Anda di halaman 1dari 2

Ini Cara Ditjen Pajak Jerat Facebook dkk

untuk Bayar Pajak di Indonesia


KUTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)
Kementerian Keuangan merespons upaya Menteri Komunikasi dan
Informatika Rudiantara untuk mengenakan pajak ke perusahaan
teknologi asing, seperti Facebook, Google, dan Twitter.
(Baca: Facebook, Google, dan Twitter Akan Dipaksa Bayar
Pajak di Indonesia)
"Untuk perusahaan teknologi, pengenaan pajak bisa dengan PPh
(pajak penghasilan). Karena perusahaan teknologi kuat di riset
dan pengembangan, tapi belum tentu menghasilkan," kata
Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, di Kuta, Bali,
Kamis (25/2/2016).
Menurut dia, perusahaan teknologi seperti itu bukanlah
perusahaan padat karya. Tetapi, lebih berupa perusahaan padat
riset dan teknologi.
Dia menyebut, dari puluhan startup yang dibiayai pemodal, hanya
beberapa yang hidup. Oleh karena itu, investor yang
mendanainya bisa saja rugi. Selain itu, hasilnya juga baru bisa
dikenakan dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk itu, pengenaan Pajak Penghasilan adalah yang paling tepat
untuk perusahaan teknologi, terutama perusahaan teknologi
asing yang berinvestasi ke Indonesia.
"Justru mereka harusnya dapat fasilitas perpajakan karena
mereka bisa rugi. Jadi mereka dikenai PPh dulu. Jika sudah
menghasilkan akan dikenai pajak selanjutnya," lanjut Irawan.
Terkendala

Darussalam, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax


Center, mengatakan akan sulit untuk mengenakan PPh dan PPN
(pajak pertambahan nilai) ke perusahaan teknologi asing.
Pertama, harus dilihat asal negaranya. Dari situ akan bisa dilihat
apakah punya tax treaty atau tidak.
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan di antara da negara untuk
menghindari pembayaran pajak berganda.
"Jika tidak ada tax treaty ya tidak usah berdebat untuk
mengenakan pajak atau tidak," kata dia.
Kedua, harus dilihat apakah perusahaan asing tersebut punya
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tidak. BUT ini akan terkait dengan
PPh. Jika tidak ada BUT, maka tidak bisa dikenakan PPh.
"Pandangan saya, ke depan konsep BUT ini yang harus diganti.
Seharusnya subyek pajak ke depan dikaitkan dengan penjualan
jasa di negara tersebut," lanjut Darussalam.

Anda mungkin juga menyukai