Anda di halaman 1dari 4

Rabu, 090316.

20:00

Pos Modern di Pos Ronda: Refleksi atas Refleksi


Oleh: Rio Heykhal @belvage

Kajian-kajian posmodern atawa paska-strukturalis yang kian merembes ke lingkungan


akademik di Indonesia berkat persebaran buku-bukunya dewasa ini seolah mengundang
kecemasan, keraguan bahkan sinisme di sebagian pegiat ilmu sosial. Reaksi semacam itu
muncul khususnya di kalangan intelektual yang tumbuh dalam persemaian ilmu-ilmu
modern dan telah melempar tali kemudinya dengan jangkar dan kompas modernisme. Hal
itu tampak dari beberapa tulisan yang pernah saya baca, misalnya seperti Ahimsa-Putra
(2014) yang berjudul Antropologi Postmodern: Sketsa Sebuah Paradigma Antropologi.
Dalam tulisannya tersebut ia mencoba menguraikan dan memetakan wacana posmodern
dalam Antropologi dengan menunjukkan ciri khas dari posmodern itu sendiri.
... (a) penghargaan pada pluralitas atau kemajemukan pandangan; (b)
kesangsian terhadap setiap bentuk dan upaya representasi; dan (c) kesangsian
terhadap netralitas ilmu pengetahuan. Berbagai ciri ini tentu tidak muncul
begitu saja. Karakternya yang pluralistik serta penghargaannya terhadap
pluralitas sedikit-banyak terkait dengan sumber-sumber pemikiran
posmodernisme yang memang banyak, dan sebagian besar tidak berasal dari
pemikiran-pemikiran akademik yang sudah ada (Ahimsa-Putra, 2014: 26).
Sementara tulisan lain saya temukan pada naskah Daud Aris Tanudirjo (2016) berjudul
Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodern hingga Pseudosains - yang dari judulnya saja
sudah problematis dan dapat dijadikan pokok bahasan tersendiri. Hal problematis tersebut,
tak lain terletak pada struktur berpikir penulisnya saat menyejajarkan istilah posmodern
dan pseudosains yang diperantarai dengan kata hingga. Dalam tata-bahasa itu, penulis
seolah sedang membayangkan bahwa hubungan posmodern dengan pseudosains layaknya
Jalan Anyer sampai Panarukan. Posmodern diterjemahkannya sebagai suatu fase yang
ujungnya adalah pseudosains, atau dengan kata lain, tidak memiliki basis epistemologi
yang jelas, sejelas ilmu modern. Tetapi apa itu pseodusains? Si penulis menjelaskan;

Pseudosains adalah bagian kecil dari kelompok tidak ilmiah. Secara umum,
pseudosains selalu memberikan kesan seolah-olah memiliki dasar penalaran
yang sesuai dengan penalaran ilmu pengetahuan atau sains umumnya.
Pseudosains juga cenderung menonjolkan metodologi yang canggih dan
akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu (lihat, hl:12).

Bila diperhatikan secara seksama, dua argumentasi yang (telah dengan sengaja saya
potong dan tampilkan) disajikan oleh kedua penulis di atas memiliki kecenderungan
senada walau ada hal yang membedakannya. Argumentasi dari penulis pertama terlihat
berhati-hati memposisikan paradigma posmodern melalui analisa unsur-unsur paradigma
yang pernah ditulisnya. Sementara argumentasi dari penulis kedua agaknya sedikit terlalu
terburu-buru menyejajarkan istilah posmodern dan pseudosains di judulnya. Kesamaan
Ahimsa-Putra dan Tanudirjo di argumentasi masing-masing terletak pada pembayangan
keduanya ketika secara implisit menerangkan asal-usul posmodern. Penulis yang pertama
menganggap karakter posmodern ..yang pluralistik serta penghargaannya terhadap
pluralitas.., sebagian besar tidak berasal dari pemikiran-pemikiran akademik yang sudah
ada, atau dengan bahasa yang lain, ia hendak menyatakan bahwa terdapat diskontinuitas
antara sebagian besar pemikiran posmodern sekarang dengan pemikiran akademik yang
sudah ada - yang dapat juga dikatakan bahwa sebagian besar pemikiran dalam posmodern
adalah sesuatu yang lain, liyan/asing, berbeda dengan pemikiran yang ada. Padahal
jika melihat konteks kemunculan posmodern dari sejarah sosial masyarakat tempat ilmu
itu nongol, merebaknya gagasan posmodern yang seperti kacang rebus pas lagi hujan
sama halnya dengan munculnya strukturalisme ketika menggantikan eksistensialisme.
Bukan berarti pergeseran kecenderungan berpikir tersebut merupakan perkembangan
teoritik yang hanya berlangsung di kepala teoritikus, melainkan muncul sebagai reaksi
dan penjelas terhadap berbagai peristiwa empiris dari perubahan sosial masyarakat yang
mengglobal, di mana pada saat bersamaan, munculnya beragam identitas ke permukaan
lantaran efek dari terkoneksinya kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain (lihat,
Odonnell) juga sekaligus mengakibatkan xenophobia, kaburnya batas-batas administratif
suatu negara (lihat, Appadurai) yang diikuti dengan kian tegasnya batas identitas (lihat,
Huttington), membuat persoalan liyan memungkinkan posmodern muncul mengusung
gagasan emansipasi radikal, sebagaimana karya Foucault tentang bagaimana rasionalitas

modern memperlakukan orang gila dan mendisiplinkan seksualitas (yang mengingatkan


pada kericuhan LBGT kemarin - kalau masih ingat) - di mana gaya rasionalitas modern
dalam mendakwa ilmu liyan inilah yang rupa-rupanya juga sedikit tercermin di tulisan
Tanudirjo ketika menyatakan, Pseudosains juga cenderung menonjolkan metodologi
yang canggih dan akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu.
Btw, saya jadi sedikit penasaran dan bertanya-tanya, bukankah setiap pengetahuan
hanya dapat dinyatakan sebagai ilmu lantaran persentuhannya dengan klaim kebenaran?
Lalu jika pseudosains dianggapnya sebagai ilmu tertentu yang menonjolkan metodologi
canggih dan akurat, bukankah seandainya ilmu tertentu itu mau melakukan penamaan
terhadap ilmu lain di luar dirinya, ia juga akan mengatakan ilmu yang ditekuni Tanudirjo
itu sebagai ilmu tertentu yang menonjolkan metodologi canggih dan akurat? Bagaimana
jika si pseudosainstis tak berminat menjadi Arysio Santos yang membangun klaim bahwa
Atlantis adalah Nusantara? Pertanyaan ini jika diteruskan; mengapa sampai ada orang
yang tertarik pada pseudosains? Adakah ini gejala yang menandakan kemunduran ilmu
yang bukan pseudosains dalam menjawab masalah-masalah kemanusiaan, karena tidak
mampu menyuguhkan gagasan semenarik dan seprovokatif pseudosains, sehingga orang
lebih memilih pseudosains ketimbang ilmu yang bukan pseudosains? Ataukah struktur
argumentasi dalam mengenalkan istilah pseudosains = tidak ilmiah sama halnya dengan
wacana dari Orde Baru tentang PKI = ateis, yang tak lain hanyalah hantu-hantu imajiner
dalam gagasan bawah sadar yang dihadirkan demi memenuhi kebutuhan kambing hitam
supaya dapat memecah kontradiksi empiris yang sedang dihadapi oleh penulisnya sendiri?
Dengan memunculkan obyek yang dinamakannya sebagai ilmu tertentu supaya dapat
disalahkan, dan dengan begitu menjawab berbagai persoalan yang menimpa manusia
Indonesia? Lagipula, tidakkah setiap yang menempuh jalan pembelajaran justru mestinya
mampu membangun sistem berpikir independen, sebab dengan begitu dialektika dapat
terus berlangsung dan ilmu pengetahuan bisa terus berkembang? Atau si penulis belum
membaca buku Daniel Dhakidae yang Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru, atau Thomas Kuhn The Structure of Saintific Revolutions?
Kalau belum, lhaa...sama berarti, saya juga belum.

Sumber Bacaan
- Ahimsa-Putra.
2014. Antropologi Postmodern: Sketsa Sebuah Paradigma Antropologi, dalam Teori,
Etnografi dan Refleksi, 50 Tahun Antropologi. Yogyakarta: Pintal bekerjasama
dengan Jurusan Antropologi UGM. Pp.3-30.
- Appadurai, Arjun.
1990. Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam Current
Anthropology, pada silabus perkuliahan Perubahan Sosial dan Kebudayaan,
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
- Daud Aris Tanudirjo.
2016. Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodern hingga Pseudosains, dibacakan dalam
Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-70 FIB UGM.
- Huttington, Samuel P.
2004. The Clash of Civilizations?. Olin Institutes project on The Canging Security
Environment and American National Interests.
- Odonnell, Kevin.
2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai