Anda di halaman 1dari 5

Tugas Resume Lingkungan Bisnis dan Hukum Komersial

Nama : Devi Trenggani


Nama : Wulan Riyadi

1615102006
1615102012

Nama : Rita Yunita Resmi 1615102011


Kelompok 6

A. Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan tidak Sehat


Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa :
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Jadi dalam pasal tersebut mendefinisikan monopoli sebagai suatu penguasaan atas
sebuah usaha atau bisnis tertentu. Hal tersebut tentu dapat memperkuat posisinya dan
melemahkan posisi pesaingnya, sehingga semakin lama ia akan semakin menguasai pasaran.
Monopoli ini dapat dilakukan baik perseorangan maupun kelompok.
Kata monopoli berasal dari kata Yunani yang berarti penjual tunggal . Disamping
itu istilah monopoli sering disebut juga Antitrust untuk pengertian yang sepandan dengan
istilah antimonopoli atau istilah dominasi yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang
artinya sepadan dengan arti istilah monopoli dikekuatan pasar.
Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar
dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan
untuk menunjukan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut
tidak tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi,
tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar.

Jadi ketika seseorang telah mampu menguasai pasar atau berhasil melakukan
monopoli, maka orang tersebut dapat menaikkan harga sesuai keinginannya tanpa melihat
permintaan pasar, hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya pesaing yang berarti baginya
. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat(6) UU menyatakan bahwa :
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Jadi persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan usaha dalam berbisnis yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau curang atau melawan hukum yang tindakannya
tersebut telah menghambat pesaingnya dalam melakukan usaha yang serupa.
Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli menyatakan bahwa:
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.
Kemudian dalam pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa :
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sama;atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50 % (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dalam pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

B. Perjanjian yang dilarang


Perjanjan Yang Dilarang untuk mencapai tujuan hukum anti monopoli, ada beberapa
perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang yang dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dalam pasal1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatkan bahwa :
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik secara
tertulis maupun secara lisan.
Perjanjian yang dilarang dalam hukum anti monopoli yang dapat mengakibatkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terdapat dalam bab III Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Perjanjian yang dilarang tersebut antara lain :
1. Oligopoli
Oligopoli adalah sebuah keadaan pasar dimana jumlah dari produsen dan pembeli
barang hanya sedikit,sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi
harga pasar.
Perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se
illegal.
Hal ini menarik karena larangan oligopoli hanya dimasukkan ke dalam perjanjian yang
dilarang, yang dapat mempersempit cakupan larangan tersebut, mengingat keterbatasan
arti perjanjian.
2. Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
meliputi empat jenis perjanjian yaitu:
a. Penetapan harga (price fixing)
Larangan perjanjian penetapan harga terdapat dalam Pasal 5 UndangUndang
Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Penetapan harga ini dilarang karena penetapan harga bersama sama akan
menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari
adanya penawaran dan permintaan.
b. Diskriminasi harga (price discrimination)
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

Jadi dalam pasal ini adalah adanya sebuah perjanjian antar pelaku usaha yang
mengakibatkan adanya perlakukan yang berbeda antara pembeli satu dengan
pembeli yang lain.
Pembeli yang satu harus membayar lebih tinggi atau lebih murah dari pembeli
yang lain terhadap barang atau jasa yang sama.
Hal ini tidak diperbolehkan karena akan menyebabkan adanya persaingan usaha
yang tidak sehat antara pelaku usaha.
Menurut Ayudha D. Prayoga sebagaimana dikutip dalam buku karangan Rachmadi
Usman membagi diskriminasi harga kedalam 3 tingkatan. Dalam setiap tingkatan
menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu :
1. Diskriminasi harga sempurna, dimana produsen akan menetapkan harga yang
berbeda untuk setiap konsumen. Setiap konsumen akan dikenakan harga
tertinggi yang sanggup dibayarnya. Dengan menerapkan strategi ini hanya
dapat di implementasikan pada kasus tertentu saja, karena menuntut produsen
untuk mengetahui secara tepat berapa jumlah maksimum yang ingin
dibayarkan oleh konsumen untuk jumlah barang yang ditawarkan.
2. Pada situasi dimana produsen tidak dapat mengidentifikasi maksimum harga
yang dapat dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi dimana produsen
tidak dapat melanjutkan struktur harga yang sama untuk tambahan unit
penjualan, maka produsen dapat menetapkan strategi diskriminasi tingkat
harga kedua, dimana produsen akan menerapkan sebagian dari surplus
konsumen, pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk
setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli, pembeli yang
bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit lebih murah.
Makin sedikit yang dibeli, harga perunitnya makin mahal. Strategi ini banyak
dilakukan pada penjual grosir atau pasar swalayan besar.
3. Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya diterapkan produsen yang
mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik,
berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis. Pada kondisi
ini produsen dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan tarif yang
berbeda untuk setiap kelompok konsumen yang berbeda.
c. Penetapan harga dibawah harga pasar atau jual rugi (predatory price)
Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

d. Pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance)


Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Dalam pasal ini telah ditetapkan bahwa suatu perjanjian penetapan harga
secara vertikal hanya dilarang apabila perjanjian tersebut mengakibatkan adanya
persaingan usaha tidak sehat.

C. Perjanjian-Perjanjian Yang Dikecualikan


Perjanjian-Perjanjian Yang Dikecualikan Selain mengadakan pengecualian
berlakunya pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, UU ini
juga memberikan pengecualian terhadap semua ketentuan yang ada dalam UU ini
untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa :
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah :
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku.
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan.
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa.

Anda mungkin juga menyukai