Anda di halaman 1dari 23

3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Imunisasi
2.1.1

Definisi
Kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.
Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Kekebalan
pasif yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan
transplasenta, yaitu antibodi diberikan ibu kandung secara pasif melalu
plasenta kepada janin yang dikandungnya. Sedangkan, kekebalan pasif
(buatan) adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan
dimasukkan ke dalam tubuh anak.
Kekebalan aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun
buatan. Secara alami, kekebalan tubuh didapatkan apabila anak
terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya antigen yang akan
merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara aktif dan
menjadi kebal karenanya. Sedangkan, kekebalan aktif (buatan) adalah
pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif
membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang
diberikan.
Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama.
Imunisasi pasif adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara
pasif. Vaksinasi adalah imunisasi aktif dengan pemberian vaksin
(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi)
oleh sistem imun di dalam tubuh.

2.1.2

Manfaat Imunisasi
Adapun keuntungan yang didapat dari vaksinasi, yaitu :
pertahanan tubuh yang terbentuk oleh beberapa vaksin akan dibawa
seumur hidup, cost-effective karena murah dan efektif, dan tidak
berbahaya (reaksi serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang

daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut


secara alami).
Selain keuntungan tersebut di atas, imunisasi juga memiliki
dampak secara individu, sosial, dan epidemiologi. Secara singkat,
apabila anak telah mendapatkan imunisasi maka 80-95% diantaranya
akan terhindar dari penyakit infeksi yang ganas. Kekebalan individu
ini akan mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit dari anak
ke anak lain atau kepada orang dewasa yang hidup bersamanya. Inilah
yang disebut keuntungan sosial karena dalam hal ini 5-20% dari anakanak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, disebut herd
immunity (kekebalan komunitas). Maka mendeteksi daerah penularan
penyakit melalui program imunisasi sangat membantu mencari siapa
target vaksinasi, sehingga akan tepat sasaran dan lebih cepat
menurunkan insidens penyakit. Upaya tersebut disebut source drying.
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan yang menurun, akan
menurun pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Selain
itu, dengan mencegah seorang anak dari penyakit infeksi yang
berbahaya, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan
meningkatkan daya produktivitas di kemudian hari.
2.1.3

Jenis Vaksin
Secara garis besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok
jenis vaksin, yaitu vaksin dari mikroba hidup dilemahkan (vaksin
hidup) dan vaksin mikroba yang diinaktivasi (vaksin inaktivasi).
Vaksin hidup dibuat dengan memodifikasi virus atau bakteri patogen di
laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat berupa virus atau bakteri utuh
(whole cell) atau fraksi patogen, atau gabungan keduanya.
Vaksin fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida.
Vaksin berbasis protein dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif),
dan produk subunit atau subvirion. Vaksin berbasis polisakarida
umumnya terbuat dari polisakarida murni dinding sel bakteri, atau

dapat juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan protein sehingga


sifat antigenik vaksin polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin hidup bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu
panas dan cahaya, sehingga harus dibawa dan disimpan dengan cara
aman dari penyebab kerusakan tersebut. Virus atau bakteri dalam
vaksin hidup diharapkan dapat bereplikasi dalam tubuh penerima
vaksin sehingga cukup diberikan dalam dosis relatif kecil. Contoh
vaksin hidup misalnya vaksin campak, gondongan, rubela, vaksinia,
varisela, demam kuning, polio (oral), dan BCG.
Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak
bereplikasi, dan tidak berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif
diberikan melalui suntikan, selalu dengan dosis multipel, dan
umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi sirkulasi. Vaksin inaktif juga
memerlukan penguatan (booster) karena antibodi yang terbentuk akan
menurun seiring dengn perjalanan waktu. Respon imun yang terbentuk
sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit merangsang respon
imun seluler. Contoh vaksin inaktif sel utuh : vaksin influenza, rabies,
hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera. Vaksin inaktif fraksional
dan subunit misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis aselular,
toksoid (difteri, tetanus).
Selain kedua jenis vaksin tadi, dikenal pula vaksin rekombinan
yang dibentuk dengan rekayasa genetik. Contohnya : vaksin hepatitis
B rekombinan, vaksin tifoid Ty21a, dan vaksin influenza LAIV.
Respon terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat
sebagai pembentukan respon imun awal (priming) yang menjadi dasar
pembentukan imunitas protektif. Dosis berikutnya pada vaksinasi
primer merupakan vaksinasi ulang yang membentuk tingkat antibodi
protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat respon imun terhadap dosis
pertama atau dosis sebelumnya pada vaksinasi primer mulai menurun,
pada umumnya 4-6 minggu setelah dosis sebelumnya. Tergantung dari
karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin penguatan perlu

diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat kekebalan


protektif primer. Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu
kali sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang.
2.1.4

Jadwal Imunisasi
Jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun
Rekomendasi imunisasi ini berlaku mulai 1 Januari 2014.
Angka dalam kolom umur tabel mencerminkan umur dalam bulan
(atau tahun) mulai 0 hari sampai 29 hari ( atau 11 bulan 29 hari untuk
tahun). Adapun hal-hal yang diperbaharui pada jadwal imunisasi 2014
adalah sebagai berikut.
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam
setelah lahir dan didahului pemberian injeksi vitamin K1. Hal
tersebut penting untuk mencegah terjadinya perdarahan akibat
defisiensi vitamin K. Bayi lahir dari ibu HbsAg positif, diberikan
vaksin hepatitis B dan HBIg pada ekstremitas yang berbeda, untuk
mencegah infeksi perinatal yang beresiko tinggi untuk terjadinya
hepatitis B kronik. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat

menggunakan

vaksin

hepatitis

monovalen

atau

vaksin

kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi lahir atau saat dipulangkan harus
diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1,
polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin polio oral
(OPV) atau inaktivasi (IPV), namun sebaiknya paling sedikit
mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan,
optimal diberikan pada umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah
umur 3 bulan, perlu dilakukan uji antibodi.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur
6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DtaP atau kombinasi
dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun DTP yang
diberikan harus vaksin Td, di booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Imunisasi campak menurut Permenkes No.42
tahun 2013, diberikan 3 kali pada umur 9 bulan, 2 tahun, dan pada
SD kelas 1 (program BIAS). Untuk anak yang telah mendapat
imunisasi MMR umur 15 bulan, imunisasi campak umur 2 tahun
tidak diperlukan.
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12
bulan, PCV diberikan 3 kali dengan interval 2 bulan; pada umur
lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu dosis booster 1
kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah
dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan
cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali,
vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus
monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin
rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu
dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus

pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis


ke-2, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu
(interval minimal 4 minggu).
8. Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12
bulan, namun terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar.
Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6
bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary
immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali
dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 <36 bulan,
dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat
diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan
tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV antibodi
dengan interval 0, 2, 6 bulan.
2.1.5

Imunisasi Program Nasional


Imunisasi program nasional meliputi BCG, polio, hepatitis B,
DTP, Hib, campak, dan Td.
1. BCG
Deskripsi

: Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering


yang mengandung Mycobacterium bovis hidup
yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin),
strain Paris (vaksin hidup). Oleh karena itu,
tidak diberikan pada pasien imunokompromais
(leukemia, anak yang sedang mendapatkan
pengobatan steroid jangka panjang, atau bayi
yang telah diketahui atau dicurigai menderita
HIV

Komposisi

: Tiap ampul vaksin mengandung BCG hidup


1,5 mg. Pelarut mengandung Natrium klorida
0,9 % (4cc)

Indikasi

: Pencegahan terhadap penyakit tuberkulosa

Posologi

: Vaksin dilarutkan dengan menambahkan 4cc


pelarut pada satu vial vaksin kemudian diambil
0,05mL. Sebelum pemberian suntikan kulit
tidak boleh dibersihkan dengan antiseptic.
Vaksin yang telah dilarutkan harus diamati
secara visual. Jika tampak benda asing maka
vaksin harus dibuang.
Gunakan syringe dan jarum steril untuk setiap
penyuntikan. Vaksin BCG sensitif terhadap
sinar ultraviolet, maka harus dilindungi dari
sinar matahari.

Penyimpanan

: Jika setelah dilarutkan tidak segera digunakan


maka disimpan pada suhu antara +2C s/d
+8C, selama maksimal 3 jam.

Dosis

: 0.05 mL

Pemberian

: Intrakutan di daerah lengan kanan atas pada


insersio m. deltoideussesuai anjuran WHO,
tidak di tempat lain (misalnya bokong atau
paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara
intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus
yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot
setempat (dibandingkan di daerah gluteal
lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda
baku

untuk

keperluan

diperlukan.
Imunisasi ulang : tidak dianjurkan

diagnosis

apabila

10

Masa kadaluarsa : satu tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat


dilihat pada label)
Reaksi imunisasi : biasanya tidak demam
Efek samping

: Reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi


BCG adalah wajar. Suatu pembengkakan kecil,
merah, lembut biasanya timbul pada daerah
bekas

suntikan,

yang

kemudian

berubah

menjadi vesikel kecil, dan kemudian menjadi


sebuah ulkus dalam waktu 2 - 4 minggu.
Reaksi ini biasanya hilang dalam 2 5 bulan,
dan

umumnya

pada

anak-anak

akan

meninggalkan bekas berupa jaringan parut


dengan diameter 2 10 mm. Jarang sekali
nodus dan ulkus tetap bertahan. Kadangkadang pembesaran kelenjar getah bening pada
daerah ketiak dapat timbul 2 4 bulan setelah
imunisasi. Sangat jarang sekali pembesaran
kelenjar

getah

bening

tersebut

menjadi

supuratif. Suntikan yang kurang hati-hati dapat


menimbulkan abses dan jaringan parut.
Indikasi kontra : tidak ada larangan, kecuali pada anak yang
berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan
adanya penyakit kulit berat/menahun. Juga
kontra

indikasi

pada

defisiensi

sistem

kekebalan, individu yang terinfeksi HIV


asimtomatis maupun simtomatis tidak boleh
menerima vaksinasi BCG.
Jadwal

: Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3


bulan, optimal diberikan pada umur 2 bulan.
Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu
dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin

11

BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.


Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan,
BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi
lokal cepat di tempat suntikan (accelerated
local reaction), perlu tindakan lebih lanjut
(tanda diagnostik tuberculosis).
2. Hepatitis B
Deskripsi

: Vaksin inaktif, vaksin hepatitis B rekombinan.


Vaksin

Hepatitis

mengandung
HBsAg,

antigen

yang

dihasilkan

B
virus

tidak

dari

rekombinan

biakan

Hepatitis

menginfeksi
sel

B,
yang

ragi

dengan

teknologi rekayasa DNA. Vaksin Hepatitis B


rekombinan

berbentuk

berwarna keputihan

suspensi

steril

dalam prefill injection

device, yang dikemas dalam aluminum foil


pouch, and vial.
Komposisi

: Tiap 1,0 mL mengandung 20 mcg HBsAg


yang teradsorpsi pada 0,5 mg Al3+.
Tiap 0,5 mL mengandung 10 mcg HBsAg
yang teradsorbsi pada 0,25 mg Al3+.
Seluruh formulasi mengandung 0,01 w/v%
thimerosal

yang

ditambahkan

sebagai

pengawet.
Indikasi

: Vaksin Hepatitis B rekombinan diindikasikan untuk imunisasi aktif pada semua usia,
untuk

mencegah infeksi yang

disebabkan

oleh virus Hepatitis B, tetapi tidak dapat


mencegah infeksi yang disebabkan

oleh

virus Hepatitis A, Hepatitis C atau virus lain

12

yang

dapat

menginfeksi

hati. Vaksinasi

direkomendasikan pada orang yang beresiko


tinggi terkena infeksi virus Hepatitis B.
Posologi

: Vaksin Hepatitis B rekombinan disuntikkan


secara intramuskular, pada orang dewasa dan
anak di bagian otot deltoid, sedangkan pada
bayi di bagian anterolateral paha. Kecuali pada
orang
berat

dengan

kecenderungan

pendarahan

(seperti hemofilia), vaksin diberikan

secara subkutan.
Dosis

: 0,5 ml sebanyak 3 kali pemberian (Tabel 2)

Reaksi imunisasi : Nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin


disertai rasa panas atau pembengkakan akan
menghilang dalam 2 hari.
Kemasan

: HepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject),


vaksin

kombinasi

DTP/HepB,

vaksin

pentavalen DTP/HepB/Hib. Vaksin Hepatitis B


rekombinan dapat disimpan sampai 26 bulan
setelah tanggal produksi pada suhu antara +2C
s/d +8C. Jangan dibekukan.
Efek samping

: Reaksi lokal yang umumnya sering dilaporkan


adalah

rasa

sakit,

kemerahan

dan

pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan.


Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan
biasanya berkurang dalam 2 hari setelah
vaksinasi. Keluhan sistemik seperti demam,
sakit kepala, mual, pusing dan rasa lelah belum
dapat dibuktikan karena pemberian vaksin.
Indikasi kontra : Hipersensitif

terhadap

komponen

vaksin.

Vaksin Hepatitis B Rekombinan sebaiknya


tidak diberikan pada orang yang terinfeksi

13

demam berat. Adanya infeksi trivial bukan


sebagai kontra indikasi
Imunisasi ulang : Pada usia 5 tahun tidak diperlukan. Dapat
dipertimbangkan pada usia 10-12 tahun apabila
kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <
10 g/mL).
Jadwal

: Diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12


jam) setelah lahir (HepB-1). Imunisasi HepB-2
diberikan setelah 1 bulan dari imunisasi HepB1 yaitu saat usia 1 bulan. Untuk mendapat
respon imun optimal, interval imunisasi HepB2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5
bulan. Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada
umur 3-6 bulan (Tabel 1).
Apabila diketahui HbsAg ibu positif maka ditambahkan

hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5mL sebelum bayi berumur


7 hari. Pemberian vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5mL diberikan
secara bersamaan pada bagian tubuh yang berbeda dalam waktu 12
jam setelah lahir.

Tabel 1. Jadwal alternatif 1,2,3 untuk vaksinasi hepatitis B pada anak dan dewasa

14

Tabel 2. Dosis Vaksin Hepatitis B


Ket:

*untuk

jadwal

alternatif

dan

direkomendasikan

untuk

melakukan booster(vaksinasi ulangan) satu tahun kemudian.


3. Polio
Jenis vaksin

: (1) OPV (oral polio vaccine), adalah vaksin


trivalen merupakan cairan berwarna kuning
kemerahan dikemas dalam vial gelas yang
mengandung suspensi dari tipe 1,2, dan 3
virus Polio hidup (strain Sabin) yang telah
dilemahkan.

Vaksin

merupakan

suspensi

Polio

Oral

drops

ini

untuk

diteteskan melalui droper (secara oral).


(2) IPV (inactivated polio vaccine), virus
inaktif (salk), injeksi
Komposisi

: Tiap dosis (2 tetes = 0,1 mL) mengandung


Virus Polio hidup dilemahkan (strain Sabin)
tipe 1,2,dan3
Zat tambahan

Eritromisin tidak lebih dari 2 mcg


Kanamisin tidak lebih dari 10 mcg
Sukrosa 35 % (v/v) (sebagai zat penstabil)

15

Indikasi

: Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap


Poliomyelitis.

Penyimpanan

: OPV : Freezer, suhu -20 C

Dosis

: OPV

tetes

per-oral,

IPV

0,5

mL

intramuskular
Kemasan

OPV : vial, disertai pipet tetes


IPV : dapat diberikan tersendiri atau dalam
kemasan kombinasi (DTaP/Hib/IPV)

Masa kadaluarsa : OPV : dua tahun pada suhu -20C, Dan hanya
dapat disimpan selama 6 bulan pada suhu
antara +2C dan +8C.
Reaksi imunisasi : biasanya tidak ada, mungkin pada bayi ada
berak-berak ringan
Efek samping

: Umumnya tidak terdapat efek samping. Sangat


jarang

terjadi

kelumpuhan

(paralytic

poliomyelitis), yang diakibatkan karena vaksin


(perbandingan 1 / 1.000.000 dosis). Individu
yang

kontak

dengan

anak

yang

telah

divaksinasi, jarang sekali beresiko mengalami


lumpuh polio (paralytic poliomyelitis) akibat
vaksinasi (perbandingan 1 / 1.400.000 dosis
sampai 1 / 3.400.000 dosis). Dan hal ini terjadi
bila kontak belum mempunyai kekebalan
terhadap virus polio atau belum pernah
diimunisasi. Sindroma Guillain Barre.
Kontra Indikasi : Apabila sedang mengalami diare, dosis OPV
yang diberikan tidak akan dihitung sebagai
bagian dari jadwal imunisasi, dan harus
diulang setelah sembuh.
Penderita leukemia dan disgammaglobulinemia.

16

Anak dengan infeksi akut yang disertai


demam.
Anak dengan defisiensi sistem kekebalan.
Anak dalam pengobatan imunosu- presif.
Jadwal

: Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada


kunjungan pertama. Mengingat OPV berisi
virus polio hidup maka diberikan saat bayi
dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin
untuk menghindari tranmisi virus vaksin
kepada bayi lain yang sakit/imunokompromais
karena virus polio vaksin dapat dieksresi
melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan
vaksin OPV atau IPV. Untuk imunisasi dasar
(polio-1,2,3) diberikan pada umur 2,4, dan 6
bulan, interval antara dua imunisasi tidak
kurang dari 4 minggu.

Imunisasi ulang : Diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4,


selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun)
4. DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelullar pertussis)
Deskripsi

: Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal


homogen berwarna putih susu dalam vial gelas,
mengandung toksoid tetanus murni, toksoid
difteri murni, dan bakteri pertusis yang
diinaktivasi,

yang

teradsorbsi

kedalam

aluminium fosfat. Vaksin DTP merupakan jenis


vaksin bakteri yang inaktif.
Komposisi

: Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :


Zat berkhasiat

Toksoid difteri murni 20 Lf


Toksoid tetanus murni 7,5 Lf
B. pertussis yang diinaktivasi 12 OU

17

Zat tambahan:
Aluminium fosfat 1,5 mg
Thimerosal 0,05 mg
Indikasi

: Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap


difteri, tetanus dan pertusis (batuk rejan) secara
simultan pada bayi dan anak-anak.

Dosis

: 0,5mL diberikan secara intramuskular, baik


untuk imunisasi dasar maupun ulangan

Penyimpanan

: lemari es, suhu 2-8 C, tidak boleh dibekukan

Kemasan

: Vial 5 ml, dapat diberikan secara kombinasi


dengan vaksin lain sebagai vaksin tetravalent
yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwp/Hib,
DTaP/IPV,

atau

vaksin

pentavalen

DTP/HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.


Masa kadaluarsa : Dua tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat
dilihat pada label)
Reaksi imunisasi : demam ringan, pembengkakan dan nyeri di
tempat suntikan selama 1-2 hari
Efek samping

: Biasanya reaksi lokal atau sistemik ringan.


Sakit, bengkak dan kemerahan pada lokasi
suntikan
sementara,

disertai

demam

merupakan

yang

kasus

bersifat
terbanyak.

Kadang-kadang reaksi berat seperti demam


tinggi, iritabilitas dan histeria dapat terjadi 24
jam setelah imunisasi. Dilaporkan adanya
episode

hypotonichyporesponsive.

Kejang

karena demam (step) dilaporkan terjadi dengan


perbandingan 1 kasus per 12.500 dosis
pemberian. Pemberian asetaminofen pada 4-8
jam setelah imunisasi mengurangi terjadinya
demam.

18

Apabila sesudah pemberian DTP terjadi reaksi


yang berlebihan, dosis imunisasi berikutnya
diganti dengan DT atau DTaP.
Indikasi kontra : Anak yang sakit parah, anak yang menderita
penyakit kejang demam kompleks, anak yang
diduga menderita batuk rejan, anak yang
menderita

penyakit

gangguan

kekebalan.

Batuk, pilek, demam atau diare yang ringan


bukan merupakan kotraindikasi yang mutlak,
disesuaikan dengan pertimbangan dokter.
Jadwal

: Imunisasi dasar DTP diberikan 3 kali sejak


umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8
minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,
jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP2 pada umur 4 bulan, dan DTP-3 pada umur 6
bulan. Ulangan booster DTP-4 diberikan satu
tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24
bulan (pada usia 18 bulan sesuai ketentuan
WHO) dan DTP-5 pada saat masuk sekolah
umur 5 tahun. Vaksinasi penguat Td diberikan
2 kali sesuai program BIAS (SD kelas 2 dan 3)

5. Campak
Deskripsi

: Vaksin campak adalah vaksin aktif yaitu vaksin


virus hidup yang dilemahkan, merupakan
vaksin beku kering berwarna kekuningan pada
vial gelas, yang harus dilarutkan hanya dengan
pelarut yang telah disediakan secara terpisah.
Vaksin campak ini berupa serbuk injeksi.

Komposisi

: Tiap dosis (0,5 mL) vaksin yang sudah


dilarutkan mengandung:

19

Zat aktif:
Virus Campak strain CAM 70 tidak kurang
dari 1.000 CCID50 (Cell Culture Infective
Dose 50)
Zat tambahan:
Kanamisin sulfat tidak lebih dari 100 mcg
Eritromisin tidak lebih dari 30 mcg
Pelarut mengandung :
Air untuk injeksi
Indikasi

: Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap


penyakit campak

Penyimpanan

: Vaksin campak beku kering disimpan pada


suhu antara +2C s/d +8C. Vial vaksin dan
pelarut harus dikirim bersamaan, tetapi pelarut
tidak boleh dibekukan dan disimpan pada suhu
kamar. Vaksin harus terlindung dari cahaya.
Waktu kadaluarsa 2 tahun. Vaksin campak
yang sudah dilarutkan, sebaiknya digunakan
segera, paling lambat 6 jam setelah dilarutkan,
apabila

masih

bersisa

maka

harus

dimusnahkan.
Dosis

: setelah dilarutkan, diberikan dalam satu dosis


0.5 mL secara subkutan dalam

Kemasan

: vial

berisi

10

dibekukeringkan,

dosis
beserta

vaksin
pelarut

yang
5

ml

(aquadest). Kemasan untuk program imunisasi


dasar berbentuk kemasan kering tunggal.
Namun ada vaksin dengan kemasan kering
kombinasi dengan vaksin gondong/ mumps
dan rubella (campak jerman) disebut MMR.

20

Reaksi imunisasi : biasanya tidak terdapat reaksi. Mungkin terjadi


demam ringan dan sedikit bercak merah pada
pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah
penyuntikan, atau pembengkakan pada tempat
penyuntikan.
Efek samping

: Vaksin campak dapat mengakibatkan sakit


ringan dan bengkak pada lokasi suntikan, yang
terjadi 24 jam setelah vaksinasi. Pada 5-15 %
kasus terjadi demam (selama 1-2 hari),
biasanya 8-10 hari setelah vaksinasi. Pada 2 %
terjadi kasus kemerahan (selama 2 hari),
biasanya 7-10 hari setelah vaksinasi.

Kontra Indikasi : Terdapat

beberapa

kontraindikasi

pada

pemberian vaksin campak. Hal ini sangat


penting, khususnya untuk imunisasi pada anak
penderita malnutrisi.
Vaksin ini sebaiknya tidak diberikan bagi;
orang yang alergi terhadap dosis vaksin
campak sebelumnya, wanita hamil karena efek
vaksin campak terhadap janin belum diketahui;
orang yang alergi berat terhadap kanamisin dan
eritromisin, anak dengan infeksi akut disertai
demam,

anak

dengan

defisiensi

sistem

kekebalan, anak dengan pengobatan intensif


yang

bersifat

imunosupresif,

anak

yang

mempunyai kerentanan tinggi terhadap protein


telur.
Jadwal

: Usia 9 bulan, 24 bulan, dan 6 tahun (SD kelas


1 dalam program BIAS). Apabila telah
mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18

21

bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan


campak SD kelas 1 tidak diperlukan.
6. Haemophillus influenza tipe b (Hib)
Jenis vaksin

: Vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular


polysaccharide polyribosyl ribitol phosphatekonjugasi dengan protein tetanus

Jadwal

: Pada usia 2,4,dan 6 bulan. Dapat diberikan


dalam

bentuk

komninasi

(DTwP/Hib,

DTap/Hib, DTap/Hib,IPV)
Imunisasi ulang : diulang pada usia 18 bulan
Dosis

: 0,5mL, intramuskular.

Kemasan

: Vaksin kombinasi tersedia dalam kemasan


prefilled syringe 0,5mL. Program imunisasi
nasional menggunakan DTwP/HepB/Hib

2.2 Imunisasi BCG


2.2.1

Definisi
Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin), merupakan
imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC
yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang
ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG. TBC
yang berat contohnya adalah TBC pada selaput otak, TBC miller pada
seluruh lapangan paru, atau TBC tulang. Vakssin BCG merupakan
vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan. Vaksin
BCG diberikan melalui intradermal. (Aziz Alimul, 2009)
Imunisasi BCG diberikan pada bayi ketika bayi berumur
kurang dari 2 bulan. Sebaiknya sebelum dilakukan imunisasi BCG
pada bayi, perlu dilakukan tes martoux. Tes ini berfungsi untuk
mengetahui apakah bayi sudah membawa penyakit TBC sejak lahir
atau tidak, tetapi langkah ini jarang sekali dilakukan oleh para ibu
karena untuk melakukan satu kali tes martoux memerlukan biaya yang

22

cukup mahal. Sebenarnya ibu dapat mendeteksi bayi terjangkit


penyakit TB dengan beberapa cara. Indikasi yang pertama adalah berat
badan bayi sulit bertambah, bayi sulit makan, mudah sakit, batuk
berulang, mengalami demam, berkeringat dimalam hari, dan juga diare
persisten (Mardi Elfian & Effa Yuliastry, 2009).
Untuk mengetahui lebih jelas, lakukan rontgen pada bayi untuk
mengetahui apakah terdapat flek pada paru-paru bayi. Tes martoux
yang berfungsi untuk mengetahui peningkatan kadar sel darah putih,
dan tes darah untuk mengetahui ada tidaknya gangguan laju endapan
darah, ditambah lagi biasanya dokter melakukan wawancara tentang
ada tidaknya kontak antara pasien dengan penderita TB. Penyakit TB
(Tuberkolusis) sendiri merupakan penyakit yang berkaitan dengan
virus Tubercle bacii yang hidup didarah manusia. Oleh karena itu,
tubuh bayi dimasukkan jenis basil yang tidak berbahaya, yaitu
vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin). Lokasi penyuntikan
biasanya terletak dibagian lengan kanan atas. Pasca imunisasi BCG,
jarang sekali ditemukan efek samping, biasanya sudah dapat hilang
dalam waktu 2-3 hari. Para ibu kerap khawatir jika pasca-penyuntikan
bayi akan mengalami pembengkakan diketiak atau dileher bagian
bawah. Hal ini merupakan proses yang sangat wajar sehingga dirasa
belum terlalu perlu untuk membawa bayi kedokter. Imunisasi ini
dianggap berhasil apabila muncul bisul kecil dan bernanah pada bagian
bekas suntikan. Ibu tidak perlu khawatir karena bisul dapat sembuh
sendiri dan meninggalkan bekas parut. Jika tanda-tanda berupa bisul
tidak ditemukan pada bayi, ibu tidak perlu khawatir karena antibodi
tetap terbentuk, tetapi dalam kadar yang cukup rendah. Imunisasi BCG
yang sudah dilakukan tidak perlu diulang karena bayi akan membentuk
antibodinya sendiri secara alamiah. (Mardi Elfian & Effa Yuliastry,
2009)

23

2.2.2

Gambar 2.4 Vaksin BCG Kering


Deskripsi BCG
Komposisi

: Tiap ampul vaksin mengandung BCG hidup


1,5 mg. Pelarut mengandung Natrium klorida
0,9 % (4cc)

Indikasi

: Pencegahan terhadap penyakit tuberkulosa

Pisiologi

: Vaksin dilarutkan dengan menambahkan 4cc


pelarut pada satu vial vaksin kemudian diambil
0,05mL. Sebelum pemberian suntikan kulit
tidak boleh dibersihkan dengan antiseptic.
Vaksin yang telah dilarutkan harus diamati
secara visual. Jika tampak benda asing maka
vaksin harus dibuang.
Gunakan syringe dan jarum steril untuk setiap
penyuntikan. Vaksin BCG sensitif terhadap
sinar ultraviolet, maka harus dilindungi dari
sinar matahari.

24

Penyimpanan

: Jika setelah dilarutkan tidak segera digunakan


maka disimpan pada suhu antara +2C s/d
+8C, selama maksimal 3 jam.

Dosis

: 0.05 mL

Pemberian

: Intrakutan di daerah lengan kanan atas pada


insersio m. deltoideussesuai anjuran WHO,
tidak di tempat lain (misalnya bokong atau
paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara
intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus
yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot
setempat (dibandingkan di daerah gluteal
lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda
baku

untuk

keperluan

diagnosis

apabila

diperlukan.
Indikasi kontra : tidak ada larangan, kecuali pada anak yang
berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan
adanya penyakit kulit berat/menahun. Juga
kontra

indikasi

pada

defisiensi

sistem

kekebalan, individu yang terinfeksi HIV


asimtomatis maupun simtomatis tidak boleh
menerima vaksinasi BCG.
Jadwal

: Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3


bulan, optimal diberikan pada umur 2 bulan.
Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu
dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin
BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan,
BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi
lokal cepat di tempat suntikan (accelerated

25

local reaction), perlu tindakan lebih lanjut


(tanda diagnostik tuberculosis).
2.2.3

Penularan
Penularan penyakit TBC terjadi melalui udara karena terhirupnya
percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini paling
sering menyerang paru-paru dan dapat menyerang berbagai organ
tubuh lain, seperti kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati,
atau selaput otak. Imunisasi BCG cukup diberikan satu kali saja.
Daerah tempat suntikan akan menjadi bengkak dan luka bernanah,
yang akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu dan
timbul jaringan parut pada tempat bekas suntikan. Pemberian vaksin
BCG tidak memberi kekebalan 100% terhadap penyakit ini, tetapi bila
sampai anak terinfeksi kuman ini, penyakitnya akan lebih ringan
(Mardi Elfian & Effa Yuliastry, 2009).

2.2.4

Efek samping
Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus
pada daerah suntikan, limfadenitis regionl, dan reaksi panas. Imunisasi
BCG penting bagi anak balita dalam pencegahan TBC millier, otak,
dan tulang karena masih tingginya kejadian TBC pada anak.
Menurut penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah pasien
tuberkolusis paru Basil Tahan Asam (+) rawat jalan selama tahun
2000-2002, pada tahun 2001 ditemukan sebanyak 520 anak dibawah 1
tahun menderita tuberkolusis Basil Tahan Asam (+) dan tahun 2002
turun menjadi 117 anak. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan
karena pasien balita akan mengalami hambatan pertumbuhan yang
tentu akan mempengaruhi perkembangannya. Balita biasanya belum
jauh sehingga dapat diprediksi ada kasus tuberkolusis di sekitarnya
(Mardi Elfian & Effa Yuliastry, 2009).

Anda mungkin juga menyukai