Bagi kaum Muslimin, para mufassir, baik dahulu, sekarang dan yang akan datang,
tidak akan terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir dilakukan
melampaui batas budaya dan lokal. Oleh karena itu, masih banyak kesepakatan
diantara para mufassir, meskipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Dari pemaparan artikel diatas menyimpulkan bahwa Produk yang dihasilkan dari
hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir
yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang felatif, kontekstual,
temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hokum Islam memang menjadi tidak
ada ada yang pasti. Contohnya hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam,
jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi karena
hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan
zaman, maka harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi
perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu
yang halal.
Dari artikel yang telah dibaca, menurut Penulis Suatu hal yang ironis dan pelik, kalau
Al-quran mau di sejajarkan dengan teks-teks yang lain, dengan menginkari buktibukti historis yang valid (mutawatir), dan fitrah manusia yang menerima khabar
mutawatir sebagai ilmu pasti.
Al-quran yang bersumber dari Yang Pengetahuan-NYA Maha Mutlak, menhendaki
agama-NYA untuk berlaku setiap zaman, senantiasa mengekspresikan kebenaran itu
sendiri dalam ruang obyeknya, melintasi ruang dan waktu, tidak relativ dan berubahubah sebagaimana pengetahuan manusia, Ia senantiasa sejalan dengan maslahat
manusia bersamaan tabiat kemanusiaanya.