Anda di halaman 1dari 33

0

PRESENTASI LAPORAN KASUS


ANESTESI PADA ME ANTERIOR

FISCA LUVITTA YANTHI


10310154

PEMBIMBING
dr. H. Nano Sukarno, Sp. An
dr. Teguh Santoso Efendi, Sp. An-KIC,. M.Kes
dr. Andika Chandra Putri, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI DAERAH LAMPUNG
BAGIAN/SMF ANATESIOLOGI DAN REANIMASI RSUD DR.SOEKARJO
TASIKMALAYA 2015

PRESENTASI KASUS

A.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. AR

Usia

: 32 tahun

Pendidikan

: SD

Agama

: Islam

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Pekerjaan

: Guru

Alamat

: Kp. Ciganda 001/005 Kel/Desa Bojong Gambir


Kota Tasikmalaya

B.

Tanggal Masuk RS

: 26 Mei 2015

No. CM

: 15256043

Dokter Anestesi

: dr. Andika Chandra Putri, Sp. An

Dokter Bedah

: dr. andre Sp.BS

PERSIAPAN PRE-OPERASI
1.

Anamnesa
a.

A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma;

b.

M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu;

c.

P (Past Medical History)


Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-);

d.

L (Last Meal)
Pasien terakhir makan 7 jam pre-operasi;

e.

E (Elicit History)
Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 26 Mei 2015
dibawa keluarganya dengan keluhan terdapat benjolan di kepala bagian

depan dekat hidung kiri. Benjolan tersebut sudah ada sejak os masih bayi
benjolan awalnya kecil dan seiring berjalannya waktu semakin membesar
namun benjolan tersebut tidak disertai adanya nyeri. Os merasa
penglihatannya berkurang, BAB dan BAK tidak ada keluhan riwayat
demam dan trauma disangkal oleh pasien.
2.

Pemeriksaan Fisik
Tanggal Periksa

: 26 Mei 2015

Waktu pemeriksaan

: 15.30 WIB

Dirawat di

: HCU

Vital sign
a. KU
b. Kesadaran
c. TD
d. Nadi
e. Respirasi
f. Suhu

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: 110/70 mmHg
: 82x/ menit
: 20 x/ menit
: 36.10 C

Status Genealisata
Berat badan

: 45 Kg

Kepala
o Mata

Palpebra
Konjungtiva
Sklera
Pupil

: tidak bengkak dan cekung


: anemis ( - ) / ( - )
: ikterik ( - ) / ( - )
: refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil
Isokor dextra = sinistra

Hidung
Pernapasa cuping hidung
Sekret `
Mukosa hiperemis
Telinga
Nyeri tekan ragus
Auricula
Meatus akustikus eksternus
Mulut

:(-)
:(-)
:(-)
:(-)/(-)
: tidak tampak kelainan
: (+)/(+)

o
o

Bibir
Tonsil
Leher
KGB
Thoraks
Infeksi

: mukosa bibir kering, sianosis ( - )


: T2 / T2
: pembesaran ( - ) / ( - )

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Bentuk gerak simetris dextra = sinistra,


rektraksi supraclavicula ( - ) / ( - ), retraksi
intercostalis ( - ) / ( - ), retraksi subcostalis
( - ) / ( - ) dan retraksi epigastrium ( - )
: iktus kordis teraba,
: sonor
: Vesiculer breathing sound ( + ) / ( + ),
Weezhing ( - ) / ( - ), Ronki ( - ) / ( - ), Bunyi
Jantung I, II regular, Gallop (-), Mur-Mur (-)

Abdomen
Inspeksi
Auskulasi
Palpasi

o
o

Hepar dan Lien


Palpasi
Ekstremitas
Edema
Warna

3.

seluruh kuadran
Perkusi

: Bentuk datar
: Bising usus ( + ) normal
: lembut datar, tidak ada nyeri tekan pada
: Timpani

: Tidak teraba

: Ekstremitas atas dan bawah ( - )


: Kemerahan pada ekstremitas atas dan
ekstremitas bawah
Jari-jari
: Normal, akral sianosis ( - )
Capilari Refill Time : Kurang dari 2 detik
Akral hangat pada semua ektremitas

Pemeriksaan Penunjang
-

Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 21 Mei 2015

Jenis pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Satuan

Metode

Hematologi
C28
Waktu Perdarahan (BT)
C27
Waktu Pembekuan (CT)

2.00
4.00

1-3
1-7

Menit
Menit

Duke
Slide Test

G28
G29
H01
H14
H15
H22
E48

Golongan Darah
Rhesus
Hemoglobin
Hematokrit
Jml Leukosit
Jml Trombosit
Laju Endap Darah

AB
POSITIF
13.5
40
7.000
278.000
62/75

P: 12-16; L: 14-18
P: 35-45; L: 40-50
5.000-10.000
150.000-350.000
P= < 20; L= <15

g/dl
%
/mm3
/mm3
mm/ja

Slide Test
Slide Test
Auto Analyzer
Auto Analyzer
Auto Analyzer
Auto Analyzer
Ves Matic

m
KARBOHIDRAT
K01
Glukosa Sewaktu
FAAL GINJAL
K04
Ureum
K05
Keratini
FAAL HATI/JANTUNG
K11
SGOT (ASAT)
K12

SGPT (ALAT)

130

76-110

mg/dl

GOD POD

35
0.82

15-45
P: 0.5-0.9; L: 0.7-1.12

mg/dl
mg/dl

Urease Klinetik UV
Kinetic Jaffe

23

P: 10-31; L: 10-38

U/L/37

Klinek UV-IFCC

18

P: 9-32; L: 9-40

^
U/L/37

Klinek UV-IFCC

^
ELEKTROLIT
K27
K28
K29

Natrium
Klium
Kalsium

145
3.9
1.32

135-145
3.5-5.0
0.80-1.10

mmol/L
mmol/L
mmol/L

ISE
ISE
ISE

Hasil Radiologi
CT-Scan kepala dari OML sampai vertek slice interval 10 mm, potongan axial
polos tanpa kontras mass jaringan lunak sekirat Nasal Maxilla kiri Os Maxilla
dan Os Nasal utuh tak erosive tak destruksi Cavum nasi posterior tebal rhinitis
Tak tampak lesi perdarahan Cerebri
Lesi hipoden cerebri temporal kiri dd infrak atau lainnya
Sistem ventrikel lateral III dan IV tak tampak kelainan
Tak tampak shifting midline line ke kiri kanan
Batang otak dan otak kecil tak tampak kelainan
Pneumatisasi mastoid kurang berkembang
Calvaria dan jaringan lunak sekitarnya tak tampak kelainan
Kesan :

CT-scan kepala polos tanpa kontras saat ini belum tampak tanda-tanda
perdarahan cerebri
Sesuai observasi MAE Kiri (Meningoensefalo cele anterior )
Dengan focal infrak cerebri temporal kiri atau fokal colekting cairan
terlokalisir, cysta?

4.

Diagnosa Klinis
Meningensefalokel anterior

5.

Kesimpulan
Status ASA ( American Society Of Anasteriologists ) merupakan suatu
kelasifikasi untuk melinai kebuhgaran fisik seseorang.
Untuk pasien ini Status ASA I

C.

LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)


- Diagnosis pra-bedah

: ME Anterior

Jenis Pembedahan

: ME Reseksi

Jenis Anestesi

: Narkose Umum

Premedikasi

: Ondansentron 4 mg
Dexamethason 10 mg
Lidocain 60 mg

Medikasi Induksi

: Propofol 100 mg
Fentanyl 100 g
Noveron 30 mg

Maitenance

: Gas Anestesi Isofluran MAC 2 %


N2O 3 L/mnt

50%

50%

O2 3 L/mnt

Teknik Intubasi

: Intubasi Endotrachealtube (ETT)

Respirasi

: kontrol

Posisi

: Supine

Cairan Perioperatif

Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
Kebutuhan Basal

10 x 4 = 40 cc
10 x 2 = 20 cc
10 x 1 = 25 cc

85 cc/jam

Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan


= 7 x 85 cc/jam
= 595 cc

Insensible Water Loss = Jenis Operasi x Berat Badan


= 8 x 45 kg
= 360 cc

Kebutuhan cairan 1 jam pertama


= ( x puasa) + IWL + maintenance
= ( x 595) + 360 + 85 cc
= 742,5 cc

Kebutuhan cairan 1 jam kedua

=( x puasa ) + IWL + maintenance


=( x 595 ) + 360 + 85
= 593,75 cc

Perdarahan

= 30 cc

EBV

= BB x Konstanta pria dewasa


= 45 x 75
= 3375 cc

Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi

Pasien diposisikan pada posisi supine

Memasang sensor finger pada tangan kiri pasien untuk


monitoring SpO2 dan SPO2 Rate. Dan memasang manset pada
lengan kanan pasien untuk monitoring tekanan darah

Pemberian obat Ondansentron 2 mg dan dexamethason 50 mg


(iv) dimasukkan untuk tujuan premedikasi

Obat berikut diberikan secara intravena:

Fenthanyl

100 g

Propofol

100 mg

Lidocain

60 mg

Noveron

30

mg

Asam traneksamat 50 mg

Dexsametason 10 mg

Tramadol

100 mg

Ondansetron

4 mg

Katerolak

60 mg

Pemberian gas anestesi dengan O2 dan N2O perbandingan 50:50


(O2 3L/menit dan N2O 3L/menit) serta Isofluran 2 Vol% selama
1-2 menit.

Dipastikan airway pasien paten dan terkontrol

Dipastikan pasien sudah dalam kondisi tidak sadar dan stabil


untuk dilakukan intubasi ETT dengan nomor 7,0

Pemasangan ETT dibantu dengan laryngoschope

Setelah intubasi ETT cek suara nafas pada apek paru kanan dan
paru kiri, bassis paru kanan dan paru kiri serta lambung dengan
stetoskop, pastikan suara nafas dan dada mengembang simetris

Fiksasi ETT dan sambungkan ke conector Jackson-Rees

Maintenance dengan inhalasi O2 3 liter/menit, N2O 3 liter/menit,


Isofluran 2 vol%

Monitor tanda tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen,


tandatanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan
nafas, nyeri)

Cek Vital Sign Setiap 15 menit


TIME
09.30
09.45
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15

SATURASI
65
65
68
68
65
67
67
67

HEART RATE

TEKAN

87x/menit
87x/menit
89x/menit
89x/menit
85x/menit
89x/menit
89x/menit
89x/menit

DARAH
97/54 mmhg
95/69 mmhg
98/60 mmhg
90/55 mmhg
87/55 mmhg
85/55 mmhg
100/63 mmhg
100/65 mmhg

Setelah operasi selesai gas anestesi yang di pakai hanya Oksigen


sebanyak 7 liter/menit. Selanjutnya dilakukan ekstubasi bangun (awake
extubation), sebelumnya dilakukan suction untuk membersihkan jalan napas.
Setelah pasien bangun dan jalan napas benar-benar bersih maka dilakukan
ekstubasi. Oksigenisasi setelah ekstubasi dengan cara di cuff sampai pasien
memberikan respon gerak tangan sebagai tanda bahwa pasien telah bangun dan
jalan napas pasien telah aman. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar dari
ruangan operasi) bila Aldrete Score 8

D.

POST-OPERASI
Setelah pasien dinilai dengan Aldrete Score dan didapatkan nilai Aldrete
Score 8, maka pasien diperbolehkan pindah ruangan.
Infuse

: RL 20 gtt/menit

Analgetik Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip dalam


500 cc RL
Antibiotik

: sesuai TS bedah

Makan dan minum dapat dimulai tergantung dr.bedah


E.

FOLLOW UP PASCA OPERASI


1. Hari Pertama Beberapa Jam Post-Operasi (27 mei 2015 )

Pasien dirawat di ruang HCU

Pasien masih dipuasakan

Pasien diberikan cairan infus RL 20 gtt/menit

Analgetik ketorolac 60 mg dan tramadol 100 mg diberikan perinfus dengan


cara didrip

Keadaan umum

: baik

10

Kesadaran

: Compos mentis

Vital sign

: TD

= 125/83 mmhg

= 78 x/menit

= 35.6o C

= 21 x/menit

Hasil pemerikasaan laboratorium ( 27 mei 2015 ) post operasi


Jenis

hasil

Nilai normal

Satuan

Metode

pemeriksaaan
Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Jumlah leukosit

11,9
30
14.500

g/dl
%
Mm3

Auto analyzer
Auto analyzer
Auto analyzer

Jumlah trombosit

248.000

P: 12-16 L:14-18
P:35-45 L:40-50
Dws : 5.000-10.000
Bayi : 7.000-17.000
150.000-350.000

Mm3

Auto analyzer

144
3,9
1,31

134-146
3,40-4,50
0,90-1,20

Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L

ISE
ISE
ISE

Elektrolot
Natrium Na
Kalium K
Kalsium Ca

F.

PEMBAHASAN
1. Pre-Operatif

11

a. Anamnesa
Dikeluhkan adanya benjolah pada kepala bagian depan. Riwayat asma,
hipertensi, diabetes, penyakit jantung disangkal oleh pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Berat badan

: 45 kg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 36.1o C

Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kepala

: Dalam batas normal

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks

: teraba benjolan di region mammae dextra,


konsistensi keras, batas tidak tegas.

Abdomen

: Dalam batas normal

Ekstremitas

: Dalam batas normal

c. Pemeriksaan Penunjang
Data tanggal 21 mei 2015
-

BT, CT

: Dalam batas normal

HB

: Dalam batas normal

HT, Trombosit, Leukosit

: Dalam batas normal

Gula darah sewaktu

: Dalam batas normal

Ureum, kreatinin

: Dalam batas normal

SGOT, SGPT

Na, K, Ca

: Dalam batas normal


: Dalam batas normal

Kesimpulan : MEA (Meningoensefalokel anterior )

12

2. Anestesi

: Ternilai ASA I

ASA (American Society of Anesthesiologists) merupakan suatu klasifikasi


untuk menilai kebugaran fisik seseorang.
3.

Rencana Anestesi

: Narkose Umum

Premedikasi :

Ondansentron

mg,

dexamethason 50 mg dan lidocain 60 mg


Loading cairan dengan RL 500 cc untuk mengganti cairan puasa 7
jam pre-operasi, agar komposisi cairan pasien yang berkurang saat puasa
terpenuhi.
2. Durante Operatif

Teknik Anestesi

: Intubasi Endotrachealtube

Obat Anestesi

: propofol 100 mg
Fentanyl 100 mcg
Noveron 30 mg

Maitenance

Kebutuhan Cairan

: Gas Anestesi Sevofluran MAC 2 %


N2O 3 L/mnt

50%

O2 3 L/mnt

50%

: 1 jam pertama : 742,5 cc


1 jam kedua

: 593,75 cc

Pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi
umum (general Anestesi), yang dikarenakan pembedahan akan dilakukan
didaerah kepala dan operasi yang dilakukan mengambil waktu yang lama.
Pada anestesi umum trias anestesi dilakukan untuk menginduksi pasien
dengan obat hipnotik sedasi, analgetik dan pelemas otot.

13

Propofol merupakan hipnotik sedatif IV yang digunakan dalam


menginduksi atau memelihara anestesi. Mula kerjanya pelan dan terjadi
dalam waktu kira-kira 40 detik pemberian. Propofol tidak menggangu
fungsi ginjal yang dinilai dari konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang
lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai
phenol. Namun perubahan urin yang ini tidak menggangu fungsi ginjal.
Namun eksresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat propofol
yang di tandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan
suhu urin yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.
Sevofluran merupakan sedative/hipnotika inhalasi yang digunakan
dalam menginduksi atau memelihara anestesi. dengan waktu induksi dan
pulih yang cepat. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran
menurunkan curah jantung, tekanan darah. Sevofluran juga menurunkan laju
metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan TIK dan aliran
darah otak. Ini dapat dikurangi dengan teknik hiperventilasi. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Untuk mengurangi rasa sakit pada saat induksi diberikan fentanyl yang
merupakan agonis opioid poten. fentanyl, mempunyai awitan yang cepat
dan aksi yang lama sehingga mencerminkan klarutan lipid yang besar dalam
tubuh defresi dari ventilasi tergantung pada dosis dan dapat berlangsung
lebih

lama

daripada

analgesia

lainnya.

Stabilitas

kardiovaskular

dipertahanmkan walaupun dalam dosis besar saat digunakan sebagai


anastestik tunggal. Aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak dan
tekanan intracranial menurun.
Untuk memudahka intubasi pada saat induksi maka diberikan obat
anestesi jenis pelemas otot yaitu noveron .noveron merupakan obat pelemas
otot non depolarisasi steroid yang bekerja berkopetensi dengan reseptor

14

kolinergik pada lempeng akhiran motorik, dengan dosis yang meningkat


awitan waktu yang berkurang dan lama waktu diperpanjang, tidak ada
perubahan secara klinis yang bermakna dalam parameter hemodinamik.
Selain menggunakan sevofluran digunakan juga Nitrogen Oksida
(N2O) untuk maintanence yang mempunyai sifat analgesik kuat dan
anestetik lemah. Perpindahan kedalam dan keluar tubuh sangat cepat
sehingga dapat meningkatkan volume (pneumotoraks) atau tekanan (sinus
sinus) dalam bagian tubuh yang berdekatan. Kecepatan perpindahannya juga
dapat memperlambat ambilan oksigen selama sadar kembali, jadi
menyebabkan difusi hipoksia. N2O tidak menekan pernapasan, tidak
merelaksasi otot, efek terhadap kardiovaskular dan SSP (otak) sedikit, efek
hepatotoksik paling sedikit. Tapi pemberian N2O harus selalu diiringi
dengan pemberian O2 dengan perbandingan 50:50, dimana diberikan N2O
sebanyak 3 L/menit juga dibarengi pemberian O2 3 L/menit.
Saat tindakan operasi selesai dan akan dilakukan ekstubasi dalam
kondisi tanda vital dalam keadaan normal, pemberian Sevofluran dan N 2O
dihentikan. Dan pasien diberikan O2 100% 6-7 L/menit selama 15 menit.
Obat lain yang digunakan pada pasien adalah asam tranexsamat dan
dexsametasone. Asam traneksamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik
bentuk trans dari asam karboksilat sikloheksana aminimetil. Asam
traneksamat merupakan kompetitive inhibitor dari aktivator plasminogen dan
menghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen,
fibrin dan faktor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam taneksamat
dapat digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan akibat fibrinolisis
yang ebrlebihan. Dan dexsametasone seperti kortikosteroid lainnya memiliki
anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin.
Tatalaksana jalan nafas pada pasien ini dilakukan intubasi. Intubasi
adalah tindakan memasang pipa trakea kedalam trakea melalui rima glotis,
sehingga ujin distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara

15

dan bifutcatio trakea. Indikasi dilakukan intubasi pada pasien ini adalah
terutama untuk menjaga jalan nafas oleh sebab akan dilakukan bedah saraf.
Keseimbangan cairan pasien puasa dapat menyebabkan pasien menjadi
dehidrasi.resusitasi cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tandatanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Selain
itu penggantian cairan untuk mengkompensasi puasa preoperasi harus
diberikan sebelum pembedahan. Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan.
Cairan yang menggandung potasium dihindari pada pasien denga gangguan
fungsi ginjal.
Setelah ekstubasi dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penilaian Alderate Score :
ALDERATE SCORE
Nilai
Kesadaran
Warna

2
Sadar, orientasi baik
Merah muda ( pink ) tanpa

1
Dapat dibangunkan
Pucat atau

0
Tidak dapat dibangunkan
Sianosis dengan O2 SaO2

O2 SaO2 > 92 %

kehitaman perlu O2

tetap < 90 %

4 ekstremitas bergerak

agar SaO2 > 90 %


2 ekstremitas

Tak ada ekstermitas yang

Respirasi

Dapat nafs dalam dan

bergerak
Nafas dangkal ssak

bergerak
Apnu atau obstruksi

Kardiovaskuler

batuk
Tekanan darah berubah <

nafas
Berubah 20-30 %

Berubah > 50 %

Aktivitas

20 %
Jika jumlahnya > 8 pasien dapat dipindahkan keruang rawat. 5-8
diobservasi ketat, < 5 dipindahkan ke ICU
3. Post-Operatif

16

Setelah pasien dinilai dengan bila total alderate score > 8 maka pasien
sudah dapat dipindahkan dari ruangan operasi, maka pasien diperbolehkan
pindah ruagan.
Infuse

: RL 20 gtt/ menit

Analgetik : keterolak 60 mg + tramadol 100 mg IV drip


Antibiotik : sesuai TS bedah
Makan dan minum dapet dimulai tergantung dr. Bedah

MENINGOENCEPHALOCELE
I.

PENDAHULUAN
Proses penutupan atau pembentukan tuba neural disebut neurulasi primer.

Neurulasi merupakan bagian dari organogenesis yang dimulai pada hari ke-18.
Neurulasi primer dimulai pada hari ke 22 sampai hari ke 27 setelah pembuahan.
Neurulasi dimulai dari penutupan 1 daerah servikal yang meluas ke atas dan bawah.
Penutupan 2 dari batas proensefalon-mesensefalon, penutupan 3 dimulai dari
stomodeum (ujung kranial neural tube). Penutupan 4 dimulai dari rombensefalon
berjalan ke arah kranial bertemu dengan penutupan.
Defek tuba neuralis menyebabkan anomali kongenital pada susunan sistem
saraf akibat kegagalan tuba neuralis menutup secara spontan antara minggu ke-3 dan
ke-4 dalam perkembangan uterus. Meskipun penyebab pasti dari defek tuba neuralis
masih belum diketahui, terdapat bukti bahwa banyak faktor, termasuk radiasi, obatobatan, malnutrisi, bahan kimia, dan determinan genetik, yang dapat mempengaruhi
perkembangan abnormal pada susunan saraf. Defek tuba neuralis utama meliputi
spina bifida okulta, meningokel, mielomeningokel, ensefalokel, anensefali, sinus
dermal, siringomielia, diastematomiela, dan lipoma pada konus medularis.

17

Meningoensefalokel

(meningoencephalocele)

atau

disebut

juga

ensefalokel

(encephalocele) adalah salah satu kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis.
Gejala klinis sangat bervariasi tergantung malformasi serebral yang terjadi,
termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan
masuk ke dalam kantung meningoensefalokel. Jika hanya mengandung meninges
saja, prognosisnya lebih baik dan dapat berkembang normal. Meningoensefalokel
sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau kelainan otak lainnya, seperti
hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya (Syndrome Meckel, Syndrome
Dandy-Walker). 2,3
Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf,
kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin,
tindakan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit
yang tidak utuh dan perlukaan di kepala.

II.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Disrafisme Kranial (Kranium Bifidum)
Kranium bifidum atau kranioskizis, seperti spina bifida, adalah defek tabung
neural disrafik. Anomali ini lebih jarang dari spina bifida. Biasanya dapat ditindak
dan karenanya menjadi malformasi yang penting dibidang bedah saraf. Hernia si
dura dan jaringan otak melalui defek tulang digaris tengah (sefalokel) dijumpai pada
banyak kasus. Kranium bifidum terkadang bersamaan dengan spina bifida.
Insidens kranium bifidum seperlimabelas hingga sepersepuluh spina bifida:
satu per 3.000 hingga 10.000 kelahiran. Sefalokel regio oksipital umum di Eropa
dan Amerika, sedang sefalokel frontal lebih sering dari sefalokel oksipital di Asia
Tenggara. Dibeberapa daerah di Asia Tenggara meningoensefalokel lebih sering dari
mielomeningokel. Jadi predisposisi geografis mungkin

berperan pada

kranium

18

bifidum. Oksipital meningoensefalokel lebih sering pada wanita, sedang pria lebih
sering pada yang lainnya.
Kranium bifidum diklasifikasikan kedalam dua jenis: kranium bifidum
okultum dan kranium bifidum sistikum. Kranium bifidum okultum tidak berkaitan
dengan herniasi dura, karenanya tak terdeteksi hingga dewasa bila tak bergejala.
Sinus dermal intrakranial adalah disrafisme kranial okulta berupa jaringan
yang berasal dari kulit

yang persisten

terdapat diruang intrakranial,

yang

berhubungan dengan kulit. Defek tulang kecil sering tampak dibawah protuberansia
oksipital eksterna, dan beberapa rambut sering tumbuh dari sinus. Lainnya, lokasi
yang kurang sering adalah nasion. Sista dermoid mungkin terdapat pada satu atau
kedua ujung dari sinus dermal.
Sinus dermal diregio oksipital sering turun ke sambungan servikomedulari
dan berakhir sebagai dermoid disisterna magna, ventrikel keempat dan hemisfer
serebeler. Tumor dermoid pada ujung sinus dermal mungkin menimbulkan gejala
massa intrakranial. Sinus dermal mungkin tanpa gejala. Banyak kasus berakibat
meningitis rekuren, dan reseksi tak lengkap sinus dermal juga bisa menimbulkan
meningitis.
Kranium bifidum sistikum dapat dibagi menjadi lima subkelompok, sesuai isi
dari sefalokel:
1. Meningokel : hanya berisi CSS didalam sefalokel.
2.

Ensefalomeningokel atau meningoensefalokel : berisi baik CSS maupun jaringan


otak didalam sefalokel.

3. Ensefalokel : berisi hanya jaringan otak didalam sefalokel.


4.

Ensefalosistokel : penonjolan jaringan

otak

mengisi ruang yang berhubungan

dengan ventrikel.
5.

Meningoensefalosistokel, atau

ensefalosistomeningokel : berisi 'ventrikel' dan

jaringan otak plus dilatasi ruang CSS disefalokel.


Eksensefali adalah protrusi otak yang tidak ditutupi kulit. Sefalokel dapat
diklasifikasikan menurut

lokasinya.

Meningoensefalokel dapat

diklasifikasikan

19

kedalam dua kelompok: meningoensefalokel posterior atau

oksipital

dan

meningoensefalokel anterior atau frontal, yang menonjol pada sambungan tulang


frontal dan tulang nasal atau kartilago nasal.
2.2 Meningoensefalokel
Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga ensefalokel
(encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek tuba
neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial
akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum. Hal ini dimulai
pada masa embrio pada minggu ke III sampai dengan minggu ke IV; tidak
menutupnya tuba neuralis pada ujung kranial dapat menimbulkan herniasi jaringan
saraf pusat. Meningoensefalokel dapat terjadi di seluruh bagian tengkorak, tetapi
yang paling sering terjadi di regio occipital, kecuali pada orang Asia, yang lebih
sering terjadi pada regio frontal.
Herniasi atau benjolan ini dapat berisi meningen dan cairan serebrospinal saja
disebut Meningokel Kranial, dapat juga berisi meningen, cairan serebrospinal dan
jaringan/parenkhim otak disebut Meningoensefalokel. Secara umum herniasi melalui
defek kranium disebut meningoensefalokel, walaupun sebenarnya berbeda patologi,
pengobatan dan prognosisnya. Kira-kira 75% meningoensefalokel didapatkan di regio
oksipital, dapat terlihat sebagai kantong kecil bertangkai atau struktur seperti kista
besar, dapat lebih besar daripada kranium; tertutup oleh kulit seluruhnya; kadangkadang di tempat-tempat tertentu hanya dilapisi oleh membran tipis seperti kertas
perkamen. Sebanyak 15% dari ensefalokel terletak di frantal.
Isi meningoensefalokel dapat diketahui dengan transiluminasi dan USG. Pada
pemeriksaan

mikroskopis,

biasanya

akan

didapatkan

jaringan

otak

abnormal/displasia. Insiden meningoensefalokel 1-5 per 10000 bayi lahir hidup;


paling kecil dari seluruh penyakit defek tuba neuralis (8% - 19%). Di Eropa dan

20

Amerika hampir 80% - 90% meningoensefalokel terdapat di regio oksipital;


meningoensefalokel di daerah anterior (frontal, nasofrontal, nasofaringeal) lebih
sering di Asia Tenggara.

2.3 Etiologi
Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf
selama perkembangan janin. Kegagalan penutupan tabung saraf ini disebabkan oleh
gangguan pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya asupan
asam folat selama kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama infeksi
TORCH, mutasi gen (terpapar bahan radiologi), obat obatan yang mengandung
bahan yang terotegenik. Meningoensefalokel juga disebabkan oleh defek tulang
kepala, biasanya terjadi dibagian occipitalis, kadang kadang juga dibagian nasal,
frontal, atau parietal.
Walaupun penyebab pasti defek tuba neuralis masih belum diketahui,
beberapa faktor antara lain radiasi, obat-obatan, malnutrisi, bahan-bahan kimia dan
faktor genetik terbukti mempengaruhi perkembangan susunan saraf pusat sejak
konsepsi, Penulis lain berpendapat bahwa maternal hypertermia pada hamil muda
juga merupakan fakor penyebab meningoensefalokel. Data terakhir menyebutkan
bahwa suplementasi vitamin seperti folic acid saat sekitar konsepsi akan mencegah
defek tuba neuralis.

2.4 Embriologi
Condition
Chemke Syndrome

Pattern of Inheritance
Autosoma Recessive

Associated Findings
Hydrocephalus, cerebellar
renital
cataracts

dysplasia,

corneal

dysge

opa

21

Cryptopthalmos

Syndrome Autosoma Recessive

(Fraser)

Skin of forhead cover one or both

total/partial syndactyl of fingers or to

Short tubular bones, bowing of extre


Dyssegmental dwarfism

Autosoma Recessive

vertebral anomalies, small thorax,


palate, micrognathia

Ocular hypertelorism, median clift lip


Frontonasal dysplasia

Sporadic

Retinal

detachment,

Knobioch syndrome

Autosoma Recessive

intelegence
Polydactyl,

Meckel-Gruber syndrome

Autosoma Recessive

myopia,

policysty

ki

oligohydramnion, other CNS abnorm


Limb

amputations,

clefts,thoracoabdominal wall defects


Amniotic band (rupture)

Sporadic

malformation
Short

or

absent

limbs,

facial

hypertelorism, heart and kidneys defe


Roberts syndrome

Autosoma Recessive

Pada embryogenesis, tuba neuralis menutup pada hari ke-27 atau ke-28
kehamilan. Ujung anterior dan posterior tuba neuralis menutup pada saat berbeda.
Neuropore anterior yang terletak sama tinggi dengan foramen cecum menutup pada
hari ke ke-24.
Teori mengenai terjadinya ensefalokel:

Kegagalan penutupan tuba neuralis sebelum hari ke 25 kehamilan.

Terbukanya kembali tuba neuralis setelah penutupan pada minggu ke-8 kehamilan
karena adanya defek permeabilitas pada dasar ventrikel keempat.

Defek primer pada jaringan penyusunan mesensefalon yang menyebabkan terjadinya


herniasi encephalon sehingga terbentuk ensefalokel oksipital.

22

Hidrosefalus dapat muncul menyertai ensefalokel karena adanya distorsi


saluran cairan otak / CSF10.
Ensefalokel dapat muncul sebagai salah satu komponen utama sebuah
sindrom. Sindrom dengan ensefalokel sebagai komponen utama yakni Chernkes
syndrome, Fraser syndrome, Knoblochs syndrome, Meckel-Grubers syndrome,
Roberts syndrome, amniotic band syndrome, dwarfisme dissegmental, dan dysplasia
frontonasal.
Tabel 2. 1 Sindrom dengan Ensefalokel sebagai Komponen Utama
2.5 Klasifikasi
Berikut adalah klasifikasi meningoensefalokel menurut Suwanwela:
I.
II.

Ensefalomeningokel oksipital
Ensefalomeningokel lengkung tengkorak
A. Interfrontal
B. Fontanel anterior
C. Interparietal
D. Fontanel posterior
E. Temporal

III.

Ensefalomeningokel fronto-ethmoidal
A. Nasofrontal
B. Naso-ethmoidal
C. Naso-orbital

IV. Ensefalomeningokel basal


A. Transethmoidal
B. Sfeno-ethmoidal
C. Transsfenoidal
D. Frontosfenoidal atau sfeno-orbital
V. Kranioskhisis
A. Kranial, fasial atas bercelah

23

B. Basal, fasial bawah bercelah


C. Oksipitoservikal bercelah
D. Akrania dan anensefali.
Meningoensefalokel oksipital

merupakan 70 persen sefalokel (pada

geografis). Dibagi ke dalam subkelompok sesuai hubungannya dengan protuberansia


oksipital eksterna (EOP) : sefalokel oksipitalis superior, dimana terletak di atas EOP,
dan sefalokel oksipitalis inferior, yang terletak dibawah EOP. Penonjolan lobus
oksipital tampak di sefalokel superior, dimana serebelum menonjol dalam sefalokel
inferior. Bila defek tulang meluas turun keforamen magnum, keadaan ini disebut
sefalokel oksipitalis magna. Hubungan sefalokel ini dengan spina bifida servikalis
disebut sefalokel oksipitoservikalis (iniensefali).
Meningoensefalokel

anterior

meningoensefalokel posterior. Yang

lebih

pertama

jarang

terjadi

biasanya dibagi

dibandingkan
ke dalam dua

kelompok : meningoensefalokel sinsipital (tampak) dan meningoensefalokel basal


(tak tampak). Mungkin juga dibagi kedalam empat kelompok:
(1) meningoensefalokel frontal,
(2) meningoensefalokel frontonasal,
(3) meningoensefalokel fronto-ethmoid, dan
(4) meningoensefalokel nasofaringeal.
Sambungan tulang frontal dan kartilago nasal adalah tempat tersering dari
sefalokel; hubungan ini menjadi titik lemah karena pertumbuhan yang berbeda tulang
frontal dan kartilago nasal. Suwanwela menyebut sefalokel diregio ini sebagai
meningoensefalokel fronto-ethmoid dan dikelompokkan kedalam tiga subkelompok:
1. Jenis nasofrontal: menonjol pada sambungan tulang frontal dan tulang nasal.
2. Jenis nasoethmoid: menonjol pada tulang nasal atau kartilago nasal.
3. Jenis naso-orbital: menonjol dari bagian anterior tulang ethmoid dari bagian anterior
orbit.

24

Meningoensefalokel basal dapat dibagi kedalam lima kelompok:


1. Meningoensefalokel transethmoidal (intranasal) : herniasi ke dalam kavum nasal
melalui lamina kribrosa.
2. Meningoensefalokel sfeno-ethmoid (intranasal posterior) : herniasi ke bagian
posterior kavum nasal melalui tulang sfenoid.
3. Meningoensefalokel transsfenoid (sfenofaringeal): herniasi ke nasofaring melalui
tulang sfenoid.
4. Meningoensefalokel sfeno-orbital: herniasi keruang orbit melalui fissura orbital
superior.
5. Meningoensefalokel sfenomaksillari: herniasi kerongga orbit melalui fissura
pterigoid, kemudian kefossa pterigoid melalui fissura intra orbital.
2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis sangat bervariasi tergantung malformasi serebral yang terjadi,
termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan
masuk ke dalam kantung meningoensefalokel. Jika hanya mengandung meningen
saja, prognosisnya lebih baik dan dapat berkembang normal. Gejala-gejala
sehubungan dengan malformasi otak adalah mental retardasi, ataxia spastik, kejang,
buta dan gangguan gerakan bola mata. Sebenarnya diagnosis perinatal dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan USG, alfa feto protein cairan amnion dan serum ibu.
Ukuran dari meningoensefalokel mempengaruhi ukuran dari tengkoran dan
otak tergantung dari besarnya protrusi pada tengkorak. Bila protrusi besar, maka
tengkorak akan tampak seperti mikrosefali, karena banyak jaringan otak yang sudah
keluar. Menigoensefalokel jarang berhubungan dengan malformasi serebri saja dan
biasanya berhubungan dengan abnormalitas dari hemisper serebri, serebelli dan otak
tengah.

25

Pada pemeriksaan neurologis umumnya didapatkan hasil normal, tetapi


beberapa kelainan dapat terjadi meliputi deficit fungsi saraf cranial, gangguan
penglihatan, dan kelemahan motorik fokal.
Meningoensefalokel

anterior sering bersamaan

dengan

anomali muka,

seperti bibir dan langit-langit bercelah. Empat anomali yaitu meningoensefalokel


oksipital, hidrosefalus, deformitas Klippel-Feil, dan langit-langit bercelah sering
terjadi sebagai tetrad. Kelainan jantung kongenital dan ekstremitas yang displastik
adalah anomali yang berhubungan yang terletak dibagian lain dari badan.
Hidrosefalus mungkin terjadi sebelum diperbaikinya sefalokel, atau mungkin
terbentuk

setelah

operasi.

Insidens

hidrosefalus

yang

menyertai

pada

meningoensefalokel oksipital adalah 25 persen pada meningokel dan 66 persen pada


meningoensefalokel. Hidrosefalus yang bersamaan pada meningoensefalokel anterior
jarang. Seperti pada spina bifida, insidens hidrosefalus lebih tinggi pada sefalokel
yang mengandung

jaringan otak. Insidens hidrosefalus yang menyertai pada

meningoensefalokel oksipital adalah hampir sama dengan pada mielomeningokel.


Ensefalokel frontoethmoidal muncul dengan massa di wajah sedangkan
Ensefalokel basal tidak tampak dari luar. Ensefalokel nasofrontal muncul di pangkal
hidung di atas tulang hidung. Ensefalokel nasoethmoidal terletak di bawah tulang
hidung dan naso-orbital ensefalokel menyebabkan, hipertelorisme, proptosis dan
mendesak bola mata.
2.7 Patofisiologi
Meningoensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan
adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung
melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Meningoensefalokel disebabkan oleh
kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.
Ada dua bentuk disrafisme utama yang mempengaruhi tulang kranial, dan
menghasilkan protrusi jaringan melalui defek linea mediana tulang yang disebut

26

kranium bifidum. Mielomeningokel kranium terdiri dari kantong meninges yang terisi
hanya cairan serebrospinal dan meningoensefalokel mengandung kantung dan korteks
serebri, serebelum, atau bagian batang otak. Defek kranium paling lazim pada daerah
oksipital pada atau di bawah sambungan, dan sebagian terjadi frontal atau
nasofrontal. Kelainan ini adalah adalah sepersepuluh dari defek penutupan tuba
neuralis yang melibatkan spina. Etiologi ini dianggap sama dengan etiologi anensefali
dan mielomeningokel.
Bayi dengan meningoensefalokel kranium beresiko untuk terjadinya
hirdosefalus karena stenosis akuaduktus, malformasi Chiari, atau sindrom DandyWalker. Pemeriksaan dapat menunjukkan kantung kecil dengan batang bertangkai
atau struktur seperti kista besar yang dapat melebihi ukuran kranium. Lesi ini dapat
tertutup total dengan kulit, namun daerah yang tidak berkulit (denuded skin) dapat
terjadi dan memerlukan manajemen bedah segera. Transiluminasi kantung dapat
menampakkan adanya jaringan saraf.

2.8 Diagnosis
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menilai struktur patologis sefalokel:
daerah defek tulang, ukuran serta isi sefalokel, ada atau tidaknya anomali SSP, dan
dinamika CSS.
Lubang defek tulang pada meningoensefalokel oksipital mudah dikenal pada
foto polos tengkorak. Sebagai tambahan terhadap daerah defek tulang, perluasan
defek dan ada atau tidaknya kraniolakunia dapat diketahui. Ada atau tidaknya otak
yang vital dikantung dapat ditentukan dengan ventrikulografi dan angiografi serebral,
namun CT scan memperlihatkan tidak hanya isi kantung namun semua kelainan
intrakranial yang bersamaan.
Meningoensefalokel oksipital harus didiferensiasi dari kasus garis tengah
lainnya, seperti sinus perikranii, dan holoprosensefali. Sinus perikranii sangat lebih
kompresibel dibanding meningoensefalokel. CT scan memperlihatkan

displasia

27

serebral sebagai tambahan atas kantung dorsal pada holoprosensefali. Angiografi


serebral mungkin perlu untuk membedakan meningoensefalokel oksipital dari
kantung dorsal holoprosensefali; holoprosensefali didiagnosis oleh adanya arteria
serebral anterior azigos.
MRI kranial dapat memberi gambaran yang pasti dari kandungan dalam
meningiensefalokel. Meskipun terletak pada garis tengah, isi dari protrusi biasanya
dari salah satu hemisfer yang lebih kecil.
Pemeriksaan penunjang paling bermanfaat dalam penegakan diagnosis
prenatal ensefalokel adalah ultrasonografi / USG. USG yang dilakukan dapat terdiri
dari USG 2 dimensi maupun 3 dimensi serta secara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG yang dilakukan antenatal, tampak adanya defek pada
cranium serta massa kistik, kombinasi massa kistik dan solid, maupun massa dominan
solid tampak menempel di calvaria. Pada USG terutama USG 3 dimensi, ensefalokel
dapat tampak kurangnya diameter biparietal, kecilnya lingkar kepala, serta gambaran
unik berupa cyst within a cyst dan target sign appearance, banana sign, lemon
sign. Pada USG 3 dimensi, defek cranial dapat tampak dengan jelas.
2.9 Komplikasi
Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau
kelainan otak lainnya, seperti hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya
(Syndrome Meckel, Syndrome Dandy-Walker). Kelainan kepala lainnya yang dapat
dideteksi dengan USG adalah kista otak, miensefalus (fusi tulang occiput vertebrata
sehingga janin dalam sikap hiperekstensi), huloprokensefalus (hanya berbentuk
sebuah rongga ventrikel yang berdilatasi), hindranensefalus (destruksi total jaringan
otak

sehingga

kepala

hanya

berisi

cairan),

kelainan

bentuk

(dulikochephaluskh, branchi chpalusk) dan sebagainya.


Berikut adalah beberapa komplikasi dari meningoensefalokel, yaitu:
a.

Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadri plegia spastik)

kepala

28

b. Gangguan perkembangan
c.

Mikrosefalus

d. Hidrosefalus
e.

Gangguan penglihatan

f.

Keterbelakangan mental dan pertumbuhan

g. Ataksia
h. Kejang.
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningoensefalokel tergantung dari isi dan luas dari
anomali. Pada meningokel oksipital, di mana kantung tidak mengandung jaringan
saraf, hasil dari pembedahan hampir selalu baik. Tetapi pada meningoensefalokel
yang berisi jaringan otak biasanya berakhir dengan kematian dari anak.9
Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf,
kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin,
tindakan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit
yang tidak utuh dan perlukaan di kepala.
Pada neonatus apabila dijumpai ulkus pada meningoensefalokel atau tidak
terjadi

kebocoran

cairan

serebrospinal,

operasi

segera

dilakukan.

Pada

meningoensefalokel yang ditutupi kulit kepala yang baik, operasi dapat ditunda
sampai keadaan anak stabil. Tujuan operasi adalah menutup defek (watertight dural
closure), eksisi masa otak yang herniasi serta memelihara fungsi otak.
1. Penanganan Pra Bedah
Segera setelah lahir daerah lesi harus dikenakan kasa steril yang direndam
salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa steril yang tidak
melekat untuk mencegah jaringan saraf yang terpapar menjadi kering.
Perawatan pra bedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada saat
mempertahan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat

29

tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas
yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah. Lingkaran occipito frontalis
kepala diukur dan dibuat grafiknya. Diperlukan pemeriksaan X-Ray kepala
Anteroposterior/Lateral dan diambil fotografi dari lesi.
2. Perawatan pasca bedah
Pemberian makan per oral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan. Jika
ada drain hisap maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak adanya belitan
atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dan wadah. Lingkar kepala
diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu. Sering kali terdapat
peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacat spinal dan jika
peningkatan ini berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus
diberikan terapi yang sesuai.
2.11 Prognosis
Faktor penentu prognosis pada pasien ensefalokel meliputi ukuran
ensefalokel,

banyaknya

jaringan

otak

yang

mengalami

herniasi,

derajat

ventrikulomegali, adanya mikrosefali dan hidrosefalus terkait, serta munculnya


kelainan congenital lain. Ensefalokel berukuran besar memiliki prognosis yang buruk.
Pasien ensefalokel tanpa hidrosefalus memiliki peluang mencapai intelektual normal
sebesar 90% sedangkan ensefalokel dengan hidrosefalus memiliki peluang lebih
rendah 30%.

30

III.
1.

KESIMPULAN
Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga meningoensefalokel
(encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek tuba
neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial
akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum.

2.

pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi umum ( general
anestesi ) karena pasien akan dilakukan pembedan dibagian kepala dan operasi yang
dilakukan mengambil waktu yang lama.

3.

obat induksi yang digunakan adalah propofol, fentanyl dan noveron, dan obat ini
tidak mempengaruhi fungsi ginjal yang signifikan.

4.

obat lain yang diberikan pada pasien adalah asam traneksamat untuk membantu
mengatasi perdarahan karena pembedahan dexsametasone seperti kortikosteroid
lainnya memiliki anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan
histamin.

5.

anestesi inhalasi yang di gunakan pada pasien ini yaitu Sevofluran yang merupakan
sedative/hipnotika inhalasi yang digunakan dalam menginduksi atau memelihara
anestesi. dengan waktu induksi dan pulih yang cepat. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi.

6.

Tatalaksana jalan nafas pada pasien ini dilakukan intubasi. Indikasi dilakukan intubasi
pada pasien ini adalah terutama untuk menjaga jalan nafas oleh sebab akan dilakukan
bedah saraf.

7.

resusitasi cairan diberikan pada pasien dengan voluven hes 6% dan RL.

8.

setelah tindakan operasi pada pasien selesai kemudian dilakukan ekstubasi dalam
kondisi dan tanda vital normal

31

9.

kemudian dilakukan penilaian aldrete score, hasil score > 8 maka pasien sudah dapat
dipindahkan dari ruangan operasi

32

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ashari, S. Disrafisme Sistem Saraf. Dalam : Sinopsis Ilmu Bedah Saraf 1st Edition.
Sagung Seto Jakarta. 2011

2.

Nelson, B.; Arvin K. Buku Ilmu Kesehatan Anak. 15th edition. Penerbit Buku

3.

Kedokteran EGC. Jakarta. 2000.


Hull, D.; Derek I.J. Dasar-Dasar Pediatri. 3rd edition. Penerbit Buku Kedokteran

EGC; Jakarta; 2008.


4. Ropper, Allan H, Brown, Robert H. Chapter 38 : Developmental Disease of the
Nervous System. In Adams & Victors' Principles of Neurology, 8th Edition.McGrawHill. 2005.
5.

Fenichel, G.M. Clinical Pediatric Neurology 4th edition; Saunders Company;


Philadelphia; 2001.

6. Sjamsuhidajat, R. Wim d.J.; Buku Ajar Ilmu Bedah; Penerbit Buku Kedokteran EGC;
Jakarta; 2005.
7. Lubis, N.U. Encephalocele; in CKD Cermin Dunia Kedokteran Magazine; Kalbe
Farma; PT. Temprint; Jakarta; 2009.

Anda mungkin juga menyukai