Anda di halaman 1dari 6

Tangan Ajaib Sebuah Keluarga

Aku tidak tahu persis kapan kisah itu dimulai. Sebuah episode yang
membekas dan terbingkai dalam ingatan, hingga diri telah berumah tangga dan
menimang satu malaikat kecil kini.
Kata mereka, bude dan pakde, gadis berambut lurus sebagai Rini kecil tiba di
rumah itu ketika sudah bisa berjalan dan fasih mengucap kata.
Rini Berkisah
Aku memiliki dua saudara laki-laki dan satu perempuan. Orangtua kandungku
sedang dalam masa panas ketika itu. Hampir setiap hari bertengkar. Mereka lebih
memilih adu mulut dan saling menyalahkan ketimbang mengurus anak-anaknya.
Padahal kami berempat dalam masa pertumbuhan dan membutuhkan limpahan
kasih sayang.
Cerita-cerita semacam itu ditelurkan oleh beberapa kerabat. Aku hanya
sekadar sepakat karena waktu itu usia masih terlalu dini untuk mengerti. Memori
belum begitu tajam, kecuali untuk kisah yang berkesan dan membekas.
Seorang remaja menginjak dewasa yang merupakan keponakan dari ayah
tinggal bersama keluarga kami di Surabaya. Ia sedang menempuh pendidikan strata
satu ilmu agama Islam di perguruan tinggi terkenal kota Pahlawan. Melihat
keseharian kami, anak-anak yang terlantar, ia merasa iba dan mangajak kami ke
desa tempat orangtuanya tinggal di desa Pelem kota Kediri-Jawa Timur. Untuk
diadopsi sebagai adik, secara lisan. Tidak secara bersamaan, kami diboyong ke
sana dalam waktu yang berbeda-beda.
Setelah beberapa bulan, satu per satu dari kami kembali ke Surabaya. Dua
saudara tuaku mengatakan tidak betah tinggal di desa. Mungkin karena terbiasa
kehidupan kota yang ramai. Ayah menjemput mereka. Lalu adikku terkena gudik.
Ibu tidak tega dan membawanya kembali. Tersisa aku yang sempat berpikir, Kapan
giliranku? Kapan ibu menjemputku?
Aku menunggu sampai batas wajar kesabaran anak kecil. Namun waktu
untukku diboyong kembali tidak pernah ada sekali pun.
Tangan Dingin Mas Yanto
Ialah Mas Yanto, putra tunggal dari bude dan pakde. Laki-laki yang
menjadikanku sebagai adiknya. Ia selalu membawaku serta ke mana pun pergi.
Kacamata yang selalu bertengger di atas hidung, kecuali tidur, membuatnya
berwibawa. Bentuk muka agak kotak dengan bibir tipis tertangkai. Kulitnya sawo

bersih. Rambut hitam sedikit bergelombang. Saat itu aku menganggap putra
tunggal budeku sangat tinggi. Tentu saja karena tubuhku masih mungil.
Setelah Mas Yanto lulus di tahun 1990, praktis aku menetap di Pelem.
Sesekali orangtua kandungku datang menjemput untuk menghabiskan liburan
sekolah di Surabaya. Itu jika Mas mengijinkan.
Banyak yang telah Mas Yanto lakukan untukku. Seperti menemani membaca
buku atau mengerjakan soal. Tidak pernah ia beranjak dari duduk di sisi saat aku
belajar. Tentu untuk menjadikanku pintar dan selalu mendapat ranking satu di kelas.
Hampir setiap hari dirinya membantuku mengulang pelajaran dan mengerjakan PR
sepulang sekolah. Seharusnya aku sangat bersyukur. Namun cara yang mas
terapkan menyisakan sisi psikologi yang ganjil pada diriku.
Di tangannya tergenggam tongkat kecil atau lidi. Itu akan terlecut ke meja
jika ada jawaban yang salah pada buku tugasku. Yang aku lakukan hanya tetap
melanjutkan mengerjakan PR. Karena menangis akan membuat suasana semakin
runyam karena Mas akan marah. Termasuk tidak akan ada makan siang jika aktifitas
belajar itu belum selesai dan benar semua.
Suatu siang, teman-teman mengajakku berenang di sungai. Sudah kukatakan
tidak mau karena Mas pernah melarangku. Karena aliran airnya berasal dari rumah
sakit jadi berbahaya, katanya. Betul atau tidak, aku menuruti. Dewasa ini kupahami
bahwa air sungai di kampung kami sangat multi fungsi. Untuk mandi, mencuci baju,
WC, memandikan hewan ternak, dan masih banyak yang lain. Tentu saja penuh
kuman dan bakteri.
Tapi karena saat itu masih kecil dan ajakan teman-teman berulang kali
akhirnya aku ikut mandi. Sangat menyenangkan. Diiringi riuh tawa. Anak kecil
sangat menyukai air, terlebih yang mengalir. Entah mengapa.
Baru lima menit kesenangan itu kunikmati, dari jauh terlihat ada seorang lakilaki berjalan mendekat. Mas Yanto! Bagaimana ia bisa tahu? Tidak pernah
kutemukan jawaban. Aku bergegas mentas. Terlambat, laki-laki bercelana komprang
itu telah mencengkeram lengan dan menyeretku paksa. Tidak ada kata-kata yang
keluar. Hanya wajahnya yang menampakkan kegeraman.
Di rumah, aku langsung dilempar ke kamar mandi. Diguyur dengan keras
berulang-kali sambil sesekali terdengar kalimat, Dikandani gak

dirungokne!

1)

Rasakne! Mbok baleni meneh opo gak! Diri tidak berdaya. Air terus-menerus
terjun dari ubun-ubun diselingi tanganku mengusap-usap muka karena mata yang
kian terasa pedas. Napas memburu mencari oksigen. Berulang aku memohon
ampun di tengah tangisan yang menjadi. Juga pakde dan bude yang suaranya

tertangkap

menghentikan

tindakan

membabi

buta

Mas

Yanto.

Nihil,

tidak

diindahkan. Seolah ia hanya ingin melampiaskan amarah.


Tak lama, seseorang menangkap kedua pundak dan menuntunku dengan
cepat berlalu dari sana. Ah, pakde. Namun tindakan heroik itu tidak serta-merta
menghentikan linangan air mata. Aku masih tergugu. Beberapa detik pakde beradu
mulut dengan Mas Yanto, hingga tidak kulihat lagi apa yang terjadi karena bude
membawa tubuh kuyupku ke kamar.
Bude dan Pakde Pun Berkarya
Siang itu aku hanya ingin bermain. Seragam merah-putih telah berganti baju
rumah. Katanya boleh makan siang atau pun bermain jika aku sudah melakukan itu.
Berarti mereka berbohong jika keinginanku diabaikan. Nyatanya bude masih
memaksaku untuk tidur sepulang sekolah.
Karena ingin hasrat terpenuhi, aku merajuk dan merengek-rengek. Mungkin
bude risih, sehingga jari-jarinya meluncur ke kedua pahaku dan meninggalkan jejak
biru di sana. Jeritanku tidak mengurangi rasa sakit. Jiwitan itu terasa panas. Tubuhku
pun berangsur ke atas ranjang. Dengan sesenggukan menghias di balik bantal yang
tertutup rapat untuk menghindari terdengarnya suara tangis. Jika sampai ada yang
tahu, kemarahan akan terulang. Atau paling tidak akan ada bentakan yang
meluncur ke telinga.
***
Tetangga mengadakan pesta pernikahan mewah putri mereka dengan
menyewa wayang kulit. Malam itu ada temu manten. Dalam adat Jawa, pengantin
laki-laki dilarang bertemu dengan pihak perempuan sebelum prosesi temu tadi
terlaksana. Biasanya rombongan tiba beberapa jam sebelumnya dan njujug2) di
salah satu rumah tetangga yang ditunjuk untuk melakukan persiapan seperti
berhias dan berganti kostum.
Ruang tamu ramai sekali. Ternyata rombongan keluarga pengantin laki-laki
memakai rumah kami sebagai tempat jujugan3). Aku hanya mengintip dari jauh,
karena pakde melarang mendekat. Beberapa lama, mereka semua keluar dan
terdengar gending Jawa di beberapa buah pengeras suara seukuran pintu.
Entah mengapa aku tertarik melihat ruang tamu yang baru ditinggalkan.
Karena gelap, tanganku mencoba meraih sakelar lampu. Ruangan pun terang. Ada
banyak sekali kue aneka ragam. Anak kecil ini takjub, tidak pernah melihat
makanan sebanyak itu. Pemandangan menggiurkan itu bertahan sekian detik. Tibatiba pakde muncul dari arah belakang dan langsung mendaratkan tamparan di pipi
sambil berkata, Lancang!

***
Ada cerita lain ketika aku telah menginjak bangku sekolah menengah
pertama.

Kegemaranku

adalah

bermain

basket.

Selain

olahraga

yang

menyenangkan, aku menemukan banyak teman. Kesedihan demi kesedihan


terlupakan di sana.
Aku dan teman-teman memiliki waktu tertentu untuk basket. Biasanya dua
jam selepas sekolah, untuk makan siang dan salat. Karena waktu janjian bertemu
teman-teman di lapangan telah mepet, gegas aku meraih kendaraan pribadi.
Namun terkunci. Aku menanyakan pada bude tempat kunci sepedaku. Biasa beliau
yang menyimpannya. Setelah diberi tahu, kakiku melangkah cepat menuju tempat
yang dimaksudkamar bude.
Setelah masuk, bola mataku menari ke seluruh ruangan. Sekian detik, kunci
telah tertangkap retina mata. Beberapa sentimeter akan teraih, tiba-tiba pakde
menarik pundak dan melemparkan telapak tangannya di pipiku. Dasar maling!
ucapnya. Seolah tidak peduli dan enggan memberikan alasan, buru-buru aku
mengambil apa yang kuinginkan. Berlari menuju sepeda dan mengayuhnya keluar
rumah.
Di lapangan basket telah tiba beberapa anak. Ada yang latihan dribble
menepuk-tepuk bola agar terpantul sambil berlari kecil dari ujung lapangan ke
ujung yang lain. Ada yang berulang melakukan shooting, memasukkan bola ke
dalam keranjang basket. Tak sedikit yang hanya melihat anak-anak beraksi sambil
mengobrol.
Tanpa pikir panjang kakiku masuk ke toilet di dekat lapangan terlebih dulu.
Menumpahkan air mata yang tertahan. Tidak lama setelah itu aku mencuci muka
sebelum akhirnya melangkah menuju gerombolan kawan-kawan.
Psikologi yang Telah Tumpang
Mas Yanto memiliki calon istri yang bekeja di balai kesehatan ibu dan anak.
Perempuan itu tidak begitu cantik namun baik hati. Ia sering membawakan banyak
snack. Atau berbagai jenis susu dengan aneka rasa. Tentu saja mudah baginya
karena perempuan berambut lurus panjang itu seorang bidan. Orang-orang di
tempat itu memanggilnya Mbak Dian.
Mbak Dian pernah mengajak salat zuhur berjemaah di masjid kecil balai. Aku
sangat malu jika mengingat ini. Rini kecil pernah mengompol di sana! Sebenarnya
aku tidak pernah mengharapkan kejadian seperti itu. Hanya saja keinginan
membuang air kecil sudah tidak tertahan di tengah-tengah salat. Ingin lari ke kamar
mandi namun ada sesuatu yang membuatku urung. Rasa takut.

Itu terjadi mungkin karena mas Yanto, bude dan pakde sering menghujaniku
kata tidak boleh atau jangan padaku. Sehingga keberanian seorang anak yang
seharusnya ada sejak ia lahir semakin tenggelam. Beberapa artikel menyebutkan
bahwa kata-kata negatif semacam itu bisa merusak ratusan ribu atau bahkan jutaan
sel otak.
Babak Baru
Setelah besar, aku baru menyadari bahwa setiap kepingan kejadian masa
kecil menyisakan luka yang mendalam. Menjadikan diri seorang pemalu, introvert,
susah menumbuhkan keberanian, takut mengambil keputusan dan cenderung kaku
dalam bergaul.
Namun bagaimana pun aku ingin berterima kasih pada Mas Yanto. Didikan
kerasnya menjadikanku disiplin dan mandiri. Ah, andai ia masih bernapas, tentu niat
ini bisa tersampaikan.
Kecelakaan yang mengambil nyawa Mas Yanto terjadi di tahun 1996, ketika
aku kelas empat SD. Tidak ada air yang menetes dari mataku saat itu. Namun
dewasa ini terkadang kesedihan menyergap ketika aku mengingat kejadian yang
menyenangkan bersamanya. Berharap itu bisa terulang. Tentu saja tawa itu ada
saat Mas menjaga dan mengasuhku. Sehingga diri pun masih memiliki sisi
keceriaan.
Saat ini aku telah menikah dan memiliki seorang putri. Aku berusaha
memberi limpahan kasih sayang dan pendidikan spiritual yang terbaik untuknya.
Karena tidak ingin ia mengalami hal serupa yang pernah kualami. Orang tua mana
yang tidak menginginkan kebaikan bagi anaknya? Itu harus dijadikan prinsip.
Dengan catatan selama hal-hal positif dan mendidik. Sehingga banyak ilmu
parenting yang kucari, baca dan dengar dari teman sesama ibu rumah tangga atau
dari kawan-kawan muslimah. Agar bisa menjadi ibu yang baik. Tidak sedikit yang
sudah kupraktekkan. Alhamdulillah, si kecil tumbuh sehat dan lincah.
Namun beberapa bulan terakhir ia mendadak sering tantrum. Ada yang
memberi informasi bahwa itu memang masa perkembangan di usia 1-3 tahun.
Namun

beberapa

menyampaikan

opini

bahwa sikap

emosional

anak

yang

berlebihan dipengaruhi oleh cara ibu dalam mengasuh. Ibarat benih, menanam
kebaikan akan tumbuh sebagai kebaikan dan sebaliknya.
Jujur, khilaf memang pernah ada seperti bentakan atau teriakan yang
terlontar pada putri kecilku. Tidak satu-dua kali. Sikapnya yang sangat aktif
terkadang membuat badan pegal jika terus mengikuti geraknya ke sana ke mari.

Karena banyak pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan sendiri tiap harinya.
Sehingga terkadang itu menyebabkan emosi naik-turun. Tapi tidak jarang pula
menyisakan sesal yang mendalam.
Sering di tengah malam atau saat-saat hening, aku mengingat dan
merangkum kejadian sehari-hari. Bahwa apa yang tertanam pada sisi emosionalku
adalah buah dari kisah-kisah yang kualami sebagai Rini kecil. Kesedihan demi
kesedihan, kekerasan fisik yang kerap diterima membuat diri menjadi pasif dan
labil.
Alasan yang membuatku tetap bertahan adalah rida Allah. Hampir semua
manusia mengharapkan rahmat-Nya untuk menggapai surga yang indah. Termasuk
diri yang masih berusaha untuk tidak berhenti belajar. Tentang apapun asal
bermanfaat. Karena dari Sang Maha tersebut pula tempat memohon kekuatan untuk
bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak, juga pribadi yang berguna bagi
sesama. Karena orang tua adalah panutan, selayaknya mereka menampakkan halhal yang baik-baik saja.
Keterangan :
1)
Diberi tahu tidak didengarkan! Rasakan! Kamu ulangi lagi apa tidak?
2)
Langsung menuju
3)
Tujuan
***
Usulan Judul Buku :
Kenangan Membentuk Psikologi
Masa Kecil Menentukan Psikologi
Psikologi yang Tumpang
Tangan Ajaib Sebuah Keluarga

Anda mungkin juga menyukai