Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN KEDARURATAN

MANAJAMEN PASIEN TENGGELAM DI SUNGAI

DISUSUN OLEH
NUR KHALIMAH
P.17420713012

PRODI IV KEPERAWATAN MAGELANG


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2015

BAB I
A.

Latar belakang
Menurut

ILCOR

(Internasional

Liaison

Resuscitation) tenggelam

didefinisikan

sebagai

Committee
proses

on
yang

menyebabkan gangguan pernafasan primer akibat submersi/imersi pada


media

cair. Submersi merupakan

keadaan

dimana

seluruh

tubuh,

termasuk system pernafasan, berada dalam air atau cairan.Sedangkan


imersi adalah keadaan dimana terdapat air/ cairan pada system konduksi
pernafasan yang menghambat udara masuk. Akibat dua keadaan ini,
pernafasan korban terhenti,dan banyak air yang tertelan. Setelah itu
terjadi laringospasme. Henti nafas atau laringospasme yang berlanjut
dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tanpa penyelamatan
lebih lanjut, korban dapat mengalami bradikardi dan akhirnya henti
jantung sebagai akibat dari hipoksia.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah
mempunyai

risiko

meninggal

akibat

tenggelam

dalam

air. Ini

dihubungkan dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak


lebih tertarik bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena
mereka menganggap bermain air sama dengan santai sehingga mereka
lupa terhadap tindakan pengamanan.
Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak
yang mengalami kecelakaan di kolam renang sesuai dengan keadaan
sosial ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia yang

dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika
banyak terjadi kecelakaan dalam air seperti hanyut dan terbenam yang
belum diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar
anak-anak laki-laki untuk semua kelompok usia dan umumnya terjadi
karena kurang atau tidak adanya pengawasan orangtua. Beberapa faktor
lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak
adalah tidak ada pengalaman/ketidakmampuan berenang, bernapas terlalu
dalam sebelum tenggelam, penderita epilepsi, pengguna obat-obatan dan
alkohol, serta kecelakaan perahu mesin dan perahu dayung.
Dalam

hal

pasien tenggelam

ini, maka
harus

pertolongan

dilakukan

secara

kegawatdaruratan
cepat

dan

tepat

dengan
untuk

menghindari terjadinya kolaps pada alveolus, lobus atas atau unit paru
yang

lebih

besar. Penatalaksanaan

tindakan

kegawatdaruratan

ini

tentunya harus dilakukan secara benar dengan tujuan untuk mencegah


kondisi

korban

lebih

buruk, mempertahankan

peningkatan pemulihan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi tenggelam ?

hidup

serta

untuk

2. Bagaimana

fisiologi

tenggelam

&

teknik

menolong

pasien

tenggelam ?
3. Siapa saja karekteristik korban tenggelam ?
4. Kapan dilakukan pertolongan yang tepat untuk korban tenggelam ?

C. Tujuan
1.

Mengetahui definisi tenggelam

2.

Mengetahui fisiologi tenggelam

3.

Mengetahui karekteristik korban tenggelam

4.

Mengetahui pertolongan yang tepat untuk korban tenggelam

BAB II

ISI

A. DEFINISI TENGGELAM
Tenggelam dapat diartikan sebagai kematian akibat pembenaman di
dalam air. Konsep asli mekanisme kematian akibat tenggelam adalah
asfiksia, ditandai dengan masuknya air ke dalam saluran pernapasan.
Penelitian

pada

menyebutkan

akhir

bahwa

tahun
kematian

1940-an
akibat

dan

awal tahun

1950-an

tenggelam disebabkan

oleh

gangguan elektrolit atau aritmia jantung, yang dihasilkan oleh sejumlah


besar air yang masuk ke sirkulasi melalui paru-paru. Sekarang, konsep
dasar tersebut benar, dan fisiologi kematian yang terpenting pada kasus
tenggelam adalah asfiksia.
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan,
bila tidak dijumpai tanda yang khas baik pada pemeriksaan luar atau
dalam. Pada mayat yang ditemukan tenggelam dalam air, perlu pula
diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk ke
dalam air.
Beberapa istilah drowning
1.

Wet drowning. Pada keadaan ini cairan

masuk ke dalam saluran

pernapasan setelah korban tenggelam.


2.

Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam


saluran

pernapasan, akibat

spasme

laring. Paru-paru

tidak

menunjukkan bentuk yang bengkak (udem). Tetapi, terjadi hipoksia

otak yang fatal akibat spasme laring. Dry drowning terjadi 10-15%
dari semua kasus tenggelam. Teori mengatakan bahwa sejumlah
kecil air yang masuk ke laring atau trakea akan mengakibatkan
spasme laring yang tiba-tiba yang dimediasi oleh reflex vagal.1,2
3.

Secondary drowning/near drowning. Terjadi gejala beberapa hari


setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban
meninggal akibat komplikasi.

4.

Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam


dalam air dingin akibat reflex vagal. Alkohol dan makan terlalu
banyak merupakan faktor pencetus.

B. FISIOLOGI TENGGELAM
Ketika manusia masuk ke dalam air, reaksi dasar mereka adalah
mempertahankan jalan napas mereka. Ini berlanjut sampai titik balik
dicapai, yaitu pada saat seseorang akan menarik napas kembali.Titik
balik ini terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah dibandingkan
dengan kadar O2. Ketika mencapai titik balik, korban tenggelam akan
kemasukan sejumlah air, dan sebagian akan tertelan dan akan ditemukan
di dalam lambung. Selama interval ini, korban mungkin muntah dan
mengaspirasi sejumlah isi lambung. Setelah proses respirasi tidak mampu
mengompensasi, terjadilah hipoksia otak yang bersifat ireversibel dan
merupakan penyebab kematian.

C.

MANAJEMEN PASIEN TENGGELAM DI SUNGAI

1. Penolong harus terlebih dahulu mengamankan diri sendiri sebelum


memberikan

pertolongan

dilakukan? Karena

kepada korban. Mengapa

biasanya

korban

tenggelam

hal
akan

itu

harus

mengalami

kepanikan dan cenderung akan menggapai, memegang atau merangkul


benda-benda disekitarnya serta meronta-ronta guna menyelamatkan
dirinya. Hal ini sangat berbahaya jika si penolong tidak siap dengan
kondisi tesebut.
2. Penolong ketika menjumpai korban tenggelam sebaiknya

segera

mencari bantuan terdekat, sambil terus berusaha untuk mengamati


kondisi korban.
3. Penolong tidak berusaha untuk memberikan pertolongan pertama di
air, karena itu sangat berbahaya tapi memberikannya setelah sampai
ditempat yang aman di darat.

Adapun bentuk pertolongan yang bisa diberikan dibagi menjadi dua


jenis, yaitu untuk korban sadar dan korban tidak sadar.

a. Korban Sadar
1. Penolong tidak boleh langsung terjun ke air untuk melakukan
pertolongan. Ingat bahwa korban dalam keadaan panik dan sangat

berbahaya bagi penolong. Sedapat mungkin, penolong untuk selalu


memberikan respon suara kepada korban dan sambil mencari
kayu atau tali atau mungkin juga pelampung dan benda lain yang
bisa mengapung disekitar lokasi kejadian yang bisa digunakan
untuk menarik korban ke tepian atau setidaknya membuat korban
bisa bertahan di atas permukaan air.
2. Aktifkan sistem penanganan gawat darurat terpadu (SPGDT).
Bersamaan dengan tindakan pertama di atas, penolong harus
segera mengaktifkan SPGDT, untuk memperoleh bantuan atau bisa
juga dengan mengajak orang-orang yang ada disekitar tempat
kejadian untuk memberikan pertolongan.
3. Jika memang ditempat kejadian ada peralatan atau sesuatu yang
bisa menarik korban ketepian dengan korban yang dalam keadaan
sadar, maka segera berikan kepada korban, seperti kayu atau tali,
dan usahakan menarik korban secepat mungkin sebelum terjadi
hal yang lebih tidak diinginkan. Setelah korban sampai ditepian
segeralah lakukan pemeriksaan fisik dengan terus memperhatikan
ABCD untuk memeriksa apakah ada cedera atau hal lain yang
dapat mengancam keselamatan jiwa korban dan segera lakukan
Pertolongan Pertama kemudian kirim ke pusat kesehatan guna
mendapat pertolongan lebih lanjut.

4. Jika tidak ada peralatan atau sesuatu yang bisa menarik korban,
maka penolong bisa segera terjun ke air untuk menghampiri
korban. Tapi harus diingat, penolong memiliki kemampuan berenang
yang baik dan menghampiri korban dari posisi belakang korban.
5. Jika korban masih dalam keadaan sadar dan bisa ditenangkan,
maka segera tarik (evakuasi) korban dengan cara melingkarkan
salah satu tangan penolong pada tubuh korban melewati kedua
ketiak korban atau bisa juga dengan menarik krah baju korban
(tapi ingat, hal ini harus dilakukan hati-hati karena bisa membuat
korban tercekik atau mengalami gangguan pernafasan) dan segera
berenang mencapai tepian. Barulah lakukan pertolongan pertama
seperti pada no. 3 di atas.
6. Jika korban dalam keadaan tidak tenang dan terus berusaha
menggapai atau memegang penolong, maka segera lumpuhkan
korban. Hal ini dilakukan untuk mempermudah evakuasi, kemudian
lakukan tindakan seperti no 5 dan kemudian no. 3 di atas.
b. Korban tidak sadar

Seperti

halnya

dalam

memberikan

pertolongan

pertama

untuk korban tenggelam dalam keadaan sadar, maka untuk korban


tidak sadar sipenolong juga harus memiliki kemampuan dan

keahlian untuk melakukan evakuasi korban dari dalam air agar


baik penolong maupun korban dapat selamat.
Adapun tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Segera hampiri korban, namun tetap perhatikan keadaan sekitar
untuk

menghindari hal yang tidak diingin terhadap diri

penolong. Lakukan

evakuasi

dengan

melingkarkan

tangan

penolong ditubuh korban seperti yang dilakukan pada no. 3


untuk korban sadar.
2. Untuk korban yang dijumpai dengan kondisi wajah berada di
bawah permukaan air (tertelungkup), maka segera balikkan
badan korban dan tahan tubuh korban dengan salah satu
tangan

penolong. Jika

penolong

telah

terlatih

dan

bisa

melakukan pemeriksaan nadi dan nafas saat menemukan korban,


maka segera periksa nafas dan nadi korban. Kalau nafas tidak
ada maka segera buka jalan nafas dengan cara menggerakkan
rahang korban dengan tetap menopang tubuh korban dan
berikan nafas buatan dengan cara ini. Dan jika sudah ada nafas
maka

segera

evakuasi

korban

ke

darat

dengan tetap

memperhatikan nafas korban.


3. Ketika penolong dan korban telah sampai ditempat yang aman
(di darat), maka segera lakukan penilaian dan pemeriksaan fisik
yang selalu berpedoman pada ABCD. Berikan respon kepada
korban untuk menyadarkannya.

4. Ketika respon ada dan korban mulai sadar, maka segera lakukan
pemeriksaan fisik lainnya untuk mengetahui apakah ada cedera
lain yang dapat membahayakan nyawa korban. Jika tidak ada
cedera dan korban kemudian sadar, berikan pertolongan sesuai
dengan

yang

diperlukan

korban, atau

bisa juga

dengan

mengevakuasi korban ke fasilitas kesehatan terdekat untuk


pemeriksaan secara medis.
5. Jika tidak ada respon dan tidak ada nafas, segera buka jalan
nafas , periksa jalan nafas dengan cara lihat, dengar dan rasakan
(LDR) selama 3-5 detik. Jika tidak ada nafas maka segera
berikan bantuan pernafasan (bantuan hidup dasar) dengan cara
ini lalu periksa nadi karotis. Apabila nadi ada, maka berikan
bantuan nafas buatan sesuai dengan kelompok umur korban
hingga adanya nafas spontan dari korban (biasanya nafas
spontan ini disertai dengan keluarnya

air yang mungkin

menyumbat saluran pernafasan korban ketika tenggelam), lalu


posisikan korban dengan posisi pemulihan. Terus awasi jalan
nafas korban sambil penolong berupaya untuk menyadarkan
seperti tindakan no. 4 di atas atau mencari bantuan lain untuk
segera mengevakuasi korban.
6. Ketika tindakan no.5 tidak berhasil (tidak ada respon, tidak
nafas dan tidak ada nadi), makas segera lakukan Resusitasi
Jantung Paru, dengan cara seperti ini.

Teknik menolong di air


Berikut di bawah ini beberapa teknik menolong orang di air dari mulai
yang paling aman :
1. .RAIH
Adalah teknik yang paling aman sehingga dapat dilakukan oleh yang
tidak bisa renang sekalipun. Dengan cara menggunakan tongkat sehingga
dapat mencapai korban dan menariknya ke tepi.
Kelemahan : Hanya dapat menggapai korban yang berada di dekat tepi
air.
Perhatian : Jika tarikan korban/arus air terlalu kuat sehingga anda
merasa tertarik ke arah air, maka lepaskanlah tongkat tadi. INGAT
keselamatan diri anda yang paling utama.
2.

LEMPAR
Jika tidak dapat menemukan tongkat yang cukup panjang untuk
mencapai korban, maka carilah bahan yang bisa mengapung (ringbuoy,
jerigen dll), bisa juga menggunakan tali. Lemparkan bahan tadi ke arah
korban.
Teknik : Panggil korban terlebih dahulu sebelum melempar. Hal ini
berfungsi supaya

korban melihat

benda dan arah lemparan kita.

mengkombinasikan pelampung dengan tali sangat berfungsi saat lemparan


kita tidak tepat.
Kelemahan : Kadang lemparan kita tidak pas pada korban, sehingga sering
kali pelampung yang kita lempar menjadi sia-sia.
Perhatian : Kadang lemparan terlalu dekat sehingga kita terpancing untuk
mengambil pelampung itu kembali. tindakan ini sangat membahayakan kita
terutama bagi yang tidak bisa renang. Lebih baik cari pelampung yang lain
untuk dilempar. Tali lempar, tidak boleh diikatkan di tubuh penolong, karena
akan membahayakan bila arus sangat deras atau tarikan korban terlalu kuat..
3.

RENANG
Berenang mendekati korban adalah pilihan terakhir jika cara lain tidak
memungkinkan untuk dilakukan.
Teknik : dibahas lebih lanjut
Kelemahan : sangat berbahaya bagi penolong
Perhatian : Pastikan kemampuan renang anda baik, Jangan renang jika
kondisi air berarus (sungai arus deras, banjir bandang).

4.

DAYUNG
Jika anda sedang di perahu (terutama jenis kano/kayak) berhati-hatilah
saat mendekati korban. Kekuatan korban saat panik sangat berbahaya dan
dapat membalikkan perahu yang anda tumpangi.
Teknik : Dekati korban dari ujung yang berlawanan dengan tempat kita
duduk. Hal ini dimaksudkan apabila perahu terbalik, posisi kita agak jauh dari
korban sehingga mengurangi resiko tertangkap korban.
Perhatian : Jika anda menggunakan perahu kecil, anda tidak bisa berenang
dan tidak menggunakan jaket pelampung, maka lebih baik tidak berusaha
untuk mendekati korban.

Karakteristik korban
Secara umum, korban yang sedang tenggelam di bagi menjadi 4 tipe :
1. Bukan seorang perenang (non swimmer)

Pada tipe ini, korban memiliki karakteristik

Posisi badan terlihat tegak lurus dengan permukaan air (vertikal)

Gerakan kasar dan cenderung tidak berpola

Wajah terlihat sangat panik

Arah tatapan tidak jelas

Hanya fokus untuk mengambil napas

Saat ditolong

Mungkin akan berusaha untuk meraih penolong

Tidak dapat mengikuti perintah atau tidak dapat komunikasi

Selalu ingin dalam posisi vertikal, sehingga cenderung panik jika ditolong dalam
keadaan horisontal

Selalu berusaha kepala dan dada berada di atas permukaan air

Yang di perhatikan penolong

Korban tipe ini sangat berbahaya bagi penolong

Sebisa mungkin hindari pertolongan dengan menggunakan teknik contact


rescue /tow

2. Perenang yang cidera


Pada tipe ini, korban memiliki karakteristik

Posisi badan mungkin terlihat agak aneh tergantung dari bagian tubuh yang
cidera

Gerakan terbatas disebabkan oleh cidera

Wajah terlihat cemas, bahkan mungkin terlihat kesakitan

Bisa terjadi panik

Saat ditolong

Mungkin tidak merespon perintah karena lebih fokus terhadap rasa sakitnya

Berusaha mempertahankan posisi karena biasanya memegangi area yang cidera

IYang diperhatikan penolong

Kemungkinan akan membawa korban dalam posisi yang agak aneh (sesuai
cideranya)

Perhatikan cidera yang dialami

3. Perenang yang kelelahan


Pada tipe ini, korban memiliki karakteristik

Terlihat pola kayuhan yang lemah

Posisi badan biasanya membentuk sudut dengan permukaan air

Wajah memandang ke tepian atau perahu yang di dekatnya

kepala kadang tidak terlihat

dapat melambai untuk meminta bantuan

Wajah mungkin terlihat lelah atau cemas

Saat ditolong

Merespon perintah penolong dengan baik

Kooperatif saat ditawarkan bantuan

Bisa di topang dalam keadaan terlentang

Yang diperhatikan penolong

Dapat ditolong menggunakan teknik contact rescue

Lebih mudah untuk ditolong

4. Tidak sadar (pasif)


Pada tipe ini, korban memiliki karakteristik

Terlihat tidak bergerak

Mungkin hanya terlihat sebagian punggung

Mungkin hanya terlihat puncak kepala saja

Wajah biasanya menghadap ke dasar

Saat ditolong

Tidak kooperatif

Mungkin akan cukup sulit untuk melakukan manuver terhadap tubuh korban

Yang diperhatikan penolong

Buoyancy korban sangat bervariasi

Membutuhkan pertolongan dengan teknik contact rescue

Perhatikan pernapasan korban, jika tidak bernapas lakukan sesegera mungkin


bantuan napas

Penggunaan alat bantu apung (pelampung) akan sangat membantu dalam


pemberian napas

Kadang terjadi keadaan yang disebut pasif aktif, yaitu keadaan dimana korban
terlihat pasif (tidak bergerak) namun saat di sentuh berubah menjadi aktif. Ini
sangat membahayakan penolong. Oleh karena itu lakukan teknik mendekati
korban dengan benar.
Selain karakteristik korban tadi, juga diperlukan kemampuan untuk
memperkirakan buoyancy dari korban dengan melihat postur tubuh terutama saat
melakukan contact tow. Korban yang gemuk cenderung akan mudah mengapung,
namun akan lebih berat saat menariknya ke tepi. Sebaliknya korban yang kurus
cenderung akan mudah tenggelam, namun akan lebih ringan saat menariknya ke
tepi.

Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap,


yaitu:
1. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan
fokus utama pada perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada

korban yang mengalami penurunan kesadaran. Bantuan hidup dasar pada


korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih berada di dalam air.
Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri penyelamat
lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam
air untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus
terjun dengan alat bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa
korban ke daratan sambil melakukan penyelamatan. Cedera servikal biasanya
jarang

pada

korban

tenggelam,

namun

imobilisasi

servikal

perlu

dipertimbangkan pada korban dengan luka yang berat.


2. Penilaian pernapasan
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas
dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu
pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas
buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to mask, dan mouth to
neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas
bantuan untuk mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu
sebanyak 5 kali. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih
disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban pada pemberian napas
mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10 15 kali
selama sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5
menit, pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan.
Namun, bila korban tenggelam lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan

dilanjutkan selama 1 menit, kemudian bawa korban langsung ke daratan tanpa


diberikan napas buatan.
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami
henti jantung akibat dari hipoksia. Pemberian kompresi ini dilakukan di atas
tempat yang datar dan rata dengan rasio 30:2. Namun, pemberian kompresi
intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak terbukti
dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi.
Selama proses pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi
air dari paru maupun isi lambung. Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai
menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban dapat dimiringkan dan cairan
regurgitasinya dikeluarkan.

3. Bantuan hidup lanjut


Tersedianya sarana bantuan hidup dasar dan lanjutan ditempat kejadian
merupakan hal yang sangat penting karena beratnya cedera pada sistem saraf
pusat tidak dapat dikaji dengan cermat pada saat pertolongan diberikan.
Pastikan keadekuatan jalan napas, pernapasan dan Sirkulasi. Cedera lain
juga harus dipertimbangkan dan perlu tidaknya hospitalisasi ditentukan
berdasarkan keparahan kejadian dan evaluasi klinis. Pasien dengan gejala
respiratori, penurunan saturasi oksigen dan perubahan tingkat kesadaran perlu

untuk dihospitalisasi. perhatian harus difokuskan pada oksigenasi, ventilasi,


dan fungsi jantung. Melindungi sistem saraf pusat dan mengurangi edema
serebri merupakan hal yang sangat penting dan berhubungan langsung dengan
hasil akhir.
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen
dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve
Mask) atau tabung oksigen.1 Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%.
Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan korban belum membaik, dapat
dilakukan intubasi trakeal.

BAB III
KESIMPULAN
Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah
pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong
kehidupan jantung dasar dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari
luar melalui resusitasi dan mencegah insufisiensi.
Air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam
sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan

permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara


perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan
hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem
paru yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru.4
Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam
terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO 2) dan keseimbangan asam
basa. Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume
darah dan konsentrasi elektrolit serum. Bradikardi bisa timbul akibat refleks
diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga terjadi
akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin.
Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi,
oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama
bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung
paru yang adekuat. Oedem cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma
sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang
menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2
sampai

menit

terjadi

apnoe

dan

hipoksia.

Kerusakan

otak

yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan
gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang
tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam
suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia
walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi2. Anoksia dan iskemia serebri yang
berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial

serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf
pusat sekunder.

DAFTAR PUSTAKA
1.

DiMaio VJ, DiMaio D. Death by drowning. DiMaio VJ, DiMaio D, editors.


In: Forensic pathology second edition. USA: CRC Press LLC; 2001.

2.

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Sidhi, Hertian S,


dkk. Kematian akibat asfiksia mekanik. Dalam: Ilmu kedokteran forensik.
Jakara: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. h. 64-70.

3.

Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta:


Binarupa Aksara; 2007. h. 182-8.

4.

Dix J. Asphyxia (suffocation) and drowning. Dix J, editor. In: Color atlas of
forensic pathology. USA: CRC Press LLC; 2000.

Anda mungkin juga menyukai