Rani Rochmatika X Ak 2
Rani Rochmatika X Ak 2
Soekarno
Oleh:
X AKUNTANSI 2
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan buku digital tentang Pahlawan
Indonesia yaitu Ir. Soekarno.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga buku digital tentang pahlawan
Indonesia yaitu Ir. Soekarno dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Soekarno merupakan sosok yang jasanya tidak bisa dilupakan begitu saja
dalam membangun negeri Ini. Peranan besar yang telah dilakukan oleh orang ini,
terutama dalam hal memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan akan
selalu terpatri sebagai jasa-jasa yang tidak akan tergerus selamanya oleh masa.
Memang, jika kita amati, Sosok Bapak Bangsa ini merupakan pribadi yang unik,
bersama Drs. Muhammad Hatta satu sama lainnya menjadi pribadi yang saling
melengkapi dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada di antara mereka.
Sebagai sosok yang memiliki label penggerak massa, Soekarno memiliki
peranan sebagai pemain depan yang dengan jelas terlihat bagaimana pola pikir dan
cara berbicaranya Ketika berada di depan podium untuk berpidato, Soekarno adalah
singa podium yang berjuluk Penyambung Solidaritas Rakyat. Ia memainkan peran
dalam menyampaikan pesan persatuan dan kesatuan untuk tercapainya Indonesia
merdeka.
B.
Rumusan Masalah
Makalah ini akan membatasi pengangkatan materi tentang Ir. Soekarno dalam
2 rumusan masalah yang cukup menarik perhatian yaitu tentang :
1.
2.
3.
4.
C.
Tujuan
Mengetahui berbagai hal yang menarik dalam sikap dan sepak terjang serta
pemikiran Ir. Soekarno terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berpengaruh sampai di tingkat dunia.
4. Mengetahui dan meneladani konsistensi dari sikap dan pemikiran Ir. Soekarno
dalam perjuangannya membebaskan Indonesia dari belenggu imperialisme kolonial.
D.
Manfaat
Diharapkan dari makalah ini bisa dipetik contoh-contoh keteladanan yang
diberikan oleh sang proklamator khususnya bagi para pembaca dan generasi muda
pada umumnya supaya bisa dijadikan penyemangat dalam berjuang mengisi
kemerdekaan dengan menjadi pribadi yang baik dan berjuang baik untuk
kehidupannya pribadi maupun memajukan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Soekarno
Ir. Soekarno (lahir di Blitar pada 6 Juni 1901- meninggal pada tanggal 21 Juni
1970 di kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah
seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman
Rai berdarah biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika
Raden Sukemi, yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru
Pertama di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar
Pribumi di Singaraja, Bali.
Dalam usia kanak-kanak, Soekarno tinggal dan diasuh oleh kakeknya, Raden
Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya adalah seorang pedagang
batik, yang secara tidak langsung membantu penghidupan dari kedua orangtua
Soekarno yang pada waktu itu tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk
menghidupi dirinya dan kakaknya. Kecintaan Soekarno terhadap wayang kulit, mulai
tumbuh selama tinggal bersama kakeknya. Ia sering kali menonton wayang kulit
sampai larut malam. Kesenangannya menonton wayang membuatnya terkesan dengan
tokoh Bima dibandingkan dengan tokoh lain.
Tokoh Bima juga memiliki pengaruh yang besar dalam sikap dan pandangan
politiknya kelak. Sikap nonkooperasi terhadap musuh-musuhnya, kaum imperialis
maupun kaum kapitalis, serta kesediaannya dalam waktu bersamaan berkompromi
dengan sesama rekan seperjuangannya, meskipun berbeda pandangan praktis dapat
dikatakan berasal dari Bima.
sering
melamun
tentang
kisah
perang
Bharata
Yudha.
Namun,
sisi
keingintahuan yang besar dan minatnya terhadap pengetahuan sudah mulai tumbuh
pada saat ini. Berkat sifat keingintahuan yang dimiliki olehnya, Soekarno memiliki
wawasan yang lebih luas daripada teman-teman sebayanya.
Tidak lama kemudian, setelah kedua orangtuanya pindah ke Sidoarjo dan
mendapat jabatan sebagai Kepala Eerste Klasse School di Mojokerto, di sini,
kepandaiannya mulai terlihat dengan jelas. Mungkin ini disebabkan oleh profesi
ayahnya yang juga seorang guru sehingga dapat mengawasi kegiatan belajar
mengajar anaknya secara langsung. Kemudian, Raden Sukemi memasukkan Soekarno
ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah tersebut didirikan guna memenuhi
kebutuhan anak-anak pekerja di pabrik gula.
Selama bersekolah di sini, Soekarno merasakan adanya diskriminasi yang
diberlakukan kepada kaumnya. Hanya bumiputera tertentu yang mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa itu. Mereka yang bukan anak pejabat
hanya bisa masuk ketika ada izin khusus dari residen dan memenuhi syarat-syarat
tertentu. Sebelum ia menginjakkan kaki di tempat tersebut, pada tahun 1913,
Soekarno harus mengorbankan waktunya untuk memperdalam bahasa Belanda pada
Juffrow M.P De La Riviera, guru bahasa Belanda di ELS. Selama bersekolah di ELS
Soekarno juga mengalami cinta pertama kepada seorang gadis Belanda yang
bernama, Rikameelhuysen. Tetapi, hubungan mereka berdua ditentang oleh ayah
sang gadis karena melihat kedudukan Soekarno yang hanya merupakan pribumi.
Meskipun, akhirnya hubungan itu putus dan Soekarno dihina, ia tidak marah karena
menganggap hal itu sudah biasa.
untuk menitipkan
dijelaskan oleh Soekarno dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams
(1966), sebagaimana yang diungkap oleh Soekarno: Tjokro adalah pemimpin baik
dari orang Jawa. Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak
ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kukirim kepada Tjokro
orang yang dijuluki Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku tidak
ingin melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua.
Selama berada di Surabaya, Soekarno banyak mendapatkan pengaruh
pemikiran barat yang modern. Perpisahan dengan orangtua dan lingkungan desanya
juga memberikan pengaruh positif bagi dirinya. Soekarno berada di Surabaya
selama lima tahun. Selama itu ia tinggal di rumah Tjokrominoto. Di tempat itulah
pendidikan politik Soekarno dimulai dengan interaksi dengan berbagai pemahaman
pemikiran yang ada di sana. Soekarno juga berkenalan dengan orang-orang beraliran
sosialis, seperti Alimin, Muso, dan Dharsono yang juga mendapat kedudukan penting
dalam kepengurusan Sarekat Islam maupun di dalam keanggotaan Indische School
Democratische Vereeniging (ISDV).
Sebagai remaja yang gelisah, ia menyalurkan aspirasinya melalui surat kabar
Milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia Menuangkan Pemikiran Dengan Nama
samaran Bima. Menurut pengakuannya, penggunaan nama samaran itu dimaksudkan
agar ia tidak dimarahi oleh ayahnya, sebab ayahnya akan marah apabila mengetahui
anaknya membahayakan masa depannya sendiri. Memang kata-kata yang digunakan
Soekarno cukup tajam seperti Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh
budaknya,
imperialisme.
Dengan
kekuatan
Islam,
Insya
Allah
itu
segera
dilaksanakan. Di samping itu, Soekarno juga aktif dan melibatkan dirinya dalam
organisasi pemuda Tri Koro Darmo Cabang Surabaya, yang dibentuk pada 1915
sebagai bagian dari organisasi Budi Oetomo. Kemudian berganti nama menjadi Jong
Java pada 1918.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 10 Juni 1921, Soekarno
beserta istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, puteri Tjokrominoto yang dinikahi
olehnya pada 1920 atau 1921, meninggalkan Surabaya menuju Bandung. Di sana ia
bersama istrinya berdiam di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam dan juga
kawan akrab Tjokrominoto. Di tempat itu pula Soekarno pertama kali bertemu
dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota Bandung mempunyai iklim ideologis
yang khas jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Jika Sarekat Islam berpusat di
Surabaya, maka Semarang dikenal sebagai pusat pemikiran Marxisme. Kedua kota ini
saling mempengaruhi dan saling berebut pengaruh.
Tetapi Bandung justru menampilkan watak yang berlainan dengan kedua kota di
atas, sebab di kota Bandung telah berkembang sebuah pemikiran bahwa tujuan
pergerakan adalah kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Gagasan-gagasan ini
dikembangkan oleh para pemimpin Indische Partij yang akhirnya mempengaruhi
pemikiran-pemikiran selanjutnya. Akhirnya kota Bandung menampilkan diri sebagai
pusat pemikiran nasionalis sekuler.
Di kota ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler,
seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara.
Perkenalan ini telah membawa nuansa baru dalam berpikir Soekarno. Seperti halnya
dalam pendekatan yang diperkenalkan oleh Douwes Dekker dalam mendekati situasi
Hindia Belanda dan bagaimana cara mengubahnya amat menarik perhatian Soekarno.
Pemikiran yang diperkenalkan tersebut terlihat berbeda dari pemikiran sebelumnya
didapat dari tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Dengan bertemunya berbagai tokoh yang memiliki berbagai aliran pemikiran
tentunya membuat pikiran Soekarno semakin tersusun secara teratur. Di samping
itu kesaksiaannya terlihat di depan matanya. Soekarno melihat di lingkungan
Tjokrominoto
senantiasa
timbul
pertentangan
antara
Golongan
Kanan
dan Merah. Sarekat Islam Merah, akhirnya merubah dirinya menjadi Sarekat
Rakyat.
Jiwa patriotisme Soekarno tidak hanya dibentuk melalui figur seorang
Tjokrominoto. Sebagaimana diungkapkan oleh Bob Hering, bahwa adanya interaksi
antara Soekarno dan para pengikut aliran Marxis seperti Muso, Alimin, dan Semaun.
Juga para orang-orang sosialisme radikal Belanda, seperti Coos Hartogh, Henk
Sneevliet, dan Aser Baars. Memang jika dipahami, pengaruh Nasionalisme, Islam,
dan Marxisme-Sosialisme sudah memiliki andil yang besar pada diri Soekarno
bahkan pada saat dia muda. Secara jelas, ini dibentuk dari keberadaan Soekarno
yang pada mulanya mendapatkan pendidikan politik di Surabaya.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan olehnya pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkan dirinya
ditangkap oleh Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan Pledoi atau
Pembelaannya
yang
fenomenal
dengan
judul
Indonesia
Menggugat,
hingga
B.
Pemikiran Soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk
menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan
resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New
York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu, dengan gigih Soekarno
menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi
pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, kata Bung Karno, Telah
berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, tambahnya,
perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan
selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi
kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang
kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara barat, ia
mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi
karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno.
Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu
bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya,
terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan antiImperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme
dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah
merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda.Tulisan berikut
dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno muda dalam
menentang kolonialisme dan imperialisme dan selanjutnya elitisme serta bagaimana
relevansinya untuk sekarang.
1.
kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah
demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk
Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai Exploitation
De Lhomme Par Lhomme atau Eksploitasi Manusia oleh manusia lain.
Soekarno menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan
struktur masyarakat yang eksploitatif. Sebagai suatu sistem yang eksploitatif,
kapitalisme. Itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun
imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja
imperialisme dengan pemerintah kolonial imperialisme.
2.
Anti-Elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar
lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni Elitisme. Elitisme mendorong
sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial politik yang lebih tinggi
daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.
Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem
feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat
negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah
masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun
sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa
menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicitacitakan bagi Indonesia merdeka.
Soekarno melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam
struktur bahasa Jawa yang dengan pola Kromo dan Ngoko-Nya mendukung
adanya
stratifikasi
sosial
dalam
masyarakat.
Untuk
menunjukkan
ketidaksetujuannya atas stratifikasi. Demikian itu, dalam Rapat Tahunan Jong Java
di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam Bahasa Jawa
Ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh Ketua
Panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan
meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu
saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Dalam kaitan dengan usaha mengatasi
elitisme itu ditegaskan bahwa marhaneisme Menolak tiap tindak borjuisme yang
bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia
berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat.
Sebagaimana dikatakan oleh Ruth Mcvey, bagi Soekarno rakyat merupakan Padanan
mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx, Dalam arti bahwa mereka ini
merupakan Kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi
yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah
dunia.
Langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme,
imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan
nonkooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah
nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah
kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama
kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak
akan dengan sukarela melepaskan koloninya.
Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang
kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para
aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia
menyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok
utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yakni para pejuang Nasionalis,
Islam dan Marxis, hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan
mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Bahtera yang akan
Partai
Nasional
Indonesia
(PNI)
yang
sebagai
tujuan
utamanya
C.
Ir.
Soekarno
pada
wayang
semasa
kecilnya
sangat
pidato
yang
ia
sampaikan
pada
tanggal
26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu
Soekarno mengajak setiap orang, apapun status sosialnya, untuk bersatu demi
kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak
menginginkan perjuangan kelas. Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme,
sebagaimana disinyalir oleh Mcvey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang
bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut Mcvey, Tidak
menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar
yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada
para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam
maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan
oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai
rakyat
merasakan
bahwa
justru
dalam
partai
yang
menekankan
mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara
terbanyak keempat.
Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita
perlu Membangun Dunia Baru. Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu
kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu Membangun Indonesia Baru. Dan
upaya membangun Indonesia Baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite
politik yang benar-benar
lahir
kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi, kalaupun
ada kecil peranannya, kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan
pengaruh.
Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan
untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak
meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan
rela berkorban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk
mewarisi sistem pemerintahan sebelumnya, yakni Kecenderungan Untuk Mengganti
Elite Lama Dengan Elite Yang Baru Tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap
sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar
berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi.
D.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Ir. Soekarno (lahir di Blitar pada 6 Juni 1901- meninggal pada tanggal 21 Juni 1970
di kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah
seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ibunya Nyoman
Rai berdarah biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika
Raden Sukemi, yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru
Pertama di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar
Pribumi di Singaraja, Bali.
2.
Dua hal besar yang menjadi sikap dan pemikiran Ir Soekarno yang dijadikan
sebagai pedoman perjuangannya yaitu Soekarno menentang kolonialisme dan
kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif.
Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme,
baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno tak ingin
menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme,
menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama
kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu
kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama Untuk mengisi perutnya yang
keroncongan belaka. Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.
Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi. Langkah lain yang menurut
Soekarno perlu segera diambil dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu
adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan.
3.
Ada beberapa hal yang menarik dalam biografi Ir. Soekarno dimana semasa
mudanya ia sangat menggemari tokoh Bima dalam pewayangan yang mempengaruhi
sikap dan cara hidupnya. Di samping itu dia memiliki pendidikan baik formal maupun
non formal yang tinggi dan dibimbing oleh tokoh-tokoh yang berbeda aliran sehingga
turut mempengaruhi cara berpikir dan bersikap dalam setiap usahanya berjuang
untuk Indonesia. Walaupun di akhir masa-masa kepemimpinannya dia telah mampu
berjuang memerangi kolonialisme dan imperialisme namun ternyata dia tidak mampu
melepaskan diri dari belenggu elitisme yang juga menjadi sikap perjuangannya yang
anti elitisme dimana sikap ini hanya mementingkan diri dan kelompoknya terutama
bagi para kaum elit metropolitan sikap ini tercermin dalam perebutan pengaruh dan
kekuasaan dan meninggalkan kepentingan rakyat yang menjadi tujuan utamanya.
4.