20:00
Pseudosains adalah bagian kecil dari kelompok tidak ilmiah. Secara umum,
pseudosains selalu memberikan kesan seolah-olah memiliki dasar penalaran
yang sesuai dengan penalaran ilmu pengetahuan atau sains umumnya.
Pseudosains juga cenderung menonjolkan metodologi yang canggih dan
akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu (lihat, hl:12).
Bila diperhatikan secara seksama, dua argumentasi yang (telah dengan sengaja saya
potong dan tampilkan) disajikan oleh kedua penulis di atas memiliki kecenderungan
senada walau ada hal yang membedakannya. Argumentasi dari penulis pertama terlihat
berhati-hati memposisikan paradigma posmodern melalui analisa unsur-unsur paradigma
yang pernah ditulisnya. Sementara argumentasi dari penulis kedua agaknya sedikit terlalu
terburu-buru menyejajarkan istilah posmodern dan pseudosains di judulnya. Kesamaan
Ahimsa-Putra dan Tanudirjo di argumentasi masing-masing terletak pada pembayangan
keduanya ketika secara implisit menerangkan asal-usul posmodern. Penulis yang pertama
menganggap karakter posmodern ..yang pluralistik serta penghargaannya terhadap
pluralitas.., sebagian besar tidak berasal dari pemikiran-pemikiran akademik yang sudah
ada, atau dengan bahasa yang lain, ia hendak menyatakan bahwa terdapat diskontinuitas
antara sebagian besar pemikiran posmodern sekarang dengan pemikiran akademik yang
sudah ada - yang dapat juga dikatakan bahwa sebagian besar pemikiran dalam posmodern
adalah sesuatu yang lain, liyan/asing, berbeda dengan pemikiran yang ada. Padahal
jika melihat konteks kemunculan posmodern dari sejarah sosial masyarakat tempat ilmu
itu nongol, merebaknya gagasan posmodern yang seperti kacang rebus pas lagi hujan
sama halnya dengan munculnya strukturalisme ketika menggantikan eksistensialisme.
Bukan berarti pergeseran kecenderungan berpikir tersebut merupakan perkembangan
teoritik yang hanya berlangsung di kepala teoritikus, melainkan muncul sebagai reaksi
dan penjelas terhadap berbagai peristiwa empiris dari perubahan sosial masyarakat yang
mengglobal, di mana pada saat bersamaan, munculnya beragam identitas ke permukaan
lantaran efek dari terkoneksinya kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain (lihat,
Odonnell) juga sekaligus mengakibatkan xenophobia, kaburnya batas-batas administratif
suatu negara (lihat, Appadurai) yang diikuti dengan kian tegasnya batas identitas (lihat,
Huttington), membuat persoalan liyan memungkinkan posmodern muncul mengusung
gagasan emansipasi radikal, sebagaimana karya Foucault tentang bagaimana rasionalitas
Sumber Bacaan
- Ahimsa-Putra.
2014. Antropologi Postmodern: Sketsa Sebuah Paradigma Antropologi, dalam Teori,
Etnografi dan Refleksi, 50 Tahun Antropologi. Yogyakarta: Pintal bekerjasama
dengan Jurusan Antropologi UGM. Pp.3-30.
- Appadurai, Arjun.
1990. Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam Current
Anthropology, pada silabus perkuliahan Perubahan Sosial dan Kebudayaan,
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
- Daud Aris Tanudirjo.
2016. Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodern hingga Pseudosains, dibacakan dalam
Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-70 FIB UGM.
- Huttington, Samuel P.
2004. The Clash of Civilizations?. Olin Institutes project on The Canging Security
Environment and American National Interests.
- Odonnell, Kevin.
2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.