Anda di halaman 1dari 2

Dari materi pertama sampai ketujuh mengenai Apakah Al-Qur'an Memerlukan

Hermeneutika, dapat dirangkum kesimpulan sebagai berikut:


Hermeneutika Tidaklah Layak Untuk Dianggap Sebagai Tafsir di karenakan,
Hermaneutika jelas berbeda dengan tafsir ataupun ta'wil, hermeneutika tidak sesuai
untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis,
hermeneutika akan brakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang sudah dhohir dari
al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika
teologis ini adalah adanya kesan keraguraguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah
disepakati oleh kaum Muslimin. Keinginan para pemikir moderen, Muhammad Arkon
misalnya, untuk men-"Deconstruct" (merubah ulang) Mushaf Utsmani , adalah
pengaruh dari hermeneutika teologis ini.
Pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad
saw, sebagai semacam pengarang al-Qur'an, Nabi Muhammad saw sebagai seorang
yang Ummy, bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur'an,
sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur'an disampaikan oleh
Rasulullah saw kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan
teks Illahi yang suci dan sakral , adalah kesan yang muncul dari
hermeneutika filosofis.

Bagi kaum Muslimin, para mufassir, baik dahulu, sekarang dan yang akan datang,
tidak akan terjebak dengan latar belakang sosial dan budaya. Tafsir dilakukan
melampaui batas budaya dan lokal. Oleh karena itu, masih banyak kesepakatan
diantara para mufassir, meskipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.
Dari pemaparan artikel diatas menyimpulkan bahwa Produk yang dihasilkan dari
hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir
yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang felatif, kontekstual,
temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hokum Islam memang menjadi tidak

ada ada yang pasti. Contohnya hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam,
jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi karena
hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan
zaman, maka harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi
perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu
yang halal.
Dari artikel yang telah dibaca, menurut Penulis Suatu hal yang ironis dan pelik, kalau
Al-quran mau di sejajarkan dengan teks-teks yang lain, dengan menginkari buktibukti historis yang valid (mutawatir), dan fitrah manusia yang menerima khabar
mutawatir sebagai ilmu pasti.
Al-quran yang bersumber dari Yang Pengetahuan-NYA Maha Mutlak, menhendaki
agama-NYA untuk berlaku setiap zaman, senantiasa mengekspresikan kebenaran itu
sendiri dalam ruang obyeknya, melintasi ruang dan waktu, tidak relativ dan berubahubah sebagaimana pengetahuan manusia, Ia senantiasa sejalan dengan maslahat
manusia bersamaan tabiat kemanusiaanya.

Anda mungkin juga menyukai