Anda di halaman 1dari 10

Arsitektur Kolonial Belanda: Pemukiman dan (Ruang) Kota

Permukiman Kolonial
Karakteristik kota dan permukiman kolonial
Permukiman itu sendiri Menurut Dwi Ari & Antariksa (2005:78), merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia karena dalam menjalankan segala bentuk aktivitasnya,
manusia membutuhkan tempat bernaung dan melindungi dirinya dari berbagai macam
bahaya seperti hujan dan bahaya lainnya yang dapat muncul sewaktu-waktu. Dalam
memilih tempat tinggal, masyarakat tidak selalu terpaku pada kondisi rumah itu sendiri
tetapi lebih memperhatikan kelengkapan dari fasilitas kegiatan dan sosial di lingkungan
tempat tinggal serta kemudahan aksesibilitasnya.
Permukiman kota di Indonesia pada mulanya ditentukan oleh Perdagangan Regional

and international yang melaksanakan atas perintah Penguasa dan Tuan Besar.
Perintah
ini dilaksanakan melalui adat atau hukum adat dan dipergunakan untuk mengontrol
tenaga kerja dan pembagian lahan (Gill, 1990:45-46).
Struktur kota permukiman di Jawa dan pulau-pulau lainnya hampir sama,
dilandasi oleh prinsip yang sama menuju pembentukan pola yang seragam di tiap
kota.
Pola ini didominasi oleh benteng, struktur pertahanan yang dekat dengan tempat
tinggal
dan tempat bekerja dari pekerja perusahaan. Di samping benteng, elemen lain kota
permukiman adalah adanya distrik kota, permukiman orang asing dan pendatang
yang
berdekatan dengan perdagangan, dan bagian kampung penduduk asli. Kota
permukiman
yang selanjutnya berkembang menjadi kota besar dengan variasi fungsi yang semakin
tinggi, umumnya merupakan kubu dan benteng laut terdepan. Benteng yang
menyerupai
kota tanpa karakteristik kota dibangun pada lokasi strategis untuk mengontrol rute
perdagangan dan daerah belakangnya (Gill, 1990:47).
Pada akhir abad ke-19, kota dirancang berpola grid yang dijadikan sebagai
pola tipikal kota pada masa itu. Popularitas pola grid untuk kota kolonial Belanda
bersumber dari keuntungan nyata. Pola ini sangat mudah direncanakan dan memberi

kemungkinan untuk menggunakan ruang seefisien mungkin serta dapat diperluas


tanpa
merubah pola dasar kesatuan organik kota, di samping sangat mudah diatur dan
pembagian lahan dapat dibuat secepat dan seefisien mungkin (Gill, 1990:49).
Periode pembentukan kota antara tahun 1900 hingga tahun 1950 ditandai
dengan
pencarian dan penyesuaian bentuk kota gaya Eropa ke dalam pola kota tropikal
kepulauan Indonesia. Percampuran budaya kota Hindia Belanda berangsur-angsur
digantikan oleh pemisahan budaya akibat dari masuknya pendatang baru yang sangat
besar jumlahnya dalam memperkuat administrasi pemerintah dan perusahaan swasta
yang muncul sejak tahun 1870-an (Gill, 1990:49).
Perencanaan permukiman yang didasarkan pada pemisahan kelompok etnis
merupakan dualisme dalam kehidupan masyarakat kota kolonial. Dualisme tersebut
tidak hanya terlihat pada bentuk kotanya tetapi juga pada lingkungannya, yaitu antara
penduduk yang tinggal di tepi jalan dan mereka yang tinggal di belakangnya.
Konsolidasi peraturan kolonial pada permulaan abad ini menyebabkan adanya
pemisahan/segregasi kebudayaan yang menggantikan percampuran kebudayaan abad
ke-19 di kota-kota Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya prinsip dualisme dalam
masyarakat kolonial. Eropanisasi dimaksudkan untuk orang-orang Eropa dan Timur
Asing menganggap dimensi ekonomi kota sebagai tujuan utama; kota-kota dianggap
sebagai kantong-kantong Barat. Hal ini tercermin dalam perencanaan dan konstruksi
tempat tinggal bangsa Eropa pada perluasan perkampungan bangsa bukan Eropa (Gill,
1990:50-55).
Kota kolonial adalah daerah urban di dalam komunitas kolonial yang secara
tipikal sebagian besar ditandai dengan pemisahan fisik, kelompok-kelompok komponen
etnis, sosial, dan budaya yang dihasilkan dari proses kolonialisasi (King, 1976).
Pendapat lain menyebutkan bahwa kota kolonial merupakan wadah dari pluralisme
budaya yang di dalamnya terdapat bagian satu budaya tertentu yang memiliki monopoli
kekuasaan politis (Rex, 1970:20). Kota-kota Hindia Belanda merupakan perwujudan

adanya proses kolonialisasi yang merupakan pengukuhan dan penerapan suatu aturan
terhadap orang-orang asing (pribumi) yang terpisah dan tunduk pada kekuasaan
mengatur selama jangka waktu tertentu (Emerson, 1968).

Ciri-ciri kota kolonial, antara lain :


1. Hasil dari kondisi kontak budaya antara kekuasaan industrialis kolonial Eropa dan
ekonomi tradisional, agraris, atau berbasis keahlian.
2. Mewujudkan karakteristik spasial tertentu baik dalam hal hubungan antara
permukiman-permukiman dengan budaya yang berbeda, antara masing-masing area
permukiman, dan antara komponen-komponen dalam area permukiman itu sendiri.
3. Ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya.
4. Membutuhkan dorongan untuk proses integrasi, pada tingkat nasional, kultural,
sosial, ekonomi, dan etnis.
5. Memiliki masalah perumahan, keterbatasan sumber-sumber ekonomi,
keterbelakangan sistem komunikasi, dan kekurangan infrastruktur kelembagaan
yang dibutuhkan berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial, administratif, dan
politis.

Karakter arsitektur kolonial Belanda


Bangunan merupakan aspek yang memberikan dukungan kuat dalam
memberikan warna pada karakteristik permukiman. BPM adalah perusahaan Belanda
yang berdiri dan mulai melakukan eksploitasi terhadap minyak dan gas bumi di Tarakan
pada masa kolonial, sehingga pengetahuan mengenai karakter arsitektur kolonial
Belanda diperlukan untuk memahami karakter permukiman yang terbentuk.
Arsitektur kolonial adalah arsitektur yang dibangun selama masa kolonial,
ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda pada tahun 1600-1942, yaitu
350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia (Rachmawati, 1990:15). Namun,
pembahasan arsitektur kolonial dalam studi ini dibatasi mulai tahun 1870 sesuai dengan

awal mula kedatangan Belanda di Pulau Tarakan untuk mengekspolitasi sumber minyak
bumi dan kemudian membangun perusahaan perminyakan dalam skala besar.
Dalam merencanakan dan mengembangkan kota, permukiman, dan bangunan-bangunan
di Indonesia, para pengelola kota maupun arsitek Belanda menerapkan
konsep lokal atau tradisional dalam rancangannya. Menurut Sumalyo (1995:2),
arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di
Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an
merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari
arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada zaman yang bersamaan dengan
iklim tropis basah Indonesia. Beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda terdapat
juga yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk kemudian diterapkan
ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di
Indonesia tersebut adalah suatu bentuk yang khas dan berlainan dengan arsitektur
modern yang terdapat di Belanda sendiri (Trianingrum, 2006:24).
Menurut Handinoto (1996:172), arsitektur kolonial Belanda mempunyai bentuk
dan tatanan yang khas; yang tidak sama dengan arsitektur modern di Belanda Gaya
arsitektur ini sudah menyesuaikan dengan iklim tropis basah di Indonesia yang
mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari sepanjang tahun.

Ciri gaya arsitektur kolonial Belanda, antara lain:


1. Adanya bentuk-bentuk arsitektur Belanda yang dipakai seperti double tower yang
dikombinasikan dengan gevel depan pada pintu masuk, serta bentuk-bentuk arch
(lengkung).
2. Banyaknya bukaan/ventilasi pada bangunan yang dipergunakan untuk aliran udara
dengan bentuk bangunan yang ramping.
3. Pembuatan galeri sepanjang bangunan untuk mengantisipasi air hujan dan sinar
matahari, sehingga apabila jendela-jendela ruangan dibuka, maka ruang tersebut
terlindung dari sinar matahari langsung dan tempias air hujan. Dengan adanya
galeri keliling tersebut, maka tampak bangunan menjadi berbentuk yang sering
4. Lay out bangunan juga diusahakan agar menghadap ke arah utara-selatan untuk

menghindari sinar matahari.

Gambar 1. Layout gereja beserta gambar gereja


Gaya Desain Kolonial Belanda pada Interior Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Surabaya
*) Contoh bangunan : contoh bangunan di indonesia yang termasuk arsitektur kolonial
belanda
Arah Hadap, Layout, dan Tampak Bangunan :
Arah menghadap ke arah utara. Arah ini sesuai dengan prinsip gaya desain kolonial Belanda
sesudah tahun 1900-an, dimana terdapat usaha penyesuaian bangunan dengan iklim yang
ada di Indonesia. Bentuk penyesuaian yaitu bangunan sebisa mungkin menghindari arah

timur dan barat yang merupakan arah sinar matahari pagi dan sore sehingga bangunan tidak
terkena sinar matahari secara langsung.
Layout memanjang ke belakang dan berbentuk simetris geometris. Pembagian ruang disusun
secara simetris. Simetris merupakan hasil susunan elemen-elemen yang seimbang posisi
relatifnya terhadap suatu garis atau sumbu yang sama. Bentuk lay out dan cara penataannya
mendapatkan pengaruh dari gaya kolonial Belanda yang berkembang pada periode setelah
tahun 1900-an yaitu bangunan pada periode itu berbentuk ramping untuk memudahkan cross
ventilation dan pertukaran udara dalam ruangan.
Bangunan gereja Hati Kudus Yesus menggunakan gevel berjenis pediment yaitu berbentuk
segitiga dengan disertakan simbol salib pada tiap ujung gevel yang semakin menunjukkan
kesan sakral bangunan gereja. Sebelumnya, atap gereja menggunakan dormer (bukaan pada
atap) yang merupakan ciri dari gaya kolonial Belanda pada periode sesudah tahun 1900-an.
Namun karena iklim di Indonesia (khusus-nya Surabaya) sering hujan, maka ventilasi pada
atap ditutup. Secara keseluruhan, sisi arsitektur bangunan utama Gereja Hati Kudus Yesus
Surabaya dominan dipengaruhi oleh bentuk arsitektur kolonial Belanda periode setelah tahun
1900-an, yaitu pada bentukan arch (lengkung) pada dinding pintu masuk, peng-gunaan
menara, dan penggunaan gevel
Organisasi ruang dibagi dalam tiga zoning, yaitu area publik, semi privat, dan privat.
Area publik meliputi teras
Area semi privat meliputi ruang peralihan yaitu tangga menuju menara lonceng, dan ruang
panti umat
Area privat merupakan area yang hanya boleh digunakan oleh pengurus gereja yang sedang
bertugas meliputi ruang pengakuan dosa , panti imam dan sakristi (tempat persiapannya)

Keterangan:
A = teras
B = tangga menuju menara lonceng
C = panti umat
D = ruang pengakuan dosa
E = panti imam
F = sakristi
Sifat Ruang:
A = Publik
B,C = Semi Privat
D,E,F = Privat

Gambar 2. Zoning bangunan Gereja

Who
Siapakah orang yang berpengaruh dalam arsiterktur kolonial
belanda ?
pada abad 16 sampai tahun 1800an
Indonesia disebut noderland indische dibawah kekuasaan VOC selama periode tsb Arsitektur
kolonial Belanda kehilangan orientasi bangunan tradisional Belanda serta tidak mempunyai
orientasi bentuk yang jelas. Bangunan-bangunan tadi diusahakan beradaptasi dg iklim
lingkungan setempat
Tahun 1870 1900. Antara tahun 1870 sampai tahun 1900-an, pengaruh arsitektur di
negeri Belanda bisa dikatakan tidak berkembang di Hindia Belanda. Hal tersebut dikarenakan
terisolasinya Hindia Belanda pada saat itu. Kehidupan di Jawa berbeda dengan cara hidup
masyarakat di negeri Belanda, maka di Hindia Belanda kemudian terben-tuk gaya arsitektur
tersendiri. Gaya tersebut dipelopori oleh Daendels yang datang ke Hindia Belanda (18081811). Gaya arsitektur bangunan yang didirikan oleh Daendels tidak terlepas dari kebudayaan
induk yaitu Belanda, dikenal dengan sebutan The Indisch Empire dan ada pula yang
menyebut dengan istilah The Dutch Colonial. Gaya tersebut adalah gaya arsitektur Neo-Klasik
yang melanda Eropa yang diterjemahkan secara bebas.
Sesudah tahun 1900. Perkembangan arsitek-tur di Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 berhubungan langsung dengan perkembangan arsitektur kolonial di Hindia
Belanda. Kebangkitan kembali arsitektur Belanda dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik PJH.
Cuypers (1827-1921), yang kemudian disusul oleh arsitek dari aliran Nieuwe Kunst HP.
Berlage (1856-1927). Gerakan arsitektur Nieuwe Kunst (Art Nouveau gaya Belanda) inilah
yang nantinya berkembang menjadi aliran arsitektur modern Belanda yang terkenal seperti
The Amsterdam School dan aliran De Stijl
Tahun 1920, merupakan tahun pemantapan bagi kekuasaan Belanda di Indonesia.
Perkembangannya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu; Pertama, bentuk arsitektur yang berciri
khas Indisch atau disebut gaya Indo-Eropa. Bentuk gaya ini merupakan penggabungan gaya
lokal dengan arsitektur kolonial Belanda. Bentuknya mengambil dasar arsitektur tradisional
setempat sebagai sumber-nya
Jadi pelopor arsitektur kolonial belanda adalah Daendels dan PJH . Cuyupers

How
Bagaimana tata pemukiman dan ruang kota pada masa kolonial
Belanda ?
Kebanyakan Tata pemukiman dan tata ruang kota pada masa kolonial belanda yang
dirancang oleh Thomas Karsten yaitu sekitar sembilan dari sembilan belas otoritas
lokal yang ada di Jawa,tiga di Sumatra,dan satu di Kalimantan.Tata pemukiman yang
direncanakannya sudah suatu paket lengkap diantaranya rencana
detail,perencanaan kota,dan peraturan bangunan.

Menurut Karsten yang harus tata pemukiman yang harus diubah dari tata letak
pemukiman yang yang sebelumnya yaitu lebih penzoningan berdasarkan suku yaitu
Indonesia,Cina, dan Belanda menjadi penzoningan berdasarkan tingkat ekonomi yaitu
tinggi,menengah,rendah.Lalu ide-idenya dalam merencanakan kota selalu bersifat
tendensisdimana ia selalu menganjurkan untuk mengikuti rencana induk kota yang
bersifat menyeluruh sebagai pengendali.Ide utamanya dalam merancang kota
berbentuk kota dan desa yang saling berhubungan dan sama teratur dan selalu
memperhatikan peraturan bangunan,sistem jalan,tanah lapang,dan pemenuhan
kepentingan publik yang ideal.
Ada 3 elemen dalam layoutsuatu kota yaitu (1)detail,(2)townscape,(3) perencanaan
total dan 3 elemen itu harus saling berhubungan.Detail membuat bangunan,sistem
jalan,tanah lapang merupakan poin penting dalam suatu perencanaan diamana
adanya ragam bangunan merupakan suatu sistem sirkulasi langsung ke kota .Ada
juga elemen fisik kota sebagai sebagai penegndali pembangunan kota,seperti jalan
taman-taman kota,bangunan publik dan semi publik,titik-titik penting pembangunan
kota,dan banguananperumahan.Pendekatankonsep perencanaan skala makro dan
messo untuk peruamahanyang digunakan adalah
Tabel Skala Makro
No.
1

Pendekatan
Aspek Sosiala)
Kota
b)

Lahan

a)
b)
c)
d)
e)

Lahan

f)
g)
h)
i)
j)

Bangunan a)
publik dan
semi publik
b)

Penerapan
Mengatasi masalah akibat urbanisasi yang
meningkat
Pengelompokan masyarakat kota berdasar tingkat
ekonomi atau sosial sebagai pengganti
pengelompokkan berdasar ras
Merencanakan suatu kawasan yang sesuai kondisi
tipografi
Direncanakan dari pelaksanaan melakukan
perlusan hingga perbaikan kota
Memperhatikan segi arsitektur maupun estetika
Mnitikberatkan pada perencanaan jalan,ruang
terbuka,bangunan publik dan semi
publik,perumahan,bandara,dsb.
Pembagian zoning berdasar kalsifikasi fungsi
kegunaan,teknis,ekonomi dan kesehatan
Merencanakan suatu kawasan yang sesuai kondisi
tipografi
Direncanakan dari pelaksanaan melakukan
perlusan hingga perbaikan kota
Memperhatikan segi arsitektur maupun estetika
Mnitikberatkan pada perencanaan jalan,ruang
terbuka,bangunan publik dan semi
publik,perumahan,bandara,dsb.
Pembagian zoning berdasar kalsifikasi fungsi
kegunaan,teknis,ekonomi dan kesehatan
Merupakan focalpoint/landmark/vistadalam
lingkungan dengan menempati lahan strategis
dalam lingkungan.
Memiliki suatu ketentuan dimana taman
merupakan elemen dominan dalam site terbangun

c)

Desain
Kawasan

a)
1.
2.
b)
1.
2.
3.
4.
c)
1.
2.

sekaligus sebagai penghijauan lingungan


Bangunan harus memanfaatkan pencahayaan dan
penghawaan alamisecara maksimal didukung
desain bukaan yang cukup lebar dan bentuk U
bangunan
Pola
Ruang terbuka kota dalam perencanaannya
dihubungkan dalam ruang kota sabagai sumbu
seperti alun-alun
Ruang publik difungsikan dan diletakkan sebagai
jalan umum
Aksebilitas
Perencanaan jalan yang mengacu ke tipografi
Merupakan sarana penghubung yang penting guna
mempersatukan lingkungan dan penghubung antar
sumbu-sumbu kota.
Direncanakan lebar dan menghindari titik
persimpangan dengan adanya pembagian jalur
cepat,ambatan pejalan kaki
Harus dilengkapi dengan pohon dan taman sebagai
peneduh dan penghijau lingkungan kota
Daerah hijau
Elemen publik yang diwajibkan dalam bangunan
publik,semi publik,maupun pemukiman
Elemen taman dan pohon selain sebagai
penghijauan juga merupakan fokal poin dan
elemen penting suatu kawasan.

Tabel Skala Messo

No.
1
2
3

Pendekatan
Aspek Sosiala)
Kota
Lahan
a)
b)
Desain
Kawasan

Penerapan
Pengelompokan rumah berdasar tingkat
pendapatan/ekonomi
Pembagian lahan disesuaikan kondisi tipografi
Direncanakan di dataran tinggi atau pinggir kota

a) Pola
1. Pembagian dan pengaturan lingkungan
menyesuaikan kondisi tipografi
2. Pola cendrung radial concentric
b) Aksebilitas
1. Jalan utama direncanakan dulu baru jalan jalan
lingkungan
2. Adanya peraturan garis sepadan bangunan dan
garis sepadan pagaryang diperhitungkan dari lebar
jalan
c) Daerah hijau
1. Taman merupakan magnet sekaligus pusat
kawasan
2. Tiap kapling rumah memiliki daerah hijau/taman
keluarga sekitar 60-70% luas lahan

Konsep skala mikro berupa desain rumah dan luasan kapling diseuaikan dengan
keadaan ekonomi lingkungan.Tampak bangunan dibuat seragam melalui pengaturan
ketinggian elemen bangunan.Rumah untuk golongan atas (berbentuk villa)didesain
dengan tampak yang beragam,kondisi rumah terpisah dan dikelilingi taman.Rumah
untuk golongan menengah untuk(berbentuk villa sederhana) dengan desain tampak
beragam sederhana,kondisi rumah terpisah dan dikelilingi taman.Rumah untuk
golongan kebawah(rumah kopel dengan desain fasad cenderung untuk seragam
berlantai satu taman relatif kecil.Daerah terbangun di tiap kapling sekitar 30-40%
dari luas lahan.Peletakkanbanguna berorientasi kepada pemandangan
.Memperhatikan aspek kesehatan yang memanfaatkan pencahayaan dan
penghawaan alami dengan memperhatikan luasan ventilasi dan jendela.
Perencanaan secara total tak dimulai dari detil melainkan merencanakan hal-hal
pokok seperti jalur utama transportasi yang direncanakan dengan bentuk
sederhana,jalan kereta api,sirkulasi lingkungan perumahan dan alunalun.Perencanaan seperi ini tidak lepas dari karakter dinamis kota yang harus
diperhitungkan.Secara umum konsep perencanaan kota Hindia Belanda berupa
(1)Alternatif konsep perencanaaan kota Hindia Belanda.Konsep perbaikan dan
pengembangan (perbaikan lingkungan sera Konsep pembangunan kota baru;
(2)Konsep pengendalian pembangunan kota kolonial di Hindia Belanda;(3)Konsep
pengembangan kepranataan pembangunan di Indonesia sebagai alat pengendalian
proses realisasi rencana pembangunan kota.

Anda mungkin juga menyukai