Anda di halaman 1dari 18

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

1.

Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses
absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme
atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
proses eliminasi obat (Gunawan, 2009).
1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat
absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang
sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan vili dan mikrovili )(Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tub
uh,
melalui jalurnyahingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level
seluler,
obat diabsorpsi melalui beberapametode,
terutama transport
aktif dan transport pasif.

a.
-

b.

c.
1.
2.
3.
d.
1.

Metode absorpsi
Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi
obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul
kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila konsentrasi
pada kedua sisi membrane seimbang.
Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah
dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi
Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel.
Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam
tubuh.
Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan
Aliran darah ke tempat absorpsi
Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
Waktu kontak permukaan absorpsi
Kecepatan Absorpsi
Diperlambat oleh nyeri dan stress

Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran


cerna, retensi gaster
2.
Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung
dan memperlambat waktu absorpsi obat
3.
Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained
release, dll)
4.
Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau
memperlambat tergantung jenis obat. Obat yang diserap oleh usus halus
ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar
memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang
disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi
sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.
1.2

Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik k
e jaringan dan cairantubuh.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a.
Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah,
segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah alirandarahnya.
Organ
dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal.
Sedangkan
distribusi keorgan lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat
b.
Permeabilitas kapiler
Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat
c.

1.3

Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat
terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat
bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan
berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar
tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a.
Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b.
Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa
dimetabolisme lanjutan.

Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah


dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang
lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan
kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif,
tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit
hepar seperti sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan
gen
individual
menyebabkan
beberapa
orang
dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok,
Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs
orang tua.
1.4 Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian
besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat
dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan
taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi
dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui
ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus,
sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua
penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses.
Ekskresi
melalui
paru
terutama
untuk
eliminasi
gas
anastetik
umum(Gunawan, 2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
a.
Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat
dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah
absorpsi, metabolism dan ekskresi.

Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus
diberikan.
b.
Onset, puncak, and durasi
Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya.
Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat
Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya
di dalam tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak
respon
Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi
2. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari
farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum
efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).
2.2

2.3

Mekanisme Kerja Obat


kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan
perubahan dan biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut.
Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di sebut agonis, obat yang
tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan
menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis.

Reseptor Obat
protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik.
Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik,
vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat
farmakologinya.
2.4 Transmisi Sinyal Biologis
penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu
substansi ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang
spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam
bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologis
dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme
homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya secara terusmenerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan efek
perangsangan.
2.5 Interaksi Obat-Reseptor
ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan
lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan antara
subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.

2.6 Antagonisme Farmakodinamik


a. Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan.
b. Antagonisme pada reseptor
Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu menimbulkan
efek farmakologi secara instrinsik
2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
a.
Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
b.
Perubahan sifat osmotic
c.
Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas
filtrate glomerulus
sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal
dengan akibat terjadi efek diuretic
d.
Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam
lambung.
e.
Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.
f.
Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran,
dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di
SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.
g. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA
yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.
h. Masuk ke dalam komponen sel

Farmakologi Obat
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini
biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari
manfaat dan risiko penggunaan obat.[7]
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari
pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun
fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup.
Untuk

menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh

khususnya,

serta

penggunaan

pada

pengobatan

penyakit,

manusia
disebut

farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu
farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetik, farmakodinamik, toksikologi, dan
farmakoterapi.[8]
Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada
keterkaitannya yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik.[9]
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu
mengenai cara membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan
obat.[10]
Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan
farmakokinetik. Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan
pada suatu makhluk, yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
Sub farmakologi ini erat sekali hubungannya dengan ilmu kimia dan
biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup,
organ atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi,
biokimia, dan patologi. Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti
terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia dan disebut
sebagai farmakologi eksperimental.[11]

C.

Farmakokinetik Obat
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan
kebanyakan proses sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian
reaksi yang dibagi dalam tiga fase:[12]

1.

Fase farmaseutik;

2.

Fase farmakokinetik; dan

3.

Fase farmakodinamik.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya mempelajari perubahan-

perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam darah dan


jarigan sebagai fungsi dari waktu.[13]
Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses
eliminasi (evasi). Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang
berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme
(absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang
menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme,
ekskresi).[14] Lihat gambar 1.
Invasi
Absorpsi
Distribusi
Eliminasi
Metabolisme
Ekskresi

1.

Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung

melalui filtrasi, difusi, atau transport aktif.[15]


Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan
lain-lain.[16]
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal
pada penyakit kulit, dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau
adstringensia, pemakaian bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan

anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal sitostatika ke dalam


kandung kemih.[17]
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih
rendah sedangkan keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih
besar.[18]
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena)
termasuk juga infuse ditandai oleh:[19]
a.

Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar
100%. Hanya dalam hal-hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat
pada

peralatan

infuse

dank

arena

itu

mengakibatkan

penurunan

ketersediaan hayati.
b.

Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas


daparnya yang besar maka persyaratan larutan yang menyangkut isotoni
dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan penyuntikan subkutan.

c.

Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.

Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang
sangat penting, misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan
intravena.[20]
Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain
biaya tinggi dan beban pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang
tinggi.[21]
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena
bentuk obat yang cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu,
kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian
obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi melalui
saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung.
Untuk kasus terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut
yang tahan terhadap cairan lambung.[22]

Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus


yang tidak mutlak diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak
terdapat keadaan darurat. Hal ini disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat
berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.[23]
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya
pemakaian rektal analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil
bermanfaat. Di samping itu, pada pasien yang cenderung muntah atau
lambungnya

terganggu,

lebih

disukai

pemakaian

rektal

sejauh

tidak

dibutuhkan pemberian parenteral.[24]


2.

Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut
bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi
darah

terhadap

jaringan,

bahan

obat

mencoba

untuk

meninggalkan

pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi


dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya,
seperti halnya absorpsi, bergantung pada banyak peubah.[25]
Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi
yang berbeda (kompartemen):[26]
a.

Ruang intrasel dan

b.

Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)


Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan
intrasel dan komponen sel yang padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari
bobot badan) dibagi lagi atas:[27]

a.

Air plasma;

b.

Ruang usus; dan

c.
Cairan plasma

Cairan transsel
Ruang ekstrasel
Ruang usus
Ruang intrasel
Cairan intrasel
Komponen sel padat
Cairan transsel.

Gambar 2. Ruang distribusi organisme


Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu
adanya rintangan, misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier),
terikatnya obat pada protein darah atau jaringan dan lemak.[28]
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada
beberapa macam protein plasma:[29]
a.

Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya


steroid) serta bilirubin dan asam-asam lemak.

b.

-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.

c.

CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.

d.

SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.


Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke
seluruh tubuh. Kompleks obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t
~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke jaringan (dengan cara yang
sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat

depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit


yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke
ginjal (di mana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin).[30]
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan
usus) sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran
sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena perbedaan pH di dalam sel (pH =
7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di luar sel
dan obat-obat basa lebih banyak da dalam sel.[31]
Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna.
Senyawa yang diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian
atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam bagian usus yang lebih dalam
(sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari darah
ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus
(sirkulasi enterogaster).[32]
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut
pengarahan obat (drug targetting), artinya membawa bahan obat terarah
kepada tempat kerja yang diinginkan. Efek samping sering terjadi justru
karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang diinginkan, ia
bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu
sistem pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang
selektif ke dalam jaringan yang dituju dan dengan demikian memungkinkan
kekhasan kerja yang diinginkan.[33]
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri
maupun makromolekul sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh
yang sangat menarik ialah pengikatan kovalen sitostatika kepada antibodi
antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem demikian sampai
sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui

penambahan antibodi

monoklon

yang

makin banyak

tersedia, maka

keefektifan dapat diperbaiki.[34]


3.

Metabolisme
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak
diinginkan karena obat dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh
karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat asing ini menjadi metabolit
yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan
proses ekskresinya oleh ginjal.[35]
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah
yang sangat rendah terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal,
paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam darah.[36]
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui
sistem pembuluh darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama
dari

daerah

lambung-usus

ke

hati.

Dengan

pemberian

sublingual,

intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini


dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran
lambung-usus seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi
secara enzimatis dan apda umumnya hasil perubahannya (metabolit)
menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini disebut proses
detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat farmakologinya
justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme
dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.[37]
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif
tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang
aktif, atau menjadi toksik.[38]

Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase
I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi
lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif.
Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat
endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan
hasilnya menjadi sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi
fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi
gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan
sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase
II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat
langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase
I dapat juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa
harus melalui reaksi fase II lebih dulu.[39]
Reaksi

metabolisme

yang

terpenting

adalah

oksidasi

oleh

enzimcytochrome P450 (CYP) yang disebut juga enzim mono-oksigenase


atau MFO (mixed-function oxidase) dalam endoplasmic reticulum(mikrosom)
hati.[40]
4.

Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya
menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh.
Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia (bobot molekul,
hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.[41]
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh
ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara
lain, yaitu:[42]

a.

Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).

b.

Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti


alkohol, paraldehida, dan anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).

c.

Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan
empedu, misalnya fenolftalein (pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus,
sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus.
Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan dan setelah
dewasa menurun 1% per tahun.[43]
Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus
protein. Jadi semua obat akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang
terikat protein tetap tinggal dalam darah.[44]
Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi
melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrugresistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas
berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat dan P-gp untuk kation
organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi antara asam-asam
organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi. [45]
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat
yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan,
maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada
keracunan suatu obat asam atau obat basa.[46]
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Lain halnya dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat
dihitung,

pengurangan

fungsi

ginjal

dapat

dihitung

berdasarkan

pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada


gangguan ginjal dapat dihitung.[47]

D.

Farmakodinamik Obat

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi


dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme
obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan
respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.[48]
Kebanyakan

obat

menimbulkan

efek

melalui

interaksi

dengan

reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini


mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons
khas

untuk

obat

tersebut.

Reseptor

obat

merupakan

komponen

makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama,


obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak
menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
[49]
Tujuan

pokok

percobaan

farmakologi

adalah

penjelasan

terhadap

pertanyaan, apakah senyawa yang diuji merupakan obat yang bekerja


spesifik atau tidak spesifik.[50]

Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai


ciri:[51]
1.

Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;

2.

Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;

3.

Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan

4.

Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya.
Oleh karena itu, perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien
distribusi yang berbeda. Kemungkinan besar kerja senyawa demikian
menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur

membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat
yang bekerja tidak spesifik antara lain, anestetika inhalasi, demikian juga zat
desinfektan.[52]
Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui
interaksi dengan reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur
kimia dan dengan demikian bergantung kepada bentuknya, besarnya, dan
pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus
fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam
konsentrasi yang lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik.
Bahkan perubahan yang sangat kecil pada struktur kimianya dapat sangat
mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan dengan
reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang
disebut gugus farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.[53]
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh
manusia,

akan

tetapi

mengenai

mekanisme

kerjanya

belum

banyak

dipahami dengan baik.[54]


Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan
sebagai berikut:[55]
1.

Secara

fisis, misalnya

anestetika

terbang,

laksansia,

dan diuretika

osmotis. Aktivitas anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat


lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari membran
sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari
oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya
adalah hilangnya perasaan. Pencahar osmotis (magnesium dan natrium
sulfat) lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses osmosis menarik air
dan sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian
merupakan rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic
dan mengeluarkan isinya.

2.

Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi(chelator).


Antasida, seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida
dapat mengikat kelebihan asam lambung melalui reaksi netralisasi kimiawi.
Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan suatu
ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah
diekskresikan oleh ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium
edetat (EDTA), dan penisilamin (dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat
rematik.

3.

Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang


mengganggu pembentukan dinding sel kuman, sintesa protein, atau
metabolisme

asam

nukleinat.

Begitu

pula

antimikroba

mencegah

pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulir


proses filtrasi contoh lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat
menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain amoksisilin) pada sekresi
tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya diperpanjang.
4.

Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni


kompetisi untuk reseptor spesifik atau untuk enzim.
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan
lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara
substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.[56]
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas
atau bagiannya dalam organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat
terikat. Persyaratan untuk interaksi obat-reseptor adalah pembentukan
kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar
terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan
suatu obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek,
setelah membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik.

Aktivitas intrinsik menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh


masing-masing senyawa.[57]
Secara

farmakodinamik

dapat

dibedakan

dua

jenis

antagonisme

farmakodinamik, yakni:[58]
1.

Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang


sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin
dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik
dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.

2.

Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor


yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya,
efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan
pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
[59]
Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di
tempat ikatan agonis secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis
kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang
sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej
yang sama.[60]
Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis
nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis.
Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang tetapi afinitas
terhadap reseptornya tidak berubah.[61]

Anda mungkin juga menyukai