konsentrasi hara.
41

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Karakteristik lahan sawah yang digunakan untuk penelitian


Table 1. Some characteristics of terraced paddy fields used for the research
Perlakuan

Petani

Ulangan

Jumlah teras

Luas

Keterangan lain

FP

P-1
P-2
P-3

I
II
III

9
8
6

m
5.040
4.780
1.680

2-3 kali tanam per tahun


2-3 kali tanam per tahun
2-3 kali tanam per tahun

FP + RS

P-4
P-5
P-6

I
II
III

8
5
7

904
2.500
5.300

2-3 kali tanam per tahun


2-3 kali tanam per tahun
2-3 kali tanam per tahun

IT

P-7
P-8
P-9

I
II
III

7
7
8

5.000
4.500
3.070

2-3 kali tanam per tahun


2-3 kali tanam per tahun
2-3 kali tanam per tahun

P-10
P-11
P-12

I
II
III

9
8
4

2.240
1.530
3.400

2-3 kali tanam per tahun


2-3 kali tanam per tahun
2-3 kali tanam per tahun

IT + RS

Sumber data : Kantor Kelurahan, komunikasi pribadi, dan kunjungan lapangan

Tabel 2. Tanggal tanam, pengembalian jerami, dan takaran pemupukan untuk


masing-masing perlakuan pada MH 2003-2004
Table 2. Date of planting, the total amount of returned rice straw, and rate of
fertilizers for each treatment in the WS 2003-2004
Ulangan

Tanggal tanam

FP

I
II
III

11-01-2004
13-01-2004
10-01-2004

Jerami yang
dikembalikan
t ha-1
-

FP + RS

I
II
III

01-01-2004
31-12-2003
03-01-2004

2,15
2,97
3,26

50
50
50

IT

I
II
III

04-01-2004
05-01-2004
06-01-2004

100
100
100

100
100
100

100
100
100

IT + RS

I
II
III

27-01-2004
28-01-2004
29-01-2004

2,48
2,64
2,15

100
100
100

100
100
100

100
100
100

Perlakuan

Dua buah botol plastik digunakan untuk setiap


pengambilan contoh air irigasi dan larutan sedimen.
Satu contoh untuk keperluan pengukuran kadar
lumpur dan satu botol contoh lainnya untuk
penetapan N (NO3- dan NH4+), P (PO4-), dan K (K+)
terlarut.
Pada saat pelumpuran, pengambilan contoh
dan pengukuran debit air irigasi dilakukan mulai jam

42

Takaran
Urea
TSP
KCl
...... kg ha-1 musim-1 ......
50
50
50
-

07:00, ketika petani mulai membuka saluran air


masuk utama dan berakhir pada jam 17:30. Untuk
larutan sedimen dimulai ketika larutan sedimen yang
berwarna coklat mengalir melalui saluran air keluar
utama dan berakhir ketika warna larutan sedimen
sama dengan warna air irigasi yang masuk ke areal
sawah. Namun karena alasan keamanan dan hari
sudah senja, pengamatan diakhiri pada jam 17:30.

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Interval pengambilan contoh dan pengukuran debit


air irigasi dan larutan sedimen dilakukan setiap 30
menit. Prosedur lebih rinci dapat dilihat pada
Sukristiyonubowo (2007 dan 2008).

yang terkumpul dari contoh larutan sedimen maupun

Pengamatan setelah pelumpuran sampai


sebelum tanam dilakukan setiap hari. Pengambilan
contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan
sedimen dilakukan tiga kali per hari, yaitu jam
08:00, 12:00, dan 16:00, yang mengacu pada
pengamatan kanal-kanal untuk kepentingan analisis
hidrologis.

hara yang terangkut oleh erosi adalah hasil perkalian

Pada stadia vegetatif, pengambilan contoh dan


pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen
dilakukan selama seminggu sebelum dan setelah
pemupukan pertama diberikan. Seperti pada
pengamatan setelah pelumpuran sampai sebelum
tanam, pengambilan contoh dan pengukuran debit
air irigasi dan larutan sedimen dilakukan tiga kali per
hari, yaitu pada jam 08:00, 12:00, dan 16:00.

diukur dengan menggunakan Floating Method with

Pada stadia generatif, pengambilan contoh air


irigasi, larutan sedimen dan pengukuran debitnya
dikerjakan ketika petani membuka dan menutup
saluran air masuk utama dan saluran air keluar untuk
mengairi sawah (untuk mengganti air yang telah ada
di sawah dan mempertahankan ketinggian air pada
petakan sawah). Pengamatan juga dilakukan tiga kali
sehari seperti halnya pada stadia vegetatif.
Data yang dikumpulkan meliputi debit, kadar
lumpur, dan konsentrasi N, P dan K terlarut pada air
irigasi dan larutan sedimen. Penetapan unsur hara
yang terlarut (dissolved nutrient) dilakukan untuk
nitrogen (NO3- dan NH4+), fosfat (PO4-), dan kalium
(K+) menurut prosedur yang berlaku di Laboratorium
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian,
Bogor. Ammonium (N-NH4+), nitrat (N-NO3-) dan
fosfat (PO4-) ditetapkan dengan prosedur colorimeter, sedangkan kalium dengan flame photometer.
Nitrogen terlarut merupakan penjumlahan dari NNH4+ dan N-NO3-. Unsur N, P, dan K yang
terkandung
dalam
sedimen
diduga
melalui
kandungan N, P, dan K pada lapisan tanah atas (top
soil) dengan total sedimen yang terbawa masuk dan
terangkut keluar. Cara ini dilakukan karena sedimen

dari air irigasi tidak mencukupi untuk keperluan


analisis

di

laboratorium.

El-Swaify

(1989)

dan

Hashyim et al. (1998) menyatakan jumlah unsur


antara tanah yang hilang dengan konsentrasi hara
pada tanah tersebut, namun demikian dapat juga
diduga melalui tanah yang hilang dengan kandungan
hara pada lapisan top soil. Dalam makalah ini, hara
yang terkandung dalam sedimen tidak dibahas.
Debit air irigasi pada saluran masuk utama
stopwatch dan untuk debit larutan sedimen pada
saluran keluar utama menggunakan metode buket
(Bucket

Method).

Ember

bervolume

11

liter

digunakan untuk penetapan debit larutan sedimen


dengan Bucket Method.
Debit air irigasi dengan menggunakan Floating
Method

with

stopwatch

dihitung

berdasarkan

formula sebagai berikut :


Q = (L x W x H) x 1.000/t
dimana,
Q

= Debit (l detik-1)

= Panjang atau jarak (m)

W = Lebar (m)
H

= Tinggi air (m)

= Waktu (detik)

1.000 adalah konversi dari m3 ke l


Debit larutan sedimen (bucket
dihitung dengan formula sebagai berikut :

method)

Q = 11/t
dimana,
Q

= Debit (l detik-1)

= Waktu untuk mencapai 11 liter (detik)

Sedimen yang masuk atau keluar dihitung


berdasar rumus :
(E) = (A x S)/1.000

43

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

dimana :
E

= Sedimen yang terbawa masuk atau keluar


(kg)

= Total air irigasi yang masuk atau larutan


yang keluar (volume of runoff) (l)

= Konsentrasi sedimen atau kadar lumpur (g l-1)

1.000 adalah konversi dari g ke kg


Rumus-rumus tersebut juga berlaku untuk
menghitung hara yang masuk dan yang keluar,
dengan cara memasukkan konsentrasi N, P dan K
sebagai ganti kadar lumpur. Alasan penggunaaan
metode
pengukuran,
cara
pengukuran
dan
penghitungan debit dengan bucket method dan
floating method with stopwatch dapat dilihat dalam
Yuqian (1989), WMO (1994), dan Sukristiyonubowo
(2007 dan 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Mobilitas Sedimen selama Pertumbuhan dan
Perkembangan Padi
Debit dan kadar lumpur air irigasi dan larutan sedimen

Hasil pengukuran debit dan konsentrasi


sedimen air irigasi pada saluran air masuk utama
(main inlet) dan larutan sedimen pada saluran air
keluar utama (main outlet) selama pertumbuhan
tanaman padi disajikan pada Tabel 3. Secara umum,
debit air irigasi pada saat pelumpuran yang diukur
pada saluran air masuk utama adalah yang paling
besar jika dibandingkan dengan pada stadia
pertumbuhan padi yang lain. Hal ini dikarenakan
pada saat pelumpuran debit kanal ditingkatkan dan
petani membuka lebih lebar saluran air masuk utama
dengan maksud untuk menjenuhkan lahan dengan
air, mempermudah proses pelumpuran, dan untuk
meratakan permukaan lapisan olah yang telah
selesai dibajak. Proses ini berlangsung sampai
menjelang tanam, sehingga diperoleh permukaan
area tanam yang rata agar pemindahan bibit (tanam)
lebih mudah. Ini juga yang menjadi alasan bahwa
debit air irigasi setelah pelumpuran sampai sebelum

44

penanaman lebih besar dibandingkan pada saat


stadia vegetatif dan sebanding dengan stadia
generatif. Besarnya debit air irigasi saat pelumpuran
berkisar antara 2,55 1,23 sampai 3,10 0,55 l
detik-1. Kecenderungan hasil yang sama disimpulkan
oleh para peneliti terdahulu. Mereka menyatakan
bahwa pada saat pengolahan tanah, sawah
memerlukan air yang paling banyak. Hampir separuh
air yang dibutuhkan untuk menghasilkan padi
dialokasikan untuk pengolahan tanah. Hal ini
menyiratkan bahwa debit air pada saat pengolahan
tanah adalah yang terbesar. De Datta (1981) dan
Bhuiyan et al. (1994) melaporkan bahwa air yang
diperlukan untuk pengolahan tanah berkisar antara
150-200 mm, namun dapat meningkat hingga 650900 mm. Selanjutnya, Bouman et al. (2005)
melaporkan bahwa jumlah air yang digunakan untuk
pengolahan sawah (mulai dari penjenuhan sampai
pelumpuran) bervariasi antara 360-434 mm.
Pada stadia vegetatif, pengairan terutama
ditujukan untuk menjaga ketinggian air (ponding
water layer) antara 3 dan 5 cm sesuai dengan
ketinggian tanaman padi, kebutuhan tanaman padi
akan air, dan untuk menekan laju pertumbuhan
gulma. Oleh karena itu, air irigasi yang masuk
melalui saluran air masuk utama (main inlet) diatur
sekecil mungkin agar tidak merusak tanaman padi
yang masih muda.
Akibatnya, pada stadia vegetatif debit air
irigasi adalah yang terkecil, yaitu berkisar antara
0,33 0,15 sampai 0,54 0,15 l detik-1.
Meningkatnya debit air irigasi pada saat stadia
generatif diduga kuat karena kebutuhan padi akan
air meningkat dan untuk meningkatkan tinggi
genangan air (ponding water layer) sekitar 7 cm
(Sukristiyonubowo et al., 2004). Debit air irigasi
pada stadia generatif berkisar antara 1,38 0,28
sampai 1,60 0,06 liter detik-1.
Kecenderungan yang sama terjadi pula pada
pengukuran debit larutan sedimen, dimana debit
larutan sedimen saat pelumpuran dan sebelum
tanam
menunjukkan
nilai
yang
tertinggi.
Penyebabnya berkaitan dengan debit air irigasi pada
saat pelumpuran yang tertinggi. Besarnya debit

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 3. Rata-rata debit, konsentrasi sedimen, dan sedimen yang terbawa air irigasi dan larutan sedimen
selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004
Table 3. Average discharge, sediment concentration, and transported sediment by irrigation water measured
at main inlet and suspended sediment measured at main outlet during rice growth in the WS 20032004
Perlakuan/
pengamatan

Air irigasi
Debit
-1

l detik

Pelumpuran
FP
3,10 0,55 a*
FP + RS
2,55 1,23 a
IT
2,72 1,27 a
IT + RS
2,84 0,53 a
Sebelum tanam
FP
1,45 0,20 a
FP + RS
1,39 0,39 a
IT
1,46 0,23 a
IT + RS
1,54 0,21 a
Stadia vegetatif
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Sebelum pemupukan
FP
0,79 0.51 a
FP + RS
0,37 0,21 a
IT
0,54 0,15 a
IT + RS
0,35 0,16 a
Setelah pemupukan
FP
0,57 0,37 a
FP + RS
0,36 0,28 a
IT
0,50 0,13 a
IT + RS
0,33 0,15 a
Stadia generatif
FP
1,60 0,06 a
FP + RS
1,38 0,28 a
IT
1,50 0,12 a
IT + RS
1,51 0,07 a
Jumlah sedimen
FP
FP + RS
IT
IT + RS

Kadar lumpur

Sedimen

-1

-1

gl

kg ha

0,330 0,05 a
0,310 0,19 a
0,490 0,09 c
0,420 0,05 b
0,287
0,313
0,307
0,303

0,021
0,025
0,025
0,047

Larutan sedimen
Konsentrasi
sedimen
g l-1

Debit
-1

l detik

204
280
235
361

a
a
a
a

1,14
1,31
1,20
0,89

0,14
0,34
0,46
0,20

a
a
a
a

+ 686
a
a + 1.150
+ 565
a
a + 1.088

a
a
a
a

1,17
1,17
1,06
1,28

0,19
0,30
0,12
0,10

a
a
a
a

+
+
+
+

+
+
+
+

2.093
2.783
1.260
2.835

3,550
2,880
3,580
3,090
0,273
0,280
0,283
0,270

Sedimen
kg ha-1

0,46
1,42
1,13
1,81

a
a
a
a

684
546
491
599

a
a
a
a

0,015
0,010
0,025
0,026

a
a
a
a

527
888
381
814

a
a
a
a

a
a
a
a

- 1.284 a
- 1.870 a
- 774 a
- 1.608 a

0,267
0,267
0,280
0,283

0,021
0,021
0,306
0,045

a
a
a
a

0,78
0,25
0,36
0,21

0,52
0,19
0,11
0,07

a
a
a
a

0,237
0,243
0,237
0,267

0,015
0,021
0,015
0,051

a
a
a
a

0,247
0,237
0,250
0,243

0,015
0,021
0,010
0,015

a
a
a
a

0,51
0,27
0,38
0,21

0,35
0,20
0,11
0,17

a
a
a
a

0,223
0,220
0,223
0,220

0,015
0,030
0,015
0,020

a
a
a
a

0,207
0,203
0,243
0,207

0,012
0,021
0,015
0,015

+ 963
a
a + 1.237
+ 655
a
a + 1.237

1,32
1,15
1,13
1,24

0,09
0,22
0,06
0,11

a
a
a
a

0,170
0,177
0,173
0,180

0,017
0,031
0,012
0,010

a
a
a
a

+
+
+
+

3.946
5.450
2.715
5.521

a
a
a
a
a
a
a
a

655
925
422
911

a
a
a
a

3.150
4.229
2.068
3.932

a
a
a
a

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%
(+) = sedimen yang terbawa masuk, () = sedimen yang terangkut keluar

larutan sedimen saat pelumpuran dan sebelum


tanam adalah 1,31 0,34 dan 1,28 0,10 liter
detik-1.
Jika dibandingkan dengan debit air irigasi,
debit larutan sedimen adalah lebih rendah. Selain
karena larutan sedimen mengandung kadar lumpur
yang lebih tinggi, penurunan ini mungkin juga

berkaitan dengan jumlah teras, ukuran teras dan luas


lahannya. Penurunan debit ini mendemontrasikan
bahwa ada penghambatan laju air yang dilakukan
oleh sistem sawah berteras, yang memungkinkan
terjadinya pengendapan material yang dibawanya
(yaitu sedimen dan hara tanaman).

45

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Fenomena yang sama diamati pada kadar


lumpur air irigasi, walaupun besarnya kadar lumpur
lebih tergantung pada aktivitas yang terjadi di
kawasan
atas
(upstream).
Selama
perioda
pengukuran, persawahan kawasan atas juga sedang
berlangsung kegiatan pengolahan tanah. Larutan
sedimen yang terbuang keluar dari sawah-sawah
kawasan atas berperanan dalam meningkatkan kadar
lumpur air irigasi yang masuk ke lahan sawah.
Adanya erosi tebing (stream bank erosion) diduga
juga menambah besarnya kadar lumpur air irigasi.
Akibatnya, kadar lumpur air irigasi pada saat
pelumpuran adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan pada stadia pertumbuhan padi lainnya. Besar
kadar lumpur air irigasi saat pelumpuran adalah
berkisar antara 0,31 0,19 sampai 0,49 0,09 g l-1.
Pola yang sama juga didapat pada pengukuran
kadar lumpur larutan sedimen. Kadar lumpur larutan
sedimen, yang diukur pada saluran air keluar utama,
saat pelumpuran adalah yang paling tinggi, hampir
mencapai 10 sampai 20 kali lebih besar
dibandingkan dengan saat stadia pertumbuhan padi
lainnya (Tabel 3). Hal ini disebabkan pada saat
pelumpuran terjadi perubahan struktur tanah yang
drastis dan signifikan, yaitu dari bongkahan tanah
menjadi struktur lumpur (puddled structure) akibat
benturan
langsung
saat
pencangkulan
dan
pelumpuran. Struktur lumpur dengan tekstur halus
(clay) yang terdispersi ini lebih mudah terbawa aliran
air dari pada dalam bentuk agregat tanah.
Sebaliknya, pada pengukuran stadia lainnya tidak
terjadi gangguan sama sekali pada struktur
tanahnya. Selain itu, tanaman padi sudah mulai
tumbuh dan berkembang sehingga dapat menahan
benturan langsung air hujan ke permukaan tanah
(splash erosion) dan ada kemungkinan pengaruh dari
tinggi genangan air (sekitar 7 cm) dalam menahan
splash erosin (Sukristiyonubowo et al., 2004).
Besarnya kadar lumpur larutan sedimen saat
pelumpuran berkisar antara 2,88 1,42 sampai
3,58 1,13 g l-1, lebih tinggi 2,70 - 3,41 g l-1 jika
dibandingkan dengan stadia lainnya.
Berhubung pengukuran dilakukan pada musim
hujan, tentunya faktor luar yang dominan
46

berpengaruh terhadap besar kecilnya debit dan kadar


lumpur air irigasi berikut larutan sedimen adalah
curah hujan, selain adanya kontribusi dari erosi
tebing kanal (stream bank erosion). Data ini menjadi
sangat penting untuk mengevaluasi variasi musiman
(seasonal variation) agar diperoleh gambaran yang
utuh tentang fungsi lain dari sistem sawah berteras
terhadap lingkungan (Environmental services of
terraced paddy field system).
Sedimen yang terbawa masuk dan yang terangkut
keluar

Sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi


melalui saluran air masuk utama dan yang terangkut
keluar oleh larutan sedimen lewat saluran air keluar
utama selama pertumbuhan padi musim hujan 20032004 disajikan pada Tabel 3. Berhubung debit dan
kadar lumpur selama pertumbuhan padi bervariasi,
maka sedimen yang terbawa masuk dan yang
terangkut keluar areal sawah beragam. Pada saat
pelumpuran, debit dan kadar lumpur air irigasi begitu
juga larutan sedimen adalah yang terbesar. Namun,
karena pelumpuran berlangsung hanya dalam waktu
satu hari, maka sedimen yang terbawa masuk
maupun yang terangkut keluar areal sawah menjadi
lebih kecil jika dibandingkan dengan stadia
pertumbuhan lainnya (Gambar 1). Besarnya sedimen
yang terbawa masuk air irigasi saat pelumpuran
berkisar antara +204 sampai +361 kg ha-1 dan
yang terangkut keluar melalui larutan sedimen antara
-491 sampai -684 kg ha-1. Sebaliknya, pada stadia
vegetatif yang mempunyai debit dan kadar lumpur
terkecil, karena jumlah pengairan berlangsung paling
lama (18 hari), maka sedimen yang terbawa masuk
dan yang terangkut keluar lahan sawah adalah yang
paling besar. Besarnya sedimen yang terbawa
masuk oleh air irigasi dan yang terangkut keluar oleh
larutan sedimen pada stadia vegetatif berkisar dari
+1.260 sampai +2.835 kg ha-1 dan dari -774
sampai -1.870 kg ha-1.
Mengacu pada pergerakan sedimen yang
terbawa masuk dan yang terangkut keluar selama
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi,
hanya pada saat pelumpuran menunjukkan neraca

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Mobilitas sedimen pada perlakuan FP + RS, MH 2003-2004

Mobilitas sedimen pada perlakuan FP, MH 2003-2004

1.000
1000

Sedimen (kg ha -1 musim -1)

1250
1.250

1000
1.000
Sedimen (kg ha -1 musim -1)

1250
1.250

750
750
500
500
250
250
00
Pelumpuran

Sebelum
tanam

-250
-250

Vegetatif

Generatif

-500
-500
-750
-750

750
750
500
500
250
250

00
Pelumpuran

-250
-250

Vegetatif

Generatif

-500
-500
Waktu pengamatan

Waktu pengamatan

Mobilitas sedimen pada perlakuan IT, MH 2003-2004

Mobilitas sedimen pada perlakuan IT+RS, MH 2003-2004


1250
1.250
Sedimen (kg ha -1 musim -1)

1250
1.250
Sedimen (kg ha -1 musim -1)

Sebelum
tanam

1000
1.000
750
750
500
500
250
250

00
Pelumpuran

Sebelum
tanam

-250
-250

Vegetatif

Generatif

1000
1.000
750
750
500
500
250
250
0
Pelumpuran

-250
-250

-500
-500

Waktu pengamatan

Sebelum
tanam

Vegetatif

Generatif

Waktu pengamatan

Gambar 1. Sedimen yang terdeposisi (sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih
besar dari yang terangkut keluar oleh larutan sedimen) dan yang hilang
(sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih kecil dari yang terangkut
keluar oleh larutan sedimen) pada sistem sawah berteras selama pertumbuhan
padi, MH 2003-2004
Figure 1.

Deposited sediment (incoming sediment was higher than outgoing sediment)


and removed sediment (incoming sediment was lower than outgoing sediment)
at terraced paddy fields system during rice growth in the WS 2003-2004

yang negatif (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan


bahwa pada saat pelumpuran, erosi (tillage rosion)
lebih besar dari deposisi (deposition rate).
Banyaknya
antara

239

tanah

sampai

yang

480

kg

tererosi

berkisar

ha-1

musim-1.

keluar, sehingga terjadi penambahan sedimen pada


lahan sawah. Banyaknya sedimen yang terdeposisi
selama siklus hidup tanaman padi berkisar antara
647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1. Data ini juga
menunjukkan

bahwa

ada

fungsi

lain

(external

oleh

services) dari sistem sawah berteras yang diberikan

Sukristiyonubowo (2008). Sebaliknya, pada stadia

terhadap lingkungan, yaitu dalam mengurangi efek

lainnya (tanam, vegetatif dan generatif) deposisi

negatif kawasan bawah (reducing negative impact

berlangsung lebih besar dibandingkan dengan erosi.

of

Ini berarti bahwa sedimen yang terbawa masuk oleh

pendangkalan waduk, penurunan kwalitas air, dan

air irigasi lebih besar dari pada yang terangkut

lain sebagainya. Dari pembahasan ini dapat ditarik

Kecenderungan

yang

sama

dilaporkan

downstream)

yang

berupa

sedimentasi/

47

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

suatu kesimpulan bahwa selama pertumbuhan dan


perkembangan

padi,

erosi

hanya

terjadi

saat

pelumpuran dan besar tanah yang hilang (soil loss)


berkisar antara 239 sampai 480 kg ha-1 musim-1.
Sedangkan mulai tanam sampai stadia generatif,
sedimen

terdeposisi

pada

lahan

sawah

yang

besarnya (setelah dikurangi dengan tanah yang


tererosi saat pelumpuran) bervariasi dari 647 sampai
1.589 t ha-1 musim-1 dan antar perlakuan tidak
menunjukkan beda yang nyata.
Mobilitas hara tanaman selama pertumbuhan dan
perkembangan tanaman padi
Seperti halnya sedimen, mobilitas hara diamati
selama pertumbuhan padi, mulai dari saat pelumpuran sampai dengan akhir stadia pertumbuhan
generatif. Untuk menghitung hara yang masuk dan
keluar lahan sawah, data seperti konsentrasi hara
terlarut pada air irigasi dan larutan sedimen
digunakan, selain volume air irigasi dan larutan
sedimen.
Konsentrasi hara terlarut pada air irigasi dan larutan
sedimen

Pada umumnya variasi konsentrasi nitrat (NN03 ), amonium (N-NH4+), fosfat (PO4-) dan kalium
(K+) pada air irigasi adalah tidak besar (Tabel 4).
Meningkatnya konsentrasi NO3- dan NH4+ pada
pengamatan setelah pemupukan dan menjadikannya
yang tertinggi, yaitu N03- antara`0,56 sampai 1,22
mg kg-1 dan NH4+ antara 1,77 sampai 1,98 mg kg-1
menimbulkan
dugaan
adanya
pengkayaan
(enrichment) oleh faktor luar. Dugaan tersebut
mengilustrasikan adanya pupuk N yang tercuci dan
atau terbawanya hasil-hasil dekomposisi dari
kawasan atas (upstream) dalam air irigasi.
Kemungkinan lainnya adalah pengkayaan N-N03- dan
N-NH4+ oleh air hujan. Seperti dilaporkan oleh
Demyttenaere (1991), Poss and Saragoni (1992),
dan Sukristiyonubowo (2007) bahwa air hujan
mengandung N yang relatif tinggi.
-

48

Kecenderungan hasil yang sama ditunjukkan


oleh larutan sedimen pada semua perlakuan yang
diuji. Variasi konsentrasi nitrat (N03-), amonium
(NH4+), fosfat (PO4-) dan kalium (K+) pada larutan
sedimen adalah tidak besar (Tabel 5). Seperti halnya
pada air irigasi, konsentrasi NO3- dan NH4+ tertinggi
dijumpai pada saat setelah pemupukan. Peristiwa ini
membuktikan juga bahwa pupuk N yang diberikan di
sawah (on site), tercuci dan terangkut keluar
bersama larutan sedimen. Besarnya konsentrasi
nitrat (N03-) terlarut setelah pemupukan bervariasi
antara 0,80 0,04 sampai 1,15 0,04 mg kg-1 dan
untuk amonium (NH4+) terlarut 1,68 0,04 mg kg-1,
tergantung pada perlakuannya.
Konsentrasi PO4- terlarut pada air irigasi
tergolong sangat rendah, bervariasi antara 0,01
sampai 0,12 mg kg-1. Fenomena yang sama
ditunjukkan juga pada larutan sedimen, sekalipun
pada perlakukan IT dan IT+RS yang menambahkan
pupuk P sebesar 100 kg TSP ha-1 musim-1. Pada
semua perlakuan baik yang memberi pupuk P (IT dan
IT+RS) maupun yang tidak (FP dan FP+RS),
konsentrasi PO4- pada pengamatan setelah
pemupukan relatif sama besarnya, yaitu antara 0,06
sampai 0,09 mg kg-1 (Tabel 5). Kejadian ini
menunjukkan bahwa pupuk P lebih tahan terhadap
pencucian dibandingkan dengan pupuk N, atau
mungkin P lebih banyak terfiksasi dalam bentuk Al-P
dan Fe-P karena pH tanahnya berkisar antara 5,0
sampai 5,6. Oleh sebab itu, sangat menarik untuk
mengevaluasi P yang terkandung dalam sedimen,
yang terdiri atas butiran-butiran halus sampai sangat
halus (clay texture).
Diantara hara yang terlarut, konsentrasi K+
terlarut baik pada air irigasi maupun larutan sedimen
tergolong tinggi, yang bervariasi dari 1,86 0,04
sampai dengan 2,34 0,04 mg kg-1 untuk air irigasi
(Tabel 4) dan dari 1,13 0,02 sampai dengan 2,21
0,05 mg kg-1 untuk larutan sedimen (Tabel 5).
Seperti dilaporkan oleh Sukristiyonubowo (2007)
pemupukan yang dilakukan oleh perkebunan teh
(Camelia sinensis), kopi (Coffea arabica), cengkeh
(Eugenia aromatica) dan rambutan (Nephelium lapaceum) di kawasan atas berpengaruh nyata terhadap

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 4. Konsentrasi N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk oleh air irigasi selama
pertumbuhan padi, MH 2003-2004
Table 4. Concentration of dissolved N, P, and K in irrigation water during rice growth in the
WS 2003-2004
Konsentrasi N, P, dan K pada air irigasi
NH4+
PO4K+
N03-1
..................................... mg kg .....................................

Perlakuan/pengamatan
Pelumpuran
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Sebelum tanam
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia vegetatif
Sebelum pemupukan
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Setelah pemupukan
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia generatif
FP
FP + RS
IT
IT + RS

0,006
0,012
0,006
0,010

a
a
a
a

1,01
1,46
1,03
1,07

0,15 0,030
0,14 0,020
0,12 0,015
0,15 0,030

a
a
a
a

1,58
1,59
1,65
1,76

0,29 0,025 b
0,45 0,025 b
065 0,015 a
0,45 0,025 b

0,10
0,30
0,15
0,20

0,025 b
0,012 a
0,015 b
0,025 b

0,01
0,07
0,02
0,01

0,00
0,01
0,01
0,01

a
a
a
a

1,86 0,04 a
2,34 0,04 b
1,79 0,05 a
1,80 004 a

0,065
0,045
0,050
0,035

b
b
b
a

0,03
0,04
0,08
0,04

0,01
0,01
0,01
0,02

a
a
a
a

1,86
1,79
1,72
1,79

0,04
0,05
0,04
0,05

a
a
b
a

1,28
1,21
1,18
1,19

0,012
0,030
0,012
0,010

a
b
b
b

0,12
0,09
0,09
0,08

0,03
0,02
0,01
0,01

a
a
a
a

1,95
2,01
2,02
1,86

0,02
0,04
0,02
0,04

a
a
a
b

0,70
0,56
1,22
0,83

0,021
0,035
0.030
0,030

c
d
a
b

1,77
1,84
1,78
1,98

0,055
0,035
0,035
0,015

b
b
b
a

0,07
0,07
0,10
0,08

0,01
0,01
0,01
0,01

a
a
a
a

2,04
2,14
2,16
2,34

0,06
0,06
0,05
0,04

b
b
b
a

0,36
0,36
0,47
0,44

0,030
0,006
0,015
0,035

b
b
a
a

1,65
1,59
1,66
1,67

0,025
0,025
0,030
0,025

a
a
a
a

0,03
0,04
0,07
0,04

0,01
0,01
0,02
0,01

a
a
a
a

1,86
1,79
1,72
1,84

0,04
0,05
0,03
0,02

a
a
b
a

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

konsentrasi hara terlarut yang dibawa oleh air irigasi,

pemupukan yang memperlihatkan konsentrasi K+

selain tercucinya hasil dekomposisi seresah (litter)

terlarut tertinggi.

dan bahan organik lainnya. Tingginya konsentrasi K

terlarut pada air irigasi juga telah banyak dibahas


dan

dilaporkan

oleh

peneliti

peneliti

terdahulu

(Uexkull, 1970; Sukristiyonubowo, 2007).


Selanjutnya, tingginya konsentrasi K
larutan

sedimen

(runoff

N-NH4+, PO4- dan K+ terlarut antara air irigasi dan


larutan sedimen, faktor lain seperti debit, pemupukan,
curah hujan dan ukuran teras juga akan berpengaruh

pada

Selain karena perbedaan konsentrasi N-NO3-,

terlarut

sediment)

lebih

terhadap deposit atau tererosinya hara seperti yang


dilaporkan

dalam

Sukristiyonubowo

(2007).

dipengaruhi oleh tererosinya pupuk KCl (terutama

Penelitian lebih rinci dan mendalam

pada perlakuan IT dan IT+RS yang memberi 100 kg

sistem sawah berteras pada musim kemarau menjadi

KCl ha-1 musim-1) dan tercucinya hasil dekomposisi

sangat penting untuk menggali informasi mengenai

jerami

fungsi lain dari sistem sawah berteras, yang tidak

(terutama

pada

perlakuan

FP+RS

dan

IT+RS). Hal ini terdeteksi pada pengamatan setelah

mengenai

hanya sekedar media penghasil beras.

49

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 5. Konsentrasi N, P, dan K terlarut yang terangkut keluar oleh larutan sedimen selama
pertumbuhan padi, MH 2003-2004
Table 5. Concentration of dissolved N, P, and K in suspended sediment during rice growth, WS
2003-2004
Perlakuan/pengamatan
Pelumpuran
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Sebelum tanam
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia vegetatif
Sebelum pemupukan
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Setelah pemupukan
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia generatif
FP
FP + RS
IT
IT + RS

Konsentrasi N, P, dan K pada larutan sedimen


NH4+
PO4K+
N03....................................... mg kg-1 ...................................
0,12
0,58
0,17
0,13

0,02
0,09
0,03
0,05

b
a
b
b

1,05
1,47
1,11
1,10

0,05
0,07
0,07
0,09

b
a
b
b

0,02
0,12
0,03
0,05

0,01
0,03
0,01
0,01

a
a
a
a

1,60
2,21
1,60
1,75

0,05
0,05
0,04
0,02

b
a
b
b

0,10
0,10
0,10
0,13

0,03
0,02
0,01
0,02

a
a
a
a

1,47
1,54
1,62
1,57

0,03
0,03
0,02
0,02

b
b
a
b

0,03
0,03
0,07
0,04

0,01
0,01
0,02
0,01

a
a
a
a

1,13
1,38
1,44
1,54

0,02
0,03
0,04
0,04

b
a
a
a

0,69
0,85
0,89
0,80

0,03
0,03
0,04
0,02

b
a
a
a

1,30
1,31
1,32
1,29

0,03
0,03
0,01
0,03

a
a
a
a

0,06
0,06
0,04
0,08

0,01
0,02
0,01
0,02

a
a
a
a

1,67
1,70
1,73
1,75

0,06
0,06
0,05
0,05

a
a
a
a

0,80
1,10
1,15
0,97

0,04
0,05
0,04
0,02

c
a
a
b

1,69
1,68
1,67
1,68

0,05
0,04
0,06
0,04

a
a
a
a

0,07
0,06
0,06
0,09

0,02
0,01
0,04
0,01

a
a
a
a

1,73
1,85
1,90
1,99

0,06
0,04
0,02
0,04

c
b
b
a

0,31
0,34
0,43
0,46

0,03
0,03
0,02
0,02

b
b
a
a

1,57 0,03 b
1,54 0,03 b
1,57 0,03 b
1,62 0,02 a

0,03
0,03
0,06
0,06

0,01
0,02
0,01
0,01

a
a
a
a

1,56
1,75
1,75
1,95

0,03
0,03
0,02
0,04

c
b
b
a

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk dan yang


terangkut keluar selama pertumbuhan tanaman padi

Berhubung konsentrasi hara terlarut dan debit


air irigasi dan larutan sedimen berbeda, maka hara
terlarut yang terbawa masuk dan yang terangkut
keluar sawah akan bervariasi. Variasi ini dapat
menyebabkan neraca hara positif, apabila hara yang
masuk lebih banyak dari pada yang keluar, atau
negatif, apabila hara yang masuk lebih sedikit
dibandingkan hara yang terangkut keluar (Tabel 6).
Seperti halnya pada pergerakan sedimen, N
(NO3 + NH4+), P dan K terlarut yang masuk dan
yang keluar pada stadia vegetatif adalah yang
terbesar. Penyebabnya adalah pengairan pada stadia
-

50

ini dilakukan lebih lama jika dibandingkan dengan


saat pelumpuran (1 hari), sebelum tanam (7 hari)
dan stadia generatif (8 hari). Pada stadia ini terjadi
surplus hara terlarut, dimana hara terlarut yang
masuk lebih besar dari pada yang keluar. Besarnya
surplus hara terlarut tersebut berkisar antara 4,14
dan 9,90 kg N, 0,09 dan 1,14 kg P, dan antara
3,96 dan 8,28 kg K ha-1 musim-1.
Menarik untuk disimak bahwa hara terlarut
yang
masuk
pada
masing-masing
stadia
pertumbuhan padi adalah lebih besar dibandingkan
dengan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen.
Akibatnya, hara tersebut tersimpan di setiap teras
lahan sawah. Sukristiyonubowo (2007) menemukan
bahwa teras dengan ukuran yang lebih luas

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 6. N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk oleh air irigasi dan yang terangkut keluar oleh larutan
sedimen selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004
Table 6. Incoming and outgoing dissolved N, P and K during rice growth in the WS 2003-2004
Perlakuan/
pengamatan
Pelumpuran
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Sebelum tanam
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia vegetatif
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Stadia generatif
FP
FP + RS
IT
IT + RS
Jumlah
FP
FP + RS
IT
IT + RS

Hara terlarut yang masuk


Hara terlarut yang keluar
Net input
N
P
K
N
P
K
N
P
K
.................................................. kg ha-1 musim-1 ..................................................
0,58 b*
1,20 a
0,52 b
0,68 b

0,002
0,020
0,002
0,002

a
a
a
a

1,06
1,57
0,87
1,13

a
a
a
a

0,36
0,86
0,34
0,56

a
a
a
a

0,002
0,040
0,003
0,008

a
b
a
a

0,55
0,93
0,46
0,80

a
a
a
a

0,22
0,33
0,18
0,12

a
a
a
a

4,20
6,48
3,24
6,36

0,060
0,060
0,060
0,060

a
a
a
a

4,26
6,60
3,30
6,42

a
a
a
a

3,06
5,64
2,16
4,48

a
a
a
a

0,018
0,030
0,030
0,030

a
a
a
a

2,64
3,90
1,92
4,62

a
a
a
a

1,20
0,90
1,08
1,50

a
a
a
a

0,018
0,030
0,030
0,030

22,50 ab
29,52 a
12,60 b
25,56 ab

0,270
0,288
0,144
0,270

a
a
a
a

16,20
22,86
9,90
20,70

a
a
a
a

12,96
19,98
8,46
15,66

a
a
a
a

0,126
0,162
0,072
0,180

a
a
a
a

10,80
14,58
5,76
12,42

9,90
9,54
4,14
9,90

a
a
a
a

9,50
12,50
6,60
12,30

a
a
a
a

0,070
0,090
0,050
0,090

a
a
a
a

8,40
11,00
5,80
10,80

a
a
a
a

7,20 a
10,20 a
4,80 a
10,30 a

0,040
0,050
0,040
0,080

a
a
a
a

6,00
9,10
4,10
9,90

2,30
2,30
1,80
2,00

a
a
a
a

36,78
49,70
22,96
44,90

a
a
a
a

0,402
0,458
0,256
0,422

a
a
a
a

29,92
42,03
19,87
39,05

a
a
a
a

23,58
36,68
15,76
31,32

0,186
0,282
0,145
0,298

a
a
a
a

19,99
28,51
12,24
27,74

a
a
a
a

a
a
a
a

a
a
a
a

a
a
a
a
a
a
a
a

13,62 a
13,07 a
7,20 a
13,52 a

0
0
0
0

0,51
0,64
0,41
0,33

a
a
a
a

a
a
a
a

1,62
2,70
1,38
1,80

a
a
a
a

0,144
0,126
0,090
0,090

a
a
a
a

6,84
8,28
3,96
8,28

a
a
a
a

0,030
0,040
0,010
0,010

a
a
a
a

2,40
1,80
1,50
0,90

a
a
a
a

0,192
0,196
0,130
0,130

a
a
a
a

11,37
13,42
7,25
11,31

a
a
a
a

* Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

menyimpan hara lebih banyak dibandingkan teras


yang berukuran lebih kecil. Fenomena ini juga
mengindikasikan adanya pengurangan akibat negatif
di
kawasan
bawah
(downstream)
berupa
meningkatnya kualitas air. Besarnya hara terlarut
yang tersimpan di lahan sawah selama pertumbuhan
tanaman padi adalah 7,20 - 13,62 kg N, 0,13 - 0,20
kg P dan 7,25 - 13,42 kg K ha-1 musim-1 dan antar
perlakuan tidak menunjukkan beda yang nyata
(Tabel 6). Hasil ini dapat diartikan bahwa kontribusi
nitrogen (N) dan kalium (K) dari air irigasi untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi
adalah relatif besar, setara dengan 14-28 kg urea
dan 15-25 kg KCl ha-1 musim-1. Sementara itu
sumbangan P (fosfor) air irigasi adalah sangat kecil
atau hampir tidak berarti.

KESIMPULAN
1. Selama pertumbuhan padi debit air irigasi
bervariasi bergantung pada penggunaan di
kawasan atas dan stadia pertumbuhan padi.
Debit air irigasi saat pelumpuran adalah yang
terbesar, berkisar mulai 2,55 1,23 sampai
3,10 0,55 l detik-1. Pada stadia vegetatif debit
air irigasi adalah yang terkecil, yaitu antara 0,33
0,15 dan 0,54 0,15 l detik-1, dan pada
stadia generatif berkisar antara 1,38 0,28
sampai 1,60 0,06 l detik-1. Dibandingkan
dengan debit air irigasi, debit larutan sedimen
adalah lebih kecil. Debit larutan sedimen saat
pelumpuran berkisar dari 0,89 0,20 sampai
1,31 0,34 l detik-1 dan pada stadia vegetatif
debit larutan sedimen adalah yang terkecil, yaitu

51

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

antara 0,21 0,07 dan 0,78 0,52 l detik-1.


Pada stadia generatif bervariasi dari 1,13 0,06
sampai 1,32 0,09 l detik-1. Kadar lumpur air
irigasi bervariasi antara 0,207 0,012 sampai
0,490 0,09 g l-1, dengan kadar lumpur
tertinggi adalah saat pelumpuran. Kecenderungan
yang sama diamati pada kadar lumpur larutan
sedimen. Kadar lumpur larutan sedimen tertinggi
adalah saat pelumpuran yang bervariasi antara
2,88 1,42 sampai 3,58 1,13 g l-1, lebih
tinggi sebesar 2,70-3,41 g l-1 jika dibandingkan
dengan stadia lainnya.
2. Sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi
lebih kecil dari pada sedimen yang terangkut
keluar oleh larutan sedimen hanya pada saat
pelumpuran. Banyaknya sedimen yang tersimpan
berkisar dari 647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1
dari jumlah sedimen yang terbawa masuk oleh
air irigasi berkisar antara 2.715 sampai 5.521 kg
ha-1 musim-1 dan antar perlakuan tidak
menunjukkan beda yang nyata. Sebaliknya, hara
terlarut (nitrogen, fosfor, dan kalium) yang
terbawa masuk oleh air irigasi di setiap stadia
pertumbuhan padi tersimpan di sawah. Jumlah
hara terlarut yang tersimpan di lahan sawah
selama pertumbuhan tanaman padi adalah 7,2013,62 kg N, 0,13-0,20 kg P, dan 7,25-13,42 kg
K ha-1 musim-1, setara dengan 14-28 kg urea
dan 15-25 kg KCl ha-1 musim-1 dan secara
statistik antar perlakuan tidak menunjukkan beda
nyata. Hasil ini mendemonstrasikan adanya
fungsi lain (external services) yang diberikan
oleh sistem sawah berteras, selain sebagai
tempat memproduksi beras.

DAFTAR PUSTAKA
Adachi, K. 1990. Effect of rice-soil puddling on
water
percolation.
Pp
146-151.
In
Proceedings of the transactions of the 14th
International Congress on Soil Science I.
Agus, F. and Sukristiyonubowo. 2003. Nutrient loss
and onsite cost of soil erosion under
different land uses systems in South East
Asia. Pp 186-193. In Wani, S.P., Maglinoa,
A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.),
Integrated catchment management for land
52

and water conservation and sustainable


agricultural production in Asia.
Agus, F., T. Vadari, R.L. Watung, Sukristiyonubowo,
and C. Valentin. 2003. Effects of land use
and management systems on water and
sediment yields: Evaluation from several
micro catchments in Southeast Asia. Pp
135-149. In: Maglinao, A.R., Valentin, C.,
and Penning de Vries, F.W.T. (Eds.), From
soil
research
to
land
and
water
management: Harmonising People and
Nature. Proceedings of the IWMI-ADB
Project Annual Meeting and 7th MSEC
Assembly.
Aksoy, H., and H.L. Kavvas. 2005. A review of
hillslope and watershed scale erosion and
sediment transport model. Catena. 64:247271.
Alberts, E.E., G.E. Schuman, and R.E. Burwell.
1978. Seasonal runoff losses of nitrogen
and phosphorus from Missouri Valley loess
watershed. Journal of Environmental Quality
7:203-208.
Anbumozhi, V., E. Yamaji, and T. Tabuchi. 1998.
Rice crop growth and yield as influenced by
changes in ponding water depth, water
regime and fertigation level. Agricultural
Water Management 37:241-253.
Anonim. 1977. Bercocok tanam padi, palawijo dan
sayur. BIMAS, Departemen Pertanian. 280
hlm.
Anonim. 2007. Rekomendasi pemupukan N, P dan K
pada padi sawah spesifik lokasi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. 286 hlm.
Bhagat, R.M., S.I. Bhuiyan, and K. Moody. 1996.
Water, tillage and weed interactions in
lowland tropical rice: a review. Agricultural
Water Management 31:165-184.
Bhuiyan, S.I. 1992. Water management in relation
to crop production: case study on rice.
Outlook Agriculture. 21:293-299.
Bhuiyan, S.I., M.A. Sattar, and D.F. Tabbal. 1994.
Wet seeded rice: water use efficiency,
productivity and constraints to wider
adoption.
Paper
presented
at
the
International Workshop on constrains,
opportunities, and innovations for wet
seeded rice, Bangkok, May 31-June 3,
1994, 19 p.

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

Bouman, B.A.M., S. Peng, A.R. Castaneda, and


R.M. Visperas. 2005. Yield and water use of
irrigated tropical aerobic rice systems.
Agricultural Water Management 74:87-105
Bouman. B.A.M., and T.P. Tuong. 2001. Field water
management to save water and increase its
productivity in irrigated lowland rice.
Agricultural Water Management 49:11-30.
BPS. 2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik.
Cabangon, R.J., and T.P. Tuong. 2000. Management
of cracked soils for water saving during land
preparation for rice cultivation. Soil and
Tillage Research 56: 105-116.
Cabangon, R.J., T.P. Tuong, and N.B. Abdullah.
2002. Comparing water input and water
productivity of transplanted and directseeded rice production systems. Agricultural
Water Management. 57:11-31.
Daniels, T.C., A.N. Sharpley, and J.L. Lemunyon.
1998.
Agricultural
phosphorus
and
eutrophication a symposium overview.
Journal of Environmental Quality 27:251257.
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practises of
Rics Production. IRRI. Los Banos, Phillipines,
P618.
Demyttenaere, P. 1991. Stikstofdynamiek in de
bodems van de westvlaamse groentestreek.
Doctorate Thesis. 203 p.
Douglas, Jr. C.L., K.A. King, and J.F. Zuzel. 1998.
Nitrogen and phosphorus in surface runoff
and sediment from a wheat-pea rotation in
Northeastern
Oregon.
Journal
of
Environmental Quality 27:1170-1177.
Duque Sr, C.M., R.O. Ilao, L.E. Tiongco, R.S. Quita,
N.V. Carpina, B. Santos, and T. de Guzman.
2003.
Management
of
soil
erosion
consortium: An innovative approach to
sustainable land management in the
Philippines. MSEC-Philippines Annual Report.
In: Wani, S.P., Maglinoa, A.R, Ramakrisna,
A., and Rego, T.J. (Eds.), Integrated
catchment management for land and water
conservation and sustainable agricultural
production in Asia. CD-Rom (one CD).
El-Swaify, S.A. 1989. Monitoring of weather,
runoff, and soil loss. Pp 163-178. In Soil
management and smallholder development in
the
Pacific
Islands.
IBSRAM-Thailand
proceedings.
Ghildyal, B.P. 1971. Soil and water management for
increased water and fertiliser use efficiency

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

for rice production. Pp 499-509 In Kanwar,


J.S., Datta, N.P., Bains, S.S., Bhumbla,
D.R., and Biswas, T.D. (Eds.), Proceedings
of international symposium on soil fertility
evaluation.
Hashyim, G.M., K.J. Caughlan, and J.K. Syers.
1998. On-site nutrient depletion: An effect
and a cause of soil erosion. Pp. 207-222. In:
Penning de Vries, F.W.T., Agus, F., and
Kerr, J. (Eds.), Soil Erosion at Multiple Scale.
Principles and Methods for Assessing
Causes and Impacts. CABI Publishing in
Association with IBSRAM.
IWMI (International Water Management Institute).
2004. Water facts. IWMI Brochure.
Kirchhof, G., S. Priyono, W.H. Utomo, T.
Adisarwanto, E.V. Dacanay, and H.B. So.
2000. The effect of soil puddling on the soil
physical properties and the growth of rice
and post-rice crops. Soil and Tillage
Research 56:37-50.
Kissel, D.E., C.W. Richardson, and E. Burnett.
1976. Losses of nitrogen in surface runoff in
the Black Prairie of Texas. Journal of
Environmental Quality 5:288-293.
Kukal, S.S., and A.S. Sidhu. 2004. Percolation
losses of water in relation to pre-puddling
tillage and puddling intensity in a puddle
sandy loam rice (Oryza sativa L.) field. Soil
and Tillage Research 78:1-8.
Lal, R. 1998. Soil erosion impact on agronomic
productivity and environment quality. Critical
Reviews in Plant Sciences 17(4):319-464.
Lal, R., F.P. Miller, and T.J. Logan. 1998. Are
intensive
agricultural
practices
environmentally and ethically sound? Journal
of Agriculture Ethics 1:193-210.
Naphade, J.D., and B.P. Ghildyal. 1971. Influences
of puddling and water regimes on soil
characteristics, ion uptake and rice growth.
Pp 510-517. In Kanwar, J.S., Datta, N.P.,
Bains, S.S., Bhumbla, D.R., and Biswas,
T.D. (Eds.), Proceedings of international
symposium on soil fertility evaluation.
Phommassack, T., A. Chanthavongsa, C. Sihavong,
C. Thonglatsamy, C. Valentine,
A. de
Rouw, P. Marchand, and V. Chaplot. 2003.
An innovative approach to sustainable land
management in Lao PDR. MSEC-Lao PDR
Annual Report. In Wani, S.P., Maglinoa,
A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.),

53

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Integrated catchment management for land


and water conservation and sustainable
agricultural production in Asia. CD-Rom (one
CD).
Poss, R., and H. Saragoni. 1992. Leaching of
nitrate, calcium and magnesium under maize
cultivation on an oxisol in Togo. Fertilizer
Research 33(2):123-133.
Robichaud, P.R., T.R. Lillybridge, and J.W.
Wagenbrenner. 2006. Effect of post fire
seeding and fertilising on hill slope erosion in
north-central Washington, USA. Catena. 67:
56-67.
Sanchez, P.A. 1973. Puddling tropical rice soils: 1.
Growth and nutritional aspects. Soil Science
115:303-308.
Schuman, G.E. and R.E. Burwell. 1974. Precipitation
nitrogen contribution relative to surface
runoff discharge. Journal of Environmental
Quality. 4:366-369.
Sharma, P.K., and S.K. De Datta. 1986. Physical
properties and processes of puddled rice
soils. Advance Soil Science. 5:139-178.
Sukristiyonubowo, R.L. Watung, T. Vadari, and F.
Agus. 2003. Nutrient loss and the on-site
cost of soil erosion under different land use
systems. Pp. 151-164. In Maglinao, A.R,
Valentin, C., and Penning de Vries, F.W.T.
(Eds.), From soil research to land and water
management: Harmonising People and Nature.
Proceedings of the IWMI-ADB Project
Annual Meeting and 7th MSEC Assembly.
Sukristiyonubowo, F. Agus, D. Gabriels, and M.
Verloo. 2004. Sediment and nutrient
balances under traditional irrigation at
terraced paddy field systems. Paper
presented at the second International
Symposium on Land Use Change and Soil
and Water processes in Tropical Mountain
Environments held in Luang Prabang, Lao
PDR on 14-17 December 2004. Organised
by Ministry of Agriculture and Forestry, Lao
PDR and sponsored by National Agriculture
and Forestry Research Institute (NAFRI),
International Water Management Institute
(IWMI) and Institut de Recherche pour le
Dveloppement (IRD).
Sukristiyonubowo. 2007. Nutrient balances in
terraced paddy fields under traditional

54

irrigation in Indonesia. PhD thesis. Faculty of


Bioscience Engineering, Ghent University,
Ghent, Belgium, 184 p.
Sukristiyonubowo. 2008. Sedimen dan unsur hara
yang terangkut saat pengolahan tanah pada
sawah berteras. Hlm 225-245. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Taball, D.F., B.A.M. Bouman, S.I. Bhuiyan, E.B.
Sibayan, and M.A. Sattar. 2002. On-farm
strategies for reducing water input in
irrigated rice; case study in the Philippines.
Agricultural Water Management. 56:93-112.
Toan, T.D., T. Phien, D.D. Phai, and L. Nguyen.
2003. Managing soil erosion for sustainable
agriculture in Dong Cao Catchment. MSECVietnam Annual Report. In Wani, S.P.,
Maglinoa, A.R, Ramakrisna, A., and Rego,
T.J.
(Eds.),
Integrated
catchment
management
for
land
and
water
conservation and sustainable agricultural
production in Asia. CD-Rom (one CD).
Udawatta, R.P., P.P. Motavalli, H.E. Garrett, and
J.J. Krstansky. 2006. Nitrogen losses in
runoff from three adjacent agricultural
watersheds with clay pan soils. Agriculture
Ecosystems and Environment. 117:39-48.
Uexkull, V.H.R. 1970. Some notes on the timing of
potash fertilisation of rice (nitrogen-potash
balance in rice nutrition). Pp. 413-416. In
The International Potash Institute (Eds.).
Proceedings of the 9th congress of the
International Potash Institute.
Visser, S.M., L. Stroosnijder, and W.J. Chardon.
2005. Nutrient losses by wind and water,
measurements and modelling. Catena. 64:
1-22.
WMO (World Meteorological Organisation). 1994.
Guide to hydrological practices. Data
acquisition
and
processing,
analysis,
forecasting and other applications. Fifth ed.
WMO-No.168. 735 p.
Yuqian, L. 1989. Manual on operational methods for
the measurement of sediment transport.
Operational Hydrology Report No.29. WMONo. 686. 169p.

Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah
pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik
The Correlation of Some Soil Chemical Properties with Phosphorus Uptake of Lowland Rice
on Kaolinitic and Smectitic Soils
M. MASJKUR1 DAN A. KASNO2

ABSTRAK
Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan serapan P penting
diketahui untuk menunjang rekomendasi pemupukan P. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi beberapa sifat
kimia tanah dengan serapan P padi sawah pada tanah kaolinitik
dan smektitik. Penelitian lapangan dilaksanakan pada lahan
sawah kaolinitik Lampung dan smektitik Jawa Timur masingmasing dengan keragaman hara P rendah, sedang dan tinggi.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan
empat ulangan. Perlakuan terdiri atas lima tingkat pupuk P yaitu :
0, 23, 46, 69, dan 115 kg P2O5 ha-1 menggunakan SP-36. Pada
tanah kaolinitik, respon serapan P padi sawah tidak nyata dengan
pemupukan P, sedangkan pada tanah smektitik respon serapan P
nyata. Pada tanah kaolinitik C organik berkorelasi positif nyata
dengan serapan P padi sawah, sedangkan pH tanah, kadar liat,
Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi tidak nyata. Pada tanah smektitik
C organik berkorelasi negatif nyata dengan serapan P padi sawah,
sedangkan pH tanah, kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi
tidak nyata. Dengan demikian peningkatan bahan organik pada
tanah kaolinitik cenderung meningkatkan serapan P padi sawah,
sedangkan pada tanah smektitik cenderung menurunkan serapan
P.
Kata kunci : Sifat-sifat kimia tanah, Kaolinitik, Smektitik, Serapan
fosfor, Padi sawah

ABSTRACT
Determining relationship between soil properties and
phosphorus uptake is important to support P fertilizer
recommendation. The objective of this research was to determine
the relationship between some soil chemical properties and
phosphorus uptake of lowland rice on kaolinitic and smectitic
soils. Field experiments were conducted in Lampung kaolinitic
paddy soils and East Java smectitic paddy soils with low,
medium, and high P content variabilities. The experiments used
completely randomized block design with four replications. The
treatments consist of five P fertilizer levels that were 0, 23, 46,
69, dan 115 kg P2O5 ha-1, applied as superphosphate (SP-36). In
kaolinitic soils, P uptake response with P fertilizer was not
significant, whereas in smectitic soils P uptake response was
significant. In kaolinitic soils, organic C correlated positively with
P uptake of lowland rice, while the correlation of pH, clay content,
exchangeable Ca, Fe, and Al were not significant. In smectitic
soils, organic C correlated negatively with P uptake of lowland
rice, while the correlation of pH, clay content, exchangeable Ca,
Fe, and Al were not significant. Thus, increasing organic matter
in kaolinic soils will increase P uptake of lowland rice, while in
smectitic soils increasing organic matter will decrease P uptake.

ISSN 1410 7244

Keywords : Soil properties, Kaolinitic, Smectitic, Phosphorus


uptake, Lowland rice

PENDAHULUAN
Kahat fosfor merupakan salah satu kendala
peningkatan produktivitas padi sawah. Di beberapa
wilayah kandungan P umumnya masih rendah,
sedangkan di wilayah lainnya kandungan P cukup
tinggi. Hal ini disebabkan antara lain oleh
pemupukan P terus-menerus dengan dosis tinggi.
Rekomendasi pemupukan P padi sawah telah
didasarkan pada pengkelasan hara P tersedia dan
peluang respon tanaman (Rochayati dan Adiningsih,
2002). Namun demikian, rekomendasi pemupukan P
tersebut belum didasarkan pada jenis tanah dan tipe
mineral liat tanah.
Cornforth et al. (1990) mengemukakan bahwa
ketepatan
rekomendasi
pemupukan
dapat
ditingkatkan dengan mempertimbangkan jenis tanah
(soil group) dan tipe mineral liat dominan telah
digunakan sebagai penciri dalam pengelompokan
jenis tanah. Sifat-sifat berbeda mineral liat tanah
berpengaruh langsung terhadap sifat fisik dan kimia
tanah (Brown, 1990; Newman and Hayes, 1990).
Tanah-tanah Ultisols dan Oxisols umumnya
mempunyai kaolinit sebagai mineral dominan
(kaolinitik), sedangkan sebagian besar tanah
Vertisols dicirikan oleh smektit sebagai mineral
dominan (smektitik) (Brown, 1990; Tan, 1998).
Tanah sawah Ultisols tersebar hampir di seluruh
1. Bagian Analisis dan Pemodelan Statistika, Departemen
Statistika, IPB, Bogor.
2. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.

55

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

pulau utama, sedangkan Vertisols umum terdapat di


dataran rendah di Pulau Jawa, sebagian Sumatera
dan Sulawesi (Abdurachman et al., 1999).
Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan
ketersediaan P penting diketahui untuk menunjang
rekomendasi pemupukan P. Rochayati (1995) dalam
percobaan rumah kaca mendapatkan bahwa fraksi
Fe-P, besi oksida bebas, dan besi amorf berkorelasi
positif nyata dengan serapan P padi sawah pada
delapan minggu setelah tanam dan saat panen. pH
tanah berkorelasi positif nyata dengan serapan P
pada delapan minggu setelah tanam, tetapi
berkorelasi tidak nyata pada saat panen. Adapun
fraksi Al-P, fraksi Ca-P, Fe dan Mn dapat ditukar,
dan C organik berkorelasi tidak nyata dengan
serapan P padi sawah.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui
respon pemupukan P padi sawah pada tanah
kaolinitik dan smektitik, (2) mengetahui korelasi
beberapa sifat kimia tanah dengan serapan P padi
sawah tanah kaolinitik dan smektitik.

kandungan bahan organik (C organik, N total, C/N


rasio), P dan K HCl 25%, P Bray 1, K, Ca, Mg, dan
Na dapat ditukar, KTK dan KB (NH4OAc 1 M pH 7),
Fe, Mn, Cu, dan Zn dapat ditukar (DTPA), Al dan H
dapat ditukar (KCl 1 N) (Tabel 1, 2, dan 3).
Komposisi mineral liat tercantum pada Tabel 4 dan
5, sedangkan difraktogram x-ray tanah kaolinitik dan
smektitik dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Percobaan lapangan menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan.
Perlakuan terdiri atas lima tingkat pupuk P yaitu : 0,
23, 46, 69, dan 115 kg P2O5 ha-1 menggunakan SP36. Sebagai pupuk dasar ditambah pupuk urea 300
kg ha-1 dan 150 kg KCl ha-1. Pupuk P diberikan
sekaligus pada saat tanam. Pemupukan dilakukan
dengan cara disebar secara merata ke seluruh
permukaan petakan. Pupuk urea dan KCl diberikan
dua kali, yaitu pada saat tanam dan fase primordia
masing-masing dengan dosis. Petak percobaan
berukuran 5 m x 5 m. Tanaman indikator yang
digunakan adalah padi VUTB var. Fatmawati.
Peubah yang diamati ialah serapan P tanaman pada
saat panen.

BAHAN DAN METODE


Penelitian lapangan dilaksanakan di daerah
Lampung dan Jawa Timur, merupakan bagian dari
Proyek Penelitian Teknologi Pengelolaan Lahan
Sawah untuk Padi VUTB/Hibrida (Kasno, 2005).
Penelitian dilaksanakan pada tiga lokasi lahan sawah
Ultisols kaolinitik Lampung yaitu Purworejo 1 (P
rendah), Purworejo 2 (P sedang), dan Simbarwaringin
(P sangat tinggi) dan tiga lokasi lahan sawah
Vertisols smektitik Jawa Timur yaitu Demangan (P
sedang), Kedungrejo (P tinggi), dan Tirtobinangun (P
sangat tinggi) pada musim tanam 2005/2006.
Penelitian laboratorium dilaksanakan di Laboratorium
Penelitian Balai Penelitian Tanah Bogor.
Contoh tanah lapisan atas (0-20 cm) diambil
dari lokasi percobaan lapangan. Contoh tanah
dikering-udarakan, dihaluskan, dan diayak dengan
saringan 2 mm. Jenis penetapan sifat-sifat tanah
terdiri atas : tekstur 3 fraksi, pH (H2O dan KCl),

56

HASIL DAN PEMBAHASAN


Respon serapan P padi sawah
terhadap pemupukan P
Grafik serapan P padi sawah dengan
pemupukan P pada tanah kaolinitik Purworejo 1 (P
rendah), Purworejo 2 (P sedang), dan Simbarwaringin
(P sangat tinggi) dapat dilihat pada Gambar 3.
Terlihat bahwa kurva serapan P hampir datar, hanya
di lokasi Purworejo 1 (P rendah) terdapat
kecenderungan meningkat dengan pemupukan P.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada
tiga lokasi tanah kaolinitik tidak terdapat respon
nyata serapan P dengan pemupukan P (Tabel 6, 7,
dan 8). Serapan P padi sawah dengan pemupukan P
(50, 100, 150, 200, dan 250 kg SP-36 ha-1) tidak
berbeda nyata dengan tanpa pemupukan P (Tabel
9).

Tabel 1. Sifat-sifat tanah kaolinitik Purworejo dan Simbarwaringin Lampung


Table 1. Kaolinitic soil properties from Purworejo dan Simbarwaringin Lampung
Lokasi

pH
(1:2.5)
H2O KCl

KB
%

4,0
4,0
4,0
4,0

27
25
28
25

57
57
59
63

16
18
13
12

1,69
1,65
1,69
1,53

0,15
0,15
0,12
0,13

11
11
14
12

11,6
12,5
15,9
11,9

3,6
3,7
4,0
3,4

18
24
24
21

0,08
0,09
0,07
0,05

2,80
2,82
3,05
2,25

0,68
0,65
0,81
0,70

0,02
0,02
0,02
0,01

3,58
3,57
3,95
3,01

12,29
12,13
11,53
11,45

29
29
34
26

Purworejo 2
P sedang I
P sedang II
P sedang III
P sedang IV

5,3
5,2
5,2
5,2

4,0
4,1
4,0
4,0

32
32
32
31

36
32
46
55

32
36
22
14

1,39
1,34
1,31
1,38

0,12
0,14
0,14
0,14

11
9
9
10

21,5
25,7
24,7
26,5

4,0
11,0
3,2
3,8

24
29
25
32

0,07
0,24
0,04
0,09

2,38
2,46
2,66
2,88

0,73
0,73
0,73
0,82

0,01
0,01
0,01
0,01

3,19
3,44
3,45
3,81

9,50
10,24
9,52
11,37

34
34
36
33

Simbarwaringin
P sangat tinggi I
P sangat tinggi II
P sangat tinggi III
P sangat tinggi IV

5,1
5,1
5,2
5,2

4,0
4,1
4,1
4,0

27
25
24
24

45
46
41
39

28
29
35
37

1,51
1,59
1,38
1,09

0,09
0,11
0,09
0,10

16
14
15
11

65,2
81,0
83,4
74,2

5,3
11,4
16,0
9,5

7
10
5
7

0,11
0,31
0,45
0,31

2,10
2,46
1,73
2,01

0,62
0,67
0,48
0,63

0,01
0,01
0,01
0,01

2,84
3,46
2,67
2,96

11,26
12,79
13,38
12,93

25
27
20
23

Lokasi

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C


Ekstrak DTPA
KCl 1 N
Fe
Mn
Cu
Zn
Al
H
.. mg kg-1 .. .. me 100g-1 ..

57

Purworejo 1
P rendah I
P rendah II
P rendah III
P rendah IV

303
308
287
267

29
35
36
35

1,6
1,4
1,2
1,4

1,5
1,6
1,2
1,1

0,49
1,14
0,89
0,97

1,13
0,55
0,67
0,65

Purworejo 2
P sedang I
P sedang II
P sedang III
P sedang IV

284
273
276
282

27
31
22
21

1,3
1,4
1,2
1,2

1,0
2,8
1,0
1,0

0,81
0,32
0,97
0,97

0,56
0,67
1,77
0,77

Simbarwaringin
P sangat tinggi I
P sangat tinggi II
P sangat tinggi III
P sangat tinggi IV

210
245
244
205

87
83
103
94

2,7
2,6
2,4
2,2

3,6
1,6
1,6
1,3

1,30
0,97
1,22
1,14

0,57
1,02
0,65
0,86

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

5,0
5,1
5,1
5,1

DAN

Purworejo 1
P rendah I
P rendah II
P rendah III
P rendah IV

M. MASJKUR

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C


Tekstur
Bahan organik
HCl 25%
Bray 1
Ekstrak amonium asetat 1 M pH 7
Pasir Debu Liat
C
N
C/N
P2O5
K2O
P2O5
K
Ca
Mg
Na
Jumlah KTK
.. g 100g-1 .. . g 100g-1 .
mg 100g-1 mg kg-1
.. me 100g-1 ..

58

Tabel 2. Sifat-sifat tanah smektitik Jawa Timur


Table 2. Smectitic soil properties from East Java
pH (1:5)

Lokasi

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C


Tekstur
Bahan organik
HCl 25% Bray 1
Ekstrak amonium asetat 1 M pH 7
Pasir Debu Liat
C
N
C/N P2O5 K2O
P2O5
K
Ca
Mg
Na
Jumlah KTK
g 100g-1 g 100g-1
mg 100g-1 mg kg-1
. me 100g-1 .

H2 O

KCl

Demangan
P sedang I
P sedang II
P sedang III
P sedang IV

7,2
7,3
7,3
7,1

6,3
6,2
6,1
6,0

3
3
5
4

27
23
23
24

70
74
72
72

1,86
1,87
1,45
1,67

0,13
0,13
0,11
0,13

14
14
13
13

31
25
26
28

24
18
15
16

2,0
2,0
2,3
3,2

34,26
35,73
35,77
35,08

14,17
14,48
14,68
14,73

0,33
0,26
0,18
0,20

0,76
1,03
0,69
0,70

49,52
51,50
51,32
50,71

42,68
44,63
41,64
43,29

Kedungrejo
P tinggi I
P tinggi II
P tinggi III
P tinggi IV

5,5
5,5
5,3
5,6

4,5
4,6
4,4
4,6

36
32
33
31

35
40
41
39

29
28
26
30

1,39
1,46
1,46
1,52

0,11
0,11
0,11
0,11

13
13
13
14

50
55
50
58

19
19
19
36

5,4
4,7
5,0
9,0

15,36
16,96
14,92
16,95

6,11
6,36
5,50
5,94

0,31
0,30
0,30
0,62

0,47
0,45
0,38
0,51

22,25
24,07
21,10
24,02

21,95 101,37
22,80 105,57
21,46 98,32
23,55 101,99

7,4
7,5
7,4
7,5

6,2
6,4
6,3
6,3

1
1
1
1

51
42
27
31

48
57
72
68

1,23
1,37
1,37
1,42

0,08
0,09
0,11
0,10

15
15
12
14

80
71
75
73

29
28
30
29

42,2
37,4
35,2
33,2

38,54
40,50
42,32
40,10

14,36
14,09
15,57
13,80

0,42
0,40
0,44
0,40

1,15
1,39
1,53
1,35

54,47
56,38
59,86
55,65

41,65
41,75
44,16
43,67

I
II
III
IV

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C


Ekstrak DTPA
KCl 1 N
Fe
Mn
Cu
Zn
Al
H
mg kg-1
me 100g-1

Lokasi

Demangan
P sedang I
P sedang II
P sedang III
P sedang IV

96
78
60
69

134
114
110
77

14,3
14,6
14,6
14,4

2,7
3,4
2,1
2,4

0,00
0,00
0,00
0,00

0,02
0,02
0,02
0,02

Kedungrejo
P tinggi I
P tinggi II
P tinggi III
P tinggi IV

270
272
268
282

126
132
163
93

9,3
10,1
9,0
10,2

2,3
2,4
1,9
2,0

0,00
0,00
0,00
0,00

0,08
0,08
0,12
0,04

36
31
37
30

124
118
125
136

12,5
12,4
12,8
12,6

2,6
2,8
2,5
2,4

0,00
0,00
0,00
0,00

0,02
0,02
0,00
0,02

Tirtobinangun
P sangat tinggi
P sangat tinggi
P sangat tinggi
P sangat tinggi

I
II
III
IV

116,03
115,39
123,25
117,14

130,78
135,04
135,55
127,43

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tirtobinangun
P sangat tinggi
P sangat tinggi
P sangat tinggi
P sangat tinggi

KB
%

Tabel 3. Kriteria penilaian sifat-sifat tanah umum kaolinitik dan smektitik


Table 3. Criteria for evaluation of kaolintic and smectitic general soil properties
Cadd

Mgdd

Nadd

masam lempung
berdebu

rendah rendah

rendah

sedang

sangat
rendah

sangat
rendah

rendah

rendah

Purworejo 2
(P sedang)

masam lempung

rendah rendah

sedang

tinggi

sangat
rendah

rendah

rendah

Simbarwaringin
(P sangat tinggi)

masam lempung
berliat

rendah rendah

sangat
tinggi

sangat
rendah

rendah

rendah

Demangan
(P sedang)

netral

rendah rendah

sedang

sangat
rendah

rendah

Kedungrejo
(P tinggi)

masam lempung
berliat

rendah rendah

tinggi

sangat
rendah

Tirtobinangun
(P sangat tinggi)

netral

rendah rendah

sangat
tinggi

sangat
tinggi

liat

N total

P HCl 25%

Fedd

Mndd

Cudd

Zndd

Kej. Aldd

Purworejo 1
(P rendah)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

Purworejo 2
(P sedang)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

Simbarwaringin
(P sangat tinggi)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

Demangan
(P sedang)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

Kedungrejo
(P tinggi)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

Tirtobinangun
(P sangat tinggi)

tinggi

tinggi

tinggi

tinggi

sangat
rendah

P Bray 1

Sumber : Pusat Penelitian Tanah (1983); Dobermann and Fairhurst (2000).

K HCl 25%

KTK

KB

sangat
rendah

rendah

rendah

rendah

sangat
rendah

rendah

rendah

rendah

rendah

sangat
rendah

rendah

rendah

sangat
tinggi

tinggi

sangat
rendah

tinggi

sangat
tinggi

sangat
tinggi

sedang

sangat
tinggi

sedang

rendah

sedang sedang

sangat
tinggi

sedang

sangat
tinggi

tinggi

rendah

sangat
tinggi

sangat
tinggi

sangat
tinggi

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

Purworejo 1
(P rendah)

Lokasi

Kdd

liat

C-org

DAN

pH H2O Tekstur

M. MASJKUR

Lokasi

59

60

Tabel 4. Susunan mineral liat tanah sawah kaolinitik Lampung


Table 4. Composition of clay minerals in kaolinitic soils Lampung
Mineral liat

Lokasi
Purworejo 1
Purworejo 2
Simbarwaringin

Kaolinit
++++
++++
++++

Smektit
(+)
(+)
(+)

Illit
(+)
(+)
(+)

Kuarsa
+
+
+

Kristobalit
(+)
(+)
(+)

Goetit
-

Sumber : Prasetyo dan Kasno (2001)

Tabel 5. Susunan mineral liat tanah sawah montmorilonitik Jawa Timur


Table 5. Composition of clay minerals in smectitic soils East Java
Montmorilonit
(Fe) MMontmorilonit
Kaolinit
(Fe) M-Nontronit Nontronit

Demangan
Kedungrejo
Tirtobinangun

++++
++++

++++
-

Sumber : Soil Research Institute (1978)


+
++
+++
++++
(+)
IRML

=
=
=
=
=
=

sedikit
sedang
banyak
dominan
sangat sedikit
irregular mixed layer

++
++

KaolinitHaloisit

Haloisit

HaloisitKaolinit

(Illit-Vermikulit)
IRML

(KhloritIllit) IRML

Kuarsa

Ortoklas

Andesit

++
-

+
+
+

(+)
-

(+)
(+)
(+)

(+)
-

(+)
-

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Mineral liat
Lokasi

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

Gambar 1. Difraktogram x-ray tanah kaolinitik (Prasetyo et al., 2004)


Figure 1.

Diffractogram of x-ray kaolinitic soils (Prasetyo et al.,


2004)

Gambar 2. Difraktogram x-ray tanah smektitik (Prasetyo et al., 2004)


Figure 2.

Diffractogram of x-ray smectitic soils (Prasetyo et al.,


2004)

61

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

4.0
4,0
Lokasi
P rendah
P sangat tinggi
P sedang

Serapan P (kg P ha-1)

Serapan P (kg P/ha)

3.5
3,5

3.0
3,0

2.5
2,5

2.0
2,0

1.5
1,5
0
0

50
50

100
150
100
150
Pupuk
(kg SP-36
SP 36/ha)
Pupuk P
P (kg
ha-1)

200
200

250
250

Gambar 3. Serapan P padi sawah dengan pemupukan P pada tanah


kaolinitik
Figure 3.

P uptake of lowland rice with P fertilization in kaolinitic soils

Tabel 6. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik


Purworejo 1

Tabel 8. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik


Simbarwaringin

Table 6. Variance analysis of P uptake kaolintic soil


from Purworejo 1

Table 8. Variance analysis of P uptake kaolintic soil


from Simbarwaringin

Sumber
Pupuk P
Blok
Galat
Total

Jumlah
kuadrat
5,558
1,798
9,579
16,934

db
5
3
15
23

Kuadrat
tengah
1,112
0,599
0,639

Sig.

1,741
0,939

0,186
0,447

Sumber
Pupuk P
Blok
Galat
Total

Jumlah
kuadrat
0,908
4,033
5,875
10,816

db
4
3
12
19

Kuadrat
tengah
0,227
1,344
0,490

Sig.

0,463
2,746

0,761
0,089

Tabel 7. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik


Purworejo 2

Tabel 9. Serapan P jerami dengan pemupukan P


pada tanah kaolinitik

Table 7. Variance analysis of P uptake kaolintic soil


from Purworejo 2

Table 9. P uptake of straw with P fertilization in


kaolinitic soils

Sumber
Pupuk P
Blok
Galat
Total

Jumlah
kuadrat
1,449
1,030
3,189
5,668

db
5
3
15
23

Kuadrat
Tengah
0,290
0,343
0,213

Sig.

Pupuk P

1,363
1,615

0,292
0,228

kg SP-36 ha-1
0
50
100
150
200
250
Rataan

*)

62

Serapan P
Purworejo 1 Purworejo 2 Simbarwaringin
kg P ha-1
2,77a
1,77a
2,52a
2,51a
1,78a
2,35a
3,07a
2,33a
2,10a
3,09a
2,05a
2,70a
3,99a
1,89a
3,50a
1,54a
2,62a
2,99a*)
1,89b
2,46c

Rataan dengan huruf sama tidak berbeda nyata pada


=0,05

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

12

Serapan P (kg P/ha)

Serapan P (kg P ha-1)

10

Lokasi
P sangat tinggi
P sedang
P tinggi

2
0

50

100

150

200

250

(kg SP-36
SP36/ha)
Pupuk P (kg
ha-1)

Gambar 4. Serapan P padi sawah dengan pemupukan P pada tanah


smektitik
Figure 4.

Grafik

serapan

P uptake of lowland rice with P fertilization in smectitic


soils

padi

sawah

dengan

pemupukan P pada tanah smektitik Demangan (P


sedang), Kedungrejo (P tinggi), dan Tirtobinangun (P

nyata. Pada lokasi Kedungrejo serapan P tidak


berbeda nyata antara tanpa pemupukan P dengan
pemupukan P (Tabel 13).

sangat tinggi) dapat dilihat pada Gambar 4. Terlihat


bahwa
dengan

kurva

serapan

pemupukan

P,

cenderung
terutama

meningkat

pada

tanah

smektitik Demangan dan Tirtobinangun.


Pada tanah smektitik terdapat respon nyata
serapan P dengan pemupukan
Demangan

dan

Tirtobinangun,

P pada lokasi
sedangkan

pada

lokasi Kedungrejo respon tidak nyata (Tabel 10, 11,


12, dan 13). Pada lokasi Demangan serapan P
meningkat nyata dari 2,75 hingga 3,92 kg P ha-1
dengan meningkatnya pemupukan P dari 0 hingga
150 kg SP-36 ha-1, sedangkan antar perlakuan
lainnya

tidak

berbeda

nyata.

Pada

lokasi

Tirtobinangun serapan P meningkat nyata dari 8,60

Tabel 10. Analisis ragam serapan P tanah smektitik


Demangan
Table 10. Variance analysis of P uptake smectitic
soil from Demangan
Sumber
Pupuk P
Blok
Galat
Total

masing dengan meningkatnya pemupukan P dari 0

Pupuk P
Blok
Galat
Total

150,

dan

250

kg

SP-36

ha-1,

sedangkan antar perlakuan lainnya tidak berbeda

4
3
12
19

Kuadrat
tengah
1,161
4,774E-02
9,328E-02

Sig.

12,451 0,000
0,512 0,682

Table 11. Variance analysis of P uptake smectitic


soil from Kedungrejo
Sumber

100,

db

Tabel 11. Analisis ragam serapan P tanah smektitik


Kedungrejo

hingga 10,42; 11,47; dan 10,83 kg P ha-1 masinghingga

Jumlah
kuadrat
4.646
0,143
1,119
5,908

Jumlah
kuadrat
5,355
0,550
9,147
15,053

db
4
3
12
19

Kuadrat
tengah
1,339
0,183
0,762

Sig.

1,756
0,241

0,202
0,866

63

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 12. Analisis ragam serapan P tanah smektitik


Tirtobinangun
Table 12. Variance analysis of P uptake smectitic
soil from Tirtobinangun
Sumber
Pupuk P
Blok
Galat
Total

Jumlah
kuadrat
31,711
0,835
8,409
40,956

db
4
3
12
19

Kuadrat
tengah
7,928
0,278
0,701

Sig.

11,313 0,000
0,397 0,757

Tabel 13. Serapan P jerami dengan pemupukan P


pada tanah smektitik
Table 13. P uptake of straw with P fertilization in
smectitic soils
Pupuk P
kg SP-36ha-1
0
50
100
150
250
Rataan

Serapan P
Demangan Kedungrejo Tirtobinangun
.. kg P ha-1 ..
8,60a
8,37a
2,75a
8,27a
8,91a
2,61a
10,42b
7,46a
2,70a
11,47b
8,36a
3,92b
10,83b
8,83a
2,99a
2,99a
8,39b
9,92c

*) Rataan dengan huruf sama tidak berbeda nyata pada


=0,05

berkorelasi negatif nyata dengan bahan organik


(-0,75**). Sutami dan Djakamihardja dalam
Prasetyo et al. (2004) mengemukakan bahwa
kenaikan pH tanah bersamaan dengan reduksi tanah
ditentukan oleh : (a) pH awal dari tanah, (b) macam
dan kandungan komponen tanah teroksidasi
terutama besi dan mangan, serta (c) macam dan
kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan
bahan organik tanahnya, terutama bahan organik
mudah dilapuk, makin besar kekuatan reduksinya
dan peningkatan pH-nya.
Haynes
dan
Mokolobate
(2001)
mengemukakan beberapa mekanisme berbeda
mengenai
peningkatan
pH
tanah
dengan
meningkatnya bahan organik tanah. Hal tersebut
meliputi :
(1) oksidasi anion-anion asam organik selama
dekomposisi bahan organik. Dua mekanisme dalam
hal ini adalah : (a) anion-anion asam organik dapat
mengkompleks proton (H+), sehingga pH meningkat,
(b) dekomposisi oleh mikroba dan dekarboksilasi
anion-anion asam organik (konsumsi proton dan
pelepasan CO2) :
R CO COO - + H+ R C H O + CO2

Korelasi beberapa sifat-sifat tanah dan serapan P


tanah kaolinitik dan smektitik
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa
pada tanah kaolinitik pH tanah berkorelasi tidak
nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,51tn)
(Tabel 14). Hal ini disebabkan karena pH tanah

(2) amonifikasi N-organik. Selama dekomposisi


bahan organik, N-organik diamonifikasi. Hal ini
menyebabkan peningkatan pH :
N-organik NH4+ + OH(3) jerapan spesifik dari molekul-molekul organik
bahan humik dan/atau asam-asam organik (hasil dari

Tabel 14. Korelasi sifat-sifat tanah dan serapan P pada tanah kaolinitik
Table 14. Correlation of soil properties with P uptake in kaolinitic soils
Fraksi P
pH
Liat
C
P HCl-25
P Bray 1
Cadd
Fedd
Aldd

pH
0,55
-0,75**
0,15
0,18
-0,32
-0,16
0,06

** Nyata pada = 0,01


* Nyata pada = 0,05

64

Liat
-0,64*
0,68*
-0,49
-0,71*
-0,60*
0,03

C
-0,38
0,13
0,53
0,54
-0,13

Cadd
-0,72**
0,75**
0,77**
-0,41

Fedd
-0,84**
0,77**
-0,52

Aldd
0,52
-0,55
-

Ser-P
-0,51
-0,29
0,61*
-0,13
-0,16
0,07
0,33
0,10

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

dekomposisi bahan organik) pada Al dan


(hidroksida), sehingga melepaskan ion OH- :

Fe

M (OH)3 + COO- M (OH)2 COO + OH(4) reaksi reduksi. Kondisi anaerobik selama
penggenangan dapat meningkatkan dekomposisi
bahan organik (karena aktivitas mikroba intensif),
sehingga
merangsang
reaksi
reduksi
dan
peningkatan pH, antara lain reduksi valensi lebih
tinggi Mn oksida dan/atau Fe (hidroksida) dalam
tanah :
MnO2 + 2H+ + 2e- Mn2+ + 2OHFeO (OH) + e- + H2O Fe2+ + 3OHPeningkatan pH tersebut memberikan muatan
negatif lebih besar pada permukaan jerapan,
sehingga cenderung mengurangi jerapan P (Haynes
and Mokolobate, 2001) dan meningkatkan kelarutan
besi dan aluminium fosfat karena reduksi (Kyuma,
2004). Rendahnya bahan organik (< 2,0% ) pada
tanah kaolinitik nampaknya tidak nyata mendukung
peningkatan pH tanah tersebut mendekati netral
(6,5-7,5) dan ketersediaan fosfat optimum, sehingga
serapan P tanaman meningkat.
Kadar liat pada tanah kaolinitik berkorelasi tidak
nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,29tn) .
Hal ini disebabkan karena kadar liat berkorelasi
negatif nyata dengan Fedd (-0,60*), Cadd (-0,71*),
dan bahan organik (-0,64*), menunjukkan bahwa
fraksi liat (< 2 ) tanah kaolinitik didominasi oleh
mineral liat Al-silikat (kaolinit) daripada besi oksida,
kalsium karbonat atau bahan organik. Sesuai dengan
Trakoonyingcharoen et al. (2005) bahwa pada tanah
Ultisols dan Oxisols jumlah mineral kaolinit
berkorelasi tidak nyata dengan koefisien-koefisien
jerapan P (jerapan maksimum). Dengan demikian
jumlah mineral kaolinit juga tidak berperan nyata
dalam serapan P tanaman. Walaupun kadar liat
berkorelasi positif nyata dengan P total (HCl 25 %)
(0,68*), nampaknya fosfat tersebut tidak dalam
bentuk tersedia, sehingga dapat diserap oleh
tanaman.
Bahan organik tanah berkorelasi positif nyata
dengan serapan P padi sawah (r = 0,61) (Tabel 14),

menunjukkan bahwa semakin meningkat bahan


organik tanah, semakin meningkat pula serapan P
padi sawah. Hal ini dapat disebabkan oleh : (1)
pembentukan kompleks organofosfat lebih mudah
diassimilasi oleh tanaman, (2) penggantian anion
H2PO4- pada tapak-tapak jerapan, (3) pelapisan Fe/Al
oksida oleh humus membentuk lapisan protektif dan
mengurangi jerapan P, dan (4) meningkatnya jumlah
P organik dimineralisasi menjadi P anorganik (Havlin
et al., 1999; Haynes and Mokolobate, 2001).
Johnson dan Loeppert (2006) mendapatkan
bahwa pada ferihidrit (besi oksida agak kristalin
(poorly crystalline) dengan rumus Fe5HO8.4H2O) dan
banyak terdapat pada tanah sawah masam, urutan
keefektifan ligan organik dalam pelepasan P adalah
sitrat (19% dari P total terjerap awal) > malat
(14%) > tartrat (5%) >> oksalat = malonat =
suksinat (0,3-1,2%). Pada konsentrasi P terjerap
lebih kecil ( dari jerapan maksimum), mekanisme
dominan dari pelepasan P oleh asam organik
(organic-acid induced P release) adalah pelarutan
kompleks
ligan-Fe
oksida
(ligand-enhanced
dissolution) :
P
Fe oksida-P+L---Fe oksida---Fe oksida+Fe
L

3+

--L+Plar

daripada pertukaran ligan (ligand exchange) :


Fe oksida--P + L --- Fe oksida--L + Plar
dimana :
L = agen kompleks Fe-organik (ligan) dan Plar =
fosfat anorganik. Pada dari jerapan maksimum,
pertukaran ligan berperan lebih besar dalam
pelepasan P.
Kation Cadd, Fedd, dan Aldd tanah kaolinitik
berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi
sawah (masing-masing r=0,07tn, 0,33tn, dan 0,10tn)
(Tabel 14). Hal ini disebabkan karena kation pada
permukaan mineral liat silikat (kation dapat ditukar)
menarik dan memegang jumlah sedikit anion H2PO4-,
sehingga berperan tidak nyata dalam serapan P
tanaman (Havlin et al., 1999).
65

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 15. Korelasi sifat-sifat tanah dan serapan P pada tanah smektitik
Table 15. Correlation of soil properties with P uptake in smectitic soils
Fraksi P
pH
Liat
C
P HCl-25
P Bray 1
Cadd
Fedd
Aldd

pH
0,90**
0,10
0,05
0,50
0,98**
-0,99**
-

Liat
0,39
-0,28
0,15
0,94**
-0,88**
-

C
-0,78**
-0,66*
0,17
-0,01
-

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada tanah


smektitik pH tanah berkorelasi tidak nyata dengan
serapan P padi sawah (r = -0,20tn). Hal ini
disebabkan karena pH tanah berkorelasi positif nyata
dengan kadar liat (0,90**) dan Cadd (0,98**), tetapi
berkorelasi negatif nyata dengan Fedd (-0,99**).
Sesuai dengan penelitian Hartikainen dan Simojoki
(1997) bahwa pada tanah dengan pH tinggi P yang
dilepaskan dari liat dan Ca pada tanah karena
menurunnya pH dapat diikat oleh Fe, sehingga P
tersedia relatif tidak berubah. Rochayati (1995)
mendapatkan bahwa pH tanah Vertisols Ngawi
hanya menurun sedikit dengan penggenangan dan P
terekstrak Olsen relatif tidak berubah.

Cadd
-0,05
0,40
-0,98**
-

Fedd
-0,10
-0,55
-

Aldd
-

Ser-P
-0,20
-0,49
-0,81**
0,95**
0,72**
-0,30
0,14
-

antar lapisan (interlayer) dari mineral liat, sehingga P


dijerap sulit diserap oleh tanaman (Tan, 1998; He et
al., 1999), (2) pada pH netral aktivitas mikroba
cukup tinggi dan dapat menggunakan (imobilisasi) P
larutan sebagai P-mikroba menghasilkan molekul P
organik lebih resisten (Havlin et al., 1999; Killham,
1999).
Kation Cadd dan Fedd berkorelasi tidak nyata
pada serapan P padi sawah (masing-masing r =
-0,30tn dan 0,14tn). Hal ini disebabkan karena kation
pada permukaan mineral liat silikat menarik dan
memegang jumlah sedikit anion H2PO4-.
Berdasarkan hasil di atas dapat dikatakan

Kadar liat pada tanah smektitik berkorelasi tidak


nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,49tn).
Hal ini disebabkan karena kadar liat berkorelasi
positif nyata dengan Cadd (0,94**), tetapi
berkorelasi negatif nyata dengan Fedd (-0,88**).
Sesuai dengan penelitian Hartikainen dan Simojoki
(1997) bahwa dinamika fosfat pada fraksi liat tanah
merupakan pengaruh bersih (net effect) dari dua
pengaruh bersamaan, tetapi reaksi berlawanan pada
fraksi liat yaitu pelepasan fosfat dari Ca dan
pengikatan fosfat oleh Fe .

bahwa pada tanah kaolinitik bahan organik tanah

Kandungan bahan organik tanah berkorelasi


negatif nyata terhadap serapan P padi sawah (r =
-0,81**), menunjukkan bahwa meningkatnya bahan
organik tanah cenderung menurunkan serapan P
tanaman. Hal ini disebabkan karena (1) pada mineral
liat tipe 2:1 bahan organik dapat diikat pada ruang

ketersediaan P padi sawah, sedangkan pH tanah,

66

merupakan

sifat

tanah

utama

mempengaruhi

ketersediaan P padi sawah, sedangkan pH tanah,


kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd kurang terandalkan
sebagai indikator ketersediaan P. Peningkatan bahan
organik

pada

tanah

kaolintik

cenderung

meningkatkan serapan atau ketersediaan P padi


sawah.
Pada tanah smektitik bahan organik tanah juga
merupakan

sifat

tanah

utama

mempengaruhi

kadar liat, Cadd, dan Fedd kurang terandalkan sebagai


indikator

ketersediaan

P.

Namun

demikian,

peningkatan bahan organik pada tanah smektitik


cenderung menurunkan serapan atau ketersediaan P
padi sawah.

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

KESIMPULAN
1. Responsivitas serapan P padi sawah terhadap
pemupukan P pada tanah kaolinitik dan smektitik
berhubungan dengan kandungan bahan organik
tanah bersangkutan. Pada tanah kaolintik
peningkatan
bahan
organik
cenderung
meningkatkan serapan P padi sawah, sedangkan
pada tanah smektitik peningkatan bahan organik
cenderung menurunkan serapan P padi sawah.
2. Pada tanah kaolinitik dan smektitik pH tanah,
kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi tidak
nyata dengan serapan P padi sawah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., I. Las, A. Hidayat, dan E.
Pasandaran. 1999. Optimalisasi Sumberdaya
Lahan dan Air untuk Pembangunan Pertanian
Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Brown, G. 1990. Structure, crystal chemistry, and
origin of the phyllosillicate minerals common
in soil clays. Pp. 7-38. In M.F. De Boodt,
M.H.B. Hayes, and A. Herbillon (Eds.) Soil
Colloids and their Association in Aggregates.
Plenum Press, New York.
Cornforth, I.S., A.K. Metherell, and P. SornSrivichai.
1990.
Assessing
Fertilizer
Requirements. Pp. 157-166. In Proceedings
of Symposium Phosphorus Requirements for
Sustainable Agriculture in Asia and Oceania.
International Rice Research Institute, Los
Banos, Laguna, Philippines.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Nutrient
Disorders
and
Nutrient
Management.
International Rice Research Institute, Los
Banos, Laguna, Philippines.

An Introduction to Nutrient Management.


Prentice-Hall, New Jersey.
Haynes, R.J. and M.S. Mokolobate. 2001.
Amelioration of Al toxicity and P deficiency
in acid soils by additions of organic residues:
a critical review of phenomenon and the
mechanisms involved. Nutr. Cycl. Agr.
59:47-63.
He, J.Z., A. De Cristofaro, and A. Violante. 1999.
Comparison of adsorption of phosphate,
tartrate, and oxalate on hydroxy aluminium
montmorilonite complexes. Clays Clay
Miner. 47:226-233.
Johnson, S.E. and R.H. Loeppert. 2006. Role of
organic acids in phosphate mobilization from
iron oxide. Soil Sci. Soc.Am. J. 70:222-234.
Kasno, A. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan
Sawah untuk Padi VUTB/Hibrida. Proposal
Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Balai
Penelitian Tanah, Bogor.
Killham, K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University
Press, UK.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto
University Press, Kyoto, Japan.
Newman, A.C.D. and M.H.B. Hayes. 1990. Some
Properties of clays and of other soil colloids
and their influence on soils. Pp. 39-56. In
M.F. De Boodt, M.H.B. Hayes, and A.
Herbillon (Eds.) Soil Colloids and their
Association in Aggregates. Plenum Press,
New York.
Prasetyo, B.H. dan A. Kasno. 2001. Sifat Morfologi,
Komposisi Mineral dan Fisika-Kimia Tanah
Sawah Irigasi di Propinsi Lampung. J. Tanah
Trop. 12:155-167.

Hartikainen, H. and A. Simojoki. 1997. Changes in


solid-and solution-phase phosphorus in soil
on acidification. Eur. J. Soil Sci. 48:493498.

Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan


R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi,
kimia, fisika, dan biologi lahan sawah. Dalam
F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno,
A.M. Fagi, dan W. Hartatik (Eds.) Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L.


Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers.

Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi Kesesuaian


Lahan. Bogor.

67

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Rochayati, S. 1995. The Behavior of Phosphorus in


Some Indonesian Paddy Soils in Relation to
the Growth of Rice (Oryza Sativa L.).
Faculty of the Graduate School, University
of the Philippines, Los Banos, Philippines.
Rochayati, S. dan J.S. Adiningsih. 2002. Pembinaan
dan pengembangan program uji tanah untuk
hara P dan K pada lahan sawah. Hlm. 9-37.
Dalam Z. Zaini, A. Sofyan, dan S.
Kartaatmadja (Eds.) Pengelolaan Hara P dan
K pada Padi Sawah. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor.

68

Soil Research Institute. 1978. Report on Semi


Detailed Soil Survey of the Widas Irrigation
Project (Nganjuk, East Java). Bogor.
Tan, K.H. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Trakoonyingcharoen, P., I. Kheoruenromne, A.
Suddhiprakarn, and R.J. Gilkes. 2005.
Phosphate sorption by Thai red Oxisols and
red Ultisols. Soil Sci. 170:716-725.

Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K
Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit
Effect of Oxalic Acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on Availability of Soil K,
Plant N, P, and K Uptake, and Maize Yield in Smectitic Soils

D. NURSYAMSI1, K. IDRIS2, S. SABIHAM3, D.A. RACHIM3,

ABSTRAK
Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit
mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian, asal disertai dengan pengelolaan tanah
dan tanaman yang tepat. Walaupun kadar K total tanah tinggi,
tapi ketersediaan kalium bagi tanaman sering menjadi masalah,
karena K difiksasi oleh mineral liat smektit. Penelitian yang
bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat,
Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap ketersediaan K tanah, serapan N,
P, dan K, serta produksi tanaman jagung (Zea mays, L.) pada
tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit telah
dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah dan Rumah
Kaca Balai Penelitian Tanah, Bogor. Percobaan menggunakan
empat contoh tanah bulk yang diambil dari Bogor (Hapludalf
Tipik), Cilacap (Endoaquert Kromik), Ngawi (Endoaquert Tipik),
dan Blora (Haplustalf Tipik). Percobaan inkubasi di laboratorium
dan pot di rumah kaca menggunakan Rancangan Faktorial dalam
Rancangan Acak Kelompok, ulangan tiga kali, dan percobaan pot
menggunakan jagung varietas Pioneer 21 sebagai tanaman
indikator. Faktor pertama adalah takaran asam oksalat, yaitu: 0,
1.000, 2.000, dan 4.000 ppm, sedangkan faktor kedua adalah
penambahan kation, yaitu: tanpa kation, Na+, NH4+, dan Fe3+
masing-masing dari NaCl, NH4Cl, dan FeCl3 dengan takaran 50%
jerapan maksimum. Takaran Fe3+ 50% jerapan maksimum
menyebabkan tanaman mati sehingga percobaan diulang di
musim berikutnya dengan takaran Fe3+: 0, 125, 250, 375, dan
500 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam oksalat,
Na+, NH4+, dan Fe3+ nyata meningkatkan K tersedia baik di
Alfisols maupun Vertisols, dimana pengaruhnya di Vertisols lebih
tinggi dibandingkan Alfisols. Tingkat kekuatan perlakuan dalam
melepaskan K dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia adalah
Fe3+ > NH4+ > Na+ > asam oksalat. Asam oksalat nyata
meningkatkan serapan N, P dan K tanaman di Vertisols,
sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan K
tanaman di Alfisols serta N, P, dan K tanaman di Vertisols. Asam
oksalat nyata meningkatkan bobot brangkasan kering jagung
umur 4 minggu setelah tanam (MST) pada Hapludalf Tipik dan
Endoaquert Tipik, sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata
meningkatkan hasil brangkasan kering pada Endoaquert Kromik
dan Endoaquert Tipik.

DAN

A. SOFYAN4

plant growth, however, is relatively low due to fixation by


smectite in interlayer space. Researches aimed to study the
effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on availability of soil
K, plant N, P, and K uptake, as well as maize yield in smectitic
soils have been conducted in Laboratory of Research and Soil
Test and Green House of Indonesian Soil Research Institute,
Bogor. Four different types of bulk soil samples taken from Bogor
(Typic Hapludalfs), Cilacap (Chromic Endoaquerts), Ngawi (Typic
Endoaquerts), and Blora (Typic Haplustalfs) were used for
experiments. Incubation and pot experiments were set up using
Factorial Randomized Completely Block Design with three
replication and pot experiment used maize of Pioneer 21 variety
as plant indicator. The first factor was oxalic acid rates: 0;
1,000; 2,000; and 4,000 ppm, while the second one was
application of cations: without cation, Na+, NH4+, and Fe3+ from
NaCl, NH4Cl, and FeCl3 respectively with 50% of maximum
adsorption rate. The Fe3+ with 50% of maximum adsorption rate
caused plant death, thus the experiment was repeated in the next
season with Fe3+ rates: 0, 125, 250, 375, and 500 ppm. The
results showed that oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+
significantly increased the availability of soil K in both Alfisols
and Vertisols where the effect was higher in Vertisols than
Alfisols. The effectiveness of the treatments to release K from
non available to available K form in the soils was in order of Fe3+
> NH4+ > Na+ > oxalic acid. Oxalic acid significantly increased
plant N, P, and K uptake in Vertisols, while 125 ppm of Fe3+
significantly increased plant K uptake in Alfisols as well as N, P,
and K uptake in Vertisols. Oxalic acid significantly increased 4week-after-planting biomass dry yield in Typic Hapludalfs and
Typic Endoaquerts, while 125 ppm of Fe3+ significantly increased
the yield in Chromic Endoaquerts and Typic Endoaquerts.
Key words : Oxalic acid, Na+, NH4+, Fe3+, Soil available K,
Maize, Smectitic soils.

PENDAHULUAN
Kalium
merupakan
hara
makro
yang
dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak setelah N
dan P. Umumnya kalium diserap tanaman dalam

Kata kunci : Asam oksalat, Na+, NH4+, Fe3+, K tersedia, Jagung,


Tanah yang didominasi smektit

ABSTRACT
Smectitic soils have high prospect to be developed for
agricultural land under a proper soil and plant management. The
soils are commonly high in total K content. Its availability for

ISSN 1410 7244

1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.


2. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB, Bogor.
3. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB, Bogor.
4. Direktur Perluasan Areal, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air,
Departemen Pertanian.

69

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

bentuk K larut (soluble K) yang berada dalam reaksi


keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan
(exchangeable K) dan K tidak dapat dipertukarkan
(non-exchangeable
K).
Kalium
tidak
dapat
dipertukarkan meliputi K terfiksasi dan K struktural
(Kirkman et al., 1994). Bentuk K larut dan dapat
dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat
tersedia sehingga sering disebut sebagai K tersedia
atau K aktual. Sementara itu bentuk K tidak dapat
dipertukarkan merupakan bentuk K yang lambat
tersedia sehingga disebut sebagai K potensial.
Tanaman akan mengalami kekahatan apabila K
aktual di dalam tanah saat tanaman tumbuh lebih
rendah dari batas kritisnya (K yang dibutuhkan
tanaman untuk pertumbuhannya).
Ketersediaan kalium bagi tanaman tergantung
aspek tanah dan parameter iklim yang meliputi:
jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation,
daya sangga, kelembaban, suhu, aerasi dan pH
tanah (Havlin et al., 1999). Selain faktor tanah dan
iklim, spesies dan varietas tanaman juga
berpengaruh terhadap serapan K, dimana tanaman
yang toleran memerlukan K dalam jumlah sedikit dan
sebaliknya tanaman sensitif memerlukan K dalam
jumlah banyak. Salah satu mekanisme ketoleranan
tanaman terhadap kekurangan hara adalah dengan
cara mengeluarkan eksudat asam organik di sekitar
akar (rhizosphere). Selanjutnya asam organik dapat
melarutkan hara (P, K, Fe, Mn, dan lain-lain) yang
sebelumnya tidak tersedia menjadi tersedia bagi
tanaman (Marschner, 1997). Dengan demikian maka
pengelolaan hara K untuk meningkatkan produksi
tanaman perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut
di atas.
Tanah-tanah yang didominasi mineral liat
smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman
pangan asal disertai dengan pengelolaan tanaman
dan tanah yang tepat. Tanah-tanah tersebut
mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah
air, yaitu lebih dari 2,12 juta ha (Vertisols sekitar
2,12 juta ha ditambah sebagian Inceptisols dan
Alfisols) yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar,
Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan

70

Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat


Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).
Walaupun kadar K total tanah (K potensial)
tinggi, tetapi ketersediaan K bagi tanaman (K aktual)
sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh
mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit
(Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989)
yang dominan di tanah tersebut. Penelitian yang
dilaksanakan di India menunjukkan bahwa tanahtanah Vertisols mempunyai kapasitas fiksasi K (Kfixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK)
yang sangat tinggi (Ghousikar and Kendre, 1987).
Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya
untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga
ketersediaannya bagi tanaman meningkat.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam
organik dan sejumlah kation (NH4+, Na+, dan lainlain) mempunyai peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan ketersediaan K tanah. Asam oksalat
dan sitrat dapat melepaskan K tidak dapat
dipertukarkan (Ktdd) menjadi K dapat dipertukarkan
(Kdd) dan K larut (Kl) pada tanah-tanah yang
berbahan induk batu kapur, dimana asam oksalat
mempunyai
efektivitas
yang
lebih
tinggi
dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu and Luo,
1993). Song and Huang (1988) juga melaporkan
bahwa Ktdd dari struktur mineral yang mengandung K
(biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat
dilepaskan oleh asam oksalat dan sitrat.
Beberapa kation seperti Ca2+ dan Na+ dapat
menggantikan posisi K di dalam struktur mineral
muskovit akibat pelapukan (Shidu, 1987). Selain itu
NH4+ dan K+ dapat berkompetisi dalam menempati
kompleks jerapan di posisi inner dari ruang antar
lapisan mineral liat tipe 2:1 (Evangelou and
Lumbanraja, 2002; Kilic et al., 1999). Kompetisi
tersebut sering terjadi terutama di tanah yang
didominasi mineral yang mempunyai kapasitas
jerapan tinggi terhadap kedua kation tersebut,
seperti beidelit dan vermikulit (Bajwa, 1987). Selain
itu Na+ dari sodium tetraphenyl boron dapat
melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia di tanah
merah (Alfisols), hitam (Vertisols), dan aluvial
(Inceptisols dan Alfisols) (Dhillon and Dhillon, 1992).

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

DAN

K TANAMAN

Percobaan inkubasi di laboratorium

Demikian pula Na dapat mengurangi sebagian kebutuhan pupuk K tanaman tebu pada tanah Vertisols di
lahan perkebunan tebu Jawa Timur (Ismail, 1997).
Bertitik tolak dari pemikiran di atas penelitian
ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian
asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap
ketersediaan K tanah, serapan N, P, dan K, serta
produksi tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanahtanah yang didominasi mineral liat smektit.

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

Percobaan

menggunakan

Rancangan

Acak

Kelompok Faktorial. Faktor pertama adalah takaran


asam oksalat, yaitu: 0, 1.000, 2.000, dan 4.000
ppm. Faktor kedua adalah penambahan kation,
yaitu: tanpa kation, Na+, NH4+, dan Fe3+ masingmasing dalam bentuk NaCl, NH4Cl, dan FeCl3
dengan takaran 50% jerapan maksimum (Tabel 3).
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium


Penelitian dan Uji Tanah serta Rumah Kaca, Balai
Penelitian Tanah Bogor dengan menggunakan empat
contoh tanah bulk yang diambil dari Bogor (B1),
Cilacap (B2), Ngawi (B3), dan Blora (B4).
Pengambilan contoh tanah bulk mempertimbangkan:
bahan induk tanah, iklim, kadar Kdd dan mineral liat
smektit tanah. Hasil klasifikasi tanah berdasarkan
deskripsi profil tanah di empat lokasi tersebut
disajikan pada Tabel 1 sedangkan hasil analisis
pendahuluan keempat contoh tanah tersebut
disajikan pada Tabel 2. Sifat-sifat kimia dan
mineralogi tanah lebih rinci telah dilaporkan oleh
Nursyamsi et al. (2007). Selanjutnya penelitian
dilaksanakan melalui dua rangkaian kegiatan, yaitu
percobaan inkubasi di laboratorium dan percobaan
pot di rumah kaca.

tanah

dikering-udarakan,

ditumbuk,

diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke


dalam pot sebanyak 1 kg pot-1 bobot kering mutlak
(BKM).

Semua

pupuk

diberikan

dalam

bentuk

larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Tanah


diinkubasi

selama

dipertahankan

12

dalam

minggu
kondisi

dan

kadar

kapasitas

air

lapang

dengan cara menambahkan air bebas ion seminggu


dua kali. Selanjutnya contoh tanah diaduk hingga
homogen setiap minggu.
Setelah inkubasi mencapai 12 minggu, contoh
tanah diambil sekitar 250 gram, dikeringudarakan,
digerus lalu diayak dengan ayakan 2 mm. Bentukbentuk K yang meliputi: Kl, Kdd, Ktdd, Kt ditetapkan
dengan metode yang diuraikan oleh Helmke dan
Sparks (1996); Knudsen et al. (1982); dan Wood
dan DeTurk (1940). Tahapannya adalah sebagai
berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tanah di daerah penelitian


Table 1. Soil classification of site experiments
Zone agroklimat*)

Kode Lokasi

Bahan induk

Klasifikasi tanah

B1

Bogor

Batu kapur

B1

Hapludalf Tipik, halus, smektitik, isohipertermik

B2

Cilacap

Sedimen liat berkapur

B1

Endoaquert Kromik, sangat halus, berkapur,


smektitik, isohipertermik

B3

Ngawi

Sedimen liat berkapur

C3

Endoaquert Tipik, sangat halus, berkapur,


smektitik, isohipertermik

B4

Blora

Batu kapur

C2

Haplustalf Tipik, halus, berkapur, campuran, semi


aktif, isohipertermik

*) Oldeman (1975)

71

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 2. Sifat-sifat tanah lapisan atas (0-20 cm) dari lokasi percobaan
Table 2. Top soil characteristics (0-20 cm) of study location
Sifat-sifat tanah
Tekstur
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH

Hapludalf
Tipik

Metode
Pipet

Bahan organik
C-organik (%)
N-total (%)
C/N
P dan K potensial
P2O5 (mg 100g-1)
K2O (mg 100g-1)
P tersedia (mg P2O5 kg-1)
Nilai tukar kation
Cadd (me 100g-1)
Mgdd (me 100g-1)
Kdd (me 100g-1)
Nadd (me 100g-1)
KTK (me 100g-1)
KB (%)
Kemasaman
Aldd (me 100g-1)
Hdd (me 100g-1)

Endoaquert
Kromik

Endoaquert
Tipik

Haplustalf
Tipik

26
32
43
5,47
4,01

13
32
55
6,36
4,72

9
35
56
5.56
3.88

48
27
25
7,01
6,24

Kurmies
Kjeldahl

1,06
0.12
9

1,36
0,12
11

1,00
0,11
10

1,13
0,10
13

HCl 25%

178
30
0,65

548
134
10,04

222
41
34,41

148
187
5,01

11,96
2,22
0,11
0,16
24,97
58

33,21
10,36
0,28
0,42
38,03
> 100

42,97
9,06
0,12
0,03
56,97
92

13,01
0,95
0,35
0,38
13,98
> 100

5,00
0,55

0,00
0,45

5,57
0,82

0,00
0,19

H2O (1:2,5)
KCl 1 N (1:2,5)

Bray 1
NH4OAc 1 N pH 7

NH4OAc 1 N pH 7
KCl 1 N

Tabel 3. Takaran Na+, NH4+, dan Fe3+ pada tiap jenis tanah
Table 3. Rate of Na+, NH4+, and Fe3+ of each soil
Kation
Na+
NH4+
Fe3+

Senyawa
NaCl
NH4Cl
FeCl3

Hapludalf Tipik

Endoaquert Kromik

Endoaquert Tipik

Haplustalf Tipik

.......... mg kg-1 ........


59
68
82
60
65
104
96
85
5.000
5.000
5.555
5.000

K larut

Lima gram contoh tanah dimasukkan ke dalam


botol sentrifus, lalu ditambahkan 20 ml 0,0002 M
CaCl2 dan dikocok selama 1 jam. Ekstrak tanah
disentrifus dengan kecepatan 3.500 rpm selama 20
menit dan supernatan ditampung. Selanjutnya kadar
K dalam supernatan diukur dengan atomic absorption
spectrophotometer (AAS).

NH4OAc 1 N pH 7 dan dikocok selama 30 menit.


Ekstrak tanah disentrifus selama 10 menit dengan
kecepatan 2.000 rpm dan supernatannya ditampung.
Tahapan tersebut diulang lalu volume supernatan
diimpitkan dengan penambahan NH4OAc 1 N
menjadi 50 ml. Selanjutnya kadar K dalam
supernatan diukur dengan AAS.
K total

K dapat dipertukarkan

Dua gram contoh tanah dimasukkan ke dalam


botol sentrifus 50 ml, lalu ditambahkan 20 ml
72

Setengah gram contoh tanah dimasukkan ke


dalam teflon bom, lalu ditambah 1 ml aquades dan
10 ml HNO3 dan HClO4 pekat. Teflon bomb

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

ditempatkan pada metal container dan dipanaskan


pada suhu 383oK selama 3 jam. Asam borat 2,8 g
ditambahkan ke dalam labu ukur plastik 100 ml,
kemudian ekstrak tanah dituangkan ke dalam labu.
Sisa cairan dalam teflon dicuci dengan air bebas ion
dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Labu dikocok
dan larutan diimpitkan menjadi 100 ml dengan
menambahkan air bebas ion. Selanjutnya kadar K
dalam larutan diukur dengan AAS.
K tidak dapat dipertukarkan

K tidak dapat dipertukarkan didefinisikan


sebagai K total dikurangi oleh K larut dan K dapat
dipertukarkan (Ktdd = Kt Kl Kdd).
Percobaan pot di rumah kaca
Percobaan ini juga menggunakan rancangan
dan perlakuan yang sama dengan percobaan
inkubasi. Namun demikian perlakuan Fe3+ dengan
takaran 50% jerapan maksimum menyebabkan
tanaman mati keracunan sehingga pada musim
berikutnya percobaan diulang dengan takaran Fe3+
diubah menjadi lima tingkat, yaitu : 0, 125, 250,
375, dan 500 ppm. Selain itu perlakuan NH4+ tidak
diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat
dibedakan,
apakah
berasal
dari
perlakuan
penambahan NH4+ atau pupuk urea.
Bahan tanah dikering-udarakan, ditumbuk,
diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke
dalam pot sebanyak 2 kg pot-1 BKM. Percobaan
menggunakan pupuk dasar masing-masing 300 ppm
N dan 200 ppm P. Semua pupuk perlakuan diberikan
dalam bentuk larutan, lalu tanah diaduk hingga
homogen. Benih jagung varietas Pioneer-21 ditanam
5 biji per pot dan setelah berumur 1 MST, tanaman
dijarangkan menjadi 3 tanaman per pot. Kadar air
tanah dipertahankan pada kapasitas lapang, lalu
tanaman dipanen saat berumur 4 MST.
Pengamatan dilakukan terhadap bobot basah
dan kering (70 oC 48 jam) tanaman umur 4 MST.
Analisis serapan N, P, dan K tanaman dilakukan
setelah contoh tanaman didestruksi dengan
menggunakan H2SO4-H2O2 pekat (analisis N) dan

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

HNO3-HClO4 pekat (analisis P dan K). Konsentrasi N


dan P dalam larutan diukur dengan menggunakan
spektrofotometer sedangkan K dengan AAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersediaan K tanah
Kadar K potensial (HCl 25%) tanah-tanah di
lokasi penelitian semuanya termasuk tinggi, yakni
30, 41, 134, dan 187 mg 100g-1 berturut-turut
untuk Hapludalf Tipik, Endoaquert Tipik, Endoaquert
Kromik, dan Haplustalf Tipik. Sementara itu K dapat
dipertukarkan (NH4OAc 1 N pH 7) berkisar antara
rendah hingga tinggi, yakni 0,11; 0,12; 0,28; dan
0,35 me 100g-1 berturut-turut untuk Hapludalf Tipik,
Endoaquert
Tipik,
Endoaquert
Kromik,
dan
Haplustalf Tipik (Tabel 2). Pada tiga tanah pertama
meskipun K potensial tinggi tetapi K dapat
dipertukarkannya rendah. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar K terfiksasi di ruang antar lapisan
mineral liat smektit (Goulding, 1987) sehingga sulit
terekstrak oleh NH4OAc 1 N pH 7.
Asam oksalat tidak berpengaruh terhadap Kl,
nyata meningkatkan Kdd sehingga nyata menurunkan
Ktdd tanah Alfisols. Dibandingkan dengan kontrol,
Na+ dan NH4+ tidak berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diuji. Sementara itu Fe3+ sangat
nyata (P > 0,99) meningkatkan Kl dan Kdd sehingga
sangat nyata pula menurunkan Ktdd tanah.
Selanjutnya interaksi antara asam oksalat dan kation
tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah
yang diuji (Tabel 4).
Berbeda dengan di tanah Alfisols, asam
oksalat nyata meningkatkan Kl dan Kdd tanah
sehingga sangat nyata menurunkan Ktdd tanah
Vertisols. Perlakuan Na+ nyata meningkatkan Kl tapi
tidak berpengaruh nyata terhadap Kdd sehingga tidak
berpengaruh nyata terhadap Ktdd tanah. Perlakuan
NH4+ tidak berpengaruh nyata terhadap Kl tapi nyata
meningkatkan Kdd sehingga nyata menurunkan Ktdd
tanah. Sementara itu Fe3+ berpengaruh sangat nyata
terhadap semua peubah yang diuji, yakni sangat
nyata meningkatkan Kl dan Kdd sehingga sangat
nyata pula menurunkan Ktdd tanah. Selanjutnya
73

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

interaksi antara asam oksalat dan kation tidak


berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang
diuji (Tabel 5).
Tabel 4. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan
Fe3+ terhadap bentuk Kl, Kdd, Ktdd tanah
setelah inkubasi tiga bulan pada Alfisols
Table 4. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+
on soil Ksol., Kexch., and Knon-exch. forms after
three months incubation in Alfisols
Perlakuan
Asam oksalat
0
1.000
2.000
4.000
Kation
Kontrol
Na+
NH4+
Fe3+
CV (%)
FAsam oksalat X Kation

Bentuk K tanah
Kdd
Ktdd
Kl
. mg kg-1 .
25,63
26,00
26,38
27,00

a
a
a
a

13,88 b
16,75 b
16,25 b
58,13 a
13,60
<1

62,00
59,13
70,50
70,38

b
b
a
a

56,50 b
64,75 b
67,75 b
73,00 a
12,30
<1

301
303
292
291

a
a
b
b

318 b
307 b
304 b
257 a
3,60
<1

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang


berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
menurut DMRT.

Tabel 5. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan


Fe3+ terhadap bentuk Kl, Kdd, Ktdd tanah
setelah inkubasi 3 bulan pada Vertisols
Table 5. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+
on soil Ksol., Kexch., and Knon-exch. forms after
3 months incubation in Vertisols
Perlakuan
Asam oksalat
0
1.000
2.000
4.000
Kation
Kontrol
Na+
NH4+
Fe3+
CV (%)
FAsam oksalat X Kation

Bentuk K tanah
Kdd
Ktdd
Kl
mg kg-1
59,30
55,75
58,38
67,00

b
b
b
a

150,38 b
155,38 ab
165,00 a
161,50 a

279 a
280 a
267 ab
262 b

27,75 b
38,63 b
33,38 b
142,13 a
13,60
<1

149,25 c
152,50 bc
165,13 b
165,38 a
12,30
1,34ns

314 b
299 b
292 b
183 a
3,60
<1

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang


berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
menurut DMRT.

74

Pelepasan K di tanah-tanah yang didominasi


smektit oleh penambahan kation dapat berlangsung
melalui reaksi pertukaran kation. Reaksi tersebut
dipengaruhi antara lain oleh jumlah (molaritas) dan
valensi kation yang ditambahkan (Tan, 1998).
Takaran Na+ dan NH4+ yang ditambahkan berturutturut berkisar antara 59-82 dan 65-104 mg kg-1
sedangkan Fe3+ 5.000-5.555 mg kg-1 (Tabel 3).
Selain itu Na+ dan NH4+ bervalensi I sedangkan Fe3+
bervalensi III. Kedua faktor tersebut menyebabkan
pemberian Na+ tidak nyata meningkatkan Kl dan Kdd,
NH4+ tidak nyata meningkatkan Kl, tetapi Fe3+ nyata
meningkatkan Kl dan Kdd di tanah Alfisols dan
Vertisols (Tabel 4 dan 5).
Asam oksalat tidak nyata meningkatkan Kl
pada Alfisols, sedangkan pada Vertisols nyata.
Demikian pula Na+ dan NH4+ tidak nyata
meningkatkan Kdd pada Alfisols, sedangkan pada
Vertisols nyata. Sementara itu Fe3+ dapat
meningkatkan Kl dari 13,88 menjadi 58,13 mg kg-1
(318%) pada Alfisols sedangkan pada Vertisols dari
27,75 menjadi 142,13 mg kg-1 (412%). Tampak
bahwa pengaruh perlakuan terhadap peubah yang
diuji lebih tinggi pada Vertisols dibandingkan
Alfisols. Hal ini disebabkan antara lain karena kadar
K total tanah Vertisols jauh lebih tinggi dibandingkan
Alfisols (Nursyamsi et al., 2007). Kalium yang lepas
dari pool Ktdd menjadi Kdd (relesase) dan dari Kdd
menjadi Kl (desorption) pada Vertisols lebih tinggi
dibandingkan Alfisols. K yang lepas dari Ktdd menjadi
Kdd umumnya K yang berada di posisi interlayer (i),
wedge (w), dan crack (c), sedangkan K yang lepas
dari Kdd menjadi Kl adalah K yang berada di posisi
planar (p) dan edge (e) (Goulding, 1987).
Pemberian kation jauh lebih efektif dalam
meningkatkan ketersediaan K di dalam tanah
dibandingkan dengan asam oksalat. Pengaruh kation
terhadap perubahan proporsi bentuk-bentuk K tanah
disajikan pada Gambar 1 (Alfisols) dan Gambar 2
(Vertisols). Diantara kation yang dicoba ternyata
Fe3+ paling efektif dalam melepaskan Ktdd menjadi
Kdd dan Kl di kedua jenis tanah yang diteliti. Gambar
1 dan 2 menunjukkan bahwa jumlah Kl dan Kdd
meningkat sedangkan Ktdd menurun akibat pemberian
kation di semua tanah yang diteliti. Tingkat

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

Hapludalf Tipik

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Haplustalf Tipik

Gambar 1. Pengaruh pemberian Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap proporsi bentuk-bentuk K tanah
Alfisols
Figure 1.

Effect of Na+, NH4+, and Fe3+ application on the proportion of soil K forms in Alfisols

Endoaquert Kromik

Endoaquert Tipik

Gambar 2. Pengaruh pemberian Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap proporsi bentuk-bentuk K tanah
Vertisols
Figure 2.

Effect of Na+, NH4+, and Fe3+ application on the proportion of soil K forms in Vertisols

kekuatan kation dalam melepaskan K tanah dari


tinggi ke rendah adalah: Fe3+ > NH4+ > Na+ baik
pada Alfisols maupun Vertisols.
Kirkman et al. (1994) mengemukakan bahwa
pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe
2:1 sebagian besar K berada di posisi-i (Ktdd) dan
hanya sebagian kecil berada di posisi-e dan p (Kdd).
Hasil penelitian Nursyamsi et al. (2007) pada tanahtanah yang didominasi smektit juga menunjukkan hal

yang sama, yaitu sekitar 63-68% K berada dalam


bentuk Ktdd, 24-31% dalam bentuk Kdd, dan hanya
5-7% dalam nentuk Kl. Berdasarkan jumlah K yang
dilepas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Na+
hanya dapat mengusir K yang berada di posisi-p,
sedangkan NH4+ selain K di posisi-p juga di posisi-e
dan sebagian kecil K yang berada di posisi-i.
Sementara itu Fe3+ dapat melepas K yang berada di
posisi-p dan e dan sejumlah besar K yang berada di
posisi-i.

75

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Serapan hara tanaman


Pada Alfisols, asam oksalat tidak berpengaruh
nyata terhadap serapan N, P, dan K tanaman.
Demikian pula Na+ tidak berpengaruh nyata
terhadap serapan ketiga hara tersebut. Sementara
itu Fe3+ tidak berpengaruh nyata terhadap serapan
N, nyata menurunkan serapan P, tapi nyata
meningkatkan serapan K tanaman (Tabel 6). Pada
Vertisols, asam oksalat nyata meningkatkan serapan
N, P, dan K tanaman, sedangkan Na+ tidak
berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang
diuji. Berbeda dengan dua kation sebelumnya, Fe3+
takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan
ketiga hara tersebut. Sementara itu interaksi antara
asam oksalat dengan kation tidak berpengaruh nyata
terhadap ketiga peubah yang diuji baik pada Alfisols
maupun Vertisols (Tabel 7).
Tabel 6. Pengaruh asam oksalat, Na+ dan Fe3+
terhadap serapan N, P, dan K tanaman
pada Alfisols
Table 6. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on
plant N, P, and K uptake in Alfisols
Perlakuan
Asam oksalat (ppm)
0
1.000
2.000
4.000
Natrium
Kontrol
Na (50% jerapan
maksimum)
Besi (ppm)
0
125
250
375
500
CV (%)
FAsam oksalat X Kation

Serapan hara tanaman


N
P
K
.. mg pot-1 ..
105,88
109,50
111,99
107,35

a
a
a
a

125,74 a
130,55 a

229,00
233,53
220,42
213,42
192,51
9,10
<1

a
a
a
a
a

7,71
7,97
8,15
7,81

a
a
a
a

9,15 a
9,50 a

25,72
26,60
27,21
26,08

a
a
a
a

30,55 a
31,72 a

16,67 a
17,00 a
16,04 a
15,53 ab
14,01 b

50,64 b
56,74 a
53,55 ab
51,85 b
46,77 b

4,80
<1

8,70
< 1,11ns

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang


berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
menurut DMRT.

Pada Alfisols, hanya Fe3+ yang nyata


meningkatkan serapan K tanaman, sedangkan pada
Vertisols selain Fe3+, asam oksalat juga nyata
76

meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman.


Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlakuan
tersebut dapat memperbaiki ketersediaan salah satu
atau beberapa hara bagi tanaman sehingga
serapannya menjadi meningkat.
Tabel 7. Pengaruh asam oksalat, Na+ dan Fe3+
terhadap serapan N, P, dan K tanaman
pada Vertisols
Table 7. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on
plant N, P, and K uptake in Vertisols
Perlakuan

Serapan hara tanaman


N
P
K
. mg pot-1 .

Asam oksalat (ppm)


0
211,21 b
1.000
233,42 a
2.000
227,13 ab
4.000
215,87 b
Natrium
Kontrol
Na (50% jerapan
maksimum)
Besi (ppm)
0
125
250
375
500
CV (%)
FAsam oksalat X Kation

15,37 b
16,99 a
16,53 ab
15,71 b

51,31
56,71
55,18
52,45

258,43 a
242,21 a

18,81 a
17,63 a

62,79 a
58,84 a

333,55
381,09
334,87
325,61
283,92

24,28
27,74
24,37
23,70
20,67

81,04
92,59
81,36
79,11
68,98

4,80
1,56ns

b
a
b
b
c

b
a
b
b
c

6,60
1,32ns

b
a
a
b

b
a
b
b
b

9,20
1,03ns

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang


berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
menurut DMRT.

Produksi tanaman
Asam oksalat nyata meningkatkan produksi
brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST
pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik.
Perlakuan Na+ tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah tersebut di semua tanah yang diuji.
Perlakuan Fe3+ pada takaran 125 ppm nyata
meningkatkan hasil brangkasan kering pada
Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. Namun
demikian takaran Fe3+ 500 ppm nyata menurunkan
hasil gabah kering pada Hapludalf Tipik, Endoaquert
Kromik, dan Endoaquert Tipik. Sementara itu
interaksi antara asam oksalat dan kedua kation
tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap peubah
tersebut (Tabel 8).

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Tabel 8. Pengaruh asam oksalat, Na+, dan Fe3+ terhadap produksi brangkasan kering
tanaman jagung umur 4 MST
Table 8. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on 4-weeks-after-planting biomass dry yield
Perlakuan
Asam oksalat (ppm)
0
1.000
2.000
4.000

Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik


.. g pot-1 ..
1,62 b
1,83 ab
1,92 a
1,77ab

3,09
3,04
3,06
3,01

1,98 a
1,93 a

3,58 a
3,77 a

6,01 a
5,73 a

5,45 a
5,02 a

Besi (ppm)
0
125
250
375
500

3,62
3,45
3,34
3,30
2,40

6,56
6,95
6,37
6,20
6,17

a
a
a
a
a

10,44 b
11,93 a
10,48 b
10,20 b
8,75 c

4,40 b
5,03 a
4,42 b
4,29 b
3,89 c

CV (%)
FAsam oksalat X Kation

14,30
1,41ns

13,70
<1

11,70
1,09ns

8,30
1,25ns

Natrium
Kontrol
Na (50% jerapan
maksimum)

a
a
a
a
b

a
a
a
a

4,81
5,28
5,13
4,85

a
a
a
a

4,59 b
5,10 a
4,98 a
4,75 ab

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
taraf 5% menurut DMRT.

Peningkatan produksi akibat pemberian asam


oksalat berkaitan erat dengan peningkatan serapan
N, P, dan K tanaman pada Vertisols (Tabel 7).
Sementara itu Fe3+ selain dapat meningkatkan
serapan K tanaman pada Alfisols (Tabel 6) dan
serapan N, P, dan K tanaman pada Vertisols (Tabel
7), juga merupakan hara mikro yang diperlukan oleh
tanaman dalam jumlah sedikit. Besi diperlukan
tanaman karena merupakan bagian dari klorofil pada
daun yang penting untuk proses fotosintesis
tanaman (Marschner, 1997). Faktor-faktor tersebut
merupakan alasan produksi tanaman meningkat
akibat pemberian Fe3+. Takaran Fe3+ 500 ppm yang
menurunkan hasil tanaman merupakan petunjuk
bahwa tanaman mengalami keracunan.
Peranan asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+
Berdasarkan data Tabel 6-8 maka K-tersedia,
serapan N, P, dan K tanaman, dan kebutuhan pupuk
K dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 9

(Alfisols) dan 10 (Vertisols). Perhitungan tersebut


menggunakan asumsi: (1) K-tersedia = K terekstrak
NH4OAc 1 N pH 7.0 (Kdd); (2) Berat tanah 1 ha
kedalaman 20 cm = 2 X 106 kg; dan (3) Kebutuhan
pupuk K untuk mencapai hasil 9 t ha-1 adalah 150
kg K ha-1 dan efisiensi pemupukan K sebesar 40%
(Dierolf et al., 2001). Selanjutnya K yang
ditambahkan dari pupuk didefinisikan sebagai K yang
diperlukan untuk mencapai hasil 9 t ha-1 dikurangi
oleh K yang tersedia di dalam tanah.
Asumsi kebutuhan pupuk K untuk mencapai
hasil 9 t ha-1 sebesar 150 kg K ha-1 berdasarkan
hasil penelitian Dierolf et al. (2001), yaitu tanaman
jagung memerlukan 75 kg K untuk mencapai
produksi 4,5 t ha-1 biji kering. Jagung hibrida P-21
mempunyai potensi produksi biji kering sekitar 9 t
ha-1 sehingga memerlukan hara K dari tanah sebesar
150 kg ha-1 untuk mencapai pertumbuhan yang
optimal. Nilai tersebut hampir sama dengan
perhitungan kebutuhan pupuk K berdasarkan batas

77

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 9. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap K-tersedia tanah, serapan N, P,
dan K tanaman, persen hasil tanaman, dan jumlah K yang perlu ditambahkan (pupuk)
pada Alfisols
Table 9. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil available K, plant N, P, and K uptake,
percentage of plant yield, and K needed to add (fertilizer) in Alfisols
Perlakuan

K-tersedia
Serapan hara tanaman
tanah
N
P
K
....kg ha-1

Hapludalf Tipik
Asam oksalat (ppm)
0
101
1.000
99
Kation (50% jerapan mak)
Kontrol
101
Na
118
NH4
131
Besi (ppm)
0
101
125
103
5.000
133
Haplustalf Tipik
Asam oksalat (ppm)
0
136
1.000
143
Kation (50% jerapan mak)
Kontrol
129
Na
145
NH4
145
Besi (ppm)
0
129
125
131
5.000
163

Persen hasil***
%

K yang perlu
ditambahkan (pupuk)
kg ha-1

172
218

5.1
6.3

22.1
21.6

100
113

110
111

229
196
*

6.4
6.4
*

20.9
27.9
*

100
98
*

109
103
98

379
418
**

22.7
23.6
**

148.9
149.2
**

100
96
**

109
109
97

227
247

30.7
31.3

92.8
109.3

100
98

96
93

329
311
*

27.9
19.9
*

88.9
87.6
*

100
105
*

98
92
92

533
617
**

47.8
59.3
**

276.9
273.4
**

100
106
**

98
98
85

Keterangan :
* Perlakuan NH4+ tidak diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat dibedakan, apakah berasal dari
perlakuan penambahan NH4+ atau pupuk urea; **Tidak ada data karena tanaman mati keracunan; dan
***Persen hasil = (Yperlakuan/Y0) X 100%.

kritis K tanah untuk jagung 0,2 me K 100g-1 (Dierolf


et al., 2001), yaitu sebesar 156 kg K ha-1.

terhadap serapan hara, kecuali serapan N tanaman

Pada Hapludalf Tipik, asam oksalat takaran

pada Haplustalf Tipik, asam oksalat dapat mening-

1.000 ppm tidak berpengaruh terhadap ketersediaan


K tanah sehingga tidak berpengaruh pula terhadap
kebutuhan K dari pupuk. Namun demikian asam
oksalat dapat meningkatkan serapan N dan P
tanaman sehingga hasil biji kering juga meningkat
sekitar 13%. Perlakuan Na+, NH4+, dan Fe3+ dapat
meningkatkan

ketersediaan

tanah

sehingga

menurunkan kebutuhan pupuk K tanaman. Namun


demikian kation-kation tersebut tidak berpengaruh

78

meningkat akibat pemberian Fe3+. Sementara itu


katkan ketersediaan K sehingga kebutuhan pupuk K
menurun, meningkatkan serapan N dan K tanaman,
tapi tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman.
Perlakuan Na+, NH4+, dan Fe3+ meningkatkan
ketersediaan

sehingga

kebutuhan

pupuk

K
3+

menurun, meningkatkan hasil biji kering, dan Fe


meningkatkan serapan N dan P tanaman.
Pada

Endoaquert

kromik,

asam

oksalat

meningkatkan ketersediaan K sehingga menurunkan

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Tabel 10. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap K-tersedia tanah, serapan N, P,
dan K tanaman, persen hasil tanaman, dan jumlah K yang perlu ditambahkan (pupuk)
pada Vertisols
Table 10. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil available K, plant N, P, and K
uptake, percentage of plant yield, as well as K needed to add (fertilizer) in Vertisols
Perlakuan

Serapan hara tanaman


N
P
K
....kg ha-1

K-tersedia tanah

Endoaquert Kromik
Asam oksalat (ppm)
0
310
1.000
337
Kation (50% jerapan mak)
Kontrol
331
Na
341
366
NH4
Besi (ppm)
0
331
125
333
5.000
370
Endoaquert Tipik
Asam oksalat (ppm)
0
284
1.000
290
Kation (50% jerapan mak)
Kontrol
269
Na
274
304
NH4
Besi (ppm)
0
269
125
270
5.000
294

K yang perlu
ditambahkan (pupuk)
kg ha-1

Persen hasil***

377
469

18.2
24.9

203.1
270.3

100
110

26
15

508
459

25.3
24.8

268.0
300.9

100
95

17
14
4

883
988

58.6
79.3

454.2
593.1

100
114

**

**

**

**

426
474

54.3
69.5

209.2
209.7

100
111

36
34

498
488
*

68.4
63.4
*

215.1
225.2
*

100
92
*

42
40
29

393
417
**

43.6
44.8
**

163.8
236.3
**

100
114
**

42
42
32

17
17
2

*Perlakuan NH4+ tidak diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat dibedakan, apakah berasal dari
perlakuan penambahan NH4+ atau pupuk urea, **Tidak ada data karena tanaman mati keracunan, dan
***Persen hasil = (Yperlakuan/Y0) X 100%.

kebutuhan pupuk K, meningkatkan serapan N, P,


dan K tanaman, serta hasil biomas kering jagung.
Perlakuan Na+ meningkatkan serapan K tanaman
tapi tidak berpengaruh terhadap hasil biomas kering.
Perlakuan Fe3+ meningkatkan serapan N, P, dan K
tanaman sehingga hasil biomas kering pun meningkat.
Demikian pula pada Endoaquert Tipik, asam oksalat
meningkatkan ketersediaan K sehingga menurunkan
kebutuhan pupuk K, meningkatkan serapan N dan P
tanaman, serta hasil biomas kering (11%). Perlakuan
Na+ meningkatkan serapan K tanaman tapi tidak
berpengaruh
terhadap
hasil
biomas
kering.
3+
Sementara itu, Fe meningkatkan serapan N dan K
tanaman serta hasil biomas kering.

Selain aspek ketersediaan K tanah, produksi


tanaman jagung juga dipengaruhi oleh ketersediaan
N dan P tanah di semua tanah yang diuji. Asam
oksalat dan kation dapat berpengaruh terhadap salah
satu atau beberapa peubah tersebut yang pada
gilirannya berpengaruh pula terhadap hasil biomas
kering. Dengan demikian, maka peran utama asam
oksalat (1.000 ppm) terhadap pertumbuhan jagung
adalah selain meningkatkan ketersediaan K tanah
sehingga mengurangi kebutuhan pupuk K juga
memperbaiki ketersediaan N, P, dan K tanah. Selain
itu seperti halnya asam organik yang lainnya, asam
oksalat juga dapat berperan sebagai zat perangsang
tumbuh yang dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman (Bolton et al., 1993).

79

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Perlakuan Na+ dan NH4+ dapat meningkatkan

dilakukan melalui selain pengelolaan bahan organik

Kdd tanah Vertisols (Tabel 5). Demikian pula Fe3+

juga pengelolaan N, P, K, dan Fe tanah. Sementara

dapat meningkatkan Kl dan Kdd di kedua jenis tanah

itu tanaman yang dapat menghasilkan eksudat asam

yang diteliti (Tabel 4 dan 5). Dengan demikian maka

organik dan bernilai ekonomi tinggi juga dapat

ketiga kation tersebut berpotensi dalam meningkatkan

diterapkan

ketersediaan

smektit.

tanah

sehingga

mengurangi

di

tanah-tanah

yang

mengandung

kebutuhan pupuk K. Selain itu Fe3+ takaran 125


ppm dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K
tanaman sehingga produksi tanaman lebih baik.
Demikian pula kation-kation tersebut dapat berperan
sebagai hara makro (NH4+), mikro (Fe3+), dan
beneficial nutrient (Na+) (Marschner, 1997).
Uraian di atas menunjukkan bahwa asam
oksalat 1.000 ppm dan Fe3+ 125 ppm dapat
memperbaiki
meningkatkan

keseimbangan
hasil

hara

tanaman.

tanah

dan

Perlakuan

Na+

berpengaruh terhadap peubah tanah tapi tidak


berpengaruh terhadap tanaman. Perlakuan NH4
meningkatkan

tersedia

dan

menurunkan

kebutuhan pupuk K di kedua tanah yang diuji tapi


responnya terhadap tanaman tidak diuji. Sementara
itu Fe3+ 5.000 ppm memang meningkatkan K
tersedia dan mengurangi kebutuhan pupuk K tapi
menyebabkan tanaman mati. Dengan demikian maka
perlakuan asam oksalat 1.000 ppm dan Fe3+ 125
ppm merupakan perlakuan yang terbaik.
Aplikasi

penggunaan

asam

oksalat

untuk

KESIMPULAN
1. Asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ nyata
meningkatkan K tersedia baik di tanah Alfisols
maupun Vertisols, dimana pengaruhnya di tanah
Vertisols lebih tinggi dibandingkan Alfisols.
Tingkat kekuatan perlakuan dalam melepaskan K
dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia
adalah Fe3+ > NH4+ > Na+ > asam oksalat.
2. Asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P
dan K tanaman di Vertisols, sedangkan Fe3+
takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan K
tanaman di Alfisols serta N, P, dan K tanaman di
Vertisols.
3. Asam oksalat nyata meningkatkan bobot
brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST
pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik,
sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata
meningkatkan hasil brangkasan kering pada
Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik.

meningkatkan ketersediaan K dan hasil tanaman di


lapangan

sesungguhnya

dapat

diganti

dengan

penggunaan tanaman yang banyak menghasilkan


eksudat asam organik. Tanaman jagung dapat
dipertimbangkan untuk dikembangkan di tanahtanah

yang

didominasi

smektit

karena

selain

mempunyai nilai ekonomi tinggi juga akarnya dapat


menghasilkan eksudat asam oksalat yang tinggi,
yakni berkisar antara 3,15-5,93 mg g-1 BK akar
(Nursyamsi,
peningkatan

2008).

Dengan

produktivitas

demikian

maka

tanah-tanah

yang

didominasi smektit dapat dilakukan melalui dua


pendekatan, yakni perbaikan tanah dan penggunaan
varietas tanaman yang tepat. Perbaikan tanah

80

DAFTAR PUSTAKA
Bajwa, M.I. 1987. Comparative ammonium and
potassium fixation by some wetland rice soil
clays
as
affected
by
mineralogical
composition and treatment sequence.
Potash Review No. 1/1987. International
Potash Institute, Switzerland.
Bolton, H. Jr., J.K. Fredrickson, and L.F. Elliot.
1993. Microbial ecology of the rhizosphere.
Pp 27-64. In Soil Microbial Ecology.
Applications in Agricultural and Environmental
Management. Marcel Dekker, Inc. 270
Madison Avenue, New York.

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Borchardt, G. 1989. Smectites. Pp 675-727. In


Minerals in Soil Environments. Second
Edition. Soil Science Society of America
Madison, Wisconsin, USA.

(Saccharum officinarum, L.) Growth and


Yield, and Its Effect Towards Soil Chemical
Properties. Disertasi Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Dhillon, S.K. and K.S. Dhillon. 1992. Kinetics of


release of potassium by sodium tetraphenyl
boron from some topsoil samples of Red
(Alfisols), Black (Vertisols), and Alluvial
(Inceptisols and Entisols) soils of India.
Fertilizer News 32(2):35-138.

Kilic, K., M.R. Derici, and K. Saltali. 1999. The


ammonium fixation in great soil groups of
Tokat Region and some factors affecting the
fixation. I. The affect of potassium on
ammonium fixation. Tr. J. of Agriculture and
Forestry 23:673-678.

Dierolf, T, T. Fairhurst, and E. Mutert. 2001. Soil


Fertility Kit: A toolkit for acid, upland soil
fertility management in Southeast Asia.
Potash and Phosphate Institute/Potash and
Phosphate Institute of Canada (PPI/PPIC)
(www.eseap.org).

Kirkman, J.H., A. Basker, A. Surapaneni, A.N.


Macgregor. 1994. Potassium in the soils of
New Zealand- a review. New Zealand
Journal of Agricultural Research 37:207227.

Douglas, L.A. 1989. Vermiculites. Pp 635-674. In


Minerals in Soil Environments. Second
Edition. Soil Science Society of America
Madison, Wisconsin, USA.
Evangelou, V.P. and J. Lumbanraja. 2002.
Ammonium-potassium-calcium exchange on
vermiculite
and
hydroxy-aluminum
vermiculite. SSSAJ 66:445-455.
Ghousikar C.P. and D.W. Kendre. 1987. Potassium
supplying status of some soils of Vertisols
type.
Potash
Review
No.
5/1987.
International Potash Institute, Switzerland.
Goulding, K.W.T. 1987. Potassium fixation and
release. Proc. of the Colloquium of the
International Potash Institute 20:137-154.
Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L.
Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers.
An Introduction to Nutrient Management.
Sixth Edition. Prentice Hall. Upper Saddle
River, New Jersey 07458.
Helmke, P.A. and D.L. Sparks. 1996. Lithium,
sodium, potassium, rubidium, and cesium. In
Methods of Soil Analysis. Part 3 Chemical
Methods-SSSA Book Series No. 5.
Ismail, I. 1997. The Role of Na and Partial
Substitution of KCl by NaCl on Sugarcane

Knudsen, D., G.A. Paterson dan P.F. Pratt. 1982.


Lithium, sodium, and potassium. In Page et
al (Eds.) Method of Soil Analysis. Part 2. 2nd
ed. Agronomy 9:403-429.
Marschner, H. 1997. Mineral Nutrition of Higher
Plants. Second Edition. Academic Press,
Harcourt Brace & Company, Publisher.
Tokyo.
Nursyamsi, D., K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim,
dan A. Sofyan. 2007. Sifat-sifat tanah
dominan yang berpengaruh terhadap K
tersedia pada tanah-tanah yang didominasi
smektit. Jurnal Tanah dan Iklim 26:13-28.
Nursyamsi, D. 2008. Pelepasan Kalium Terfiksasi
dengan Penambahan Asam Oksalat dan
Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia
bagi Tanaman Pada Tanah-tanah yang
Didominasi Mineral Liat Smektit. Disertasi
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Oldeman, L.R. 1975. An Agroclimatic Map of Java
and Madura. Contr. Cent. Res. Ins. Agric.
No. 17. Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas
Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia,
Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
81

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Sidhu, P.S. 1987. Mineralogy of potassium in soils


of Punjab, Haryana, Mimachal Pradesh and
Jammu and Kashmir. Potash Review No.
6/1987. International Potash Institute,
Switzerland.
Song, S.K. and P.M. Huang. 1988. Dynamic of
potassium release from potassium-bearing
minerals as influenced by oxalic and citric
acid. SSSAJ 52:383-390.

82

Tan, K.H. 1998. Principles of Soil Chemistry. Third


Edition Revised and Expanded. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Wood, L.K. and E.E. De Turk. 1940. The absorption
of potassium in soil in non-exchangeable
form. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 5:152-161.
Zhu Yong-Guan and Luo Jia-Xian. 1993. Release of
non-exchangeable soil K by organic acids.
Pedosphere 3:269-276.

Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia
Global Climate Indices and Its Effect on Extreme Climate Events in Indonesia

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI1

ABSTRAK
Banyak fakta menunjukkan bahwa terjadinya fenomena ElNio Southern Oscillation (ENSO) dan Dipole Mode berdampak
besar terhadap kondisi hujan di beberapa wilayah di Indonesia.
Namun besaran dampaknya terhadap hujan di berbagai wilayah
Indonesia sangat beragam, sehingga perlu diteliti indikator yang
paling berpengaruh dan besaran pengaruhnya. Berdasarkan nilai
korelasi yang paling tinggi, indikator tersebut kemudian dapat
digunakan untuk memprakirakan hujan di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan menentukan indikator iklim global yang paling
berpengaruh terhadap curah hujan, pergeseran musim, dan
kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia. Untuk melakukan
kajian tersebut dilakukan beberapa tahapan analisis sebagai
berikut : 1) analisis regresi antara curah hujan dengan beberapa
indikator iklim global dengan time lag dua bulan sebelumnya
(anomali suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di zone
Nino 3.4, DMI, SOI, interaksi SST dengan DMI, dan interaksi SOI
dengan DMI) untuk menentukan indikator yang paling tinggi
korelasinya dengan hujan di Indonesia, 2) plot antara anomali
curah hujan dengan indikator iklim global untuk menentukan
besarnya perubahan curah hujan dengan perubahan indikator iklim
global tersebut, 3) Analisis peluang terlampaui untuk menentukan
awal masuknya musim hujan dan lama musim hujan pada kondisi
iklim ekstrim, dan 4) Analisis dampak kejadian iklim ekstrim
terhadap kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia. Hasil kajian
menunjukkan bahwa suhu muka laut di Nino 3.4 paling
berpengaruh terhadap hujan di Indonesia, dan pengaruhnya hanya
signifikan terhadap hujan pada musim transisi (AgustusNovember). Hubungan SST dengan hujan menunjukkan korelasi
negatif yang artinya peningkatan anomali SST akan menyebabkan
penurunan curah hujan periode Agustus-November. Hasil analisis
peluang menunjukkan jika anomali SST pada bulan September
turun sampai di bawah -0,5oC (La-Nia) awal musim hujan akan
maju dan lama musim hujan lebih panjang, sebaliknya jika anomali
SST naik sampai di atas 0,5oC (El-Nio) awal musim hujan akan
mundur dan lama musim hujan lebih pendek. Dampak El-Nio
terhadap kerusakan lahan sawah di Indonesia karena kekeringan
sangat luas, sebaliknya kerusakan lahan sawah pada kondisi LaNia tidak sebesar akibat kekeringan dan tidak signifikan
dibanding kondisi normal.
Kata kunci : ENSO, DMI, SOI, SST, Awal musim hujan, Kejadian
iklim ekstrim

ABSTRACT
Many facts show that El-Nio Southern Oscillation (ENSO)
phenomenon and Dipole Mode are closely related to rainfall event
in Indonesia, but the magnitude of its impact varies with site.
Therefore, it is needed to determine the most singnificant global
climate indices that has closely related to Indonesians rainfall.

ISSN 1410 7244

The significant indices are able to be used in predicting rainfall in


Indonesia.The objective of the present study is to detemine global
climate indicators that have the significant effect to rainfall,
climate/season anomaly, the occurence flood and drought in
Indonesia. The study has been done through the following steps ;
1) regression analysis of rainfall with global climate indices of Sea
Surface Temperatur Anomaly/SST in Nino 3.4 zone, Dipole mode
Index (DMI), Southern Oscillation Index (SOI), interacton of SSTA
with DMI, and interaction of SOI with DMI), 2) Plotting of rainfall
anomaly and global climate indices for determining rainfall
deviates with deviant of global climate forcing indices, 3) analysis
of probability of exceedence for determining onset and lenght of
wet season on climate extreme event, and 4) analysis impact of
climate extreme event on flood and drougt occurences and
damage areas of ricefield. The result showed that the closest
relationship between global climate forcing indices and rainfall in
Indonesia is SST in Nino 3.4 zone and only have significant
relationship to rainfall in transisional season (August-November).
Negative correlation between SST and rainfall indicates that the
increase of SST anomaly causes the decrease of rainfall on
August-November period. Probability of exceedance analysis
showed that if the SST on September decrease below -0.5 -0.5
o
C (indicate La-Nia event), the wet season will start earlier with
longer period. In contrast, if SST increases above 0.5 oC (indicate
El-Nio event) the wet season will delay with shorter period.
Impact of drought on damage of ricefield is more significant than
the flood occurence.
Keywords : ENSO, DMI, SOI, SST, Rainfall, Onset of wet
season, Climate extreme events.

PENDAHULUAN
Di Indonesia hujan merupakan unsur iklim yang
sangat beragam baik menurut waktu maupun
tempat. Keragaman hujan di Indonesia secara umum
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ialah
fenomena ENSO di Samudera Pasifik, aktivitas
moonson, golakan lokal dan siklon tropis.
Berdasarkan data historis, fenomena ENSO (El-Nio
Southern Oscillation) sangat erat kaitannya dengan
kejadian iklim ekstrim. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa hujan di wilayah Indonesia
berkorelasi signifikan terhadap kejadian ENSO
1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.

83

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

(Haylock and McBride, 2001; Hendon, 2003;


Aldrian dan Susanto, 2003, Chang et al., 2004;
Boer and Faqih, 2004; Batisti et al., 2006).
Selain itu interaksi lautan-atmosfer di
Samudera Atlantik yang dikenal dengan Indian
Ocean Dipole (IOD) juga berpengaruh terhadap
kejadian kekeringan di Indonesia (Saji, 2000; Boer
dan Faqih, 2004). Selanjutnya dinyatakan bahwa
IOD mempunyai sifat yang independen terhadap ElNio (Saji et al., 1999; Rao et al., 2002, Rao;
2002). Kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan
dengan El-Nio seperti pada tahun 1997
memperkuat pengaruh El-Nio di wilayah Indonesia,
sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan
dengan El-Nio akan mengurangi dampak El-Nio.
Banyak hasil studi menunjukkan bahwa
terjadinya fenomena ENSO berdampak besar
terhadap kondisi iklim dunia. Di Amerika Selatan
bagian utara seperti Caracas menjadi panas dan
kering sementara yang bagian tengah dan selatan
menjadi lebih basah tetapi agak panas dari normal.
Wilayah Equador dan Peru bagian utara pada bulan
November-April berpotensi mengalami hujan yang
sangat tinggi. wilayah Asia dan Indonesia umumnya
mengalami musim kering yang lebih panjang dari
normal pada saat terjadinya El-Nio, dan di sebagian
kecil wilayah seperti Madras-India suhu di musim
hujan menjadi agak panas dari normal, sementara di
sebagian wilayah Jepang curah hujan meningkat dari
Normal. Besarnya penurunan atau kenaikan hujan
akibat berlangsungnya fenomena ENSO beragam
antar wilayah.
Berbagai indikator tersebut dapat diunduh dari
berbagai situs di internet baik nilai aktual maupun
prediksinya, sehingga dapat dijadikan sebagai
indikator dalam prediksi hujan di Indonesia. Namun
kekuatan sinyal indikator terhadap hujan di Indonesia
sangat beragam, sehingga perlu ditentukan indikator
yang paling tinggi korelasinya agar dalam
penggunaannya untuk memprediksi hujan mempunyai
akurasi yang tinggi. Penentuan besaran dampaknya
terhadapan pergeseran musim, lamanya musim dan
sifat hujan sangat penting untuk perencanaan tanam

84

dalam rangka antisipasi kejadian iklim ekstrim untuk


meminimalkan risiko kegagalan tanam dan panen.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indikator
iklim global yang paling berpengaruh terhadap curah
hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran
musim dan hubungannya dengan kejadian banjir dan
kekeringan.

BAHAN DAN METODE


Data yang digunakan
Data curah hujan bulanan dan dasarian dari 94
stasiun hujan yang mewakili berbagai wilayah di
Indonesia periode 1980-2005, diakses dari database
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Data
indikator iklim global dengan periode yang sama
yang terdiri atas data anomali SST di Nino 3.4
(sumber:www.cpc.noaa.gov), data DMI (sumber:
www.jamstec.go.jp), dan SOI (sumber: www.
longpaddock.qld.gov.au). Sedangkan data luas
kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat
banjir dan kekeringan diperoleh dari Direktorat
Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian.
Metodologi
Data hujan bulanan dikelompokkan berdasarkan
periode musim hujan/MH (periode Desember-Maret/
DJFM), musim kemarau I (periode April-Juli/AMJJ),
dan musim kemarau II (periode Agustus-November/
ASON). Periode hujan ASON (Kemarau II) juga
merupakan periode transisi antara musim kemarau
dan musim hujan.
Tahapan analisis
sebagai berikut :

yang

dilakukan

adalah

1. Analisis regresi antara curah hujan dengan


anomali SST Nino 3.4, DMI, SOI, interaksi ASST
dengan DMI, dan interaksi SOI dengan DMI,
untuk menentukan indikator iklim global yang
berpengaruh signifikan terhadap hujan di
Indonesia.

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

2. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator


iklim global yang terpilih untuk menentukan
besarnya perubahan curah hujan dengan
perubahan indikator iklm global tersebut.
3. Analisis peluang awal musim hujan dan lama
musim hujan berdasarkan skenario indikator
iklim yang terpilih untuk menentukan awal
musim hujan dan lama musim hujan pada kondisi
iklim ekstrim.
4. Analisis dampak kejadian iklim ekstrim terhadap
kejadian banjir dan kekeringan serta luas
kerusakan tanaman padi pada lahan sawah di
Indonesia.
Untuk menentukan indikator iklim global yang
paling berpengaruh terhadap curah hujan di
Indonesia dilakukan analisis regresi antara curah
hujan musiman periode DJFM, AMJJ dan ASON
dengan anomali SST, SOI, dan DMI dua bulan
sebelumnya masing-masing September-Oktober,
Januari-Februari, dan Mei-Juni. Keeratan hubungan
antara curah hujan dengan indikator iklim global
dilihat berdasarkan nilai koefisien keragaman (R2)
dan nilai peluangnya. Nilai R2 dikelompokkan atas
empat yaitu : 0-25%, 25-50%, 50-75%, dan 75100%, dan koefisien keragaman dinyatakan
signifikan apabila nilai p< 0,05.
Plot antara anomali curah hujan dengan
indikator iklim global yang terpilih bertujuan untuk
mengetahui slope persamaan secara statistik besar.
Apabila nilai slope lebih besar dari 0, artinya anomali
hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata
dengan anomali suhu muka laut. Berdasarkan nilai
slope dan plot tersebut diketahui besarnya
perubahan curah hujan dengan peningkatan/
penurunan indikator iklim global yang terpilih.
Untuk menentukan awal masuknya dan lama
musim hujan pada daerah yang koefisien
keragamannya nyata dari hasil regresi sebelumnya
digunakan teknik Probability Forecasting System.
Analisis distribusi peluang menggunakan metode
Weibull sebagai berikut :

p=
dimana :

m
n +1

p = peluang
m = nomor data setelah diurutkan dari kecil ke
besar
n = jumlah data
Penentuan awal musim hujan menggunakan
data dasarian, dengan kriteria awal musim hujan
mulai terjadi apabila selama 2 dasarian berturut-turut
jumlah curah hujan sama dan lebih besar dari 50
mm. Selanjutnya berdasarkan distribusi peluang
kemudian ditentukan skenario kejadian iklim ekstrim.
Apabila hanya SST yang berpengaruh terhadap
curah hujan maka pengelompokkan skenario iklim
berdasarkan nilai anomali SST sebagai berikut : a)
Normal : nilai anomali SST -1 sampai +1oC, b) ElNio : nilai anomali SST > +1oC, c) La-Nia : nilai
anomali SST < -1oC
Dampak kejadian iklim ekstrim dianalisis secara
deskriptif dengan melihat luas pertanaman padi pada
lahan sawah di Indonesia pada tahun-tahun kejadian
iklim ekstrim (El-Nio dan La-Nia).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Indikator iklim global yang berpengaruh terhadap
hujan di Indonesia
Hasil analisis regresi antara curah hujan
musiman DJFM, AMJJ, dan ASON pada 94 stasiun
hujan yang tersebar diseluruh Indonesia dengan
indikator iklim global: Anomali SST, SOI, DMI,
interaksi antara ASST*DMI dan SOI*DMI dua bulan
sebelumnya, menunjukkan bahwa nilai peluang yang
signifikan hanya terdapat pada korelasi antara curah
hujan dengan anomali SST periode musim transisi
ASON (Tabel 1). Sebagian besar wilayah yang curah
hujannya berkorelasi tinggi terdapat di wilayah
Sumatera bagian selatan, Jawa, dan Sulawesi
bagian selatan yang merupakan lumbung padi
nasional (Gambar 1).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya
curah hujan periode Agustus-November yang
mempunyai korelasi yang nyata dengan curah hujan
periode anomali SST dua bulan sebelumnya pada
sebagian besar wilayah Indonesia. Selain itu,
85

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Persentase nilai peluang (p< 0,05) regresi curah hujan dengan beberapa indikator iklim
global
Table 1. Percentage of regression probability value (p< 0.05) between rainfall and global climate
indices
Bulan
DJFM
AMJJ
ASON

CH vs SST
CH vs SOI
CH vs DMI
CH vs SST*DMI
CH vs SOI*DMI
....................................................... % .........................................................
4,25
2,13
3,19
7,47
8,51
2,13
11,70
6,38
2,13
4,25
55,31
2,13
4,25
2,13
4,25

indikator SST bulan Mei-Juni dapat digunakan untuk


memprediksi hujan padan periode musim transisi
(Agustus-November). Bagi Indonesia, hal ini
menguntungkan karena informasi prakiraan yang
andal pada musim transisi sangat penting khususnya
bagi sektor pertanian, karena dapat mengindikasikan
apakah awal musim hujan akan mundur atau maju.
Informasi tersebut diperlukan untuk menentukan
kapan musim tanam dapat dimulai.
Persentase tertinggi stasiun yang mempunyai
korelasi signifikan antara curah hujan dengan SOI
dan DMI adalah pada periode AMJJ dengan nilai
berturut-turut 11,70% dan 6,38%. Sedangkan pada
periode DJFM dan AMJJ persentasinya sangat kecil.
Korelasi yang signifikan antara curah hujan dengan
SOI terdapat pada wilayah pantura Jawa dan
Lombok, sedangkan dengan DMI terdapat pada
daerah Lampung, Riau, dan pantura Jawa Barat.
Artinya pada daerah yang bersangkutan indikator
SOI atau DMI bulan Januari-Februadi cukup baik
digunakan untuk memprediksi hujan pada musim
kemarau. Selanjutnya dari tabel tersebut juga dapat
dilihat bahwa interaksi antara SST dan SOI dengan
DMI tertinggi terjadi pada periode musim hujan,
namun hanya pada sebagian kecil wilayah (7-8%).
Pengaruh SST terhadap curah hujan
Berdasarkan hasil korelasi tersebut maka
prakiraan curah hujan dengan menggunakan
indikator iklim anomali SST Nino 3.4 mempunyai
akurasi yang tinggi pada periode musim transisi
(Agustus-November). Hasil ini sejalan dengan hasil
studi Giannini (2006) yang menunjukkan bahwa di

86

Indonesia tingkat kemampuan ramalan tinggi untuk


musim transisi, sedangkan untuk musim hujau
rendah (Gambar 2).
Hasil plot data anomali suhu muka laut di Nino
3.4 bulan Mei-Juni dengan data anomali hujan bulan
Agustus-November pada daerah dengan nilai
koefisien keragaman > 25% mempunyai nilai slope
persamaan secara statistik lebih besar dari nilai 0,
artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut
berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut.
Semakin besar nilai anomali suhu muka laut
(semakin positif atau terjadi El-Nio), data anomali
hujan semakin negatif. Pada Gambar 3 dapat dilihat
bahwa apabila data anomali suhu muka laut bulan
Mei-Juni sebesar +1oC, maka data anomali hujan
bulan Agustus-November di Ternate sekitar -250
mm. Artinya anomali suhu muka laut di Nino 3.4
pada bulan Mei-Juni naik sampai sekitar +1oC,
maka curah hujan periode Agustus-November
diperkirakan akan turun 250 mm di bawah normal.
Jumlah penurunan hujan yang sama juga terjadi di
Sukamandi (Jawa Barat), Ngablak (Jawa Tengah),
Pattimura (Maluku), Batutangga (Kalimantan Selatan).
Dampak kejadian iklim ekstrim
terhadap awal musim hujan
Hasil
analisis
sebelumnya
menunjukkan
hubungan yang nyata antara suhu muka laut di Nino
3.4. dengan curah hujan pada periode musim transisi
(Agustus-November), maka indikator tersebut dapat
digunakan memprakirakan awal masuknya musim
hujan dan lama musim hujan. Selanjutnya disusun
peluang terlampaui tingkat hujan tertentu pada

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

Gambar 1. Nilai R2 hasil analisis regresi antara suhu muka laut lag 2
dengan curah hujan
Figure 1.

R-square value of regression analysis between sea


surface temperature and rainfall

87

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Warna menunjukkan nilai korelasi antara nilai hujan hasil ramalan dengan hujan hasil observasi

Gambar 2. Tingkat keandalan ramalan (predictability) hujan musim


transisi dan musim hujan (Giannini, 2006)
Figure 2.

The predictability level of rainfall in transitional season


and rainy season (Giannini, 2006)

skenario El-Nio, La-Nia, dan Normal. Apabila


terlihat perbedaan yang jelas antara grafik peluang
pada kondisi El-Nio (anomali SST > 0,5oC), LaNia (anomali SST < -0,5oC) dan normal (anomali
SST antara -0,5oC-0,5oC ), berarti wilayah tersebut
peka terhadap fenomena ENSO. Sebagai contoh,
hasil analisis peluang menunjukkan jika anomali SST
pada bulan September normal, maka awal musim
hujan di Pusakanegara pada peluang 60% dimulai
pada hari ke-315 (November dasarian 2). Jika
anomali SST turun sampai di bawah -0,5oC awal
musim hujan akan maju sekitar 10 hari dan lama
musim hujan diperkirakan akan lebih panjang 20
hari, sebaliknya jika anomali SST naik sampai di atas
0,5oC awal musim hujan akan mundur 10 hari dan
lama musim hujan akan lebih pendek 20 hari
(Gambar 4).
Kasus lain di daerah Intangan menunjukkan
pergeseran awal musim juga terjadi, pada kondisi
normal awal musim hujan pada hari ke-294 (Oktober
dasarian III), jika diprediksi akan terjadi El-Nio maka
diprakirakan awal musim hujan akan mundur 10 hari
dan jika La-Nia awal musim hujan diprakirakan akan
maju 10 hari. Lama musim hujan pada kondisi
normal adalah 19 dasarian, jika terjadi La-Nia maka
diprakirakan musim hujan akan lebih panjang 4
88

dasarian dan jika terjadi El-Nio musim hujan akan


lebih pendek 3 dasarian.
Dampak kejadian iklim ektrim terhadap luas gagal
panen pada lahan sawah akibat banjir dan
kekeringan
Dampak El-Nio terhadap kerusakan lahan
sawah di Indonesia karena kekeringan sangat luas,
sebaliknya kerusakan lahan sawah pada kondisi LaNia tidak sebesar akibat kekeringan dan tidak
signifikan dibanding kondisi normal. Kejadian
kekeringan di Indonesia periode 1991-2006 yang
berasosiasi dengan kejadian El-Nio terlihat jelas
pada tahun El-Nio 1991, 1994, 1997, dan 2002.
Kejadian El-Nio pada tahun-tahun tersebut
menyebabkan kerusakan pertanaman padi akibat
kekeringan yang cukup luas. Namun sebaliknya
kejadian La-Nia tidak menyebabkan peningkatan
yang signifikan kerusakan pertanaman padi pada
lahan sawah akibat banjir. Seperti kerusakan
pertanaman padi pada lahan sawah akibat banjir
pada tahun 1998/1999 tidak lebih tinggi daripada
tahun normal. Tingginya kerusakan pertanaman padi
akibat banjir pada tahun normal disebabkan oleh
tingginya hujan yang dipicu oleh faktor selain SST
(Gambar 5).

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

Ternate
600

Ambon
800
y = -186.4x + 22.945
2
R = 0.2805

600
Anomali CH Agt-Nov

Anomali CH Agt-Nov

400
200
0
-200

400
200
0
-200
-400

-400

-2.0

-1.5

-1.0

-600

-600
-0.5
0.0
Anomali SST

0.5

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

Mei-Jun

Anomali CH Agt-Nov

Anomali CH Agt-Nov

400

500
0

-1000
-0.5
0.0
0.5
Anomali SST Mei-Jun

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Batutangga
800
y = -293.33x + 75.441
R2 = 0.574

600
Anomali CH Agt-Nov

Anomali CH Agt-Nov

-600
-0.5
0.0

Anomali SST Mei-Jun

200
0
-200

y = -298.88x + 55.235
2

R = 0.5513

400
200
0
-200
-400

-400

-600

-600
-0.5

y = -293.33x + 75.441
R2 = 0.574

-400

400

-1.0

2.0

-200

600

-1.5

1.5

Sukamandi

-2.0

1.0

200

-500

-1.0

0.5

Ngablak
600
y = -109.59x + 21.975
2
R = 0.0176

1000

-1.5

-800
-0.5
0.0

Anomali SST Mei-Jun

Maros
1500

-2.0

y = -388.45x + 47.383
R2 = 0.6109

0.0

Anomali SST

0.5
Mei-Jun

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

-800
-0.5
0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Anomali SST Mei-Jun

Gambar 3. Hubungan anomali curah hujan bulan Agustus-November dengan anomali suhu
muka laut di Nino 3.4 bulan Mei-Juni pada berapa wilayah di Indonesia
Figure 3.

Relationship between August-November rainfall anomaly and May-June sea


surface temperature anomaly in Nino 3.4 of some areas in Indonesia

89

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Pusakanegara

Pusakanegara
1

1.00
El Nino
La Nina
Normal

Peluang Terlampaui

PeluangTerlampaui
Terlampuai
Peluang

0.80

El Nino
La Nina
Normal

0.8

0.60

0.40

0.6

0.4

0.2

0.20

0.00

10

265 275 285 295 305 315 325 335 345 355 365

15

Awal MH

30

1
El Nino
La Nina
Normal

0.6

0.4

0.2

El Nino
La Nina
Normal

0.8

Peluang Terlampaui

0.8

Peluang Terlampaui

25

Intangan

Intangan

20
Lama MH (Dasarian)

0.6

0.4

0.2

0
265 275 285 295 305 315 325

335

345

355

365

Aw al MH

10

15

20

25

30

Lama MH (Dasarian)

Gambar 4. Hubungan antara peluang masuknya awal musim hujan dan lama musim hujan
pada kondisi iklim ekstrim dan normal
Figure 4.

Relationship between probability of exceedence of onset and period of rainy


season on extreme and normal climate condition

KESIMPULAN
1. Indikator iklim global yang paling berpengaruh
terhadap hujan di Indonesia adalah suhu muka
laut di zone Nino 3.4, dan pengaruhnya hanya
signifikan pada musim transisi bulan AgustusNovember, sehingga SST bulan Mei-Juni dapat
digunakan untuk memprediksi hujan pada
periode musim transisi (Agustus-November). Hal
ini menguntungkan karena informasi prakiraan
yang andal pada periode tersebut sangat penting
untuk menentukan awal musim tanam. Pengaruh
SST ini signifikan pada wilayah Sumatera bagian
selatan, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan
yang merupakan lumbung padi nasional.
Sedangkan dengan DMI hanya berpengaruh
90

terhadap curah hujan musim kemarau disebagian


kecil wilayah Indonesia seperti Lampung, Riau
dan pantura Jawa Barat.
2. Hubungan SST dengan hujan menunjukkan
korelasi negatif. Kenaikan anomali suhu muka
laut bulan Mei-Juni sebesar +1oC, menyebabkan
penurunan curah hujan. Selain itu jika anomali
SST pada bulan September turun sampai di
bawah -0,5oC (La-Nia) awal musim hujan akan
maju dan lama musim hujan lebih panjang,
sebaliknya jika anomali SST naik sampai di atas
0,5oC (El-Nio) awal musim hujan akan mundur
dan lama musim hujan lebih pendek. Penurunan
curah hujan dan pergeseran musim yang cukup
tajam pada kondisi El-Nio akan terjadi ada

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

Anomali SST

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
-0.5
-1
-1.5
-2
2006

El Nino
Banjir

Luas kerusakan (ha)

1200000

El Nino

1000000

La Nina

Kekeringan

800000

El Nino

El Nino

600000
400000
200000

1997

1999

2000

12

6
2005

12

6
2004

12

6
2003

12

6
2002

12

6
2001

12

12

12

6
1998

12

12

6
1996

12

6
1995

12

6
1994

12

6
1993

12

6
1992

12

6
1991

12

0
2006

Bulan dan Tahun

Gambar 5. Kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat kekeringan


dan banjir yang berasosiasi dengan ENSO di Indonesia
Figure 5.

Damaged area of ricefield due to drought and flood occurence


assosiated with ENSO events in Indonesia

daerah di Sumatera bagian selatan, Jawa, dan


Sulawesi bagian selatan
3. Dampak El-Nio terhadap kerusakan pertanaman
padi di Indonesia karena kekeringan lebih luas
dibandingkan
karena
banjir.
Kerusakan
pertanaman padi akibat banjir pada kondisi LaNia tidak signifikan dibanding pada kondisi
normal.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. and R.D. Susanto. 2003. Identification of
Three Dominant Rainfall Regions within
Indonesia and their Relationship to Sea
Surface Temperature. Int. J. Climatol. 23:
1435-1452.
Battisti, D.S., D.J. Vimont, R. Naylor, W. Falcon,
and
M.
Burke.
2006.
Downscaling
Indonesian precipitation: present and future
climate scenario. Paper presenting in
rountable discussion on coping with Climate
Variability and Change in Food Production.
Bogor. November 2006.

Boer,

R. and M. Faqih. 2004. Global climate


forcing factor and rainfall variability in West
Java: case study in Bandung District. J.
Agromet 18(2):1-12.

Chang, C.P., Z. Wang, Z., J. Ju, and T. Li. 2004.


On relationship between western maritime
continent monsoon rainfall and ENSO during
northern winter. J. Climate 16:1775-1790.
Giannini, A. 2006. Seasonality in the predictability
of Indonesian monsoonal climate. Paper
presented at International Workshop on Use
of
Ocean
Observations
to
Enhance
Sustainable
Development-Training
and
Capacity Building Workshop for the Eastern
Indian Ocean, Bali, 7-9 June 2006.
Haylock, M. and J.L. McBride, 2001. Spatial
coherence and predictability of Indonesian
wet season rainfall. Journal of Climate 14:
38823887.
Hendon, H.H. 2003. Indonesian Rainfall Variability :
Impacts of ENSO and Local Air-Sea
Interaction. J. Climate (16):1775-1790.

91

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Rao, S.A. 2002. Indian Ocean dipole. A new


phenomenon found in tropical Pasific. http://
www.jamstec.go.jp/.html [3 Februari 2005].
Rao, S.A., S.K. Behera, Y. Masumoto, and T.
Yamagata. 2002. Subsurface interannual
variability assosiated with the Indian Ocean
Dipole. CLIVAR Exchange 23:1-4.

92

Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran, and


T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the
tropical Indian ocean. Nature Magazine
401:360-363
Saji, N.H. 2000. The ocean at work during the
Indian Ocean Dipole Mode. Frontier
Newsletter 10.

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK


JURNAL TANAH DAN IKLIM
Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali dalam setahun dan memuat hasil-hasil penelitian
dalam bidang tanah dan iklim. Artikel di dalam Jurnal Tanah dan Iklim tersusun atas bagianbagian Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan,
Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.
Judul :
Judul harus singkat (maksimum 15 kata), tetapi cukup memberikan identitas subyek,
indikasi tujuan dan memuat kata-kata kunci, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Abstrak :
Abstrak mewakili seluruh materi tulisan dan implikasinya, ditulis secara singkat (sekitar
200 kata) dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan isi yang sama, dan tidak ada
singkatan.
Pendahuluan :
Menyajikan alasan diadakannya penelitian atau hipotesis yang mendasari, ringkasan
tinjauan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan pendekatan yang
digunakan.
Bahan dan Metode :
Memuat penjelasan mengenai bahan-bahan penelitian, lokasi, dan waktu pelaksanaan.
Metode yang digunakan ditulis dengan jelas dan sistematis, sehingga peneliti lain yang akan
meneliti ulang dapat melakukan dengan cara yang sama.
Hasil dan Pembahasan :
Hasil yang disajikan secara singkat dapat dibantu dengan tabel, grafik, ilustrasi, dan
foto-foto. Masing-masing data disajikan satu kali pada naskah, tabel, atau grafik. Judul tabel
dan gambar, serta keterangannya, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pembahasan
merupakan tinjauan terhadap hasil penelitian secara singkat tetapi cukup luas. Pustaka yang
diacu diutamakan publikasi primer.
Kesimpulan :
Menyajikan hasil penelitian yang dianggap penting untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Daftar Pustaka :
Mencantumkan semua pustaka yang digunakan dengan menyebutkan nama penulis,
tahun penerbitan, judul, penerbit, kota, volume, nomor, dan halamannya, serta pustaka dari
website. Penulisan daftar pustaka sesuai dengan cara yang ada di dalam jurnal ini.
Keterangan :
1. Nama (-nama) penulis disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat bekerja.
2. Kata-kata kunci sesuai dengan isi artikel, berpedoman pada Agrovoc, dan ditulis setelah
abstrak.
3. Setiap nama organisme yang disebut pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok
disertai nama ilmiahnya.
4. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
5. Nama kimiawi yang disebut untuk pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok supaya
ditulis penuh, tidak boleh menyebutkan nama dagang (merk).
6. Angka desimal dalam bahasa Indonesia ditandai dengan koma dan dalam bahasa Inggris
ditandai dengan titik.
7. Naskah diketik dua spasi kurang lebih 20 halaman kuarto, dalam format Microsoft
Word.
8. Gambar, grafik, dan foto hitam putih harus kontras dan jelas.
9. Tabel tanpa garis pemisah vertikal.
10. Makalah dalam bentuk soft copy dan 2 hard copy, diserahkan/dikirimkan kepada
Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.

Jurnal Tanah dan Iklim adalah penerbitan


berkala yang memuat hasil-hasil penelitian
dalam bidang tanah dan iklim dari para
peneliti baik di dalam maupun di luar Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Redaksi
dapat menyesuaikan istilah atau mengubah
kalimat dalam naskah yang akan
diterbitkan tanpa mengubah isi naskah.
Penerbitan ini juga memuat berita singkat
yang berisi tulisan mengenai teknik dan
peralatan baru, serta hasil sementara
penelitian tanah dan iklim. Surat pembaca
dapat dimuat setelah disetujui Dewan
Redaksi. Dewan Redaksi tidak dapat menerima makalah yang telah dipublikasikan
atau dalam waktu yang sama dimuat dalam
publikasi lain. Pembaca yang berminat
untuk berlangganan atau pertukaran publikasi harap berhubungan dengan Redaksi
Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.

Anda mungkin juga menyukai