Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak yang mengalami retardasi mental dalam perkembangannya berbeda
dengan anak-anak normal. Anak dengan reardasi mental mempunyai
keterlambatan dan keterbatasan dalam semua area perkembangan sehingga
mereka mengalami kesulitan untuk memiliki kemampuan dalam merawat diri
sendiri dan cenderung memiliki ketergantungan dengan lingkungan terutama
pada orang tua dan saudara-saudaranya.
Untuk mengurangi ketergantungan dan keterbatasan akibat kelainan yang
diderita anak retardasi mental, menumbuhkan kemandirian hidup dalam
bermasyarakat dan kemandirian dalam merawat diri sendiri tanpa bantuan
orang lain dapat dilakukan dengan pendidikan khusus, latihan-latihan,
memberikan pengetahuan dan ketrampilan tentang kegiatan kehidupan seharihari (Activity Daily Living/ADL) (Effendi, 2008).
Keberhasilan anak berkelainan dalam meniti tugas perkembangannya
tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga,
khususnya kedua orang tua. Dalam membimbing dan mendidik anaknya orang
tua dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pendidikan (Wong
dalam Supartini, 2004)). Pendidikan adalah salah satu yang mempengaruhi
pola pikir dan pandangan orang tua dalam mengasuh, membimbing dan
mendidik anaknya sehingga mempengaruhi kesiapan orang tua untuk
1

menjalankan peran pengasuhannya. Tetapi fakta yang ditemukan terdapat


beberapa hal yang menyebabkan anak yang tinggal bersama orang tuanya
tidak mencapai tingkat kemampuan perawatan diri yang baik.
Menurut WHO, berdasarkan standar skor dari kecerdasan kategori AAMR
(American Association of Mental Retardation) gangguan mental manual
klasifikasi penyakit di Indonesia menempati urutan kesepuluh di dunia.
Sedangkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, dari 222 juta penduduk
Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat.
Sedangkan populasi anak tunagrahita menempati angka paling besar
dibanding dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi
tunagrahita di Indonesia saat ini diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia,
sekitar 6,6 juta jiwa. (Sako dan Hapsara, 2006).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari retardasi mental ?
2. Bagaimana etiologi retardasi mental?
3. Bagaimana manifestasi klinis retardasi mental?
4. Bagaimana masalah perilaku sosial anak retardasi mental ?
5. Bagaimana patofisiologi retardasi mental ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang retardasi mental ?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis retardasi mental ?
8. Bagaimana askep teoritis retardasi mental ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari retardasi mental.
2. Untuk mengetahui etiologi retardasi mental.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis retardasi mental.
4. Untuk mengetahui patofisiologi retardasi mental.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang retardasi mental.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis retardasi mental.
7. Untuk mengetahui askep teoritis retardasi mental.

BAB II
BAB PEMBAHASAN
A. Definisi Retardasi Mental
Menurut International Stastistical Classification of Diseases and
Related Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama
ditandai oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan,

skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua


tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau
gangguan fisik lainnya. Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurangkurangnya tiga sampai empat lipat pada populasi ini dibanding dengan
populasi umum (Lumbantobing, 2006).
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-TR
(DSM IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual
disertai oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua area
kemampuan: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup,
kemampuan

sosial/interpersonal,

penggunaan

sumber

komunitas,

kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang,


kesehatan, keamanan dan harus terjadi sebelum usia 18 tahun. Di samping
menggunakan kriteria IQ (kuosien inteligensi) bahwa perlu diperhatikan
kriteria sosialnya, kemampuan menyesuaikan di lingkungan hidupnya.
American Association on Mental Retardation (AAMR, 2002) juga
menguraikan bahwa retardasi mental adalah suatu keadaaan dengan ciriciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang
bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif yang
diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis. Keadaan
ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).
American

Association

on

Mental

Retardation

(AAMR)

menggunakan suatu pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial


4

yang mencakup 5 dimensi yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif,


partisipasi, interaksi, dan peran sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks
budaya dan juga lingkungan. Oleh karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan
hanya merupakan petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku
dalam memandang keabsahan permasalahan lintas budaya. Derajat
retardasi mental dipengaruhi berbagai faktor seperti misalnya terdapatnya
berbagai

disabilitas

pendidikan,

sikap

(misalnya
dari

panca-indera),

caregiver

dan

tersedianya

stimulasi

yang

sarana

diberikan

(Kusumawardhani, 2013).
B. Kriteria Diagnostik Retardasi Mental
Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004)
adalah:
1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah
pada seorang individu melakukan tes IQ.
2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada
fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang
diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal dua
dari bidang berikut: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan
hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas,
kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang,
kesehatan, keamanan.
3. Terjadi sebelum umur 18 tahun
5

C. Klasifikasi Retardasi Mental


Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan
kelemahan intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR
(2004), yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok
retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk
sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia
pra sekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial
dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensori motor,
dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental,
sampai usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh
kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD).
Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial
dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok
retardasi yang dapat dilatih (trainable). Sebaiknya penggunaan terminologi
dapat dilatih ini tidak dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari
kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk
6

sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kebanyakan individu dengan


tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak
dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan
pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri.
Mereka juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan
okupasional namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik
lebih dari tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di
lingkungan yang sudah dikenal. Selama remaja, mereka kesulitan dalam
mengenal norma-norma pergaulan lingkungan sehingga mengganggu
hubungan persaudaraan. Pada masa dewasa sebagian besar dapat
melakukan kerja yang kasar (unskilled) atau setengah kasar (semi skilled)
di bawah pengawasan workshop yang dilindungi. Mereka dapat
menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan dengan pengawasan
(supervisi).
3. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok
retardasi mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu
berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan
dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana. Mereka
memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran praakademik, seperti mengetahui huruf dan perhitungan yang sederhana,
tetapi bisa Universitas Sumatera Utara

menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa kata.


Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila
diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan
di masyarakat, bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang
menyertai yang membutuhkan perawatan khusus.
4. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok
retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat
diidentifikasi

kelainan

neurologik,

yang

mengakibatkan

retardasi

mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka menunujukkan gangguan yang


berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus
diri dan kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan
yang adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di
tempat yang disupervisi dan dilindungi.
5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan
Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya
digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak
bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anakanak, remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami hendaya yang terlalu
berat atau tidak bisa bekerjasama untuk menjalani tes, atau pada bayi, saat
ada keputusan klinik dari gangguan fungsi intelektual secara signifikan,
tetapi tes yang ada tidak dapat menghasilkan nilai IQ (contoh: The Bayley

Scales of Infant Development, Cattell Infant Intelligence Scales, dan


lainnya). umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji
adanya retardasi mental kecuali pada hendaya berat.
D. Etiologi Retardasi Mental
Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah
biologis yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun
yang berasal dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan
bayi, dan penyakit-penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anakanak (Leonard & Wen, Haugaard, 2008).
1. Abnormal kromosom dan gen
a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah
kromosom pada retardasi mental. Sindroma Down umumnya
terjadi karena kromosom 21 dari ibu gagal terpisah selama proses
meiosis (pembelahan sel yang terjadi selama pembentukan sel
reproduksi). Ketika sepasang kromosom yang tidak terpisah ini
bersatu dengan kormosom 21 dari ayah, anak tersebut menerima
tiga salinan koromosom 21 satu (label trisomi 21 juga digunakan
untuk mendeskripsikan Sindroma Down). Kasus langka ketika
Sindroma Down disebabkan oleh translokasi bagian kromosom 21
ke kromosom 14.
Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000
kelahiran. Karena abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu
9

dalam empat per lima kasus, prevalensi Sindroma Down sangat


terkait dengan usia ibu. Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1
dari 1000 kelahiran pada ibu yang berusia dibawah 33 tahun dan
sekitar 38 dari 1000 kelahiran pada ibu yang berusia diatas 44
tahun. Anak dengan sndroma Down menunjukkan hendaya khas
dalam mengekspresikan bahasa, walaupun mereka mengerti
bahasa. Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya
terdiri dari kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam
artikulasi, sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk
dimengerti. Anak Sindroma Down sering digambarkan sangat
bersosialisasi dan lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku
dibandingkan anak dengan penyebab organik bentuk retardasi
mental.
b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi
mental yang diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran
pada laki-laki dan 1 dari 8000 kelahiran pada perempuan.
Sindroma Fragile X disebabkan oleh mutasi pada bagian lengan
panjang kromosom X. Mutasi ini berada pada gen yang saat ini
disebut Fragile X Mental Retardation Gene (FMR1).
Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan
laki-laki karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap
sel. Karena perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah
kromosom X dengan sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi
10

aktif dalam banyak sel yang juga terdapat sebuah kromosom X


dengan sebuah gen FMR1 termutasi, sehingga sel mereka lebih
sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang hanya mempunyai satu
kromosom X, semua sel dengan kromosom X dengan gen FRM1
yang termutasi akan menjadi rusak.
Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X
mengalami gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat.
Anak dengan sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat,
mengulangnya beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti.
Mereka juga menunjukkan perilaku kecemasan sosial yang tinggi
yang disebabkan oleh kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari
sistem saraf otonom, menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi
sosial.
c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh
sebuah mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang
ditemukan pada bagian lengan pendek pada kromosom 12.
Prevalensi PKU diperkirakan 1 dari 10.000 kelahiran diantara
keturunan Eropa bagian barat dan prevalensi lebih sedikit pada ras
dan suku keturunan lain.
d. Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada
kromosom 7. IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75%
berada pada rentang 50-70 sehingga memperlihatkan kesulitan

11

belajar. Anak-anak dengan sindroma ini sangat bersosialisasi dan


selalu bersikap ramah dan bersahabat.
Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan
teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau
kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan
tindakan

hiperaktif

yang

membuat

temannya

merasa

menjengkelkan. Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering


menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi dan mengatakan
bahwa mereka sangat kuatir terhadap waktu dan mempunyai
banyak ketakutan.
e. Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom
15 dan sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari
kromosom di pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari
1.000 kelahiran. IQ pada umumnya berada pada rata-rata rendah
sampai tingkat sedang pada retardasi mental. Ciri-ciri yang
menonjol adalah obesitas. Anak dan dewasa dengan sindroma ini
hampir selalu lapar dan merasa asyik dengan makanan. Selain itu,
banyak yang mendeskripsikan bahwa mereka memiliki emosi yang
labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah, sedikit sensitif dan
cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit hati dengan
mudah.

12

f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang


sama

dengan

sindrom

Prader-Willi

yaitu

kromosom

15,

penghapusan terjadi dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang


dialami oleh sindroma ini lebih berat dibandingkan pada sindroma
Prader-Willi. Kebanyakan anak tidak dapat berbicara dan memiliki
fitur wajah yang tidak normal, sering menunjukkan ekspresi wajah
yang bahagia.
2. Racun yang berasal dari lingkungan
Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi mental
berat atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat memberikan
dampak negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ berkurang 10
poin).
a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal
dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek
bahaya dan permanen. Menelan timbal dalam jumlah yang rendah
dapat berefek ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi
kognitif, seperti rendahnya skor IQ dan masalah membaca.
b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.
c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa
sangat berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat
bervariasi pada janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol
yang sama. Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak
13

mengalami fetal alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya


massa otak anak, hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan
hiperaktif.
d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama
kehidupan bisa membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya
hanya ketika malnutrisi berat. Trismester tiga dan bulan keenam
kehidupan merupakan waktu yang paling sensitif karena saat itu
perkembangan otak terjadi.
e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif
pada anak adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis
sangat mudah tertransfer dari ibu kepada janinnya.
f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif.
Jatuh dari sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai
cedera.
E. Manifestasi Klinis
1. Gangguan kognitif ( pola, proses pikir )
2. Lambatnya ketrampilan ekspresi dan resepsi bahasa
3. Gagal melewati tahap perkembangan yang utama
4. Lingkar kepala diatas atau dibawah normal ( kadang-kadang lebih
besar atau lebih kecil dari ukuran normal )
5. Kemungkinan lambatnya pertumbuhan
6. Kemungkinan tonus otot abnormal ( lebih sering tonus otot lemah )
7. Kemungkinan ciri-ciri dismorfik
8. Terlambatnya perkembangan motoris halus dan kasar
F. Terapi Retardasi Mental

14

Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok


gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik
untuk retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier
(Kaplan & Sadock, 2010).
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan

atau

menurunkan

kondisi

yang

menyebabkan

perkembangan gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan


tersebut termasuk (1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat umum tentang retardasi mental, (2) usaha terusmenerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk
memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, (4)
eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan sistem saraf
pusat. Untuk anak-anak dan ibu dengan status sosioekonomi rendah,
pelayanan medis prenatal dan postnatal yang sesuai dan berbagai program
pelengkap dan bantuan pelayanan sosial dapat menolong menekan
komplikasi medis dna psikososial.
b. Pencegahan sekunder dan tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah
dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan

15

penyakit dan untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi


setelahnya.
Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan
perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan
sosial yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas
yterapi modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat
kecerdasan anak.
(1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak
dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang
menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan
latihan kejuruan.
(2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.
(3) Pendidikan keluarga
(4) Intervensi farmakologis
G. Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental
Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H.
Erickson, fase perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan
fase itu secara biologik dan psikologik individu mempunyai potensi
kesiapan untuk maju ke taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi, bila
dasar-dasar organik biologik tidak defektif dan mempunyai bawaan
(genetic endowment) yang normal (Kusumawardhani, 2013).

16

Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam


hubungan dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman
yang meliputi proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja,
2011).
Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya
dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan
perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga
seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di
bawah usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai
kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979 dalam Efendi,
2006).
Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental
sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena
tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah
lakunya tidak sesuai dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka
memang dewasa, tetapi perilaku yang ditampilkan tampak seperti anakanak. Akibatnya anak tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya
ditolak lingkungan (Kemis & Rosnawati, 2013).
Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam
memenuhi segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan
pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari

17

mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial yang


salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian yang salah tersebut seperti
kompensasi

yang

berlebihan,

pengalihan

(displacement),

nakal

(delinquent), regresi, destruksi, agresif dan lain-lain (Efendi, 2006).


Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati
(2013), yaitu:
1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan
duduk lama
2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit
teman, mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel Universitas
Sumatera Utara
3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu
kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua
obyek yang ada di sekitarnya
4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak
berhasil dan disalahkan orang lain (teman, guru)
5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika
merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen,
melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori
dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela

18

7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul


pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak
rambut
8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak
kooperatif
9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan
berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.
Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan
ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku
moral. Tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak
dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan
ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan
Steneman (1962, 1969). Ketika anak merasa takut, tegang dan kehilangan
orang yang menjadi tempat bergantung,kecenderungan ketergantungannya
bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak retardasi mental lebih
banyak bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan
sosial (Soemantri 2007).
Mc Iver menggunakan Childrens Personality Quaestionare dan
menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak
matang, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsif, lancang dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah
dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan

19

cenderung melanggar ketentuan. Anak retardasi mental cenderung


berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap
orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial
sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi (Somantri, 2007).
H. Kondisi Emosi Anak Retardasi Mental
Perkembangan dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan
derajat berat ringannya retardasi mental tersebut. Anak retardasi mental
berat tidak dapat menunjukan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri.
Mereka dapat menghindar dari bahaya. Pada anak retardasi mental sedang,
dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada
emosi-emosi yang sederhana. Pada anak terbelakang mental ringan,
kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi
masih terbatas. Mereka dapat memperlihatkan rasa sedih namun sukar
untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka dapat mengekspresikan
kegembiraan namun sulit mengungkapkan kekaguman (Somantri, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver (dalam
Somantri, 2005) dengan menggunakan Childrens Personality Questionare
ternyata anak keterbelakangan mental memiliki beberapa kekurangan.
Anak retardasi mental laki-laki memiliki kekurangan berupa tidak
matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat
dipercaya, impulsif, lancang, dan merusak. Sedangkan anak retardasi
mental wanita memiliki kekurangan berupa mudah dipengaruhi, kurang

20

tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar


ketentuan. Berbagai emosi positif yang dimiliki oleh anak retardasi mental
adalah seperti cinta, girang, dan simpatik, emosi ini tampak pada anak
retardasi mental yang masih muda terhadap peristiwa-peristiwa yang
bersifat konkret. Jika lingkungan positif terhadapnya maka mereka akan
lebih menunjukan emosi tersebut. Emosi-emosi yang negatif adalah
perasaan takut, giris, marah, dan benci. Biasanya rasa takut muncul pada
hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sosial.
Secara umum dapat disimpulkan kondisi emosi anak Retardasi
Mental tergantung pada seberapa berat retardasi mental yang diderita.
Anak dengan retardasi mental ringan kondisi emosinya hampir sama
dengan kondisi emosi anak normal, anak retardasi mental ringan kondisi
emosinya terbatas pada emosi yang sederhana. Sedangkan anak retardasi
berat emosinya sudah mulai sulit terkontrol hal ini disebabkan pula karena
hubungan sosial yang terganggu.
I. Patofisiologi
Retardasi mental merujuk pada keterbatasan nyata fungsi hidup
sehari-hari. Retardasi mental ini termasuk kelemahan atau ketidakmampuan
kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak ( sebelum usia 18 tahun ) yang
ditandai dengan fungsi kecerdasan di bawah normal ( IQ 70 sampai 75 atau
kurang ) dan disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada sedikitnya dua area
fungsi adaftif : berbicara dan berbahasa , kemampuan/ketrampilan merawat

21

diri,

kerumahtanggaan,

ketrampilan

sosial, penggunaan

sarana-sarana

komunitas, pengarahan diri , kesehatan dan keamanan , akademik fungsional,


bersantai dan bekerja.
Penyebab retardasi mental bisa digolongkan kedalam prenatal,
perinatal dan pasca natal. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini
pada masa kanak-kanak.
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan kromosom
2. Pemeriksaan urin, serum atau titer virus
3. Test diagnostik seperti : EEG, CT Scan untuk identifikasi
abnormalitas perkembangan jaringan otak, injury jaringan otak
atau trauma yang mengakibatkan perubahan.
K. Penatalaksanaan Medis
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat digunakan :
1. Obat-obat psikotropika (tioridazin, mellaril) untuk remaja dengan
perilaku yang membahayakan diri sendiri.
2. Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda
gangguan konsentrasi/gangguan hyperaktif.
3. Antidepresan (imipramin, tofranil).
4. Karbamazepin (tegrevetol) dan propanolol (Inderal).
L. Askep Teoritis Retardasi Mental
A. Pengkajian
Pengkajian

terdiri

atas

evaluasi

komprehensif

mengenai

kekurangan dan kekuatan yagberhubungan dengan ketrampilan adaptif ;


komunikasi, perawatan diri, interaksi sosial, penggunaan sarana-sarana di
masyarakat pengarahan diri, pemeliharaan kesehatan dan keamanan,
22

akademik fungsional, pembentukan ketrampilan rekreasi dan ketenangan


dan bekerja.
Riwayat Kesehatan :
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien menunjukkan Gangguan kognitif (pola, proses
pikir), Lambatnya keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa, Gagal
melewati tahap perkembangan yang utama, Lingkar kepala diatas
atau dibawah normal (kadang-kadang lebih besar atau lebih kecil
dari ukuran normal), lambatnya pertumbuhan, tonus otot abnormal
(lebih sering tonus otot lemah), ciri-ciri dismorfik, dan
terlambatnya perkembangan motoris halus dan kasar.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan besar pasien pernah mengalami Penyakit
kromosom Trisomi 21 (Sindrom Down), Sindrom Fragile X,
Gangguan Sindrom (distrofi otot Duchene), neurofibromatosis
(tipe 1), Gangguan metabolisme sejak lahir (Fenilketonuria),
Abrupsio plasenta, Diabetes maternal, Kelahiran premature,
Kondisi neonatal termasuk meningitis dan Perdarahan intracranial,
Cedera kepala, Infeksi, Gangguan degenerative.
3. Riwayat kesehatan keluarga

23

Ada kemungkinan besar keluarga pernah mengalami


penyakit yang serupa atau penyakit yang dapat memicu terjadinya
retardasi mental, terutama dari ibu tersebut.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala

: mikro/makrosepali, plagiosepali (batok kepala

tidak simetris)
2. Rambut

: pusar ganda, rambut jarang / tidak ada, halus,

mudah putus dan cepat berubah


3. Mata
: mikroftalmia, juling, nistagmus, dll
4. Hidung
: jembatan / punggung hidung mendatar, ukuran
kecil, cuping melengkung keatas, dll
5. Mulut
: bentuk V yang terbalik dari bibir atas, langit6.
7.
8.
9.

langit lebar/ melengkung tinggi


Geligi
: odontogenesis yang tidak normal
Telinga
: keduanya letak rendah; dll
Muka
: panjang filtrum yang bertambah, hipoplasia
Leher
: pendek; tidak mempunyai kemampuan gerak

sempurna
Tangan

meruncing, ibu jari gemuk dan lebar, klinodaktil, dll


Dada & Abdomen : terdapat beberapa putting, buncit, dll
Genitalia
: mikropenis, testis tidak turun, dll
Kaki
: jari kaki saling tumpang tindih, panjang &

: jari pendek dan tegap atau panjang kecil

tegap/panjang kecil meruncing diujungnya, lebar, besar, gemuk


C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d kelainan fungsi
Kognitif
2. Gangguan komunikasi verbal b.d kelainan fungsi kognitif
3. Risiko cedera b.d. perilaku agresif / ketidakseimbangan mobilitas fisik
4. Gangguan interaksi sosial b.d. kesulitan bicara / kesulitan adaptasi
sosial
5. Gangguan proses keluarga b.d. memiliki anak retardasi mental

24

6. Defisit perawatan diri b.d. perubahan mobilitas fisik / kurangnya


kematangan perkembangan
D. Intervensi keperawatan
1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d kelainan fungsi

Kognitif
Tujuan :
Agar proses berfiki kognitif dapat teratasi.
Mempertahankan atau melakukan kembali orientasi mental dan
realisasi biasanya.
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak
2. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi

perkembangan anak yang optimal.


3. Berikan perawatan yang konsisten
4. Berikan intruksi berulang dan sederhana
5. Berikan reinforcement positif atas hasil yang dicapai anak
2. Gangguan komunikasi verbal b.d kelainan fungsi kognitif
Tujuan :
Anak berfungsi Optimal sesuai tingkatannya
Keluarga dan anak mampu menggunakan koping terhadap tantangan
karena adanya ketidakmampuan
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak
2. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi
3.
4.
5.
6.

perkembangan anak yang optimal.


Berikan perawatan yang konsisten
Tingkatkan komunikasi verbal dan stimulasi taktil
Berikan intruksi berulang dan sederhana
Berikan reinforcement positif atas hasil yang dicapai anak

3. Risiko cedera b.d. perilaku agresif / ketidakseimbangan mobilitas fisik


Tujuan: Klien memperlihatkan upaya menghindari cedera (jatuh) atau
cidera (jatuh) tidak terjadi.

25

Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa


modifikasi lingkungan dan pendidikan kesehatan dalam 1 hari
kunjungan diharapkan Klien mampu:
1. Mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan
kemungkinan cidera.
2. Mengidentifikasi tindakan preventif atas bahaya tertentu,
3. Melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri
dari cidera.
Intervensi
a. Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko cedera pada klien.
b. Tulis dan laporkan adanya faktor-faktor resiko.
c. Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman sesuai hasil
pengkajian pada poin 1.
d. Monitor klien secara berkala
e. Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera
4. Gangguan proses keluarga b.d. memiliki anak retardasi mental
Tujuan :
Keluarga menerima kondisi anaknya.
Keluarga membuat keputusan yang realistis berdasarkan kebutuhan
dan kemampuan mereka.
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak
2. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi
perkembangan anak yang optimal.
3. Berikan reinforcement positif atas hasil yang akan dicapai anak
4. Berikan Pendidikan pada Orangtua :
Perkembangan anak untuk tiap tahap usia
Dukung keterlibatan orangtua dalam perawatan anak
Bimbingan antisipasi dan manajemen menghadapi perilaku

anak yang sulit


Informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok, dan
lain-lain

26

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya
keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia
yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental
dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik
lainnya. Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga
sampai empat lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi umum.
Secara umum dapat disimpulkan kondisi emosi anak Retardasi
Mental tergantung pada seberapa berat retardasi mental yang diderita.
Anak dengan retardasi mental ringan kondisi emosinya hampir sama
dengan kondisi emosi anak normal, anak retardasi mental ringan kondisi
emosinya terbatas pada emosi yang sederhana. Sedangkan anak retardasi
berat emosinya sudah mulai sulit terkontrol hal ini disebabkan pula karena
hubungan sosial yang terganggu.

27

B. Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi mahasiswa/mahasiswi
Politeknik Kesehatan Kemenkes Pangkal Pinang.

Untuk kedepannya

diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk lebih baik lagi dalam
pembuatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

28

http://www.saripediatri.idai.or.id/pdf diakses pada tanggal 27 April 2016


http://www.scribd.com/mobile/doc/120776435 diakses pada tanggal 27 April 2016

29

Anda mungkin juga menyukai