Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
Kelahiran prematur adalah kelahiran bayi pada usia kurang dari usia kehamilan
34-36 minggu. Kelahiran bayi prematur dapat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas perinatal, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris persalinan
prematur adalah penyebab tertinggi angka morbiditas dan mortalitas perinatal, dimana
komplikasi yang diakibatkan oleh persalinan pretem lebih dari 10% dari seluruh
kehamilan oleh karena itu persalinan prematur merupakan hal yang patut mendapat
perhatian khusus mengenai penatalaksanaannya disamping upaya pencegahannya.
Tujuan penanganan kelahiran prematur adalah untuk mencegah dan menghentikan
terjadinya kontraksi uterus dengan obat-obatan tokolitik sampai kehamilan seaterm
mungkin atau sampai janin mempunyai maturitas paru yang dinggap cukup mampu
untuk hidup di luar kandungan. Walaupun kemungkinan obat tokolitik hanya berhasil
sementara, tetapi penundaan ini penting untuk memberikan kesempatan untuk
pemberian kortikosteroid untuk merangsang pematangan paru- paru.
Pemberian tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan prematur menimbulkan
masalah seperti kapan saat memulai pemberian tokolitik, apakah tokolitik sudah dapat
diberikan begitu ada tanda-tanda terjadinya kontraksi uterus sebelum kehamilan aterm
walaupun belum dapat dibedakan apakah ini kontraksi yang memang suatu kontraksi
yang menandai suatu persalinan atau hanya kontraksi palsu.
Dengan demikian pemakaian tokolitik masih merupakan salah jalan terbaik untuk
menunda persalinan prematur termasuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
perinatal. Pemilihan obat-obatan tokolitik golongan mana yang akan digunakan
haruslah didasarkan pada efisiensi obat, keamanan terhadap ibu dan janin serta
pengetahuan yang jelas tentang suatu preparat yang akan digunakan.
Pengertian menurut Cunningham ( 2014)
Preterm Labour : Kelahiran pada usia kehamilan 34 36 minggu

Early Preterm Labour : Kelahiran pada usia kehamilan < 33 minggu

Late Preterm Labour : Kelahiran pada usia kehamilan 34 36 minggu

Early Term Labour : Kelahiran pada usia kehamilan 37 38 minggu

Term Labour : Kelahiran pada usia kehamilan 39 minggu 40

minggu 6 hari

Post Term : Usia kehamilan 42 minggu


1

BAB II
2.1

Patofisiologi
Etiopatologi dari kelahiran premature diyakini disebabkan oleh proses berikut

ini: infeksi, iskemi utero plasenta, hormone metabolism disorder, gestagen dan
CRH, fetus dianggap sebagai allograft, alergi, penggelembungan uterus yang
berlebih, inkompetensi serviks. Dasar pathogenesis dari kelahiran premature adalah
inflamasi (Koucky, Germanova, Hajek, Parizek, Kalousova, & Kopecky, 2009).
1. Infeksi dan kelahiran prematur.
Aksi dari mikroorganisme berakibat pada perkembangan janin atau respon
inflamasi

maternal-chorionamnioitis,

funisitis,

dan

particularly

fetal

inflamatory response syndrome (FIRS). Gejala ini dikenali sebagai inflamasi


intraamnial.Janin dengan fetal inflamatory response syndrome memiliki
morbiditas perinatal lebih tinggi. Pathogenesis kelahiran premature khususnya
berhubungan dengan sitokin, matrix metalloproteinase dan prostaglandin. Efek
pencetus dapat dilihat pada susunan reseptor-PRR. Reseptor ini memiliki
kemampuan mengidentifikasi struktur molekul tertentu, mayoritas pada
mikroorganisme. Mikroorganisme / jaringan rusak / oxidative stress product
slalu membentuk ligand dengan PRR/TLR reseptor, kemudian menstimulasi
sitokin (IL-6, IL-8, IL-10), matriksmetaloproteinase, growth factors genes
transcription, sehingga mengaktifkan NF kappa B. Terjadi kontraksi uterus,
perubahan serviks, premature rupture of membranes (PROM) (Koucky,
Germanova, Hajek, Parizek, Kalousova, & Kopecky, 2009).
2. Iskemi utero plasenta.
Bukti menyatakan bahwa hubungan trombophilias dan kelahiran premature.
Pada kondisi thrombophilic congenital atau acquired terjadi aktivitas
koagulasi yang berlebihan dan berpotensi mempengaruhi mikro sirkulasi
plasenta. Disfungsi endothelial memulai proses biokimia yang menyebabkan
kelahiran premature. Trombophiliac terjadi karena adanya mutasi dari faktor
koagulasi II (protrombin) dan gejala anti-fosfolipid. Kelainan koagulasi ini
berhubungan

dengan

kondisi

patologis

pada

ibu

hamil

misalnya

tromboemboli, kematian janin intra uterine, pre-eklamsi berat, dan abortus.


Menurut penelitian kelainan metabolisme asam folat dan kombinasi dengan
2

factor lain dapat berkaitan dengan kelahiran premature. Transformasi


metabolisme dari asam folat menyebabkan pembentukan vitamin-4THFmeafoline dalam bentuk aktif. Salah satu dari enzim yang ikut dalam
metabolism adalah MTHFR. MTHFR gene polymorphism berhubungan
dengan penurunan aktivas enzim tersebut, khususnya pada konstituisi homo
zigot, sehingga menyebabkan penurunan pembentukan dari metabolit aktif
asamfolat, 4THF. 4-THF berperan sebagai katalisator remetilisasi dari
methionine menjadi homosistein. Penurunan 4-THF menyebabkan tranformasi
homosistein yang tidak cukup, diikuti dengan akumulasi pada tubuh.
Peningkatan

homosistin

berhubungan

dengan

disfungsi

endotel.

Hiperhomosistein merupakan faktor resiko dari atherosclerosis. Mekanisme


yang telah disebutkan diatas berhubungan dengan kerusakan mikro sirkulasi
plasenta dan semua konsekuensinya yaitu misalnya tromboemboli, kematian
janin intrau terine, pre-eklamsi berat, dan abortus (Koucky, Germanova,
Hajek, Parizek, Kalousova, & Kopecky, 2009).
3. Janin sebagai allograft.
Mekanisme esensial dari toleransi maternal dari janin adalah keseimbangan
antara down regulation dan up regulation dari antigen MHC utama. Sementara
gen ini untuk antigen kelas 1 HLA-A dan B terjadi downregulasi, oleh
trofoblas (tidakterekspresi), gen untuk antigen kelas HLA-G melindungi janin
dari respon imun maternal terekspresi selama kehamilan. Identifikasi yang
tidak tepat dari antigen janin oleh ibu akan menyebabkan kegagalan kehamilan
(Koucky, Germanova, Hajek, Parizek, Kalousova, & Kopecky, 2009)
4. Alergi.
Telah diketahui bahwa uterus kaya dengan mastosit, salah satu sel dari reaksi
alergi. Degranulasi farmakologi dari mastosit menyebabkan aktivitas induksi
uterrin, khususnya pelepasan prostaglandin. Kehadiran eusinofil pada cairan
amnion menyebabkan alergi yang dapat menyebabkan kelahiran premature
(Koucky, Germanova, Hajek, Parizek, Kalousova, & Kopecky, 2009).
5. Ekspansi uterus yang berlebihan.
Kelainan unterin kongenital, polihidroamnion dan kehamilan multiple
dihubungkan dengan resiko kelahiran premature. Pada uterus yang mengalami
ekspansi

berlebihan

dapat

menyebabkan

peningkatan

kontraktilitas

myometrium, pelepasan prostaglandin (Koucky, Germanova, Hajek, Parizek,


Kalousova, & Kopecky, 2009)
6. Inkompetensi serviks
Penyebab kongenital termasuk rare cervical hypoplasia dan eksposur
diethylstilbestrol (DES). Conization serviks dan dilatasi endoservikal multiple
berhubungan dengan gangguan kehamilan (abortus).
2.2 Mekanisme Kontraksi Myometrium
Pada akhir kehamilan, uterus mengalami perubahan bentuk yang memberikan
kemampuan untuk menghasilkan tenaga dan memfasilitasi kelahiran janin.
Perubahan ini termasuk pelunakan dan pelebaran serviks, pecahnya membrane,
dan kontraksi myometrium (Macyntire, Chan, & Smith, 2007)

Gambar 2.1. Kontraksi myometrium

Kontraktilitas myometrium utamanya dipengaruhi oleh konsentrasi ion kalsium


bebas(Ca2+) intrasel. Ion kalsium myometrium dipengaruhi oleh ion channel dan GProtein Coupled Receptor (GPRC).Contractile agonist seperti oksitosin dan
prostaglandin F2 mengaktivasi phospholipase C (PLC) lalu membangkitkan inositol
triophospate (IP3) dan diacylglycerol (DAG) dari phosphatidylinositol-3,4,5triphosphate (PIP3) yang merangsang pelepasan Ca2+ dari reticulum sarcoplasma
(SR), sehingga pelepasan Ca2+ ini menyebabkan peningkatan Ca2+ intrasel.
Peningkatan Ca2+ menyebabkan Ca2+ berikatan dengan kalmodulin yang akan
menginduksi perubahan formasi kalmodulin menyebabkan pembukaan tempat
4

pengikatan untuk Myosin Light Chain Kinase (MLCK). Pengikatan kalmodulin


dengan MLCK menyebabkan aktivasi kinase dan fosforilasi dari Myosin Light Chain
(MLC), sehingga terjadi peningkatan fosforilasi MLC. Peningkatan fosforilasi MLC
akan merangsang perputaran cross bridge actin thin filament dan peningkatan tenaga
kontraksi (Macyntire, Chan, & Smith, 2007)
2.3

Manajemen Terapi Preterm Labour


Manajemen terapi preterm labor terutama ditujukan untuk memperlambat atau

menghentikan kontraksi (tokolisis) yang jelas meskipun terlambat sebagai tanda


kelahiran premature. Sebagian besar data menunjukkan bahwa manajemen terapi
ini dapat memperpanjang masa kehamilan paling banyak 1-2 hari (AllDredge et al,
2013).
Pemberian tokolisis memberikan efek yang signifikan pada morbiditas dan
mortalitas neonatal. Efek tokolisis terhadap nilai pemanjangan masa kehamilan
tergantung

usia

kehamilan

yang

memungkinkan

dilakukan

pemberian

glukokortikoid untuk maturitas par janin dan menurunkan risiko perdarahan


kardiovaskular (AllDredge et al, 2013).
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan dalam terapi preterm labor
dengan tokolitik. Faktor janin yang mempengaruhi pemberian tokolisis meliputi
hasil pemeriksaan dan monitoring janin yang kurang dapat dpercaya, signifikansi
IUGR

signifikan,

dan

kelainankongenital.

Faktor

ibu

meliputi

bukti

korioamnionitis, infeksi maternal lain yang signifikan atau sakit, pre-eklampsia.164


Tokolisis cenderung kurang efektif pada wanita dengan pembukaan serviks lebih
besar dari 3 cm (AllDredge et al, 2013).

Gambar 2.2 mekanisme kerja obat Tocolytic


1. Calsium Channel Blocker (CCB)
Ca Channel Blocker bekerja dengan menghambat kontraksi prematur dengan
mengurangi masuknya kalsium ke dalam otot polos miometrial sehingga
menghambat kontraksi miometrium, melibatkan blokade canal Ca

2+

Type L yg

dipengaruhi oleh canal Ca2+ -activated K+, beta-adrenergik reseptor (-ARS) dan
hormon seksual. Nifedipine adalah golongan CCB dihidropirydin yang paling
umum digunakan. Sebuah analisis meta dari 12 eksperimen acak yang
melibatkan 1.029 wanita membuktikan bahwa calcium channel blockers unggul
dibanding tokolitik lain (sebagian besar -mimetics) dalam mengurangi kelahiran
premature dalam waktu 7 hari. Haas, et al dalam sebuah meta analisa
menyimpulkan bahwa CCB mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menunda
PTB dan memperbaiki neonatal outcome. Efek samping maternal secara
signifikan lebih sedikit pada pasien yang menerima calcium channel blockers
dibandingkan dengan tokolisis lainnya (Haas, et al, 2012; Gaspar & Toth, 2013;
AllDredge et al, 2013).
Nifedipin yang diformulasikan sebagai tablet konvensional 90% diabsorpsi pd
pemberian PO dengan Tmax 0.5-2 jam dan t 2 jam, sedangkan bentuk tablet
lepas lambat diabsorpsi 75-89% dengan Tmax 2.5-6 jam dan t 6 jam .
Nifedipin terikat protein sebesar 92-98% dan banyak terdistribusi ke ASI, yang
sebagian besar akan dimetabolisme oleh isoenzym CYP3A menjadi bentuk polar

yang sangat larut air dan inaktif sehingga 60-80% diekskresikan melalui urine
dan feces (McEvoy, 2011)
Efek samping maternal meliputi takikardia, sakit kepala, muka merah, cemas,
pusing, mual, dan hipotensi. Nifedipine tidak mempengaruhi uteroplasenta,
denyut jantung, dan perfusi atau sirkulasi fetus. Penggunaan bersamaan dengan
magnesium

harus

dihindari

karena

kombinasi

dapat

mempotensiasi

neuromuscular blockade (Gaspar & Toth, 2013; AllDredge et al, 2013).


Nifedipine digunakan secara oral untuk tokolisis dan manajemen penyakit
kardiovaskular. Hasil studi yang membandingkan dua rejimen dosis oral
nifedipine sebagai manajemen terapi PTB antara minggu kehamilan 24 dan 34,
ditemukan bahwa dosis obat (20 mg dosis, maintenance 120-160 mg selama 48
jam, diikuti oleh 80-120 mg sehari selama 36 minggu) tidak lebih efektif
daripada dosis rendah (10 mg dosis, maintenance 60-80 mg selama 48 jam,
diikuti oleh 60 mg setiap hari selama 36 minggu) dalam hal penghambatan
kontraksi myometrial. Dosis nifedipine sebagai tokolitik disesuaikan dengan
berat badan, indeks massa tubuh atau usia kehamilan Dosis awal umumnya
digunakan 10 mg PO dengan dosis berulang 10 mg setiap 15 sampai 20 menit
bila kontraksi terus menerus, sampai maksimum 40 mg dalam jam pertama.
Kemudian dosis dipertahankan 10 sampai 20 mg PO setiap 4 sampai 6 jam
(Gaspar & Toth, 2013; AllDredge et al, 2013).
2. COX Inhibitors
Enzim cyclooxygenase (COX) mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin di dalam tubuh. Hambatan pada COX oleh adanya COX Inhibitors
menurunkan produksi produksi prostaglandin. Hambatan ini dapat berlaku secara
umum dan menyeluruh dengan adanya non-selektif COX inhibitors ataupun
hambatan secara spesifik dengan adanya COX-2 inhibitors. Adapun non-selektif
COX inhibitors yang umumnya digunakan untuk menghentikaan kontraksi
uterus, sehingga dapat menghambat kelahiran prematur adalah Indomethacin.
Pada beberapa studi terbukti bahwa Indomethacin poten untuk menurunkan
kejadian kelahiran prematur (Simhan & Caritis, 2007)

Farmakokinetika Farmakodinamika Obat


Mula Kerja

30 menit

Lama Kerja

4 6 jam

Absorpsi

Diabsorpsi baik secara oral pada dewasa dan neonatus


(dengan formulasi khusus)

Distribusi

Dapat menembus BBB. Pada dewasa: 0,34 1,57


L/kg

Ikatan Protein

99%

Metabolisme

Di Hepar, secara signifikan mengalami sirkulasi


enterohepatik

Waktu Paruh

Dewasa : 2,6 11,2 jam

Waktu mencapai puncak

2 jam

Ekskresi

Urin dan feses

Klirens

Preterm neonatus : 19 mL/jam/kg

(Lacy, C.F., et al., 2015)


Dosis Obat. Indomethacin sebagai tokolitik dapat diberikan secara oral maupun
rectal. Adapun dosis yang diberikan sebagai tokolitik sebesar 50 100 mg yang
diberikan dalam interval 8 jam. Total dosis yang diberikan dalam 24 jam tidak boleh
lebih dari 200 mg (Kashanian, et al, 2011)
Efek Samping Obat. Pada maternal terjadi mual, muntah, refluks esofageal,
gastritis, dan disfungsi platelets. Pada Fetus atau Neonatus terjadi Oligohydramnions
(risiko tinggi bila digunakan lebih dari 48 jam), gagal ginjal, premature closure of the
ductus arteriosus dengan konsekuensi hipertensi pulmoner (risiko tinggi bila
digunakan lebih dari 48 jam), persistent patent ductus arteriosus, necrotising
enterocolitis, dan perdarahan intraventikular. (Simhan & Caritis, 2007)
Kontraindikasi Obat. Indomethacin harus dicegah pemberiannya pada pasien
atau individu dengan disfungsi platelets atau gangguan perdarahan, disfungsi hepar
atau renal, gangguan gastrointestinal atau ulcer, asma (pada wanita yang hipersensitif
terhadap aspirin) (Simhan & Caritis, 2007).
EBM. Dari hasil studi literatur, diperoleh hasil penelitian mengenai indomethacin
sebagai berikut :
Tabel 2.1 Perbandingan Cox Inhibitor vs Plasebo (King, et al, 2010)
8

Dari tabel diatas diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna, pada
pemberian COX inhibitors dengan plasebo dalam mencegah kelahiran prematur.
Pemberian COX inhibitors dapat meningkatkan berat badan bayi lahir dan
diketahui dapat menurunkan risiko maternal drug interaction.
Selanjutnya dalam penelitian tersebut juga dibandingkan efektifikas COX
inhibitors dibandingkan dengan agen tokolitik lainya dalam mencegah terjadinya
kelahiran prematur. Berikut hasil perhitungan statistiknya:

Tabel 2.2 Perbandingan Cox Inhibitor vs agen tokolitik lainnya (King, et al, 2010)

Dari tabel diatas, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada pemberian
COX inhibitors dengan tokolitik lain dalam mencegah kelahiran prematur dan
munculnya efek samping obat, terutama pada maternal. Namun, dari penelitian
diketahui bahwa pemberian COX inhibitors diketahui memiliki risiko efek samping
pada fetus yang lebih besar bila dibandingkan dengan tokolitik lainnya.
Selanjutnya, dibandingkan pula efektivitas indomethacin, yang merupakan nonselektif COX inhibitors dengan beberapa COX-2 inhibitors. Diperoleh hasil yang
menyatakan bahwa, terdapat perbedaan bermakna pada pemberian indomethacin
dibandingkan dengan pemberian COX-2 inhibitors dalam mencegah kelahiran
prematur. Disamping itu diketahui bahwa indomethacin dapat meningkatkan berat
badan bayi lahir lebih tinggi dibandingkan dengan COX-2 inhibitors. Namun, risiko
10

dari efektivitas pemberian indomethacin ini adalah tingginya potensi efek samping
obat yang dapat timbul, salah satunya adalah oligohydroamnions. Di bawah ini
merupakan tabel yang berisi perbandingan keduanya.

Tabel 2.3 Perbandingan Indometachin vs Cox Inhibitor lainnya (King, et al, 2010)

Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat disampaikan bahwa, pemberian


indomethacin sebagai tokolitik kurang efektif juka dibandingkan dengan agen
tokolitik lainnya, namun lebih efektif juka dibandingkan dengan pemberian COX2 inhibitors. Pemberiannya pun harus dipertimbangkan dengan baik, karena dapat
menimbulkan efek samping yang besar baik pada maternal maupun pada fetus.
3. Beta-Simpatomimetik
Mekanisme. Berikatan dengan reseptor 1 dan 2, meningkatkan level
intraselular cAMP sehingga menurunkan inisiasi cAMP pada kalsium intraselular,
sehingga menghambat kontraksi otot (Berkman, et al., 2003). Merelaksasi otot

11

polos uterus dengan aksi pada reseptor beta2 dengan efek yang kecil pada detak
jantung (APhA, 2013).
Beta simpatomimetik bekerja menahan kontraksi uterus dengan berikatan pada
reseptor 2-adrenergik pada sel miometrial. Interaksi ini menyebabkan
peningkatan level siklik AMP yang mengaktifkan protein kinase. Protein kinase
menginaktif miosin rantai-pendek kinase sehingga mencegah kontraktilitas uterus
(Cuppett & Caritis, 2013).

Gambar 2.3. Jalur Kontraktan dan relaksan pada sel miometrial (Cuppett &
Caritis, 2013)
Farmakokinetika (APhA, 2013)
Onset

Oral : 30-45 menit;

Ikatan Protein
Metabolisme
Waktu paruh
Ekskresi
Keamanan pada kehamilan

subkutan: 6-15 menit


25%, mampu menembus plasenta
Hepatik sebagai konjugat sulfat inaktif
11-16 jam
Urine
Kategori C

Obat diabsorbsi dengat cepat, onset pada dosis subkutan adalah 5-15 menit,
dan lebih cept jika diberikan secara intravena. Waktu paruh obat pada kehamilan
12

adalah 3,7 jam. Sebagian besar obat dieliminasi melalui ginjal dalan bentuk tidak
berubah (Cuppett & Caritis, 2013).
Dosis. Sebagai tokolitik, dapat digunakan dosis terbutalin 250 mcg subkutan
tiap 20-30 menit hingga empat dosis atau hingga efek tokolitik diperoleh. Dosis
250 mcg dapat diulang tiap 3-4 jam selama 24-48 jam tergantung aktivitas uterus
dan respon hemodinamik maternal. Untuk tokolitik akut pada keadaan takhisistol
uterus yang berhubungan dengan perubahan denyut jantung janin, dosis 250 mcg
subkutan atau 125 mcg intravena dapat diberikan. Pengobatan harus ditahan jika
denyut jantung maternal >120 detak per menit (Cuppett & Caritis, 2013).
Obat juga dapat diberikan secara infus intravena dengan dosis yang dinaikkan
secara perlahan. Infus diawali pada dosis 2,5-5 mcg/menit; yang dapat
ditingkatkan tiap 20-30 menit dengan 2,5-5 mcg/menit hingga dosis maksimal 25
mcg/menit. Infus dapat dititrasi hingga uterus tidak bergerak atau muncul efek
samping maternal. Saat keadaan ini tercapai, infus dapat dikurangi 2,5-5
mcg/menit hingga dosis terendah untuk menjaga gerakan uterus. Dan harus dijaga
denyut jantung maternal tidak boleh melebihi 120 detak per menit (Cuppett &
Caritis, 2013).
Dosis salbutamol yang digunakan sebagai tokolitik adalah 4 mg salbutamol
ditambahkan dengan 500cc Dekstrose 5% diberikan secara iv 10 tetes/menit.
Dosis dapat ditingkatkan pada interva; 15-20 menit hingga kontraksi berhenti atau
denyut maternal meningkat 140detak/menit. Kemudian diberi dosis penjagaan
salbutamol oral 4 mg dua kali sehari selama 5 hari (Junejo, et al., 2008).
Kontraindikasi

pada

Kondisi

Ibu.

Pemberian

betamimetik

harus

diperhatikan jika diberikan pada ibu dengan diabetes; terbutalin harus dihindari
pada wanita hamil dengan penyakit jantung(Cuppett & Caritis, 2013)
ESO. Beta simpatomimetik telah lama digunakan untuk menghambat
kontraksi (tokolitik), tetapi jarang digunakan karena efek sampingnya dan efeknya
jangka pendek (maksimum 48 jam) pada otot rahim untuk perkembangan
takifilaksis. Ritodrineand fenoterolare yang paling sering digunakan. Clenbuterol,
salbutamol, terbutaline, dan isoxsuprineare juga digunakan sebagai tokolitik
(Visser & Kayser, 2015).
Efek samping kardiovaskular pada kehamilan, seperti palpitasi dan edema
paru merupakan komplikasi serius pada penggunaan secara intravena. Pada studi
dengan serial prospektif dari 175 kasus, munculnya efek samping yang serius ada
13

tiga kasus (1,7%) dan reaksi efek samping sedang sebanyak 2,3% dari kasus
(Visser & Kayser, 2015).
Penggunaan fenoterol dan beta simpatomimetik lain, terutama jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk meningkatkan kematangan paru
janin, dapat menyebabkan gangguan toleransi karbohidrat, beberapa mengarah
pada peningkatan tiba-tiba pada kebutuhan insulin pada diabetes tergantung
insulin. Sama seperti pada ibunya, beta simpatomimetik dapat menyebakna efek
samping kardiovaskular pada janin dan neonatal, karena gangguan toleransi
karbohidrat pada neonatal (Visser & Kayser, 2015).
Betamimetik oral digunakan untuk terapi setelah persalinan prematur bukan
untuk mencegah persalinan prematur. Kesimpulan ini berdasarkan 13 RCT dengan
total 1551 wanita yang menunjukkan betamimetik ritodrin dan terbutalin tidak
menurunkan rata-rata kelahiran prematur (delapan percobaan), atau pencegah
masalah dengan bayi yang dimaruskan masuk NICU, ketika dibandingkan dengan
plasebo, tanpa pengobatan atau obat tokolitik lain. Betamimetik dapat
menyebabkan wanita hamil memiliki peningkatan detak jantung (palpitasi) dan
nafas, penurunan tekanan darah, mual dan muntah, dan efek sampingnya kenaikan
konsentrasi gula darah (Dodd, et al., 2012).
EBM. Dua puluh percobaan, melibatkan 1367 wanita, membandingkan
betamimetik dengan plasebo. Betamimetik menurunkan jumlah wanita yang
melahirkan prematur dalam waktu 48 jam (rata-rata risk ratio (RR) 0.68, 95%
confidence interval (CI) 0.53 to 0.88, 10 percobaan, 1209 wanita). Penurunan
pada jumlah kelahiran dalam tujuh hari (rata-rata RR 0.80; 95% CI 0.65 to 0.98,
lima percobaan, 911 wanita) tapi tidak ada evidensi pada penurunan kelahiran
prematur (sebelum kehamilan 37 minggu) ((RR 0.95; 95% CI 0.88 to 1.03, 10
percobaan, 1212 wanita) (Neilson, et al., 2014).
Hasil review literatur dengan metode meta analisis dari 9 RCT yang
membandingkan

atosiban

dengan

betamimetik

adalah

bahwa

keduanya

mempunyai efek yang serupa dalam memperlambat kelahiran prematur setidaknya


selama 48 jam (P = 0,910). Penggunaan atosiban memiliki efek samping yang
lebih sedikit (P < 0.008) (Wex, et al., 2011).
Dilakukan studi dengan randomised controlled trials (RCT) dengan total 1551
wanita. Bahwa ditemukan tidak ada perbedaan pada penerimaan di neonatal
intensive care unit (NICU) ketika betamimetik dibandingkan dengan plasebo (risk
14

ratio (RR) 1.28, 95% confidence interval (CI) 0.68 to 2.41; dua RCT terbulatin
dengan 2600 wanita) atau dengan magnesium (RR 0.80, 95% CI 0.43 to 1.46; satu
RCT dengan 137 wanita). Rata-rata kelahiran prematur (kurang dari 37 minggu)
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada enam RCT, empat
membandingkan

ritodrin

dengan

plasebo/tanpa

pengobatan

dan

dua

membandingkan terbutalin dengan plasebo/tanpa pengobatan (RR 1.11, 95% CI


0.91 to 1.35; 644 wanita)(Dodd, et al., 2012).
Dari hasil percobaan yang membandingkan antara terbutalin dengan
salbutamol diperoleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara terbutalin dan
salbutamol terhadap kelahiran dalam 48 jam (RR 0.63;95% CI 0.21 to 1.84). Akan
tetapi Efek samping lebih banyak timbul pada grup salbutamol, dimana wanita
dengan grup terbutalin mengapa penurunan resiko efek samping secara
keseluruhan (RR 0.54; 95% CI 0.42 to 0.70) (Neilson, et al., 2014).
4.

Nitrit Oksida
Mekanisme Kerja. Uterus merupakan organ yang terdiri dari otot polos.
Kontraksi uterus merupakan hasil dari interaksi aktin dan miosin. Interaksi aktin
miosin ini dimediasi oleh myosin light-chain kinases. Nitrit oksida merupakan
vasodilator yang esensial untuk menjaga tonus otot polos yang dihasilkan oleh
berbagai sel. Nitrit oksida disintesis dari oksidasi l-arginin (asam amino esensial)
menjadi l-citrulline. Reaksi oksidasi ini dikatalisis oleh enzim nitrit oxide
synthase. Interaksi antara nitrit oksida dan soluble guanylyl cyclase yang terdapat
pada sel efektor terdekat akan mengakibatkan transduksi sinyal sehingga
menstimulasi

formasi

nitrit

oksida

menjadi

sintesis

cyclic

guanosine

monophosphate (cGMP). Peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP)


pada sel otot polos akan menyebabkan inaktivasi myosin light-chain kinases
sehingga terjadi relaksasi otot polos uterus (Simhan and Caritis, 2007).
Farmakokinetik Nitrit Oksida
Onset
Durasi
Absorbsi
Distribusi

30-60 menit
24 jam
Mudah terabsorbsi pada kulit
Rata-rata kecepatan absorbsi 0,4
mg/jam
Maks plasma konsentrasi 2-4 jam
Kons tunak tergantung dosis (rata-rata
0,2 g/L)
Ikatan dengan protein plasma 60%
15

Metabolisme
Ekskresi

Di liver
Ekskresi di urin, t eliminasi 2-4
menit

Dosis, Kontraindikasi, Efek Samping Nitrit Oksida


Dosis

Kontraindikasi

Efek samping
terhadap
maternal

Patch 10 mg
untuk setiap
Pusing, hipotensi,
12 jam terus
preload dependent
sampai
cardiac lesions
Pusing, hipotensi
kontraksi
(e.g., aortic
berhenti,
insufficiency)
hingga 48 jam
(Renzo and Roura, 2006; Simhan and Caritis, 2007)

Efek samping
terhadap
janin/neonatus

Neonatal hipotensi

EBM. Berdasarkan systematic review dan metaanalisa yang dilakukan oleh


Conde-Agudelo, et al., 2013 terhadap tiga belas penelitian randomized controlled
trials dengan melibatkan 1.302 wanita yang membandingkan penggunaan
transdermal nitrogliserin dengan plasebo, 2 adrenergik reseptor antagonis,
nifedipin, dan magnesium sulfat menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara transdermal nitrogliserin dengan plasebo dalam mencegah
kelahiran prematur dalam 48 jam setelah terapi atau pada usia kehamilan < 28, <
34 atau < 37 minggu. Serta tidak ada perbedaan signifikan terhadap efek samping
neurodevelopment status bayi hingga usia 24 bulan. Hanya ada satu penelitian
yang membandingkan penggunaan transdermal nitrogliserin vs plasebo yang
menunjukkan penurunan signifikan terhadap neonatal morbidity dan kematian
perinatal (4,1% vs 13,9%).

16

Tabel 2.4 Perbandingan Transdermal Nitrogliserin vs Plasebo (Conde-Agudelo, et


al., 2013)

Transdermal nitrogliserin bila dibandingkan dengan 2 adrenergik reseptor


antagonis secara signifikan menurunkan resiko kelahiran prematur pada usia
kehamilan < 34 dan < 37 minggu. Transdermal nitrogliserin secara signifikan
menurunkan resiko neonatal masuk ke dalam ICU, penggunaan ventilator, dan efek
samping terhadap maternal (Conde-Agudelo, et al., 2013).

17

Tabel 2.5 Perbandingan Transdermal Nitrogliserin vs 2 adrenergik reseptor


antagonis
(Conde-Agudelo, et al., 2013)

Tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan transdermal nitogliserin


dengan nifedipin dan magnesium sulfat dalam mencegah kelahiran prematur dalam 48
18

jam setelah terapi. Seluruh wanita yang menerima transdermal nitogliserin mengalami
efek samping sakit kepala (Conde-Agudelo, et al., 2013).

Tabel 2.6 Perbandingan Transdermal Nitogliserin vs Magnesium Sulfat


(Conde-Agudelo, et al., 2013)

Berdasarkan systematic review dan metaanalisa tersebut disimpulkan bahwa


meskipun transdermal nitrogliserin lebih efektif daripada 2 adrenergik reseptor
antagonis, bukti terbaru menunjukkan bahwa transdermal nitrogliserin tidak
direkomendaikan secara rutin sebagai terapi tokolitik dalam mencegah kelahiran
prematur.
5. Progesterone
Mekanisme Kerja. Progesteron merupakan hormone kunci untuk memelihara
kehamilan. Progesteron menghambat prostaglandin yang memacu kontraktilitas
uterin. Progesteron menginduksi PIBF yang menghambat aktivitas fosfolipase A2.
Fosfolipase dibutuhkan untuk pelepasan asam arakidonat sehingga ketersediaan
precursor prostaglandin akan menurun. Penurunan konsentrasi prostaglandin akan
menghambat produksi IL-2 dan menghambat aktivitas NK sehingga terjadi
uterine quiescence (Bartho, Wilczynski, Basta, & Kalinka, 2008)
Untuk pencegahan PTB pada singleton gestation dengan riwayat PTB dan CL
normal atau tidak diketahui rekomendasi dosis 17P : 250 mg per minggu dimulai
pada minggu ke 16-20 melalui IM. Vaginal progesterone 100 mg pada malam hari
dimulai dari minggu ke 24 hingga 34. Progesteron oral 100 mg 2 kali sehari
dimulai pada minggu 20 hingga 36. Untuk pencegahan PTB pada singleton
19

gestation dengan riwayat PTB dan CL pendek : 17 P 250 mg per minggu dimulai
dari minggu ke 24 melalui IM. Vaginal progesterongel 90 mg per hari dimulai
pada minggu ke 18-23 hingga minggu 37. Suppositoria 100 mg tiap hari dimulai
pada minggu 24 hingga 34 (Berghella, 2012).
Farmakokinetika
Absorbsi
Ikatan protein
Metabolisme
T eliminasi
Waktupuncak
Ekskresi
(Lexi Comp, 2014)

Diperpanjang
50-54% (albumin)
Hepar
5-20 menit
17-24 jam
Urin

Kontraindikasi. Progesterone kontraindikasi jika diberikan pada ibu yang


hipersensitivitas pada progesterone, perdarahan vaginal abnormal, tromboflebitis
atau tromboemboli vena, tromboemboli vena seperti stroke atau infarkmiokard,
kanker payudara (Charles, Lora, & G, 2014).
Efek Samping Obat. Efek samping pada janin yang dilahirkan menurut
penelitian RCT pada 278 anak-anak umur rata-rata 4 tahun tidak ditemukan efek
jangka panjang dari eksposur intra uterin pada janin yang dilahirkan dan tidak
ditemukan perbedaan pada pemeriksaan fisik, status kesehatan, dan performen
(Berghella, 2012).
EBM. Menurut Seminar in Fetal and Neonates Medicine 2014 pada 5
penelitian dengan total perempuan 775 dan bayi 827 menyatakan bahwa terapi
dengan progesteron vaginal berhubungan dengan penurunan yang signifikan pada
kelahiran kurang dari 33 minggu (RR: 0,58 95 % CI:0,42-0,80), kelahiran kurang
dari 35 minggu (RR: 0,69 CI: 0,55-0,88), kelahiran kurang dari 28 minggu (RR:
0,50 CI: 0,30-0,81), RDS (RR: 0,48 CI : 0,30-0,76), kebutuhan penggunaan
ventilator (RR: 0,66 CI: 0,44-0,98)
Menurut American Journal of Obstetric and Ginecology 2012 pada
randomized studies menunjukan pada wanita dengan singleton gestation, tidak ada
riwayat preterm birth, dan memiliki cervical length < 20 mm pada< 24 minggu,
progesteron vaginal pada dosis 90 mg atau 200 mg dapat menurunkan angka
preterm birth (Berghella, 2012).
Menurut systematic review dan meta-analysis dari Mackenzie et al 2006 agen
progestational menurunkan kelahiran premature sesuai dengan penemuan dari
penelitian Meis et al 2006. Tidak ada penurunan signifikan pada kematian
20

perinatal dengan pemberian agen progestational. Agen progestational yang


diberikan pada trimester kedua kehamilan, dapat menurunkan resiko melahirkan
kurang dari 37 minggu pada wanita yang beresiko melahirkan premature
(Mackenzie, Walker, Armson, & Hannah, 2006).

Gambar 2.4 Algoritma penggunaan progestogen untuk pencegahan PTB


6. MgSO4 (Magnesium Sulphate)
Dari berbagai penelitian bahwa Magnisium sulphate digunakan untuk tata
laksana pre eklampsia maupun eklampsia, tetapi selain itu juga bisa memberikan
efek tokolitik.

Pada penggunaan MgSO4 sebagai pre eklampsia maupun

eklampsia mempunyai beberapa keuntungan yaitu lebih efektif, harganya jauh


lebih murah dan penggunaanya lebih mudah dibandingkan beberapa jenis obatobat pre eklampsia dan eklampsia lainnya.
EBM. Berdasarkan hasil penelitian dengan membandingkan pasien yang
diberikan MgSO4 dengan kontrol (yaitu: pasien preterm yang mendapatkan
ataupun tidak mendapatkan terapi tokolitik) didapatka hasil bahwa tidak lebih
efektif untuk menunda kelahiran atau dengan kata lain tidak lebih efektif
mencegah prematur, meskipun dalam beberapa outcame memberikan peluang
yang lebih baik. (Crowther CA, 2009). Beberapa outcame tersebut untuk fetus
dan materna ditunjukkan pada tabel berikut ini:
21

Outcome terjadinya peluang kelahiran prematur < 48 jam setelah pemberian


obat lebih besar pada kelompok kontrol dibanding MgSO4 dengan nilai RR
(0,85). Outcame terjadinya kelahiran prematur < 37 minggu lebih besar pada
kelompok kontrol dibandingakan MgSO4 dengan RR (0,91), demikian juga
dengan kelahiran sangat prematur kelompok kontrol lebih besar dari MgSO4
dengan nilai RR (0,82).

Outcome pada maternal peluang terjadnya hipotensi karena MgSO4 lebih


besar dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan RR (3,16), tetapi terjadinya
takikardi kelompok kontrol mempunyai peluang yang lebih besar dari MgSO4
dengan RR (0,23).
Pada hasil penelitian lain pemberian MgSO4 untuk mengetahui pengaruh
kelahiran prematur pada wanita yang mengalami pecah ketuban ini didapatkan
hasil seperti tabel berikut: (Mirzamoradi, 2014)

22

Pemberian MgSO4 pada grup intervensi meningkatkan periode 2,7 kali


dibandingkan dengan grup kontrol. Pada usia kehamilan < 30 minggu, pemberian
MgSO4 meningkatkan fase aktif persalinan > 77%.

Pemberian MgSO4

menurunkan resiko sindrom kesulitan bernafas (P = 0.002), tanpa menghasilkan


efek samping pada kehamilan. Sehingga MgSO4 meningkatkan penundaan dalam
mencapai fase aktif persalinan pada ibu dengan PROM (premature rupture of
membran).
Beberapa hasil penelitian lain menyebutkan bahwa:

MgSO4 dapat

menghambat kontraksi, namun kurang efektif sebagai tokolitik (Visser & Kayser,
2015), Magnesium bekerja pada ekstraselullar dan intrasellular dengan
mekanisme menurunkan konsentrasi kalsium intrasellular sehingga mencegah
respon kontraksi. (Cuppett & Caritis, 2013). Indikasi MgSO4 selama persalinan
prematur bukan untuk menghentikan kontraksi prematur, tetapi sebagai agen
neuroprotektif pada janin. (Visser & Kayser, 2015). The American College of
Obstetrician and Gynecologosts (ACOG) Kriteria Magnesium sulfat untuk
antisipasi kelahiran prematur sebagai neuroproteksi (Merril, 2013)
Tiga meta analsis telah menunjukkan efek MgSO4 pada neuroproteksi,
khususnya cerebral palsy. Hasilnya menunjukkan bahwa MgSO4 menurunkan
resiko cerebral palsy tanpa meningkatkan resiko kematian. Lima percobaan RCT
menunjukkan efek MgSO4 sebagai agen neuroprotektif pada wanita yang beresiko
mengalami kelahiran prematur. Hasilnya menunjukkan bahwa MgSO4 antenatal
secara signifikan menurunkan resiko cerebras palsy, tanpa ada efek pada janin,
neonatal atau kematian dini (hingga usia 2 tahun) dan tidak meningkatkan resiko
kematian maternal. Penemuan ini mendukung penggunaan terapi MgSO4 sebagai
neuroproteksi janin pada wanita dengan resiko melahirkan prematur (Merril,
2013).
Magnesium Sulphate sebagai anti pre eklampsi dan eklampsi
Pemakaian MgSO4 sebagai obat anti pre eklampsi dan eklampsI lebih
didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan signifikansi dibandingkan
sebagai tokolitik.
Dari hasil penelitian: pemberian MgSO4 IV sebanyak 6g pada wanita yang
mengalami pre eklamsi berat menunjukkan penurunan arteri umbilikalis, arteri
uterin dan indek doppler janin dengan mengurangi resistensi aliran pembuluh
darah. (Maged AM, 2016).
23

Farmakokinetik (AphA,2013)
Onset of action
Distribusi
Ikatan protein
Ekskresi

i.m: 1 jam
i.v: segera (immediate)
tulang (50 -60%), cairan ekstraselluler
(1-2%)
30% terikat pada albumin.
melalui urin

Dosis. Sebagai tokolitik akut digunakan dosis: (48-72 jam) IV: 4-6 gram
loading dose, kemudian titrasi 2-4 g/jam hingga ada respon uterus dan atau
toksisitas maternal.
Kontra indikasi: hindari pemberian pada pasien yang menggunakan CCB dan
pasien dengan miasthenia gravis.
Efek samping: ketika digunakan dalam dosis yang lebih tinggi atau ketika
fungsi ginjal terbatas dapat menyebabkan hypotonia otot pada ibu dan bayi baru
lahir (Visser & Kayser, 2015).

7. Oxytocin reseptor antagonist

Gambar 2.5 Mekanisme kerja atosiban (Lamont & Kam, 2008)

24

Mekanisme Kerja. Oksitosin menyebabkan kontraksi myometrial melalui


efek langsung dari ikatan oksitosin dengan respetor di membran yang
menyebabkan peningkatan kalsium di intraseluler. Secara tidak langsung oksitosin
menstimulasi pelepasan prostaglandin di decidua dan fetal membran, yang dapat
menyebabkan kontraksi myometrial dan menginisiasi pematangan cervical.
Atosiban merupakan oksitosin antagonis yang berkompetitif dengan vasopressin
dan oksitosin untuk berikatan dengan reseptor di myometrium, decidua dan fetal
membran. Atosiban menyebabkan hambatan kontraksi uterus dan menurunkan
oksitosin sehingga tidak ada mediasi pelepasan prostaglandin (Lamont & Kam,
2008).
Farmakokinetik
Distribusi Volume distribusi : 13.1 liter 3.8
Ikatan dengan protein plasma (33%)
Ikatan dengan eritrosit (13%)
Atosiban dapat menembus plasenta
Volume
distribusi
:
18,3
liter6,8(wanita hamil)
Ekskresi Klirens : 0.623 0.099 liter/jam
t : 16.2 2.4 menit
t : 18 3 menit (wanita hamil)

(Lundin, Broeders, &


Melin, 1993)
(Lamont & Kam, 2008)
(Goodwin, Millar, &
North, 1995)
(Lundin, Akerlund, &
Fagerstrom, 1986)
(Goodwin, Millar, &
North, 1995)

Dosis dan Cara Pemberian


6.75mg atosiban dalam 0.9mLNaCldiberikan secaraintravenabolus
Dilanjutkan 300 g/menitdalam 5% glukosaselama 3 jam,dilanjutkan
dengan 100 g/menitselama 1545 jam
Tidak ada terapi maintenance (Tsatsaris, Carbonne, & Cabrol, 2004).
Kontraindikasi, Efek samping Atosiban
Kontraindikasi
Kehamilan < 24 minggu
atau > 33 minggu
Premature rupture of the
membranes >30 minggu
kehamilan
Gangguan Intrauterine
growth dan abnormal fetal
heart rate
Antepartum
uterine
haemorrhage

Efek samping terhadap


maternal

Efek samping
terhadap
janin/neonatus

Efek samping yang umum


terjadi
(prevalensi
kejadian
1:10 orang):
Sakit
kepala,
pusing,
kemerahan,
mual,
takikardi,
hipotensi,
reaksi pada tempat
injeksi, hiperglikemi
Efek samping yang
25

Eclampsia dan severe


pre-eclampsia
Intrauterine foetal death
suspek
intrauterine
infection
Placenta praevia
Abruptio placenta
Hipersensitif

tidak umum terjadi


(prevalensi
kejadian
1:100 orang): Demam,
insomnia,
gatal,
kemerahan
Efek samping yang
jarang
terjadi
(prevalensi
kejadian
1:1000
orang):
perdarahan
setelah
melahirkan,
reaksi
alergi
(Clinical
practice
guideline
tocolytic
treatment in pregnancy,
2013)

EBM. Berdasarkan cochrane review yang dilakukan Flenady, et al., 2014


didapatkan keimpulan bahwa:
1. Dua penelitian dengan melibatkan 152 wanita yang membandingkan
penggunaan atosiban dan plasebo menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara penggunaan atosiban dengan plasebo dalam mencegah
kelahiran prematur dalam 48 jam setelah terapi dengan RR 1.05, 95% CI
(Gambar 1).
2. Dua penelitian dengan melibatkan 613 wanita yang membandingkan
penggunaan atosiban dan plasebo menunjukkan bahwa atosiban menimbulkan
efek samping pada maternal jika dibandingkan dengan plasebo dengan RR
1,54, 95% Cl., dimana atosiban menyebabkan 19% wanita mengalami efek
samping sedangkan 14% wanita yang mendapat plasebo mengalami efek
samping (Gambar 2).
3. Delapan penelitian

dengan

melibatkan

1.389

wanita

yang

membandingkan penggunaan oksitosin antagonis dengan betamimetics


menunjukkan bahwa oksitosin antagonis lebih unggul dalam mencegah
kelahiran prematur dalam 48 jam jika dibandingkan betamimetics dengan RR
0.98, Cl 95% (Gambar 3).
4. Dua penelitian dengan melibatkan 225 wanita yang membandingkan
penggunaan oksitosin antagonis dengan CCB menunjukkan bahwa oksitosin
antagonis tidak lebih unggul dalam mencegah kelahiran prematur dalam 48
jam jika dibandingkan dengan CCB dengan RR 0.38, Cl 95% (Gambar 3).
26

5. Dua penelitian yang membandingkan penggunaan oksitosin antagonis


dan betamimetics menunjukkan bahwa oksitosin menurunkan kejadian efek
samping pada maternal dengan RR 0.47, Cl 95% (Gambar 4).
6. Dua penelitian dengan melibatkan 225 wanitayang membandingkan
penggunaan oksitosin antagonis dengan CCB menunjukkan bahwa oksitosin
antagonis menurunkan kejadian efek samping pada maternal dengan RR 0.38,
Cl 95% (Gambar 4) (Flenady, Reinebrant, Liley, & Papatsonis, 2014).
Tabel 2.7 Perbandingan antara oksitosin antagonis dan plasebodalam mencegah
kelahiran prematur dalam 48 jam

Tabel 2.8. Perbandingan antara oksitosin antagonis dan plasebo dalam mencegah
efek samping terhadap maternal

27

Tabel 2.9 Perbandingan antara oksitosin antagonis dan obat tokolitik lainnya
dalam mencegah kelahiran prematur dalam 48 jam

28

Berdasarkan review tersebut disimpulkan bahwa penggunan oksitosin antagonis


(sebagian besar atosiban) untuk mencegah kelahiran prematur tidak lebih unggul jika
dibandingkan dengan penggunaan plasebo, CCB (sebagian besar nifedipine) atau
betamimetics.

Dibandingkan

CCB

atau

betamimetics,

oksitosin

antagonis

menurunkan resiko efek samping terhadap maternal(Flenady, Reinebrant, Liley, &


Papatsonis, 2014).

BAB III
PEMATANGAN FUNGSI PARU JANIN
3.1

Paru-paru pada Janin Prematur


Kelahiran prematur (kurang dari 37 minggu kehamilan) menimbulkan beban

kesehatan yang signifikan, mempengaruhi sekitar 5-18% dari total bayi yang lahir,
29

dengan lebih dari 60% kelahiran prematur yang terjadi di Afrika dan Asia Selatan
(PMNCH, et al., 2012). Bayi prematur, terutama yang lahir sebelum 32 minggu
kehamilan, beresiko tinggi mengalamirespiratory distress syndrome (RDS), suatu
komplikasi serius yang merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan
neonatus. Janin yang lahir prematur dan bertahan hidup pada periode neonatus
secara signifikan beresiko tinggi mengalami kecacatan syaraf dalam jangka waktu
yang panjang. RDS terjadi sebagai akibat defisiensi surfaktan dan perkembangan
paru yang belum matang. Resiko RDS dan kematian pada neonatus menurun pada
usia kehamilan yang cukup, yang menggambarkan kematangan sistem organ. Terapi
yang dapat menurunkan insiden terjadinya RDS pada janin yang lahir prematur,
termasuk diantaranya pemberian kortikosteroid sebelum kelahiran (Roberts & S,
2006).
3.2

Perkembangan Paru Bayi


Seperti cabang pohon, proses perkembangan paru telah ditetapkan waktunya dan

tidak dapat dipercepat dengan terapi antenatal ataupun postnatal. Batas


kemampuannya telah ditentukan sebagaimana proses pertumbuhannya. Ada 4
tahapan penting perkembangan paru yang dijelaskan oleh Moore (2013). Pertama,
tahap pseudoglandular yaitu pertumbuhan percabangan intrasegmental bronkus
diantara 6 dan 16 minggu. Selama periode ini, paru terlihat mikroskopis seperti
kalenjar. Kedua, selama tahap canalicular, dari 16 sampai 26 minggu, plate kartilago
bronkus meluas ke perifer. Tiap ujung bronkusmembentuk bronkiolus dan tiap
bronkiolus terbagi menjadi beberapa saluran saccular. Selanjutnya, tahap terminal
sac dimulai pada 26 minggu kehamilan. Terakhir, tahapan alveolar dimulai pada 32
minggu. Selama tahap alveolar, lapisan epitel alveolar menipis dan meningkatkan
pertukaran udara. Secara bersamaan matrik ekstraseluler berkembang dari proksimal
sampai bagian distal paru hingga waktu kelahiran. Jaringan kapiler yang luas
dibentuk, sistem lymph dibentuk, dan pneumonocytes tipe II mulai memproduksi
surfaktan. Saat kelahiran, alveoli bayi hanya sekitar 15% dari jumlah alveoli
dewasa. Selanjutnya alveoli terus tumbuh dan bertambah banyak hingga usia 8
tahun (Cunningham, et al., 2014)
3.3 Surfaktan paru
Surfaktan dibentuk pada pneumonosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel sel ini
ditandai dengan multivesicular bodies yang memproduksi lamellar bodies, dimana
surfaktan dibentuk. Surfaktan terdiri dari 90% phospholipid dan 10% protein.
30

Phospholipid adalah komponen utama surfaktan yang menurunkan tegangan


permukaan udara dan darah(Cunningham, et al., 2014). Perkembangan surfaktan
pada jaringan paru- rongga udara, mencegah alveoli kolaps selama ekspirasi dan
membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi berikutnya. Pada bayi dengan
paru- paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan dalam jumlah yang
cukup pada saat lahir sehingga alveolus akan kolaps pada saat akhir ekspirasi dan
tidak mampu berkembang kembali pada saat inspirasi, sehingga pada waktu
inspirasi butuh usaha besar. Kolapsnya alveolus karena kurangnya surfaktan akan
menimbulkan sesak nafas pada bayi baru lahir yang dikenal respiratory distress
syndrome (Alldredge, et al., 2013)
3.4 Kortikosteroid
Mekanisme Kerja. Kerja kortikosteroid dengan merubah ekspresi gen
menyebabkan efek glukokortikoid, termasuk glukoneogenesis, proteolisis,
lipolisis, supresi respon imun, dan efek mineralkortikoid, termasuk hipertensi,
retensi sodium dan air dan hilangnya kalium. Pada paru janin, kerja kortikosteroid
menyebabkan peningkatan produksi, biosintesis phospholipid dan surfaktan. The
cochrane review Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung maturation
for women at risk of preterm birth memperlihatkan pemberian kortikosteroid
dapat menurunkan insiden RDS ( RR : 0,66; (5% CI 0,59-0,73). Saat ini
betamethason dan dexamethason merupakan regimen kortikosteroid yang
direkomendasikan dan digunakan pada praktek klinis (Brownfoot, et al., 2013).
Untuk selanjutnya akan dibahas mengenai betamethason dan dexamethason
sebagai kortikosteroid dalam terapi pematangan paru janin pada ibu dengan resiko
kelahiran prematur, terkait farmakokinetik, regimen dosis, mekanisme kerja, efek
samping, kontraindikasi, serta bukti ilmiah efektifitas keduanya.
Usia Kehamilan. Pemberian kortikosteroid pada ibu hamil dengan resiko
prematur sebaiknya pada usia kehamilan 24 dan 34 minggu. Satu penelitian yang ikut
serta dalam cochrane review menganjurkan pemberian kortikosteroid pada usia
kehamilan 24 dan 26 minggu namun jarang ditemui. Kesimpulan dari penulis
cochrane review dan Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
Committee opinion menyebutkan bahwa meskipun kurangnya data, terdapat
keuntungan lain disamping penurunan insiden RDS pada pemberian profilaksis
kortikosteroid pada usia kehamilan diantara 24 dan 26 minggu. Kesimpulan yang
31

dapat diambil dengan mengacu pada hasil penelitian dengan level evidence yang
paling baik, pemberian kortikosteroid sebaiknya pada usia kehamilan 24 dan 34
minggu (RCOG, 2010).

Gambar 3.1 Mekanisme kerja kortikosteroid


Dexamethason dan bethamethason mempunyai efek antiinflamasi dengan
menekan semua fase respon inflamsai, termasuk pembengkakan dini, kemerahan,
nyeri, dan selanjutnya perubahan poliferatif yang tampak pada inflamasi kronis.
Inflamasi ditekan oleh beberapa mekanisme. Sel sel imunokompeten dan
makrofag dalam sirkulasi dikurangi dan pembentukan mediator proinflamasi, seperti
prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF) dihambat.
Dexamethason dan betamethason menghasilkan efek tersebut dengan menstimulasi
sintesis protein (lipokortin) dalam leukosit yang menghambat fosfolipase A2, enzim
ini yang terletak dalam membran sel, diaktivasi dalam sel sel yang rusak dan
bertanggung jawab terhadap pembentukan asam arakidonat yang merupakan
prekursor berbagai mediator inflamasi (Katzung & Trevor, 2015).
Pemberian dexamethason dan bethamethason dosis tinggi akan semakin
menstimulasi lipokortin, sehingga efeknya dalam menghambat enzim fosfolipase A2
semakin besar, hal ini mengakibatkan proses pembentukan asam arakidonat dari
fosfolipid terhambat. Terhambatnya pembentukan asam arakidonat menyebabkan
32

jumlah fosfolipid semakin banyak, dimana telah dijelaskan di atas, fosfolipid


merupakan komponen utama surfaktan yang dibutuhkan dalam perkembangan
alveoli janin untuk dapat mengembang (Utama & Crowther, 2012).
Farmakokinetik
PARAMETER
t eliminasi
Volume distribusi
Ikatan protein
Metabolisme
Waktu puncak
Ekskresi
(Lacy, et al., 2009)

DEXAMETHASON
1,8 3,5 jam
2 L/kg
70%
Hepar
1-2 jam
Urin dan feses

BETAMETHASON
6,5 jam
75 90 L
64%
Hepar
10-36 menit
Urin

Regimen dosis dan lama pemberian


Dosis optimal penggunaan kortikosteroid belum diketahui. Regimen dosis yang
direkomendasikan NIH adalah sebagai berikut :
OBAT DEXAMETHASON
DOSIS 6mg tiap 12 jam IM dalam 4 dosis

BETAMETHASON
12 mg tiap 24 jam IM dalam 2
dosis

Regimen dosis yang banyak digunakan dalam pencegahan RDS adalah


sebagaimana terlihat pada tabel di atas. Bukti regimen dosis lain seperti 2 dosis
betamethason 12 mg diberikan 12 jam dalam dosis terbagi jarang digunakan, namun
akan terlihat beralasanketika 24 mg obat baik diberikan dalam jangka waktu 24-48
jam pada tiap regimen dosis (RCOG, 2010)
Suatu penelitian retrospektif non random menyatakan bahwa janin yang terpapar
betamethason antenatal lebih menurun pada resiko cystic periventricular
leukomalacia dibandingkan dengan janin yang terpapar dexamethason. Penelitian
kohort lain menyatakan bahwa resiko kematian pada neonatus lebih rendah pada
pemberian betamethason dibandingkan dengan dexamethason (P < 0,05) (RCOG,
2010).
Pemberian kortikosteroid efektif menurunkan RDS pada kehamilan ketika
diberikan 24 jam setelah dan 7 hari setelah pemberian dosis kedua kortikosteroid.
Penelitian lain menyebutkan pemberian kortikosteroid antenatal dapat menurunkan
insiden kematian neonatus ketika janin dilahirkan kurang dari 24 jam setelah dosis
pertama diberikan.(RR : 0, 53) (RCOG, 2010).

33

Efek Samping. Wanita dengan kortikosteroid antenatal tidak terlihat adanya


adverse effect yang signifikan dalam penggunaan jangka pendek. Bukti penggunaan
jangka panjang terkait manfaat dan resiko kortikosteroid antenatal terlihat tidak jelas
perbedaannya antara efek pada syaraf dan kognitif dan bukti juga lemah.
Kontraindikasi. Kortikosteroid menekan sistem imun, oleh karena itu berresiko
penggunaannya pada infeksi aktif laten atau eksaserbasi infeksi jamur. Pada ibu
dengan infeksi sistemik, secara teoritis akan menekan respon imun terhadap infeksi.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid

akan

menimbulkan efek serius pada wanita dengan infeksi sistemik, namun penggunaannya
harus lebih hati hati, seperti pada TB dan sepsis (RCOG, 2010).
EBM. The cochrane review Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth memperlihatkan pemberian
kortikosteroid dapat menurunkan insiden RDS ( RR : 0,66; (5% CI 0,59-0,73). Saat
ini betamethason dan dexamethason merupakan regimen kortikosteroid yang
direkomendasikan dan digunakan pada praktek klinis (Brownfoot, et al., 2013).
Penggunaan dexamethasone dan bethametasone pada maternal dilaporkan tidak
menimbulkan

insiden

terjadinya

kematian,

chorioamnionitis,

puerperal

sepsis,demam post partum, demam intrapartum,perawatan ICU, adverse effects


therapy, intoleransi glukosa dan hipertensi. Pada infant penggunaan dexamethasone
dan bethametasone tetap memiliki beberapa resiko seperti kematian neonatus,
bronchopulmonary dysplasia, neonatal sepsis, necrotising enterocolitis, PDA, severe
IVH, periventricular leukomalacia, retinopathy of prematurity, dimana efek efek
tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang berbeda signifikan terhadap penggunaan
kedua jenis obat, tetapi menunjukkan perbedaan yang signifikan terhapap
kejadianintraventricular haemorrhagedimanadeksamethason terbukti lebih unggul
dalam

mencegah

terjadinya

insidentersebut

dibandingkan

penggunaan

betamethasone(RR0,44; 95% CI : 0,21 0,92; P: 0,029). (Brownfoot, et al., 2013).


BAB IV
KESIMPULAN
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk
di dalamnya agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor,
magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangan sebagai preparat tokolitik.
34

Menurut EBM yang diperoleh dari beberapa penelitian dapat kami simpulkan
sebagai berikut :
1. CCB efektif diberikan sebagai tocolytic dengan Loading Dose 10 mg.
2. COX Inhibitor. Tidak ada perbedaan bermakna pada pemberian COX inhibitors
dengan tokolitik lain dalam mencegah kelahiran prematur dan munculnya efek
samping obat, terutama pada maternal, namun, memiliki risiko efek samping pada
fetus. Pada pemberian indomethacin sebagai tokolitik kurang efektif juka
dibandingkan dengan agen tokolitik lainnya, namun lebih efektif juka
dibandingkan dengan pemberian COX-2 inhibitors. Pemberiannya pun harus
dipertimbangkan dengan baik, karena dapat menimbulkan efek samping yang
besar baik pada maternal maupun pada fetus.
3. Beta Simpatomimetik dapat digunakan sebagai tocolytic paling lama 48 jam.
Terbutalin dan Salbutamol memiliki efek yang serupa namun efek samping
salbutamol lebih besar disbanding terbutalin
4. NO tidak direkomendasikan secara rutin untuk penggunaan sebagai Tocolytic,
karena berisiko tinggi terjadinya hipotensi
5. Progesteron. Agen progestational dapat menurunkan angka kelahiran prematur,
namun tidak ada penurunan signifikan pada kematian perinatal. Agen
progestational yang diberikan pada usia kehamialn trimester kedua kehamilan
dapat menurunkan kelahiran premature pada usia kurang dari 37 minggu
6. MgSO4 kurang efektif sebagai tocolytic pada persalinan premature namun dapat
menghambat kontraksi dan digunakan sebagai neuroprotektif.
7. Oxytocin Antagonis tidak lebih unggul sebagai tocolytic disbanding agen CCB
dan betamimetik

DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B. K. et al., 2013. Koda-Kimble and Youngs applied therapeutics : the
clinical use of drugs. 10 ed. Philadelphia:Lippincotcott William & Wilkins.
35

APhA, (. P. A., 2013. Drug Information Handbook. 22nd ed. United State:
Lexicomp.
Bartho, J S., Wilczynski, JR., Basta, P., Kalinka. 2008., J. Frontiers in Bioscience
Berkman, N. D. et al., 2003. Tocolytic treatment for the management of preterm
labor: A review of the evidence, North Carolina: The Research Triangle
Institute.
Brownfoot, F. C. et al., 2013. Different Corticosteroid and Regimen for Accelerating
Fetal Lung Maturation for Women at Risk of Preterm Birth. The Cochrane
Collaboration. Published by JohnWiley & Sons, Ltd, Issue 8, pp. 1-91.
Conde-Agudelo, et al., 2013. Transdermal nitroglycerin for the treatment of preterm
labor: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol
2013;209:551.e1-18
Coomarasamya, A., Knoxb, E. M., Geea, H., & Fujian Songc, K. h. (2003).
Effectiveness of nifedipine versus atosiban for tocolysis in preterm labour: a
meta-analysis with an indirect comparison of randomised trials. International
Journal of Obstetrics and Gynaecology Vol 10, 10451049.
Craig, C.R. & Stitzel, R. E., 2003. Modem Pharmacology with Clinicsk. Applications
Sixth Edition. Philadelphia:Lippincotcott William & Wilkins
Cunningham, F. G. et al., 2014. Williams Obstetrics 24th Edition. 24 ed. US:
McGraw-Hill Education.
Cuppett, C. D. & Caritis, S. N., 2013. Uterine Contraction Agents and Tocolytics. In:
Clinical Pharmacology During Pregnancy. United Kingdom: Academic Press,
pp. 307-330.
Dodd, J. M., Crowther, C. A. & Middleton, P., 2012. Oral betamimetics for
maintenance therapy after threatened. The Cochrane Collaboration, Issue 12,
pp. 1-79.
Flenady, V., Reinebrant, H., Liley, H. T., & Papatsonis, D. (2014). Oxytocin receptor
antagonists for inhibiting preterm labour (Review). The Cochrane Library.
Gspr, Rbert., Hajagos-Tth, Judit. 2013. Calcium Channel Blockers as
Tocolytics: Principles of Their Actions, Adverse Effects and Therapeutic
Combinations . J. Pharmaceutics 6 : 689-699
Junejo, N., Mumtaz, F. & Unar, B. A., 2008. Comparison of Salbutamol and
Nifedipine as a Tocolytic Agent in the Treatment of Preterm Labour.
JLUMHS, pp. 115-120.
36

Kashanian, M., Bahasadri, S. & Zolali, B., 2011. Comparison of the efficacy and
adverse effects of nifedipine and indomethacin for the treatment of preterm
labor. International Journal of Gynecology and Obstetric, Volume 113, pp.
192 - 195.
Katzung, B. G. & Trevor, A. J., 2015. Basic and Clinical Pharmacology. 13 ed. US:
McGraw-Hill Education..
King, J. et. al., 2010. Cyclo-oxygenase (COX) inhibitors for treating preterm labour.
The Cochrane Collaboration, Volume 2.
Koucky, et al., 2009. Pathophysiology of Preterm Labour. Prague Medical Report /
Vol. 110 (2009) No. 1, p. 1324
Lacy, C. F. et. al., 2015. Drug Information Handbook. 24th ed. Ohio: Lexi-comp
Lamont, R. F., & Kam, K. R. (2008). Atosiban as a tocolytic for the treatment of
spontaneous preterm labor. Future Drugs, 163-174.
Mackenzie, D., Walker, M., Armson, A., Hannah, M., 2006
Macintyre, D A., Chan, A C., Smith, R., 2007. Myometrial Activation-Coordination,
Conectivity and Contractility. Fetal and Maternal Medicine Review
McEvoy, K Gerald. 2011. AHFS Drug Essential Information. Maryland : ASHP
Meis PJ, Klebanoff M, Thom E, Dombrowski MP, Sibai B,Moawad AH, et al. 2003
Prevention of recurrent preterm delivery by 17 alpha-hydroxyprogesterone
caproate. N Engl J Med;348:2379-85.
Merril, L., 2013. Magnesium Sulfate During Anticipated Preterm Birth for Infant
Neuroprotection. AWHONN, pp. 44-54.
MIrzamoradi, M. et al., 2014. Does magnesium sulfate delay the active phase of
labor in women with premature rupture of membranes? A randomized
controlled trial. Taiwanese Journal of Obstetrics & Gynecology, Volume 53,
pp. 309-312.
Neilson, J. P., West, H. M. & Dowswell, T., 2014. Betamimetics for inhibiting
preterm labour. The Cochrane Collaboration, Issue 2, pp. 1-116.
PMNCH, Save, t. C., WHO & March, o. D., 2012. Born Too Soon : The Global
Action Report on Preterm Birth. Geneva: World Health Organization.
Progesterone for the Prevention of Preterm Birth amongWoman at Increased Risk :
A Systemic Review and Meta Analysis of Randomized Controlled Trials.
American Journal of Obstetric and Gynecology.

37

RCOG, 2010. Antenatal COrticosteroids to Reduce Neonatal Morbidity and


Mortality. 4 ed. s.l.:Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.
Renzo and Roura, 2006. Guidelines For The Management Of Spontaneous Preterm
Labor. J. Perinat. Med. 34 (2006) 359366
Roberts, D. & S, D., 2006. Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth.. Cochrane Database of
Systematic Reviews, Issue 3.
Simhan, H. N. & Caritis, S. N., 2007. Prevention of Preterm Delivery. The New
England Journal of MEdicine, Volume 357, pp. 477-487.
Society for Maternal Fetal Medicine. 2012. Progesterone and preterm birth
prevention. Am J Obstet Gynecol
Tsatsaris, V., Carbonne, B., & Cabrol, D. (2004). Atosiban for Preterm Labour Drug,
375-382.
Utama, D. P. & Crowther, C. A., 2012. Transplacental Versus Direct Fetal
Corticosteroid Treatment for Accelerating Fetal Lung Maturation Where There
is a Risk of Preterm Birth. The Cochrane

Collaboration. Published by

JohnWiley & Sons, Ltd., Issue 3, pp. 1-14.


Visser, G. H. & Kayser, A., 2015. Uterine contraction agents, tocolytics, vaginal
therapeutics and local contraceptives. In: Drugs During Pregnancy and
Lactation. New York: Elsevier, pp. 401-410.
Wex, J., Abou-Setta, A., Clerici, G. & Renzo, D. C., 2011. Atosiban versus
betamimetics in the treatment of preterm labour in Italy: clinical and economic
importance of side-effects. European Journal of Obstetrics & Gynecology and
Reproductive Biology, Volume 157, p. 128135.

38

Anda mungkin juga menyukai