Anda di halaman 1dari 23

PENINGKATAN KAPASITAS ASSESMENT

PECANDU NARKOTIKA
TAHUN 2016

KETERGANTUNGAN
NARKOTIKA
MI-2

Terminologi
Narkotika:
(UU RI nomor 35/2009) narkotika: zat atau obat yang
berasal dari tanaman/ bukan tanaman, baik sintetis/
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi/
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan

Terminologi (2)
Narkotika:
narkotikos (yunani): obat apa saja yang menginduksi tidur.
Narkotika lingkup yang lebih sempit = opioda
Dalam konteks legal: senyawa yang sering disalahgunakan
dan bersifat adiktif.

Terminologi (3)
Ketergantungan zat (narkotika):
1. UU No. 35/2009 tentang Narkotika: kondisi yang ditandai
oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus
menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama, dan bila penggunaannya
dikurangi / atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas
2.

pengertian ilmiah: akibat penggunaan zat berulang kali


secara teratur toleransi dan gejala putus zat. Keadaan
ini dapat terjadi sekalipun penggunaannya bertujuan
terapeutik

Terminologi (4)
Th 1987, American Psychiatric Association (APA)
menggunakan istilah ketergantungan zat bagi
penggunaan zat yang tak terkendali dan lazim
disebut sebagai adiksi
Istilah adiksi ditinggalkan karena mengandung
konotasi negatif bagi pasien.

KLASIFIKASI ZAT PSIKOAKTIF MENURUT


PPDGJ III
Alkohol: semua minuman yang mengandung etanol seperti bir,
wiski, vodka, brem, tuak, saguer, ciu, arak.
Opioida: candu, morfin, heroin, petidin, kodein, metadon.
Kanabinoid: ganja atau marihuana, hashish.
Sedatif dan hipnotik: nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
Kokain: daun koka, pasta kokain, bubuk kokain.
Stimulan lain: kafein, metamfetamin, MDMA.
Halusinogen: LSD, meskalin, psilosin, psilosibin.
Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya
minyak cat, lem, aseton.

PENGGOLONGAN NARKOTIKA
MENURUT UU 35/2009
Golongan I: dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan. Digunakan untuk Iptek dan untuk reagensia diagnostik
dan laboratorium setelah disetujui Kepala BPOM (pasal 8).
opium, heroin, kokain, ganja, metakualon, metamfetamin,
amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
Golongan II: berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan
digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir. morfin,
petidin, metadon.
Golongan III: berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan
digunakan dalam terapi. kodein, bufrenorfin.

PATOFISIOLOGI
Manusia cenderung pleasure seeking (mencari
Kesenangan)
Pengalaman (sensasi) yang menyenangkan dicatat di
otak pada brain reward system:
Dalam hal adiksi, neurotransmiter yang paling penting
berperan adalah dopamin (neurotransmiter kenikmatan)

PATOFISIOLOGI (2)
Di dalam otak terdapat senyawa endogen yang berkaitan
dengan rasa nyaman termasuk menghilangkan rasa nyeri
dan kecemasan seperti
endorfin (= morfin),
anandamida (= marihuana/ THC),
dopamin (= kokain, amfetamin),
asetilkolin (= nikotin)

PATOFISIOLOGI (3)
Setiap jenis narkotika dan zat psikoaktif lainnya
memengaruhi kinerja neurotransmiter tertentu sehingga
terjadi:
perubahan perilaku (menjadi lebih aktif atau menjadi
lamban),
perasaan (euforia),
proses pikir (lebih cepat atau lebih lamban),
isi pikir (waham),
persepsi (halusinasi),
kesadaran (menurun atau lebih siaga)
Bila zat psikoaktif yang dikonsumsi berlebih dapat terjadi
intoksikasi akut sampai overdose

PATOFISIOLOGI (4)
Pemakaian narkotika yang lama akan timbul toleransi,
artinya reseptor menjadi kurang responsif dosis >>
Penggunaan heroin/opioida yang lama berakibat
produksi endorfin dalam tubuh <<
Penghentian mendadak heroin/opioida akan
menyebabkan gejala putus opioida.

Risk Factors

Faktor Teman:
Pandangan atas persetujuan
teman atas penggunaan drugs

Protective Factors

Faktor Teman:
Nilai-nilai teman yg
konvensional
Evaluasi kelg yg positif thd
teman anak

Faktor Lain:

Faktor Lain:

Mabuk alkohol dini (sblm usia


13 thn)

Hubungan yg dekat dg org


dewasa di luar kelg

Pengetahuan ttg org dewasa yg


menggunakan Napza

Keterlibatan dlm aktivitas


religius

Tekanan emosional

Keterlibatan dlm aktivitas


prososial

Ketidakpuasan dg hidup

Harga diri yg tinggi

Ray & Ksir, 2004

PENDEKATAN TERHADAP MASALAH


KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
Pendekatan psiko-sosio-kultural
Model ini tidak sependapat dengan model penyakit
Pada bangsa Cina dan Yahudi, prevalensi alkoholisme
rendah:
konsumsi alkohol dalam jumlah yang wajar tidak dilarang,
tetapi penggunaan berlebihan dilarang.

Pada orang Amerika keturunan Irlandia alkoholisme tinggi


karena konsumsi dalam jumlah banyak dapat diterima
Keluarga dg ikatan emosi lemah, kaku, terlalu moralistik
cenderung mendorong anak jadi alkoholik

PENDEKATAN TERHADAP MASALAH


KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
Pendekatan psiko-sosio-kultural (lanjt):
Adiksi terjadi sebagai akibat adanya masalah psikologis yang
mendasarinya, misalnya kecewa, sedih dan kecemasan.
Menurut pendekatan ini, tidak semua pola penggunaan
narkotika termasuk penyalahgunaan:
Experimental user
Recreational user
Situational / Instrumental user
Abuser: penggunaan zat secara patologis paling singkat 1 bulan
lamanya sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan
Compulsive dependent user adalah mereka yang sudah mengalami
ketergantungan

PENDEKATAN TERHADAP MASALAH


KETERGANTUNGAN NARKOTIKA (4)
Pendekatan penyakit:
Dikemukakan pertama kali oleh Jellinek (1960) terkait
alkoholisme:
Terjadi perubahan kimiawi di otak sama seperti pada penyakit
kronis lain

Model ini berpendapat bahwa adiksi adalah penyakit


primer:
Tidak disebabkan adanya gangguan jiwa lain
Model ini mendatangkan profit dan secara politis meluas
kepada masalah lain seperti eating problem, child abuse, judi,
shopping addiction, ketegangan pra-menstruasi, compulsive
love affair.

PENDEKATAN TERHADAP MASALAH


KETERGANTUNGAN NARKOTIKA (5)
Kelebihan model
penyakit
Menghilangkan stigma
terhadap penderita
adiksi
Beri peluang untuk
terapi dan rehabilitasi
Kesempatan untuk
melakukan penelitian
tentang adiksi

Kelemahan model
penyakit
Pasien menjadi merasa
tidak bertanggung jawab
atas perbuatan kriminal
atau kekerasan krn
penyakitnya.
Bila tidak mengalami
masalah sosial, tidak
dianjurkan berobat sebab
tidak memperlihatkan
gejala klasik seorang
dengan adiksi

ASSESMENT pengguna NARKOTIKA


2 langkah untuk menentukan diagnosis gangguan
penggunaan napza:
Skrining mendapatkan info tentang faktor risiko &
masalah terkait-penggunaan napza
Asesmen mendapatkan gambaran klinis yg lebih
mendalam

Tujuan Assesment
1. Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik
2. Meningkatkan kesadaran ttg besar & dalamnya masalah
yg dihadapi klien terkait penggunaan Napza
3. Mengkaji masalah medis & kondisi lain yg perlu
menjadi perhatian khusus
4. Menegakkan diagnosis
5. Memberikan umpan balik
6. Memotivasi perubahan perilaku
7. Menyusun rencana terapi

Komponen penting dlm asesmen


Riwayat penggunaan napza
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status mental
Pemeriksaan penunjang/laboratorium

Prinsip Penegakan Diagnosis


Diagnosis tidak selalu dapat ditegakkan pada asesmen awal
Diagnosis kadang dapat ditegakkan setelah mendapat info
tambahan dari keluarga/ orang yg mengantar
Tegakkan diagnosis berdasarkan info yg didapat ketika
klien dalam kondisi sadar penuh & tak mengalami
intoksikasi akut/ sindrom putus zat
Pastikan diagnosis melalui asesmen ulang bila diperlukan
Pemeriksaan penunjang napza pada kondisi akut dapat
membantu

Tujuan pengisian formulir


Jelaskan kepada klien bahwa u/ mengisi formulir, akan
dilakukan wawancara.
Wawancara merupakan langkah I upaya pemahaman
secara holistik masalah klien.
Pemahaman tersebut bermanfaat dalam penyusunan
rencana terapi yg sesuai

Anda mungkin juga menyukai