PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terencana
untuk
meningkatkan
kualitas
kehidupan
manusia.
Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan
sosial-budaya.
C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui tentang Mobilisasi, Partisipasi, dan kaderisasi dan hal-hal yang terkandung
di dalamnya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan pengetahuan
yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi yang di lakukan di tengah-tengah
masyarakat dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat yang telah ada.
E. Ruang lingkup
Masalah-masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah berkaitan dengan
pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi dalam
organisasi-organisasi masyarakat.
F. Metode penulisan
Metode Penelitian Penyusunan makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi
pustaka dan browsing di internet.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mobilisasi
Menurut bahasa, kata mobilisasi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengerahkan
orang atau masyarakat tertentu untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut istilah
Mobilisasi merupakan pengerahan seluruh anggota masyarakat untuk ikut aktif dalam suatu
usaha demi kepentingan bersama. Sebagai contoh, Dalam masyarakat jawa terkenal dengan
istilah gugur gunung yang berarti bersama-sama bergerak dalam menangai suatu proyek
bersama untuk kepentingan semua orang.
Dalam masyarakat yang heterogen, kemungkinan untuk melakukan mobilisasi langsung
menjadi kurang efektif dan terlalu lama, jalan lain yang kemungkinan dapat mengantisipasi
hal tersebut adalah dengan pendekatan melalui organisasi-organisasi mayarakat yang ada,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membuat daftar organisasi yang telah ada.
2. Mengetaui kegiatan utama dan mengenal tokohnya.
3. Menganalisa kemungkinan yang mendukung ataupun yang menghambat program.
4. Membuat perkiraan kemungkinan hal-hal yang dapat membantu program dari setiap
organisasi.
5. Mengatur strategi agar organisasi-organisasi yang netral dapat segera diajak masuk dalam
program
B. Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan
program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk
materill (PTO PNPM PPK, 2007).
Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan
suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian:
kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat.
Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian seharihari, Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga
masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di
sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena
itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu
kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan
atau profesinya sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat
didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan,
partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan yang
diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang
dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga
sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut
mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang
langsung mempengaruhi kehiduapan mereka
Dari berbagai pendapat para pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat
dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau
sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam
program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai
pada tahap evaluasi
1. Pentingnya Partisipasi
Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut:
pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih
mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut;
ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi
adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka
dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih
panjang.
2. Prinsip-prinsip Partisipasi
Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan
Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International
Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
(a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
(b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa
tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.
(c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
(d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai
tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga
sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk
berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat
dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan
kepentingan bersama.
4. Tipologi Partisipasi
Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat serngkali terhambat oleh persepsi
yang kurang tepat, yang menilai masyarakat sulit diajak maju oleh sebab itu kesulitan
penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya
campur tangan dari pihak penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat:
a). Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat diberitahu apa yang sedang
atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelkasan proyek yanpa memperhatikan
tanggapan masyarakat dan informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran.
b). Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian, masyarakat tidak diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi
proses penelitian dan akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.
c). Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan bersama, dan para profesional tidak
berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut
d). Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan korbanan atau jasanya
untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses
pembelajan atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan.
e). Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk kelompok untuk
mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keptusan-keputusan
utama yang di sepakati, pada tahap awal masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun
secara bertahap menunjukkan kemandiriannya.
f). Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan kelembagaan dan cenderung melibatkan
metoda interdisipliner yang mencari keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar
yang terstuktur dan sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas
(pelaksanaan) keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan
proses kegitan.
g). Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-niloai
yang mereka miliki. Masyarakat mengambangkan kontak dengan lembaga-lemabaga lain
untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumber daya yang diperlukan. Masyarakat
memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
5. Tahap-Tahap Partisipasi
Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut :
a). Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan
sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat,
yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang
berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena
itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum
yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses
pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di
tingkat lokal (Mardikanto, 2001).
Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya
diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut
membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target. Salah satu
metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya kemampuan yang
berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam mengontrol dan ketergantungan mereka
terhadap sumber-sumber yang dapat diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para
perencana teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini,
peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir sebab mereka yang
akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu, sistem perencanaan harus didesain
sesuai dengan respon masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu
esensial dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi
yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet, 1993).
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan.
Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan
untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku
aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).
takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian
manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan.
e). Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima
hukuman
dari
peraturan/ketentuan-ketentuan
yang
sudah
diberlakukan.
2). Kemampuan
Beberapa kemampuan yang dituntut untuk dapat berpartisipasi dengan baik itu antara
lain adalah:
a). Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah.
b). Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
c). Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki. Robbins (1998) kemampuan adalah
kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins
(1998) menyatakan pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat
faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
3). Kesempatan
Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh:
a). Kemauan politik dari penguasa/pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam
pembangunan.
b). Kesempatan untuk memperoleh informasi.
c). Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya.
d). Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna.
e). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan
peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan.
f). Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan,
menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris
tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara
material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif.
Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang
sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta
mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan dimikian, setiap pelaksanaan aksi
tidak hanya dilakukan dengan mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan
tetapi secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan
perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri.
Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan
faktor
pendorong
tumbuhnya
kemauan,
dan
kemauan
akan
sangat
menentukan
mengembangkan
serta
memelihara
partisipasi
masyarakat
(Mardikanto,2003).
2.
3.
dan
kesempatan
(peluang)
lain
yang
tersedia
secara
optimal.
Yadav dalam Mardikanto (1994) mengemukakan adanya empat macam kegiatan yang
menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : partisipasi dalam
pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam
pemantauan dan evaluasi, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan.
Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan,
menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan "pemerintah" kepada
masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan. Artinya,
tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya
pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau
penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang
memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto,
2001).
8. Hal-hal Yang Dapat Mendukung Partisipasi
a. Pemberian fasilitas fisik, seperti : ruang untuk pertemuan, alat transportasi, dll.
b. Pemberian fasilitas non fisik, seperti : wibawa, mekanisme control, dukungan moral,
bantuan pikiran, dll.
C. Kaderisasi
Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi, karena merupakan inti dari
kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit
dibayangkan
sebuah
organisasi
dapat
bergerak
dan
melakukan
tugas-tugas
perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan
dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki
kemampuan yang di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan
kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam
bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya
harus menanam.
Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan
menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran
kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi
adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi
dan kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugastugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian
lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan
misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses kaderisasi ini sejatinya harus
memenuhi beberapa fondasi dasar dalam pembentukan dan pembinaan kader-kader
organisasi yang handal, cerdas dan matang secara intelektual dan psikologis.
Sebagai subyek atau pelaku, dalam pengertian yang lebih jelas adalah seorang pemimpin.
Bagi Bung Hatta, kaderisasi sama artinya dengan edukasi, pendidikan! Pendidikan tidak
harus selalu diartikan pendidikan formal, atau dalam istilah Hatta sekolah-sekolahan,
melainkan dalam pengertian luas. Tugas pertama-tama seorang pemimpin adalah
mendidik. Jadi, seorang pemimpin hendaklah seorang yang memiliki jiwa dan etos
seorang pendidik. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran orang yang
dipimpinnya serta memberi inspirasi dan membangun keberanian hati orang yang
dipimpinnya agar mampu berkarya secara maksimal dalam lingkungan tugasnya.
Sedangkan sebagai obyek dari proses kaderisasi, sejatinya seorang kader memiliki
komitmen dan tanggung jawab untuk melanjutkan visi dan misi organisasi ke depan.
Karena jatuh-bangunnya organisasi terletak pada sejauh mana komitmen dan keterlibatan
mereka secara intens dalam dinamika organisasi, dan tanggung jawab mereka untuk
melanjutkan perjuangan organisasi yang telah dirintis dan dilakukan oleh para pendahulupendahulunya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah
potensi dasar sang kader. Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah dapat dibaca melalui
perjalanan hidupnya. Sejauh mana kecenderungannya terhadap problema-problema sosial
lingkungannya.
Jadi, di sana ada semacam landasan berfikir atau filosofi kaderisasi yang harus
mendapatkan porsi perhatian oleh setiap organisasi/pergerakan. Yaitu: harus ditemukan
upaya mencari bibit-bibit unggul dalam kaderisasi. Subyek harus mampu menawarkan visi
dan misi ke depan yang jelas dan memikat, serta menawarkan romantika dinamika
organisasi yang menantang bagi para kader yang potensial, sehingga mereka dengan
senang hati akan terlibat mencurahkan segenap potensinya dalam kancah organisasi.
Untuk dapat menjalankan peran tersebut, maka organisasi atau sebuah pergerakan harus
terlebih dahulu mematangkan visi-misi mereka; dan termasuk sikap mereka terhadap
persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang sama tersedianya
para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit potensial tadi. Kader-kader
potensial, setelah mereka memahami dan meyakini pandangan dan sistem yang telah
diinternalisasikan, maka jiwanya akan terpacu untuk bekerja, berkarya dan berkreasi
seoptimal mungkin. Maka, di sini organisasi/pergerakan dituntut untuk dapat
mengantisipasi
dan
organisasi/pergerakan
menyalurkannya
mampu
secara
positif.
Dan
memang
melakukannya,
karena
bukankah
yang
sepatutnya
namanya
BAB 3
PENUTUP
A. Saran