Anda di halaman 1dari 1

Sabtu, 2 April 2016

Papasan
Oleh: Rio Heykhal @belvage
Sore itu, 21 November 1989, Bilowo sudah standby di meja depan sambil madep koran
dan makan gorengan. Wedhang kopi semi terhidang bersama tiga batang kretek eceran
dan mbak-mbak kenes berpose duduk tertempel dalam poster di dinding sebelah.
Pada halaman koran yang selalu dinanti-nantikan dan kini sedang dibacanya, Bilowo
menikmati tulisan Umar Kayam yang kebetulan mengulas warung kopi. Umar Kayam
bercerita warkop langganannya, warung Bu Amat di depan pasar Beringharjo dan warkop
Bu Mul di pinggiran Pakualaman. Dua warung yang entah mengapa terdengar asing bagi
Bilowo meskipun ia sudah lama tinggal di Yogya. Sejenak Bilowo merenung, atau lebih
tepatnya ngelamun. Bak pengamat, yaitu orang yang biasa nongol di tipi-tipi, pikirannya
tergelitik untuk membuat garis perbedaan antara warkop dulu dan warkop sekarang. Dulu
warkop identik dengan nama pemiliknya, sementara sekarang lebih identik dengan nama
warungnya. Siapa pemiliknya tidaklah penting, yang penting warungnya. Pemilik warung
jaman dulu tidak hanya sebagai juragan, tetapi juga menangani pekerjaan kasir sekaligus
barista - sesuatu yang nyaris berkebalikan dengan warkop jaman sekarang. Barangkali
dulu belum begitu ngeh bab labour theory of value seperti di the wealth of warung alias
nations (Bilowo memang biasa njelimet sejak dalam pikiran), tentang betapa potensialnya
karyawan sebagai sumber kesejahteraan. Dalam soal itu, akumulasi kapital dapat dicapai
melalui apa yang disebut Adam Smith sebagai strategi pembagian kerja, yang kemudian
disambut dengan kritikan oleh Karl Marx yang menganggapnya sebagai fondasi
pengukuhan kelas. Tetapi, betulkah pergeseran warkop dulu ke warkop sekarang akibat
pengaruhnya Smith yang jelas berbeda rentang ruang dan waktunya itu? Tentu saja tidak.
Meskipun boleh jadi iya. Kebijakan kolonial dalam melipatgandakan produksi kopi yang
memangkas luas lahan produktif milik warga, atau keberadaan Starbucks misalnya, telah
menjadi role model dari warkop modern dalam menghidangkan kopi fresh dewasa ini.
Baru asyik menyimak kolom Umar Kayam, Bilowo lantas melipat kembali korannya.
Rasanya memang ada yang keliru dengan angka tahun di koran hari itu. Ia meletakkan
kacamatanya. Lalu mencoba melihatnya lagi. Angkanya tetap tidak berubah: 1989?

Anda mungkin juga menyukai