0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
915 tayangan3 halaman
Ada dua parameter utama untuk menilai kinerja pembangkit listrik di Indonesia: faktor kesiapan (EAF) dan nilai efisiensi. EAF mengukur rasio antara waktu operasi dengan total waktu, sementara efisiensi mengukur efektivitas pembangkit dalam menghasilkan listrik. Kedua parameter ini penting untuk menilai kinerja dan menentukan pendapatan pembangkit.
Ada dua parameter utama untuk menilai kinerja pembangkit listrik di Indonesia: faktor kesiapan (EAF) dan nilai efisiensi. EAF mengukur rasio antara waktu operasi dengan total waktu, sementara efisiensi mengukur efektivitas pembangkit dalam menghasilkan listrik. Kedua parameter ini penting untuk menilai kinerja dan menentukan pendapatan pembangkit.
Ada dua parameter utama untuk menilai kinerja pembangkit listrik di Indonesia: faktor kesiapan (EAF) dan nilai efisiensi. EAF mengukur rasio antara waktu operasi dengan total waktu, sementara efisiensi mengukur efektivitas pembangkit dalam menghasilkan listrik. Kedua parameter ini penting untuk menilai kinerja dan menentukan pendapatan pembangkit.
Di Indonesia ada dua parameter utama untuk mengetahui baik buruknya
kinerja sebuah unit pembangkit, yakni EAF dan Nilai Efisiensi Pembangkit. Penjelasan keduanya akan dibahas berikut ini. 1. EAF (Equivalent Availability Factor) EAF adalah faktor kesiapan unit pembangkit. Nilai EAF berupa perbandingan yang didapat dari kesiapan pembangkit untuk beroperasi (baik dalam kondisi stand by ataupun operasi) dibagi terhadap waktu. Lebih detailnya lihat rumus berikut ini. EAF = (Plant Hour (PH) Plant Outage (Pembangkit tidak beroperasi) Dereating (Penurunan kemampuan operasi)) / PH * 100% Penjelasan: Plant Hour adalah jumlah jam yang seharusnya bisa digunakan pembangkit untuk beroperasi. Karena pembangkit listrik bekerja penuh 24 jam nonstop, maka Nilai Plant Hour dari semua pembangkit listrik adalah sama 24 x 365 (jumlah hari dalam satu tahun) = 8760. Jika pembangkit
tersebut
mempunyai
EAF
100
artinya Pembangkit
tersebut mampu bekerja penuh selama 8760 jam tanpa berhenti.
Mungkinkah? Hampir tidak mungkin karena dalam satu tahun, setiap pembangkit pasti pernah mengalami Outage. Ibarat manusia, mesinpun butuh istirahat. Lalu Apakah Outage itu. Outage adalah kondisi saat pembangkit tidak beroperasi. Outage disebabkan bermacam-macam. Ada Plant Outage atau Outage yang memang sudah direncanakan. Dalam setiap tahun pembangkit akan selalu mengalami Plant Outage yang biasanya disebut Over Haul. Lalu ada lagi Maintenance Outage. Outage jenis ini disebabkan karena pekerjaan maintenance yang urgent dan harus dilakukan saat unit stop. Karena urgent itulah biasanya unit terpaksa di stop
dulu
beberapa
jam
untuk
memberi
kesempatan
teknisi
pemeliharaan melakukan pekerjaannya. Dan jenis Outage yang terakhir
adalah Forced Outage. Outage jenis ini adalah Outage yang tidak diharapkan. Outage ini disebabkan adanya gangguan dari luar sehingga menyebabkan unit stop. Sedangkan
arti
dereating
adalah
penurunan
kemampuan
unit
pembangkit karena gangguan. Misalnya PLTU Muara Karang Unit 4
dengan kapasitas 200 MW hanya bisa memproduksi listrik maksimal 165 MW. Itu artinya Unit 4 tsb mengalami dereating sebesar 35 MW. Di Indonesia, fungsi EAF tidak hanya sebagai salah satu parameter utama baik buruknya kinerja tetapi juga berkontribusi sebagai salah satu sumber pendapatan Unit Pembangkit itu sendiri. Hal ini disebabkan sistem kelistrikan di Indonesia menggunakan Model Komponen dimana tarif listrik dari Pembangkit kepada PLN dinilai dari dua hal, yakni Kesiapan Unit Pembangkit (EAF) dan Penjualan Energi Listrik. Jadi intinya, meskipun pembangkit tersebut dalam keadaan stand by (tidak beroperasi tetapi tidak dalam kondisi Outage), pembangkit tersebut sudah dibayar. 2. Nilai Efisiensi Pembangkit Nilai Efisiensi pembangkit adalah ukuran untuk mengetahui seberapa efisienkah Unit Pembangkit tersebut dalam menghasilkan energi. Pada Pembangkit Thermal berbahan bakar seperti PLTU, PLTG, PLTD nilai efisiensi utama pembangkit biasanya dihitung dari nilai NPHR atau Nett Plant Heat Rate. NPHR adalah perhitungan jumlah kalor / panas yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 KWh listrik. Jumlah kalori ini dihitung dari jumlah pemakaian bahan bakar. Semakin besar nilai NPHR, berarti semakin buruk kinerja dari pembangkit tersebut. Sedangkan untuk pembangkit thermal tidak berbahan bakar seperti PLTP, aku belum tahu pasti bagaimana cara menghitung efisiensinya karena belum pernah berkunjung dan mengetahui secara pasti kinerja unit pembangkit geothermal ini.
Untuk Pembangkit berbahan bakar tergantikan dari alam seperti
PLTA, PLTB dll, sebenarnya hampir tidak ada efisiensi pembangkit disana karena bahan bakupembangkitnya sendiri bisa didapat gratis. Tetapi sekarang ini air-air di waduk yang digunakan PLTA tidak dikelola oleh PLTA itu, melainkan sudah diambil alih oleh beberapaperusahaan pengelola air. Jadinya sekarang untuk memakai air tersebut, PLTA harus membayarnya. Dari itu, mungkin sekarang ada perhitungan efisiensi pembangkit untuk PLTA. Tetapi secara pastinya aku belum tahu juga.