Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan


disebutkan bahwa Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Karena kesehatan adalah hak setiap orang. Oleh sebab itu kesehatan, baik individu,
kelompok maupun masyarakat merupakan asset yang harus di jaga, dilindungi bahkan harus
ditingkatkan. Sebagai perwujudan dari kewajiban dan tanggung jawabnya dalam memelihara
dan melindungi kesehatannya, setiap orang, baik individu, kelompok atau masyarakat harus
mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk memelihara dan melindungi kesehatan
mereka sendiri (self reliance). Dengan kata lain, masyarakat yang berdaya sebagai hasil dari
pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat mandiri, demikian juga individu atau kelompok
yang berdaya, juga individu atau kelompok mandiri.
Pengembangan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang
membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat,
perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.
PM (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan
masyarakat. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama
dan

terencana

untuk

meningkatkan

kualitas

kehidupan

manusia.

Bidang-bidang

pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan
sosial-budaya.

Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:


Masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang sama.
Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah
kampung di wilayah pedesaan.
Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan
kebudayaan dan identitas
Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini masih
memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan
masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat, dan
partisipasi masyarakat yang diharapkan. Oleh kerena itu, masih di butuhkannya mobilisasi,
pengkaderan, dan keikutsertaan masyarakat dalam usaha untuk melakukan perubahanperubahan dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengetian mobilisasi?
2. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk mengoptimalisasi gerakan mobilisasi?
3. Apa pengertian partisipasi?
4. Apa Prinsip-prinsip Partisipasi?
5. Apa Bentuk-bentuk Partisipasi?
6. Apa topologi partisipasi?
7. Apa Tahap-tahap partisipasi?
8. Apa Syarat-syarat Partisipasi?
9. Hal-hal Apa Saja yang mendukung Partisipasi?
10. Apa pengertian kaderisasi?

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui tentang Mobilisasi, Partisipasi, dan kaderisasi dan hal-hal yang terkandung
di dalamnya.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan pengetahuan
yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi yang di lakukan di tengah-tengah
masyarakat dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat yang telah ada.
E. Ruang lingkup
Masalah-masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah berkaitan dengan
pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi dalam
organisasi-organisasi masyarakat.
F. Metode penulisan
Metode Penelitian Penyusunan makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi
pustaka dan browsing di internet.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mobilisasi

Menurut bahasa, kata mobilisasi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengerahkan
orang atau masyarakat tertentu untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut istilah
Mobilisasi merupakan pengerahan seluruh anggota masyarakat untuk ikut aktif dalam suatu
usaha demi kepentingan bersama. Sebagai contoh, Dalam masyarakat jawa terkenal dengan
istilah gugur gunung yang berarti bersama-sama bergerak dalam menangai suatu proyek
bersama untuk kepentingan semua orang.
Dalam masyarakat yang heterogen, kemungkinan untuk melakukan mobilisasi langsung
menjadi kurang efektif dan terlalu lama, jalan lain yang kemungkinan dapat mengantisipasi
hal tersebut adalah dengan pendekatan melalui organisasi-organisasi mayarakat yang ada,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membuat daftar organisasi yang telah ada.
2. Mengetaui kegiatan utama dan mengenal tokohnya.
3. Menganalisa kemungkinan yang mendukung ataupun yang menghambat program.
4. Membuat perkiraan kemungkinan hal-hal yang dapat membantu program dari setiap
organisasi.
5. Mengatur strategi agar organisasi-organisasi yang netral dapat segera diajak masuk dalam
program

dan menetralisir organisasi-organisasi lain yang menentang.

B. Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan
program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk
materill (PTO PNPM PPK, 2007).
Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan
suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian:
kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat.
Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian seharihari, Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga
masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di
sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena
itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu
kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan
atau profesinya sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat
didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan,
partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan yang
diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang
dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga
sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut
mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang
langsung mempengaruhi kehiduapan mereka
Dari berbagai pendapat para pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat
dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau
sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam
program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai
pada tahap evaluasi

1. Pentingnya Partisipasi
Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut:
pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih
mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut;
ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi
adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka
dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih
panjang.
2. Prinsip-prinsip Partisipasi
Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan
Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International
Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
(a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
(b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa
tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.
(c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
(d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.

(e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai


tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan
(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkahlangkah selanjutnya.
(f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam
setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu
sama lain.
(g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling
berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan sumber daya manusia.
3. Bentuk-bentuk Partisipasi
Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program
pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi
keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, dan partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan.
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi
dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk
nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata
(abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan
sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi
sosial, dan pengambilan keputusan.
Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi
pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda adalah
partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau
perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk
pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan
partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya
kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut
dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, atau
pendapat baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program

dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai
tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga
sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk
berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat
dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan
kepentingan bersama.

4. Tipologi Partisipasi
Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat serngkali terhambat oleh persepsi
yang kurang tepat, yang menilai masyarakat sulit diajak maju oleh sebab itu kesulitan
penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya
campur tangan dari pihak penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat:
a). Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat diberitahu apa yang sedang
atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelkasan proyek yanpa memperhatikan
tanggapan masyarakat dan informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran.
b). Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian, masyarakat tidak diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi
proses penelitian dan akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.
c). Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan bersama, dan para profesional tidak
berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut
d). Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan korbanan atau jasanya
untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses
pembelajan atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan.
e). Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk kelompok untuk
mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keptusan-keputusan

utama yang di sepakati, pada tahap awal masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun
secara bertahap menunjukkan kemandiriannya.
f). Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan kelembagaan dan cenderung melibatkan
metoda interdisipliner yang mencari keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar
yang terstuktur dan sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas
(pelaksanaan) keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan
proses kegitan.
g). Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-niloai
yang mereka miliki. Masyarakat mengambangkan kontak dengan lembaga-lemabaga lain
untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumber daya yang diperlukan. Masyarakat
memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
5. Tahap-Tahap Partisipasi
Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut :
a). Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan
sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat,
yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang
berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena
itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum
yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses
pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di
tingkat lokal (Mardikanto, 2001).

b). Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan


Slamet (1993) membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi dalam tahap
perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan, partisipasi dalam tahap pemanfaatan.

Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya
diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut
membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target. Salah satu
metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya kemampuan yang
berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam mengontrol dan ketergantungan mereka
terhadap sumber-sumber yang dapat diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para
perencana teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini,
peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir sebab mereka yang
akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu, sistem perencanaan harus didesain
sesuai dengan respon masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu
esensial dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi
yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet, 1993).

c). Tahap Partisipasi Dalam Pelaksanaan Kegiatan


Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi
masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan
tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain pihak, lapisan yang ada di atasnya (yang
umumnya terdiri atas orang kaya) yang lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil
pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi
masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan
sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam bentuk
korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang
bersangkutan (Mardikanto, 2001).

d). Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan

Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan.
Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan
untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku
aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).

e). Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan


Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang
sering terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup
masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Di
samping itu, pemanfaaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan
masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang
(Mardikanto, 2001).

6. Tingkat Kesukarelaan Partisipasi


Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut:
a). Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa
pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri.
b). Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya
motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang
bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi.
c). Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan
yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta
yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh
masyarakat setempat. Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan
masyarakatnya.
d). Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena

takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian
manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan.
e). Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima
hukuman

dari

peraturan/ketentuan-ketentuan

yang

sudah

diberlakukan.

7. Syarat Tumbuh Partisipasi


Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
a). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
b). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
c). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Lebih rinci Slamet menjelaskan tiga persyaratan yang menyangkut kemauan, kemampuan
dan kesempatan untuk berpartisipasi adalah sebagai berikut:
1). Kemauan
Secara psikologis kemauan berpartisipasi muncul oleh adanya motif intrinsik (dari
dalam sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan, dorongan atau tekanan dari pihak
luar). Tumbuh dan berkembangnya kemauan berpartisipasi sedikitnya diperlukan sikap-sikap
yang:
a). Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembangunan.
b). Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya.
c). Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas sendiri.
d). Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan
pembangunan
e). Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu
hidupnya.

2). Kemampuan

Beberapa kemampuan yang dituntut untuk dapat berpartisipasi dengan baik itu antara
lain adalah:
a). Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah.
b). Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
c). Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki. Robbins (1998) kemampuan adalah
kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins
(1998) menyatakan pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat
faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.

3). Kesempatan
Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh:
a). Kemauan politik dari penguasa/pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam
pembangunan.
b). Kesempatan untuk memperoleh informasi.
c). Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya.
d). Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna.
e). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan
peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan.
f). Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan,
menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris
tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara
material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif.
Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang
sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta

mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan dimikian, setiap pelaksanaan aksi
tidak hanya dilakukan dengan mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan
tetapi secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan
perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri.
Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan
faktor

pendorong

tumbuhnya

kemauan,

dan

kemauan

akan

sangat

menentukan

kemampuannya. Syarat Tumbuh dan Berkembangnya Partisipasi Masyarakat Kemauan untuk


berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup, belum merupakan jaminan bagi
tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki
kemauan untuk (turut) membangun. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang
untuk meningkatkan kemam-puan dan aktif memburu serta memanfaatkan setiap kesempatan.
Mardikanto (2003) menjelaskan beberapa kesempatan yang dimaksud adalah kemauan politik
dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembagunan, baik dalam pengambilan
kepu-tusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, dan
pemanfaatan pembangunan; sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling
bawah. Selain hal tersebut terdapat kesempatan kesempatan yang lain diantaranya
kesempatan untuk memperoleh informasi pembangunan, kesempatan memanfaatkan dan
memobilisasi sumber daya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan.
Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan
perlengkapan penunjangnya). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh
dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan, dan
Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan,
dan

mengembangkan

serta

memelihara

partisipasi

masyarakat

(Mardikanto,2003).

Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk menggerakkkan partisipasi


masyarakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi. Mardikanto (2003) menjelaskan yang dimaksud dengan kemampuan di sini
adalah :
1.

Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk


membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu
hidupnya).

2.

Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat


pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.

3.

Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan


sumberdaya

dan

kesempatan

(peluang)

lain

yang

tersedia

secara

optimal.

Yadav dalam Mardikanto (1994) mengemukakan adanya empat macam kegiatan yang
menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : partisipasi dalam
pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam
pemantauan dan evaluasi, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan.
Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan,
menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan "pemerintah" kepada
masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan. Artinya,
tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya
pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau
penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang
memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto,
2001).
8. Hal-hal Yang Dapat Mendukung Partisipasi
a. Pemberian fasilitas fisik, seperti : ruang untuk pertemuan, alat transportasi, dll.
b. Pemberian fasilitas non fisik, seperti : wibawa, mekanisme control, dukungan moral,
bantuan pikiran, dll.

C. Kaderisasi
Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi, karena merupakan inti dari
kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit
dibayangkan

sebuah

organisasi

dapat

bergerak

dan

melakukan

tugas-tugas

keorganisasiannya dengan baik dan dinamis. Kaderisasi adalah sebuah keniscayaan


mutlak membangun struktur kerja yang mandiri dan berkelanjutan. Fungsi dari kaderisasi
adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet

perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan
dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki
kemampuan yang di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan
kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam
bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya
harus menanam.
Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan
menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran
kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi
adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi
dan kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugastugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian
lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan
misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses kaderisasi ini sejatinya harus
memenuhi beberapa fondasi dasar dalam pembentukan dan pembinaan kader-kader
organisasi yang handal, cerdas dan matang secara intelektual dan psikologis.
Sebagai subyek atau pelaku, dalam pengertian yang lebih jelas adalah seorang pemimpin.
Bagi Bung Hatta, kaderisasi sama artinya dengan edukasi, pendidikan! Pendidikan tidak
harus selalu diartikan pendidikan formal, atau dalam istilah Hatta sekolah-sekolahan,
melainkan dalam pengertian luas. Tugas pertama-tama seorang pemimpin adalah
mendidik. Jadi, seorang pemimpin hendaklah seorang yang memiliki jiwa dan etos
seorang pendidik. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran orang yang
dipimpinnya serta memberi inspirasi dan membangun keberanian hati orang yang
dipimpinnya agar mampu berkarya secara maksimal dalam lingkungan tugasnya.
Sedangkan sebagai obyek dari proses kaderisasi, sejatinya seorang kader memiliki
komitmen dan tanggung jawab untuk melanjutkan visi dan misi organisasi ke depan.
Karena jatuh-bangunnya organisasi terletak pada sejauh mana komitmen dan keterlibatan
mereka secara intens dalam dinamika organisasi, dan tanggung jawab mereka untuk
melanjutkan perjuangan organisasi yang telah dirintis dan dilakukan oleh para pendahulupendahulunya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah
potensi dasar sang kader. Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah dapat dibaca melalui
perjalanan hidupnya. Sejauh mana kecenderungannya terhadap problema-problema sosial
lingkungannya.

Jadi, di sana ada semacam landasan berfikir atau filosofi kaderisasi yang harus
mendapatkan porsi perhatian oleh setiap organisasi/pergerakan. Yaitu: harus ditemukan
upaya mencari bibit-bibit unggul dalam kaderisasi. Subyek harus mampu menawarkan visi
dan misi ke depan yang jelas dan memikat, serta menawarkan romantika dinamika
organisasi yang menantang bagi para kader yang potensial, sehingga mereka dengan
senang hati akan terlibat mencurahkan segenap potensinya dalam kancah organisasi.
Untuk dapat menjalankan peran tersebut, maka organisasi atau sebuah pergerakan harus
terlebih dahulu mematangkan visi-misi mereka; dan termasuk sikap mereka terhadap
persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang sama tersedianya
para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit potensial tadi. Kader-kader
potensial, setelah mereka memahami dan meyakini pandangan dan sistem yang telah
diinternalisasikan, maka jiwanya akan terpacu untuk bekerja, berkarya dan berkreasi
seoptimal mungkin. Maka, di sini organisasi/pergerakan dituntut untuk dapat
mengantisipasi

dan

organisasi/pergerakan

menyalurkannya
mampu

secara

positif.

Dan

memang

melakukannya,

karena

bukankah

yang

sepatutnya
namanya

organsiasi/pergerakan berarti terobsesi progresif bergerak maju dengan satu organisasi


yang efisien dan efektif, bukan sebaliknya? Belakangan ini, sudah dimulai upaya ke arah
kaderisasi yang berorientasi pada karya dan aksi sosial dalam level general, berupa
penumbuhan dan stimulasi etos intelektual dan sosial. Jadi, bagaimana menggabungkan
atau menemukan konvergensi yang ideal antara aktifitas berpikir (belajar) sebagaientitas
mahasiswadan aktifitas aksi sosial sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai tekstualnormatif. Dengan kata lain, harus ditemukan titik keseimbangan antara nilai-nilai tekstualnormatif tadi dengan realitas-kontekstualnya. Tampaknya perlu dicermati kembali urgensi
dari kaderisasi berkala yang dilakukan oleh organisasi apapun. Kaderisasi merupakan
kebutuhan internal organisasi yang tidak boleh tidak dilakukan. Layaknya sebuah hukum
alam, ada proses perputaran dan pergantian disana. Namun satu yang perlu kita pikirkan,
yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kaderkader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi
yang lebih penting adalah tetap berpegang pada komitmen sosial dengan segala
dimensinya. Sukses atau tidaknya sebuah institusi organisasi dapat diukur dari
kesuksesannya dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud
dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan
komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan.

BAB 3
PENUTUP
A. Saran

Anda mungkin juga menyukai