PENDAHULUAN
A. Definisi
Kalau berbicara tentang ilusi, kita biasanya menganggap bahwa kita bisa
melihat hal-hal yang benar-benar faktual atau nyata di dunia sekitar kita.
Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan ilusi
adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari
lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Ilusi biasanya
dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang
tersetimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi,
ditata, dan ditafsirkan. Ilusi mengacu pada proses di mana informasi inderawi
diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna.
Menurut Bimo Walgito (2004: 131) menjelaskan bahwa ilusi yaitu kesalahan
individu dalam memberikan ilusi atau arti terhadap stimulus yang
diterimanya. Orang seringkali memilusi suatu kejadian atau keadaan yang
terjadi di sekitarnya. Dalam memilusi tersebut seringkali terjadi kesalahan,
karena dalam mengartikan suatu stimulus ini melibatkan perasaan dan
pemikiran. Kesalahan dalam memilusi stimulus ini wajar terjadi pada
individu.
Ilusi adalah suatu ilusi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan
panca indera yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah
interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sebagai
contoh, seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat menginterpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya.
Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada
penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi,
maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
BAB II
BENTUK-BENTUK
B. Bentuk-bentuk ilusi
Ilusi terjadi dalam bermacam-macam bentuk, yaitu:
1. Ilusi visual (penglihatan)
Ilusi visual didefinisikan sebagai hubungan yang terputus antara ilusi dan
realitas fisik sebenarnya. Ketika kita mengalami ilusi visual, sepertinya
kita melihat sesuatu yang berbeda dengan keadaan realitas fisik. Hal ini
disebabkan adanya gambaran yang menyesatkan dan mengelabui (distorsi)
pada penglihatan kita. Akibatnya, otak menerima informasi salah, dan
memilusikan secara keliru sehingga gambaran yang terbentuk tidak sesuai
dengan objek sebenarnya.
2
Contoh yang paling mudah sewaktu kita berkendaraan dan melihat bendabenda bergerak. Pepohonan atau tetumbuhan di tepi jalan sepertinya
bergerak menjau atau Ilusi terjadi ketika anda melihat sebuah sendok
dibengkokkan, sendok tersebut tidak benar - benar bengkok tetapi oleh
sang magician kita di ilusikan sehingga melihat sendok tersebut menjadi
bengkok.
2. Ilusi akustik (pendengaran)
Ilusi Akustik (pendengaran) sebagai hubungan yang terputus antara ilusi
pendengaran dan realitas pendengaran yang sebenarnya Misalnya, ilusi
pendengaran dapat terjadi ketika seseorang mendengar kata-kata dalam
percakapan yang menyerupai nama mereka sendiri dan mereka percaya
bahwa mereka sedang berbicara tentang dirinya. Pada saat itu sulit untuk
memastikan bahwa seseorang menggambarkan ilusi atau apakah ia benarbenar mendengar suara-suara halusinasi berbicara tentang dirinya dan
menghubungkan
mereka
kepada
orang-orang
yang
nyata
di
lingkungannya.
3. Ilusi olfaktorik (pembauan)
Ilusi Olfaktorik adalah pembauan yaang berbeda dengan kenyataan bau
yang sebenarnya.
Contoh : ketika anda mencium bau minyak wangi tapi yang anda rasakan
bukan bau wangi tapi bau tinja.
4. Ilusi gustatorik (pengecapan)
Ilusi gustatorik adalah pengecapan yang dirasakan berbeda dengan yang
sesungguhnya.
Contoh : Ketika anda mengecap garam yang dirasakan manis bukan asin.
5. Ilusi taktil (perabaan).
Ilusi taktil adalah ilusi ketika merasakan rabaan sesuatu berbeda dengan
yang sebenarnya.
Contoh : ketika tangan anda di letakan semut tapi anda merasa bahwa itu
bukan semut melainkan laba laba.
C. Beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya ilusi, yaitu :
1.
Factor kealama
Kesalahan ilusi terjadi karena fakrot alam, misalnya illusi echo
(gema), illusi kaca.
2.
Factor stimulus
1. Stimulus yang memiliki makna ambigu, memberi peluang
terjadinya ilusi ganda.
2. Stimulus yang tidak dianalisis lebih lanjut, yang memberikan
impresi secara total.
3.
Factor individu
Ini dapat disebabkan karena adanya kebiasaan dan juga kesiapan
psikologis dari individu.
kepada
sesuatu
objek,
sebegai
tahap
awal
untuk
BAB III
MASALAH
lagi. Air itu akan terasa hangat. Temperatur air yang hangat itu tidak berubah.
Yang berubah adalah ilusi kita tentangnya.
Seperti yang terdapat pada Dayakisni (2008), kunci jawaban masalah di atas
adalah pengalaman. Seperti yang diungkapkan para pengagum teori-teori
empiris, manusia akan secara terus-menerus melakukan interpretasi terhadap
tanda-tanda (dunia) dan dengan mudah tersesat oleh pengalaman terdahulu
untuk melakukan phenomenal absolutism (bahwa manusia secara naif
mengambil kesimpulan dari apa yang dirasakan dan bukan dari realitas
sebenarnya). Dari proses-proses tersebut selanjutnya orang akan belajar
bahwa dunia ini adalah dalam bentuk tiga dimensi. Segall (dalam Dayakisni,
2008) menjelaskan bahwa ilusi bukanlah stimulus penentu tetapi lebih
merupakan produk dari interaksi antara stimulus dengan pengalaman.
Ilusi dan Pengalaman
Salah satu hal yang kita ketahui tentang ilusi kita adalah bahwa ilusi itu
berubah. Ilusi kita juga berubah bila kita mengetahui lebih banyak tentang
sesuatu. Contohnya, bagi kebanyakan orang, apa yang ada di bawah kap
mobil merupakan pemandangan campur aduk yang tak rapi. Tapi bagi mereka
yang mempelajari mesin, pemandangan itu akrab dan terdeferensiasi menjadi
benda-benda yang lebih spesifik karburator, blok mesin, alternator, dan
lain-lain.
Selama beberapa tahun Chase dan Simon (Matsumoto, 2008) mempelajari
orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu. Mereka secara konsisten
menemukan bahwa ketika orang belajar lebih banyak tentang sesuatu, mereka
akan melihatnya secara berbeda dari saat pertama kali melihatnya. Jadi,
jelas sekali bahwa bagaimana kita akan melihat sesuatu itu berubah seiring
pengalaman kita dengan hal itu.
Bagaimana seseorang dari latar belakang budaya yang sangat berbeda
melihat sesuatu yang amat familier bagi kita? Dan bagaimana kita akan
6
melihat sesuatu yang familier bagi mereka dan asing bagi kita? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang guru di Australia
mempunyai pengalaman menarik yang menunjukkan perbedaan kultural
dalam ilusi ini. Di sebuah sekolah untuk anak-anak suku Aborigin, guru ini
sedang mencoba mengajarkan sebuah permainan who touched me?. Dalam
permainan ini semua berdiri melingkar dan anak yang jadi akan ditutup
matanya. Kemudian ada satu anak dari lingkaran yang akan berjalan diamdiam dan menyentuh anak yang tertutup matanya lalu kembali ke tempatnya.
Tutup mata itu dibuka dan anak yang jadi harus menebak siapa yang
menyentuhnya.
Guru itu melihat bahwa anak-anak Aborigin tidak benar-benar ingin bermain.
Meski begitu, mereka tetap melakukan permainan itu untuk menghormati
sang guru. Setelah permainan itu, sang guru menemukan bahwa muridmuridnya menjadi tidak kooperatif dan enggan mencoba apapun yang ia
usulkan. Mereka menolak belajar alphabet. Guru itu pun mengira bahwa
mereka sedang berpura-pura bodoh atau nakal.
Sama halnya ketika guru menganggap anak-anak Aborigin berpura-pura
bodoh atau nakal, anak-anak suku Aborigin justru menganggap gurunyalah
yang bodoh. Anak-anak Aborigin itu bisa dengan mudah melihat tapak kaki
siapa yang ada di tanah dengan melihat sepintas. Jadi bagi mereka guru itu
telah meminta mereka untuk memainkan sesuatu yang bagi anak-anak
Aborigin sangat bodoh sampai mereka tak mengerti kenapa itu bisa menjadi
sebuah permainan.
Ilusi Pengecapan
Kebanyakan orang pernah mengalami perubahan kesukaan makanan.
Sebagian alasannya barangkali terkait dengan perubahan proporsi dari jenisjenis saraf pengecapan di mulut (Matsumoto, 2008). Kita semua tahu bahwa
anak-anak suka makanan yang manis dan bahwa mereka biasanya sangat
panjang. Tapi hal ini hanya ilusi, karena kedua garis itu sebenarnya sama
panjang.
Ilusi Mueller-Lyer
Ilusi lain yang popular adalah ilusi horizontal/vertikal. Dalam ilusi ini dua
garis dengan panjang yang sama ditempatkan secara saling tegak lurus. Ketika
para subjek diminta menilai garis mana yang lebih panjang, biasanya mereka
memilih garis yang vertikal.
Ilusi Horizontal/Vertikal
Ilusi ketiga yang juga terkenal adalah ilusi Ponzo. Dalam ilusi ini dua garis
horizontal ditempatkan sejajar, satu di atas yang lain. Setelah itu ditarik dua
garis diagonal yang lebih rapat di ujung atas daripada di bawah. Ketika para
subjek melihat gambar ini, mereka biasanya mengatakan bahwa garis
horizontal yang ada di atas lebih panjang daripada garis horizontal di
bawahnya. Tentu saja, kedua garis tersebut sebenarnya sama panjang.
Teori-teori Dominan tentang Ilusi Optik
Ada tiga teori utama yang dikembangkan untuk menjelaskan efek ilusi optik,
yaitu:
1. Carpentered World Theory atau Teori Lingkungan Buatan
Teori ini menyatakan bahwa orang, seperti hanlnya sebagian besar orang
Amerika, terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk kotak. Tinggal di
lingkungan yang didominasi bentuk kotak, secara tak sadar kita cenderung
menduga akan bertemu dengan benda-benda dengan sudut atau pojok
berbentuk kotak. Kita sudah melakukan ini begitu lama sehingga kita tak
lagi sadar bahwa kita menafsirkan berbagai benda seolah-olah berbentuk
persegi padahal stimulus aktualnya tidak tegak lurus dengan mata kita.
Kita hanya melihatnya seolah-olah bentuknya persegi.
2. Front-Horizontal
Foreshortening
Horizontal-Depan
Theory
atau
Teori
Pemendekan
Teori ini menyatakan bahwa kita menafsirkan garis vertikal di mata kita
sebagai garis horizontal yang terentang sampai kejauhan. Dengan
demikian,
kita
akan
menafsirkan
garis
vertikal
pada
ilusi
atau
Teori
Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi
PENELITIAN LINTAS-BUDAYA TENTANG ILUSI VISUAL
Beberapa penelitian lintas-budaya tentang ilusi visual menantang pemahamanpemahaman tradisional tentang ilusi optik. Bahkan sudah semenjak 1905, W.H.R.
Rivers membandingkan efek ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal pada kelompok
dari Inggris, pedesaan India, dan Papua Nugini. Ia menemukan bahwa orang Inggris
melihat dua garis pada ilusi Muller-Lyer lebih berbeda panjangnya daripada orangorang dari kelompok-kelompok lainnya. Ia juga menemukan bahwa orang India dan
Papua Nugini lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal daripada orang Inggris.
Hasil-hasil ini cukup mengejutkan. Sebelumnya, mereka yakin bahwa orang India
dan Papua Nugini lebih primitif dan akan lebih tertipu oleh ilusi-ilusi tersebut
daripada orang Inggris yang lebih berpendidikan dan lebih beradab. Tapi hasilnya
menunjukkan bahwa ada efek ilusi tersebut berbeda antarbudaya, dan bahwa ada
sesuatu selain pendidikan yang turut memengaruhi bagaimana orang tertipu oelh
ilusi-ilusi itu. Para peneliti itu kemudian menyimpulkan bahwa pasti ada pengaruh
budaya pada bagaimana kita melihat dunia.
10
Hasil-hasil yang didapatkan Rivers tadi dapat dijelaskan dengan Teori Lingkungan
Buatan maupun Teori Pemendekan Horizontal-Depan. Pada Teori Lingkungan
Buatan, akan dinyatakan bahwa sebagian besar orang Amerika dan Inggris, dalam
penelitian Rivers, sudah terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk persegi.
Sebaliknya, orang-orang di India dan Papua Nugini lebih terbiasa dengan lingkungan
yang lebih bundar dan ileguler. Terhadap ilusi Muller-Lyer, orang Inggris akan
cenderung melihatnya sebagai sudut-sudut persegi yang memproyeksikan kedalaman
ke arah menjauhi atau mendekati kita. Namun orang India dan Papua Nugini tinggal
di budaya di mana lingkungannya tidak terlalu banyak memuat benda-benda buatan
manusia. Kecenderungan mereka untuk membuat kesalahan perseptual dalam hal
ini lebih kecil daripada orang Inggris. Karena itulah orang Inggris lebih sering salah
dalam menafsirkan ilusi Muller-Lyer daripada orang India dan Papua Nugini. Pada
Teori Pemendekan Horizontal-Depan dapat membedakan perbedaan cultural dalam
penelitian Rivers. Di India dan Papua Nugini terdapat lebih sedikit gedung yang
menghalangi jarak pandang orang. Karena itu, orang India dan Papua Nugini lebih
mengandalkan petunjuk kedalaman daripada orang Inggris dan membuat lebih
banyak kesalahan dalam menilai gambar horizontal/vertikal. Sedangkan Teori
Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi menyatakan bahwa di budayabudaya Barat, orang lebih banyak memperhatikan hal-hal yang tertera di atas kertas
daripada orang dari budaya lain. Secara lebih khusus, orang Barat menghabiskan
lebih banyak waktu untuk belajar menafsirkan gambar daripada orang dari budaya
non-Barat. Karena itu orang-orang di Papua Nugini dan India lebih sulit tertipu ilusi
Muller-Lyer karena gambar tersebut lebih asing bagi mereka. Tapi mereka akan
lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal karena hal itu lebih mewakili cara hidup
mereka.
Untuk melihat apakah temuan-temuan Rivers juga berlaku pada lebih banyak
budaya secara umum, Segall dkk (Matsumoto, 2008) membandingkan orang dari tiga
11
kelompok masyarakat industri dengan empat-belas kelompok masyarakat nonindustri pada ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal. Hasilnya menunjukkan bahwa
efek ilusi Muller-Lyer lebih kuat pada kelompok-kelompok industri. Sebaliknya, efek
ilusi horizontal/vertikal lebih kuat pada kelompok non-industri. Mereka menemukan
bahwa efek ilusi-ilusi tersebut menurun dan hamper menghilang seiring pertambahan
usia. Wagner (1977) mengkaji persoalan ini dengan menggunakan beberapa versi
ilusi Ponzo dan membandingkan jawaban orang-orang dari lingkungan desa dan kota,
yang sebagian melanjutkan pendidikan dan sebagian tidak. Wagner menemukan
bahwa ada pengaruh lingkungan perkotaan dan pengalaman sekolah pada ilusi
Muller-Lyer. Pollack dan Silvar (1967) menunjukkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer
terkait dengan kemampuan untuk mendeteksi kontur, dan kemampuan ini akan
menurun seiring pertambahan umur. Untuk melihat teori mana teori rasial ataukah
teori pembelajaran lingkungan yang lebih benar, Stewart (1973) menguji efek ilusi
Muller-Lyer pada anak-anak kulit hitam dan putih yang tinggal di satu kota yang
sama. Ia tak menemukan perbedaan antara kedua kelompok ini. Kemudian ia
membandingkan beberapa kelompok anak usia sekolah dasar di Zambia yang berasal
dari lingkungan kota yang penuh dengan benda arsitektur serta yang berasal dari
lingkungan pedesaan yang minim benda arsitektur. Ia menemukan bahwa efek ilusi
ini tergantung pada sejauh mana seorang anak tinggal di lingkungan berarsitektur. Ia
juga menemukan bahwa seiring pertambahan usia, efek ilusi ini berkurang, yang
menunjukkan bahwa baik hasil belajar maupun sifat bawaan punya peran dalam
perbedaan cultural yang tampak ini.
Hudson (1960) mencoba mengembangkan sebuah tes proyektif mirip Thematic
Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di Afrika Selatan.
Ia meminta seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang menurut
dugaan para ahli psikologi akan membuat anggota suku itu memikirkan emosi-emosi
mereka yang mendalam. Para ahli psikologi ini terkejut karena menjumpai bahwa
anggota suku Bantu seringkali melihat gambar-gambar tersebut dengan cara berbeda
12
mengapa
orang
dari
berbagai
belahan
bumi
berpikir
dan
14
gaib atau yang dikatakan penampakan. Hal itu akan membentuk konsep diri
terhadap anak yang didukung oleh lingkungan yang kuat untuk memberikan
si anak pemahaman antara konsep magis dan rasionalitas.
2. Tahap pra operasional
Usia 2-7 tahun. Di bagi berdasarkan 5 sifat yaitu,
Konservasi: kesadaran bahwa adanya kuantitas fisik yang tidak berubah
meski bentuk atau penampakannya berubah.
Keterpakuan: kecenderungan untuk terfokus pada satu aspek dari suatu
persoalan/masalah.
Ketidakberhasilan: ketidakmampuan untuk membayangkan penguraianbalik.
Egosentrisme: keidakmampuan untuk menggunakan kacamata orang lain dan
memahami sudut pandangnya.
Animisme: keyakinan bahwa benda-benda mati punya nyawa.
3. Tahap operasional konkret
Usia 6-11 tahun. Anak memperoleh keterampilan berpikir baru dalam
menghadapi benda dan kejadian nyata. Mereka bisa membalikkan dalam
pikiran-bayangan proses suatu tindakan dan memperhatikan lebih dari satu
aspek dari suatu persoalan, mengerti ada sudut pandang berbeda dari
pandangan mereka. Dalam memecahkan masalah masih trial-error.
4. Tahap operasional formal
Pada usia 11 tahun sampai dewasa. Mengembangkan kemampuan berpikir
logis mengenai konsep abstrak, sistematis dalam problem solving.
Teori Tahapan Piaget dari Perspektif Lintas Budaya
Teori Piaget ini berlangsung seperti empat tahapan tersebut di setiap budaya.
Dari beberapa penelitian pada anak-anak Inggris, Amerika, Yunani, dan
Pakistan menunjukkan dapat mengerjakan tugas perkembangan Piaget pada
tahap yang sama yaitu, tahap operasional konkret (Shayer, Dementriou &
Perez, 1988).
Penelitian lain menunjukkan adanya variasi kultural pada usia anak di
masyarakat yang berbeda-beda dalam pencapaian tahap perkembangan Piaget
15
yang ketiga dan keempat (tahap operasional konkret dan tahap operasional
formal) sehingga menyebabkan tahap perkembangan yang berbeda dengan
tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Piaget. (Dasen, Lavallee, Ngini, dan
Retschitzki, 1979; Dasen, 1982).
Dalam sebuah penelitian, terdapat variasi yang cukup besar antara tahapantahapan perkembangan Piaget dan ketrampilan fisik yang terkait. Jadi anakanak yang tumbuh dan berkembang dalam suatu budaya dan usia tertentu
secara tidak langsung dituntut untuk mempelajari keterampilan-ketrampilan
khusus yang sesuai dengan aturan budayanya tanpa dipengaruhi oleh tahapan
perkembangan Piaget.
Misalnya pada anak-anak zaman dulu yang masih tinggal nomaden atau anak
yang tinggal di perkampungan memiliki keterampilan tertentu misalnya
berburu. Dalam hal berburu juga diperlukan perhitungan dan strategi yang pas
untuk menangkap hewan berburu. Belum tentu pola pikir seperti itu dimiliki
oleh anak-anak dan orang dewasa yang tinggal menetap di perkotaan.
Teori Piaget berasumsi bahwa penalaran ilmiah yang diasosiaikan dengan
tahap operasional formal merupakan puncak perkembangan kognitif, dengan
kata lain pemikiran ini menjadi acuan bagi setiap budaya dalam menentukan
langkah-langkah penalaran ilmiah. Penelitian lintas budaya mematahkan teori
tersebut dengan menyatakan bahwa masyarakat yang berbeda budaya
menghargai dan mendorong keterampilan dan perilaku yang berbeda-beda.
Misalnya, cerdik-cendikiawan yang paling dihormati oleh masyarakat islam
tradisional adalah pemuka agama dan penyair. Meskipun pendidikan islam
tradisional
ilmiah
seperti
Matematika,
Fisika,
Kimia),
tujuan
utamanya
ialah
17
18
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang kita lihat karena penglihatan
berbeda dari dunia faktual dalam pengertian absolutnya. Apa yang kita lihat mungkin
berbeda dari apa yang dilihat dan diyakini orang lain. Hal inilah yang dinamakan
dengan ilusi. Ilusi dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk usia, pematangan,
lingkungan dan situasi latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang
berpengaruh dalam ilusi kita terhadap dunia (ilusi dapat dibentuk, diubah, dan
dipengaruhi oleh kebudayaan di mana kita dibesarkan).
Kategorisasi yang merupakan bagian dari proses kognisi ternyata tak berbeda anta
budaya bila terkait dengan pengalaman seperti warna, ekspresi wajah, dan bentukbentuk geomeetris. Hal ini berarti, proses-proses dasar ini akan sama pada semua
orang namun kategori dapat pula menjadi berbeda ketika individu memiliki latar
belakang pengalaman kultural yang berbeda. Ketika ada perbedaan kultural yang
19
dipengaruhi
oleh latar
belakang
budaya.
Bagaimana
sutau
budaya
mendefinisikan apa yang disebut cerdas barangkali tidak sama dengan bagaimana
budaya lain mendefinisikan inteligensi. Oleh karena itu, pengukuran inteligensi
seharusnya disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya bias budaya.
DAFTAR PUSTAKA
20