Anda di halaman 1dari 6

Resume Peternakan Sapi Perah

Kelompok 3:
1.
2.
3.
4.
5.

Mega Triasih
Gilang Noval Abdillah
Mirrah Kurnia Lestari
Isti Annisa Turrobiah
Viki Safitri

13030204031
13030204041
13030204071
13030204074
13030204080

Pendidikan Biologi Unggulan 2013

A. Profil Peternakan Sapi Perah


Peternakan sapi perah Mahira terletak di Desa Tawangsari Timur Kecamatan
Taman Kabupaten Sidoarjo. Pemilik peternakan bernama ibu Windy yang berusia 36
Tahun. Didalam Peternakan tersebut mempunyai 14 sapi perah, 3 sapi anakan dan 3 sapi
pejantan. Semua sapi berasal dari jenis limosin.
Kandang sapi berukuran 5 x 7 meter dengan lantai Landai. Kandang terbuat dari
besi (tiang) dan atap berupa kayu triplex. Dalam keseharian sapi tersebut diperi pakan
berupa ampas tahu, singkong, dedak dan rumput. Sapi diperah 3 kali dalam sehari sebelum
diperah sapi dimandikan terlebih dahulu. Dalam peternakan tersebut terdapat dua orang
pegawai yang bertugas membersihkan kandang dan memberi pakan.
B. Lingkungan yang Optimal
1. Kondisi Kandang
Lokasi kandang harus dekat dengan sumber air, mudah terjangkau, tidak
membahayakan ternak, tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk. Lokasi usaha
peternakan diusahakan bukan areal yang masuk dalam daerah perluasan kota dan juga
merupakan daerah yang nyaman dan layak untuk peternakan sapi perah (Syarief dan
Sumoprastowo, 1985). Ditambahkan, hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada
kandang sapi perah adalah lantai, selokan, dinding, atap, ventilasi serta tempat pakan
dan minum. Menurut Siregar (2001), sebaiknya kandang 20-30 cm lebih tinggi dari
tanah sekitarnya. Kandang sebaiknya diarahkan ke timur atau membujur ke utara
selatan agar bagian dalam kandang memperoleh sinar matahari pagi yang memadai.
Sinar matahari bermanfaat untuk mengeringkan lantai kandang sehingga mengurangi
resiko terjangkitnya penyakit.

Menurut Ginting dan Sitepu (1989), rata-rata setiap seekor sapi


membutuhkan luas lantai 3,5-4 m2 belum termasuk bangunan untuk tempat pakan, air
minum, dan selokan untuk pembuangan air. Selain itu hal yang perlu diperhatikan
dalam pemeliharaan sapi perah adalah lantai kandang. Menurut Sudarmono (1993),
lantai kandang sebaiknya dibuat dari bahan yang cukup keras (beeding) dan tidak
licin untuk dapat menjaga kebersihan dan kesehatan kandang. Kebersihan kandang
sangat diperlukan karena akan mempengaruhi kesehatan sapi, salah satu cara untuk
menjaga kebersihan kandang adalah dengan membuat lantai kandang diupayakan
miring. Lebih tegas Siregar (2001), menyebutkan bahwa supaya air mudah mengalir
atau kering, lantai kandang harus diupayakan miring dengan kemiringan kurang lebih
20. Menurut Aksi Agraris Kanisius (1995), jarak ideal antara kandang dengan
bangunan rumah minimal 10 meter.
Kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi
persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Sapi perah akan berproduksi
maksimal apabila berada dikondisi yang nyaman (comfortable). Bila kedua hal
tersebut tidak terpenuhi akan menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi yang
berkaitan pada rendahnya efisiensi reproduksi. Menurut Sudono dkk. (2003),
persyaratan umum kandang untuk sapi perah adalah sebagai berikut:
1. Sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari, sehingga kandang tidak
2.
3.

lembab. Kelembaban ideal yang dibutuhkan sapi perah adalah 60--70%


Lantai kandang selalu kering
Tempat pakan yang lebar sehingga memudahkan sapi dalam mengonsumsi pakan

4.

yang disediakan
Adanya tempat air minum agar air selalu tersedia sepanjang hari.

2. Suhu dan Kelembapan


Kondisi suhu dan kelembapan sangat berpengaruh dalam peternakan sapi
perah. cocok digunakan untuk peternakan sapi perah berkisar 18-280C, dengan curah
hujan berkisar 6000-9000 mm/tahun, serta merupakan habitat yang cocok untuk
pengembangan sapi perah. Suhu kandang yang terlalu panas dan kelembaban yang
terlalu tinggi dapat berpengaruh buruk pada proses reproduksi khususnya pada saat
pembuahan (Hardjopranjoto, 1995). Stres panas dapat memperpendek lama birahi,

dan penurunan intensitas birahi menyebabkan waktu inseminasi buatan tidak tepat,
serta ovulasi yang diperpendek menyebabkan tumbuhnya kasus kawin berulang. Suhu
yang tinggi juga berpengaruh terhadap pengeluaran panas tubuhnya. Suhu dan
kelembapan lingkungan yang tinggi menyebabkan proses evaporasi pada tubuh sapi
berjalan tidak efektif, selain itu temperature yang tinggi menyebabkan kerja jantung
meningkat, pernafasan dan sirkulasi juga meningkat hasilnya penggunaan energi dan
metabolism pada tubuh sapi juga meningkat.
Suhu lingkungan yang optimum yang dibutuhkan sapi perah FH (Friesian
Holstein) untuk mendukung produktivitas yang optimum berkisar antara 13-18oC
dengan kelembaban relatif 55-65%. Selanjutnya batas suhu kritis minimum dan
maksimum masing-masing -14oC dan 25-26oC (Qisthon, 1999). Sedangkan keadaan
lingkungan yang ideal untuk ternak di daerah sub tropis (sapi perah) adalah pada
temperatur antara 30F-60F dan dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH
maupun PFH memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat 800-1000
m dari permukaan laut, suhu berkisar antara 15- 21C dan kelembaban udaranya
diatas 55 persen. Kenaikan temperatur udara di atas 60F relatif mempunyai sedikit
efek terhadap produksi.
3. Pakan atau Ransum
Faktor pengelolaan terutama pengelolaan ransum yang diberikan, harus
mengandung nutrisi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan baik untuk hidup
pokok, pertumbuhan, produksi dan fetus (untuk yang bunting). Pada umumnya cara
menyusun hanya berdasarkan pada protein dan energi saja, sedangkan kebutuhan
nutrisi lainnya kurang mendapat perhatian. Padahal keseimbangan kandungan
mineral dan vitamin sangat menentukan tingkat fertilitas. Misalnya kebutuhan
vitamin E mungkin mencukupi pada musim hujan, tetapi pada musim kemarau,
mungkin kekurangan karena hijauan yang diberikan kurang.
Nutrisi sangat berpengaruh terhadap siklus berahi. Faktor nutrisi merupakan
faktor yang sangat kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak
langsung terhadap fenomena estrus dibanding faktor lainnya. Nutrisi yang kurang
baik tidak hanya akan mengurangi potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar
pengaruh negatif dari lingkungan. Disamping itu, faktor nutrisi lebih siap

dimanipulasi untuk menjamin luaran / produk yang positif dibanding faktor-faktor


lainnya. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius terhadap interaksi
antara nutrisi dan siklus estrus terutama di daerah tropika, yang disebabkan
beberapa hal antara lain: ketidak-cukupan nutrisi dalam arti secara kuantitatif yaitu
konsumsi pakan dan kualitatif yaitu ketidakseimbangan zat-zat nutrisi. Kegagalan
memahami dengan baik interaksi ini untuk mengurangi dampak negatif dan
memperbesar dampak positif akan berpengaruh buruk terhadap efisiensi estrus pada
ternak (Achyadi, 2009).
C. Usaha Meningkatkan Hasil Produksi
Menurut Sudono dkk. (2003), bahwa salah satu syarat menjadi peternak sapi perah
harus mempunyai pengetahuan tentang cara beternak sapi perah, yaitu sistem perkawinan
dan seleksi. Pengalaman peternak dalam memelihara sapi perah mempunyai pengaruh
terhadap fungsi reproduksi ternak. Menurut Wijono dan Umiyasih (1997), pengalaman
peternak dalam memelihara sapi perah mempunyai pengaruh terhadap fungsi reproduksi
ternak.
1. Masa Kawin Sapi Perah
Ternak yang baru melahirkan organ reproduksinya belum kembali normal,
sehingga membutuhkan waktu istirahat untuk menjadi normal kembali. Menurut
Hardjopranjoto (1995), perkawinan kembali setelelah melahirkan sebaiknya
dilakukan setelah bulan ke-2 tetapi tidak lebih dari bulan ke-3. Perkawinan kembali
setelah melahirkan yang cepat akan menyebabkan terganggunya organ reproduksi
karena uterus belum kembali normal. Perkawinan kembali setelah beranak yang
panjang akan mengakibatkan selang beranak yang panjang.
Waktu kosong adalah jumlah hari atau jarak antara waktu kelahiran sampai
saat perkawinan yang berhasil hingga terjadi kebuntingan (Noakes, 1996 dalam
Hartono, 1999). Masa kosong merupakan salah satu ukuran untuk menilai efisiensi
reproduksi karena lamanya masa kosong pada sapi perah tergantung pada jumlah
kawin perkebuntingan dan deteksi birahi. Menurut Hardjopranjoto (1995), jarak
antara melahirkan sampai bunting kembali yang baik adalah tidak lebih dari 4 bulan.
Waktu kosong yang panjang membuat ternak lebih terfokus untuk memproduksi
susu selama masa laktasi, sehingga kemampuan reproduksinya menurun akibat

pakan yang dikonsumsi lebih banyak terserap untuk kebutuhan produksi susu. Hal
ini disebabkan karena pakan pada sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, produksi dan reproduksi
Menurut Warwick dan Legates (1979), bahwa masa kosong yang ideal bagi
seekor sapi perah adalah 90--105 hari dengan rata-rata 100 hari. Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai selang beranak 12--13 bulan. Semakin lama periode
masa kosong sapi perah akan mengakibatkan penurunan performa reproduksi sapi
perah, sehingga banyak waktu dan biaya terbuang. Dengan demikian sapi perah
sebaiknya dikawinkan 60--90 hari setelah beranak karena interval perkawinan
setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran, hal ini akan berpengaruh
terhadap produksi susu.
2. Pemberian Pendinginan
Pada kandang dapat dilakukan dengan pemasangan nozzle sprinkler
(Abustam, 2012). Tujuan pemberian pendingin ini adalah untuk mengurangi
cekaman panas yang dapat berpengaruh langsung terhadap reproduksi sapi perah
yang diakibatkan pengaruh panas. Menurut Shibata (1996) usaha penurunan
cekaman panas dapat dikurangi melalui penyemprotan air keseluruh permukaan
tubuh sapi perah.
Upaya peningkatan reproduktivitas ternak sapi perah dapat dilakukan dengan
jalan usaha memberi kenyamanan dalam pemeliharaan. Menurut Budianto (2002)
bahwa daerah kenyamanan ternak merupakan rentangan suhu udara yang paling
sesuai untuk hidup seekor ternak, dimana suhu tubuh dipertahankan untuk tetap
konstan dengan usaha minimal dalam mekanisme pengaturan panas. Kisaran suhu
tersebut

menyebabkan

ternak

tidak

menggunakan

banyak

energi

untuk

mengoptimalkan proses reproduksi.


DAFTAR PUSTAKA
Achyadi, K. R., 2009. Deteksi Berahi pada Ternak Sapi. Tesis MS Pascasarjana IPB. Bogor.
Abustam, E. 2012. Pendinginan Kandang Melalui Pemasangan Nozzle Sprinkler Untuk
Peningkatan Produksi Susu Dan Produk Olahannya. Disampaikan pada pelatihan
IPTEKS bagi Masyarakat Cendana Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang.
Budianto, A. 2002. Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) Jantan
terhadap Pemberian berbagai Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Tesis. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Hardjopranjoto, 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak Airlangga Universitas Press, hal 103114, 139-146.
Hartono, B. 2006. Ekonomi rumahtangga peternak sapi perah: studi kasus di Desa
Pandesari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. J. Animal Production. Vol 8, No 3:
226-232.
Shibata, M. 1996. Factor affecting thermal balance and production of ruminants in a hot
environment. A Review. Mem. Nat. Inst. Anim. Ind. No 10 National Institute of
Animal Industri Tsukuba, Japan.
Siregar, S. B. 1989. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan, dan Analisa Usaha. Cetakan
Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal.4-88.
Sudarmoyo, B. 1995. Ilmu Lingkungan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro Semarang.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai