Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COLLUM FEMUR


disusun untuk memenuhi tugas profesi ners
Departemen Surgical di Ruang ICU RS Panti Nirmala Malang

Oleh :
Dwi Setyo Purnomo
NIM. 150070300011004

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

1. Definisi Fraktur Collum Femur


Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur femur adalah rusaknya
kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung,
kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Long,
1985). Sedangkan fraktur kolum femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi
pada bagian proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian
distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal dari intertrokanter.
2. Etiologi Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering
pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan
dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh
trauma langsung, yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah
trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan
oleh trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai
bawah.
Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Cedera traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh
dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat berbagai
keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet, biasanya disebabkan

oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan


absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau tekanan pada
tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
bidang kemiliteran.
3. Klasifikasi Fraktur Collum Femur
a) Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe, yaitu:
1. Fraktur intrakapsuler
2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler

b) Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel :


Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30 dengan bidang horizontal pada posisi
tegak
Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50 dengan bidang horizontal pada posisi
tegak
Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50 dengan bidang horizontal

Klasifikasi Pauwels untuk Fraktur Kolum Femur


Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan bidang
horizontal pada posisi tegak.

c) Dislokasi atau tidak fragment ( menurut Gardens) adalah sebagai berikut :

Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)

Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran

Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus malaligment)

Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian segmen
yang bersinggungan.

Klasifikasi Gardens untuk Fraktur Kolum Femur


4. Manifestasi Klinis Fraktur Collum Femur
Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur, yakni:
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.
2) Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam jaringan
3)
4)
5)
6)

yang berdekatan dengan fraktur.


Ekimosis dari perdarahan subculaneous
Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)
Tenderness
Nyeri
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang dari tempatnya dan

kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.


7) Kehilangan sensasi
8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi (Black, 1993:199).
Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat namun pada
penderita usia tua biasanya hanya dengan trauma ringan sudah dapat menyebabkan
fraktur collum femur. Penderita tidak dapat berdiri karena rasa sakit sekali pada pada
panggul. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan eksorotasi. Didapatkan juga adanya
pemendekakan dari tungkai yang cedera. Tungkai dalam posisi abduksi dan fleksi serta
eksorotasi.pada palpasi sering ditemukan adanya hematom di panggul. Pada tipe
impacted, biasanya penderita masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tidak begitu
hebat. Posisi tungkai tetap dalam keadaan posisi netral.

Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan menyebabkan
deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan pada fraktur tanpa
pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa memperhatikan jumlah pergeseran fraktur
yang terjadi, kebanyakan pasien akan mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan,
nyeri tekan di inguinal dan nyeri bila pinggul digerakkan.
5. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Collum Femur
Proyeksi AP dan lateral serta kadang juga dibutuhkan axial. Pada proyeksi AP
kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang impacted, untuk ini
diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini
penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser ( stadium I dan II Garden )
dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang bergeser sering
mengalami non union dan nekrosis avaskular.

6. Penatalaksanaan Fraktur Collum Femur


Impacted Fraktur
Pada fraktur intrakapsuler terdapat perbedaan pada daerah collum femur dibanding
fraktur tulang di tempat lain. Pada collum femur-periosteumnya sangat tipis sehingga daya
osteogenesinya sangat kecil, sehingga seluruh penyambungan fraktur collum femur
tergantung pada pembentukan calus endosteal. Lagipula aliran pembuluh darah yang
melewati collum femur pada fraktur collum femur terjadi kerusakan. Lebih-lebih lagi
terjadinya haemarthrosis akan menyebabkan aliran darah sekitar fraktur tertekan
alirannya. Sehingga apabila terjadi fraktur intrakapsuler dengan dislokasi akan terjadi
avaskular nekrosis.
Penanggulangan Impacted Fraktur
Pada fraktur collum femur yang benar-benar impacted dan stabil, penderita masih
dapat berjalan selama beberapa hari. Gejalanya ringan, sakit sedikit pada daerah panggul.
Kalau impactednya cukup kuat penderita dirawat 3-4 minggu kemudian diperbolehkan
berobat jalan dengan memakai tongkat selama 8 minggu. Kalau pada x-ray foto

impactednya kurang kuat ditakutkan terjadi disimpacted, penderita dianjurkan untuk


operasi dipasang internal fixation. Operasi yang dikerjakan untuk impacted fraktur
biasanya dengan multi pin teknik percutaneus.
Penanggulangan dislokasi fraktur collum femur
Penderita segera dirawat dirumah sakit, tungkai yang sakit dilakukan pemasangan
tarikan kulit (skin traction) dengan buck-extension. Dalam waktu 24-48 jam dilakukan
tindakan reposisi, yang dilanjutkan dengan pemasangan internal fixation. Reposisi yang
dilakukan dicoba dulu dengan reposisi tertutup dengan salah satu cara yaitu: menurut
leadbetter. Penderita terlentang dimeja operasi. Asisten memfiksir pelvis. Lutut dan coxae
dibuat fleksi 90 untuk mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit
adduksi paha ditarik ke atas, kemudian dengan pelan-pelan dilakukan gerakan endorotasi
panggul 45. Kemudian sendi panggul dilakukan gerakan memutar dengan melakukan
gerakan abduksi dan ekstensi. Setelah itu dilakuakn test.
Palm heel test: tumit kaki yang cedera diletakkan diatas telapak tangan. Bila posisi
kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti reposisi berhasil baik.
Setelah reposisi berhasil dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan
teknik multi pin percutaneus. Kalau reposisi pertama gagal dapat diulangi sampai 3
kali, dilakukan open reduksi. Dilakukan reposisi terbuka setelah tereposisi dilakukan
internal fiksasi. Macam-macam alat internal fiksasi diantaranya: knowless pin,
cancellous screw, dan plate.
Pada fraktur collum femur penderita tua (>60 tahun) penanggulangannya agak
berlainan. Bila penderita tidak bersedia dioperasi atau dilakukan prinsip penanggulangan,
tidak dilakukan tindakan internal fiksasi, caranya penderita dirawat, dilakukan skin traksi 3
minggu sampai rasa sakitnya hilang. Kemudian penderita dilatih berjalan dengan
menggunakan tongkat (cruth). Kalau penderita bersedia dilakukan operasi, yaitu
menggunakan tindakan operasi arthroplasty dengan pemasangan prothese austine
moore.
7. Pengkajian Fraktur Collum Femur
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan fraktur femur diantaranya adalah:
1. Identitas pasien
Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
dan pendidikan.

2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian
yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor memperberat dan
faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam
hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada riwayat kesehatan masa lalu, perlu ditanyakan apakah pasien pernah
menderita penyakit infeksi tulang ataupun osteoporosis. Hal ini merupakan informasi
yang penting dalam penanganan fraktur femur pada klien
5. Riwayat kesehatan keluarga
Hal ini mencakup riwayat ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga, sistem
dukungan keluarga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
6. Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur tibia tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien,
seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya makan,
mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f)

Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri terhadap
perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan gangguan citra diri.
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur.
i)

Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien.

j)

Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif

k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
8. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna

Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan pemeriksaan


penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan menjawab
pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),
hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian
distal yang cidera, capilary refil melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan
masa hematoma pada sisi cedera.
f.

Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal (3 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal)

d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi sedikit dan ada
tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan gravitasi tapi dengan sentuhan
jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito,
1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah

melakukan

pemeriksaan

feel,

kemudian

diteruskan

dengan

menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada


pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
( Arif Muttaqin, 2008 )
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar rontgen ( Sinar X ). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada Sinar X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal
hal sebagai berikut. ( Arif Muttaqin, 2008 )
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda


paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase,
Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase
yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang
3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat ( Arif Muttaqin, 2008 )
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan

mikroorganisme

kultur

dan

test

sensitivitas:

didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi.


2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
( Arif Muttaqin, 2008 )

Anda mungkin juga menyukai