Anda di halaman 1dari 3

Catatan KTT Luar Biasa OKI

Senin, 07 Maret 2016, 17:00 WIB

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa
Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam (KTT Luar Biasa OKI), di Jakarta tanggal 6-7
Maret 2016. Beberapa media massa nasional mencatatat, setidak-tidaknya ada empat
agenda penting yang akan menjadi pokok pembicaraan dan diharapkan menghasilkan
draf konkret yaitu: pertama, rumusan dukungan terdahap kedaulatan dan kemerdekaan
bangsa Palestina; kedua, pembebasan Yerusalem,khususnya Masjid Aqsha (al-Quds), dari
penguasaan Israel; ketiga, draf konkret penyatuan faksi-faksi palestina.
Selanjutnya kami akan memberi catatan sepintas tentang Yerusalem, karena konflik yang
sudah berlangsug berabad-abad di kawasan ini, menurut beberapa catatan, baik dari
penulis Arab maupun Eropa, bersumber dari wilayah ini (lihat Carole Hillenbrand, 1999,
serta beberapa makalah Nurcholish Madjid di Paramadina).
Sepintas tentang Yerusalem
Kota Yerusalem, atau al-Quds, dan beberapa referensi biasa juga disebut al-Haram alSyarif adalah kota suci untuk tiga agama samawi, Islam, Kristen, dan Yahudi. Kota yang
sangat tua ini, sepanjang sejarahnya hampir tidak pernah lepas dari pergolakan. Pada
awalnya pergolakan di kota ini melibatkan kaum pagan dan bangsa Yahudi, selanjutnya
pagan, Yahudi dan Kristen, dan terakhir Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam kawasan kota
tua Yerusalem, ada kawasan yang dikelilingi oleh tembok besar, yang merupakan
kawasan awal Yerusalem. Di dalam kawasan awal itu terdapat bukit Moriah dan Sulaiman
Temple (Salomon Temple), dan orang Islam biasa menyebutnya dengan "Masjid Nabi
Sulaiman".
Eksistensi tempat suci Yahudi di Yerusalem sebenarnya telah beberapa kali mengalami
penghancuran, yaitu oleh Raja Babilonia, diperkirakan 587 Sebelum Masehi.
Penghancuran yang kedua, dan monumental karena diabadikan dalam Alquran Suci (alIsra 4-8). Penindasan bangsa Yahudi di Yerusalem oleh Romawi berlanjut sampai abad
135 M, dan bahkan saat Romawi resmi menerima agama Kristen sebagai agama
kekaisaran, bangsa Yahudi terus tertindas dan bahkan menjadi bangsa yang terusir
(diaspora). Ketiga agama samawi tersebut mendapatkan kedamaian, hidup
berdampingan di Yerusalem justru pada saat Islam berkuasa, yang ditandai oleh
penandatangan Mitsaq Aelia oleh Khalifah Umar Bin Khaththab. Selanjutnya, inti kota
Yerusalem dibagi tiga wilayah permukiman, Islam, Yahudi dan Kristen.
Eksistensi dan agenda OKI
Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional nonmiliter yang
didirikan di Rabat, Maroko, pada tanggal 12 Rajab 1389 H/25 September 1969. Dipicu
oleh peristiwa pembakaran Masjid al-Aqsha yang terletak di kota al-Quds (Yerusalem)

pada tanggal 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi. Berawal dari
peristiwa itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisasi dan
menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka
mengusahakan pembebasan al-Quds.
Reaksi konkret Raja Hassan II dari Maroko menyerukan kepada para pemimpin dunia
Arab khususnya dan dunia Islam umumnya untuk bersama-sama menuntut
pertanggungjawaban Israel atas kejadian itu. Raja Hassan II menyatakan agar para
pemimpin dunia Islam mengadakan pertemuan untuk menggalang kerja sama yang
efektif agar tercapai pembebasan Yerusalem dan Masjid al-Aqsha dari cengkeraman
kejahatan Israel.
Dalam pertemuan selanjutnya dirumuskan tujuan terbentuknya OKI antara lain; (1)
memajukan solidaritas Islam di antara negara-negara anggota, (2) mengonsolidasikan
kerja sama di antara negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, dan bidang kegiatan lainnya, (3) berupaya menghapus pemisahan rasial
dan diskriminasi serta menghilangkan kolonialisme dalam segala bentuk, (4) mendukung
setiap upaya menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, (5) mengoordinasikan
usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci dan mendukung setiap perjuangan
rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka atas tanah Palestina, (6)
memperkuat perjuangan umat Islam untuk melindungi martabat umat independensi hak
masing-masing negara Islam, dan (7) menciptakan suasana yang harmonis untuk
meningkatkan kerja sama dan pengertian antara negara anggota OKI dan negara-negara
lain.
Indonesia dalam OKI
Eksistensi (keberadaan) dan kedudukan Indonesia dalam keanggotaan OKI relatif unik
lantaran Indonesia bukan negara Islam atau negara agama apa pun, tetapi sebagai
negara berdasarkan Pancasila. Dalam jumlah penduduk, Indonesia memang merupakan
negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia. Dari sudut politik luar negeri,
Indonesia adalah negara anggota OKI yang secara eksplisit menyatakan prinsip-prinsip
kebebasan dan independensi sebagai pegangan politik luar negerinya. Indonesia
memanfaatkan OKI sebagai forum kerja sama yang bertujuan untuk menciptakan
perdamaian dunia.
Peran penting yang selalu dimainkan oleh Indonesia adalah berupaya menjadi pemersatu
umat Islam di seluruh dunia, mencarikan jalan keluar dari permasalahan-permasalahan
yang dihadapi oleh umat Islam. Rumusan-rumusan konsep keterlibatan Indonesia dalam
OKI telah dapat melahirkan kesempatan yang baik bagi terciptanya lembaga dan kerja
sama antarnegara lainnya, sehingga keterlibatan Indonesia dalam OKI adalah sebagai
suatu usaha untuk ikut menciptakan kehidupan dunia yang aman dan damai. Sejak
semula, Indonesia cukup aktif dalam OKI. Indonesia adalah salah satu pendiri OKI pada

tahun 1969 di Maroko. Indonesia pernah menduduki kursi kepemimpinan, misalnya


pernah menjadi wakil Sekretaris Jenderal, anggota Komite al-Quds yang diketuai oleh
Raja Hasan II dari Maroko dan lain-lain.
Dalam konteks solidaritas dan penindasan umat Islam di beberapa tempat di dunia,
peran Indonesia dalam OKI sangat bermakna. KTT OKI 1981 di Thaif, Arab Saudi,
Indonesia mengajukan Resolusi Solidaritas Islam yang diterima oleh peserta KTT secara
spontan. Resolusi ini kemudian menjadi dasar bagi pembentukan komite perdamaian
Islam. Selain itu, peranan Indonesia dalam mendamaikan sengketa antara Pakistan dan
Bangladesh juga diakui negara Islam. Masalah minoritas Muslim Moro di Filipina Selatan
juga turut diperjuangkan Indonesia dalam forum OKI.
Dalam konferensi menteri-menteri penerangan OKI tahun 1988, Indonesia memprakarsai
gagasan perlunya membentuk "Tata Informasi Baru Dunia Islam". Hal tersebut bertujuan
untuk mengimbangi dominasi Barat atas informasi dunia. Peran Indonesia lain dalam OKI
adalah ketika Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM)
OKI yang berlangsung dari tanggal 9-13 Desember 1996. Dalam KTM ini, fokus
pembicaraan menyangkut citra Islam dunia Internasional.
Dalam KTM OKI ini telah diputuskan beberapa masalah internasional dan regional, yaitu
sebagai berikut: (1) masalah Palestina adalah persoalan utama bagi dunia Islam; (2)
mengecam keras kebijakan Israel yang menghambat proses perdamaian; (3) mengakui
integritas dan kedaulatan Bosnia Herzegovina sesuai batas-batas wilayahnya secara
internasional; (4) mengimbau agar diadakan perundingan damai di wilayah Jammu dan
Kashmir serta menegaskan perlunya dihormati hak rakyat Kashmir untuk menentukan
nasib sendiri dan mengecam tegas pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan itu;
(5) mengimbau agar pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan segera mengadakan
gencatan senjata; (6) menyerukan kepada Irak untuk sungguh-sungguh bekerja sama
dengan Komite Palang Merah Internasional dalam upaya mengimplementasikan resolusiresolusi PBB (terutama menyangkut pembebasan para tawanan perang Kuwait); (7)
mengecam tindakan agresi AS terhadap Libya; (8) mendukung dengan tegas posisi
Indonesia di Timor Timur.
Selanjutnya pada KTT Luar Biasa OKI, di Jakarta, tanggal 6-7 Maret 2016, diyakini akan
melahirkan deklarasi Jakarta yang memberikan solusi konkret atas agenda yang
dibicarakan, khususnya kedaulatan dan kemerdekaan Palestina, serta pembebasan
Yerusalem, khususnya Masjid al-Aqsha, dari pendudukan Israel.
Makmur Ibnu Hadjar
Alumni Qurtin University, Perth, WA dan UGM Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai