Anda di halaman 1dari 7

721

Pengaruh pemberian pakan dengan kadar protein berbeda ... (Deisi Heptarina)

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN BERBEDA TERHADAP


PERTUMBUHAN YUWANA UDANG PUTIH Litopenaeus vannamei
Deisi Heptarina*), M. Agus Suprayudi**), Ing Mokoginta**), dan Dedy Yaniharto***)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
E-mail: brpbat@yahoo.com
**)
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
***)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
*)

ABSTRAK
Budidaya udang putih (Litopenaeus vannamei) intensif di Indonesia meningkat sejak diintroduksi tahun 2000an, namun kurang diimbangi dengan penyediaan pakan yang sesuai. Pakan buatan untuk udang putih
umumnya menggunakan pakan buatan berprotein tinggi untuk udang windu (Penaeus monodon). Pakan
berprotein terlalu tinggi mengakibatkan inefisiensi dan pencemaran media. Penelitian ini bertujuan
menentukan kadar protein optimal bagi pertumbuhan yuwana udang putih. Penelitian dilakukan di Pusat
Studi Ilmu Kelautan IPB (PSIKIPB), Jakarta Utara. Yuwana udang putih dipelihara selama 70 hari dalam
sistem resirkulasi dengan 15 akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 50 cm dan berisi air laut sebanyak 80%
dari total volum. Bobot ratarata 0,5 g/ekor dengan kepadatan 10 ekor per akuarium. Selama pemeliharaan,
fotoperiod dibuat 12 jam terang - gelap, salinitas 2425 ppt, suhu 2830oC dan pH 8,08,5. Pakan diberikan
at satiation, 5 kali sehari pada pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00. Perlakuan terdiri dari pakan A
(protein 29%; C/P ratio 16,8 kkal GE/g), B (protein 31%; C/P ratio 15,5 kkal GE/g), C (protein 33%; C/P ratio 14,2
kkal GE/g), D (protein 35%; C/P ratio 13,6 kkal GE/g) dan E atau komersial (protein 40,69%; C/P ratio 11,1 kkal
GE/g). Kemudian dilanjutkan uji kecernaan, ekskresi amonia, dan stabilitas pakan. Percobaan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Sintasan (SR) dan ekskresi amonia tidak berbeda nyata (P>0,05).
Sintasan antara 73,3%86,7%, sedangkan ekskresi amonia antara 1,0292,464 mg/kg tubuh/jam. Namun,
jumlah konsumsi pakan (JKP), pertumbuhan relatif (PR), konversi pakan (FCR), retensi lemak (RL), retensi
protein (RP), kecernaan total, kecernaan protein dan stabilitas pakan (WS) menunjukkan respons berbeda
(P<0,05). Kisaran nilai masing-masing parameter tersebut adalah; JKP 59,278,1 g, PR 532,71130,5%, FCR
1,42,4, RL dan RP masing-masing 26,4%94,8% dan 11,5%36,4%, kecernaan total dan kecernaan protein
masing-masing 26,5%62,1% dan 65,9%79,2% serta WS berkisar antara 49,9%68,2%. Pemberian pakan
berprotein 35% atau lebih dengan C/P ratio 13,6 kkal GE/g protein menghasil/kan pertumbuhan yuwana
udang putih dan konversi pakan terbaik.

KATA KUNCI:

pakan, kadar protein, udang putih

PENDAHULUAN
Udang putih (Litopenaeus vannamei) bernilai ekonomis tinggi di negaranegara Asia dan menjadi
komoditas ekspor ke negara-negara maju yaitu Jepang, Amerika, dan Eropa. Produksi budidaya dunia
mencapai 45,71 juta metrik ton (mt) dengan nilai $56,47 miliar dan 2,5% di antaranya merupakan
budidaya udang putih atau sebesar 1,15 juta mt pada tahun 2000 (Smith & Briggs, 2003). Udang
putih juga merupakan komoditas andalan ekspor dari sektor perikanan di Indonesia (Herunadi, 2004).
Krustasea ini resmi masuk ke Indonesia sebagai varietas unggul melalui Surat Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 41/2001 tanggal 12 Juli 2001 (Haliman & Adijaya, 2005). Sejak itu,
pengembangan budidaya udang putih secara komersial selalu dilakukan sehingga sistem budidaya
yang digunakan pun semakin intensif. Ketika introduksi sedang gencar dilakukan, total produksi di
Indonesia sudah mencapai 30.000 mt/tahun pada tahun 2003 (Smith & Briggs, 2003).
Sistem budidaya intensif menyebabkan pakan buatan berperan vital dan menjadi variabel terbesar
dalam biaya produksi (Wyban et al., 1988 dalam Velasco et al., 2000), yaitu 50%60% dari total biaya
(Pascual, 1989; Cruz-Suares et al., 1994). Karena itu, pengembangan formulasi pakan buatan selalu
mengacu pada aspek ekonomis, yaitu biaya produksi yang murah dan efisiensi pakan yang tinggi
(Pascual, 1989). Salah satu cara agar biaya produksi menjadi lebih murah yaitu efisiensi penggunaan
protein dengan menambahkan energi konvensional seperti lemak dan karbohidrat (Peres et al., 1999).
Protein merupakan komponen termahal dalam pakan (Houng & Jia, 1994), sehingga sedapat mungkin

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

722

sebagian besar protein digunakan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan serta sedikit yang
dikatabolisme menjadi energi (Watanabe, 1988).
Berbeda dari spesies udang karnivora seperti udang windu (Penaeus monodon), L. vannamei
merupakan spesies omnivora yang memiliki kebutuhan protein lebih rendah (Guillaume, 1997), yaitu
maksimal 32% untuk yuwana dan sub-adult (Kureshy & David, 2002 dalam Cuzon et al ., 2004).
Pertumbuhan akan menurun jika protein pakan tidak mencukupi atau bahkan berlebih. Kelebihan
protein akan dikatabolisme menjadi energi sehingga protein yang digunakan untuk membangun
jaringan tubuh hanya sedikit (NRC, 1983). Selain mengakibatkan pemborosan biaya, kelebihan protein menyebabkan banyaknya pembuangan nitrogen ke lingkungan budidaya, sehingga akan
menurunkan kualitas air dan membahayakan biota budidaya di dalamnya. Karena itulah, penelitian
ini bertujuan untuk menentukan kadar protein terbaik dengan imbangan energi tertentu bagi
pertumbuhan yuwana udang putih Litopenaeus vannamei. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat
bagi peningkatan efisiensi pakan dan pengembangan pakan ramah lingkungan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada JuliOktober 2005 di Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
(PSIKIPB), Ancol, Jakarta Utara dan analisis proksimat pakan serta udang uji dilaksanakan di
Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB. Penelitian ini menggunakan yuwana udang putih berukuran ratarata 0,5 g per ekor yang berasal
dari desa Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Ciamis, Jawa Barat, yang sebelumnya merupakan hasil
pembenihan PT Central Pertiwi Bahari, Lampung. Yuwana udang diletakkan ke dalam 15 buah akuarium
berukuran 60 cm x 40 cm x 50 cm dengan kepadatan 10 ekor/akuarium. Rangkaian akuarium merupakan
sistem resirkulasi yang dilengkapi dengan bak filter pasir dan tandon masingmasing berdiameter
1,5 m dan tinggi 1 m, sistem aerasi, alat pemanas air, termometer, strimin plastik dan plastik penutup
berwarna hitam untuk menjaga fotoperiod 12 jam gelap dan 12 jam terang. Suhu dan salinitas air
berkisar antara 28C32oC dan 2425 ppt.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan.
Kelima perlakuan pakan tersebut antara lain: perlakuan A, pakan berprotein 29% dengan imbangan
energi per protein (C/P ratio) 16,8 kkal Gross Energy (GE)/g protein; perlakuan B, pakan berprotein 31%
dengan C/P ratio 15,5 kkal GE/g protein; perlakuan C, pakan berprotein 33% dengan C/P ratio 14,2
kkal GE/g protein; perlakuan D, pakan berprotein 35% dengan C/P ratio 13,6 kkal GE/g protein dan
pakan komersial (pakan E) berprotein 40,69% dengan C/P ratio 11,1 GE/g protein sebagai kontrol.
Semua pakan dicetak menjadi bentuk pelet berdiameter 1 mm yang disesuaikan dengan kebiasaan
makan (feeding habit) udang. Bahan pakan yang akan digunakan, pakan dan udang uji terlebih dahulu
dianalisis proksimat untuk menentukan kadar nutrisinya berdasarkan metode Takeuchi (1988).
Komposisi pakan untuk pemeliharaan yuwana udang putih disajikan pada Tabel 1.
Parameter yang dibandingkan antara lain jumlah konsumsi pakan (JKP), pertumbuhan relatif (PR),
sintasan udang (SR), konversi pakan (FCR) yang ketiganya menurut metode Zonneveld et al. (1991),
retensi protein (RP), retensi lemak (RL), kecernaan protein dan kecernaan total (Takeuchi, 1988),
stabilitas pakan (WS) dengan metode Balazs et al. (1973) dan ekskresi amonia (Ming, 1985). Data
yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan
95%. Perbedaan antar perlakuan diamati dengan uji wilayah berganda Duncan (Steel & Torrie, 1993)
menggunakan perangkat komputer dengan peranti lunak SPSS versi 12.0.
HASIL DAN BAHASAN
Protein merupakan zat penyusun jaringan dan organ tubuh terpenting bagi makhluk hidup dan
juga merupakan penyusun zat berbahan dasar nitrogen seperti asam nukleat, enzim, hormon, dan
vitamin (Watanabe, 1988). Kadar protein mencapai 60%75% dari bobot tubuh ikan yang hanya bisa
dipasok melalui pakan (Akiyama et al., 1992 dalam Velasco et al., 2000). Semakin banyak protein yang
dapat diretensi dalam tubuh dan semakin sedikit protein yang dikatabolisme menjadi energi, maka
nilai pertumbuhan akan semakin besar.

723

Pengaruh pemberian pakan dengan kadar protein berbeda ... (Deisi Heptarina)
Tabel 1. Komposisi pakan untuk yuwana udang putih

Bahan
Hewani
Nabati
Minyak
Selulosa
Bahan lain
Total

Perlakuan (%Protein Pakan;C/P Ratio )


A (29%;16,8)

B (31%;15,5)

C (33%;14,2)

D (35%;13,6)

28,46
38,74
13,41
6,99
12,40

30,41
40,58
12,41
4,20
12,40

32,38
43,14
11,01
1,07
12,40

38,86
35,40
12,01
1,33
12,40

100.00

100.00

100.00

100.00

Keterangan:
Minyak terdiri atas campuran minyak cumi, minyak ikan, lesitin kedelai, minyak jagung,
kolesterol (0,20%) dan 0,01% BHT
Bahan lain terdiri atas vitamin C (0,05%), vitamin mix (2,00%), mineral mix (2,00%), 3,00%
CMC (carboxymethylcellulose) dan feed additive (5,15%)

Perlakuan pakan A, B, C, D, dan E memperlihatkan pertumbuhan yang meningkat seiring dengan


bertambahnya kadar protein dalam pakan dengan imbangan C/P ratio yang semakin rendah. Hal ini
membuktikan bahwa ketersediaan asam amino pakan untuk disimpan menjadi asam amino tubuh
atau protein tubuh semakin besar dengan penambahan protein dalam pakan. Keterangan ini didukung
pula oleh data retensi protein yang semakin tinggi seiring dengan bertambahnya kadar protein
pakan, sementara protein yang dikatabolisme dan dikeluarkan sebagai amonia adalah sama (Tabel 2
dan 3). Hal ini juga membuktikan bahwa pemanfaatan jumlah protein pakan oleh udang putih antar
perlakuan tidak sama karena adanya perbedaan sumbangan energi non protein. Pada percobaan ini,
besarnya sumbangan energi non protein pada perlakuan A dan B tidak menyebabkan peningkatan
retensi protein. Peningkatan retensi protein justru terlihat pada perlakuan C dan D yang memiliki
imbangan protein dan energi yang lebih rendah daripada perlakuan A dan B. Hal ini menunjukkan
bahwa penambahan protein dalam pakan lebih mempengaruhi besarnya kadar protein yang disimpan
dalam tubuh.
Tabel 2. Jumlah konsumsi pakan (JKP), pertumbuhan relatif (PR), sintasan (SR), konversi pakan
(FCR), retensi lemak (RL), retensi protein (RP), kecernaan total, kecernaan protein dan
stabilitas pakan (WS)
Parameter

Perlakuan (% Protein pakan ; C/P rasio)


A (29%;16,8)

B (31%;15,5)

C (33%;14,2)

D (35%;13,6)

E (40,69%;11,1)

66,8 2,15a
59,2 8,46a
77,2 2,04c
75,6 1,50bc
78,1 6,77d
JKP (g)
PR (%)
591,2 87,53a 532,7 135,89a 752,2 29,78b 817,5 12,48b 1130,5 57,12c
SR (%)
83,3 15,28a 86, 7 5,77a
73,3 5,77a
83,3 5,77a
76,7 15,28a
c
c
bc
b
FCR
2,4 0,33
2,3 0,21
2,0 0,08
1,9 0,08
1,4 0,08a
RL (%)
26,4 0,17a
42,0 3,32b
55,9 2,06c
70,9 1,05d
94,8 1,54e
RP (%)
11,5 1,35a
19,7 2,12b
30,0 1,77c
34,2 1,36d
36,4 0,73d
Kec. total (%)
26,5 1,53a
41,5 0,48a
43,8 0,89b
58,7 0,49c
62,1 0,81d
a
b
b
c
Kec. protein (%) 65,9 1,20
66,8 0,42
69,7 0,94
77,1 0,36
79,2 0,81d
WS (%)
50,8 0,88a
50,4 0,42a
51,1 1,53a
49,9 0,81a
68,2 1,40b
Keterangan:
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05)
Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata standar deviasi

724

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010


Tabel 3. Konsumsi protein dan ekskresi amonia
Parameter
Konsumsi protein (g)1
Ekskresi amonia
(mg/kg tubuh/jam)

Perlakuan (% protein pakan ; C/P rasio)


A (29%;16,8)

B (31%;15,5)

C (33%;14,2)

D (35%;13,6)

E (40,69%;11,1)

19,3 0,62

18,9 3,02

25,9 0,69

26,8 0,53

31,8 2,75

2,5 0,85a

1,9 0,33a

1,6 1,16a

2,3 1,03a

1,0 0,47a

Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata standar deviasi

Ekskresi amonia menunjukkan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein
atau sumber energi (Ming, 1985). Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai ekskresi amonia relatif sama
pada setiap perlakuan. Sedangkan konsumsi protein semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya
penambahan protein pakan pada perlakuan A, B, C, D, dan E (Tabel 2 dan 4), akan tetapi, peningkatan
konsumsi protein tidak mempengaruhi ekskresi amonia. Hal ini disebabkan nilai kecernaan total dan
kecernaan protein (Tabel 2) semakin membaik pada perlakuan A, B, C, D dan terutama pada perlakuan
E. Hal ini didukung dengan nilai ekskresi amonia terendah pada perlakuan pakan E yaitu sebesar 1,0
mg/kg tubuh/jam. Artinya, semakin tinggi kecernaan proteinnya, maka protein yang dapat
dimanfaatkan oleh udang untuk pertumbuhan semakin besar, yang ditunjukkan oleh semakin
rendahnya jumlah amonia yang terbuang dari tubuh udang.
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan nilai kecernaan total dan kecernaan protein yang semakin
meningkat pada perlakuan A, B, C, D, dan E sesuai dengan meningkatnya kadar protein pakan. Hal
ini menyebabkan pertumbuhan relatif udang uji yang diberi pakan dengan kadar protein yang lebih
tinggi (pakan C, D, dan E) lebih baik dibandingkan dengan udang uji yang diberi pakan berkadar
protein lebih rendah (pakan A dan B).
Penentuan kandungan energi dalam makanan sangat penting dilakukan karena hal ini akan
mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi ikan (Watanabe, 1988). Berdasarkan data pada Tabel
2, Jumlah Konsumsi Pakan (JKP) meningkat dengan bertambahnya kadar protein pakan. NRC (1982)
menyebutkan bahwa pakan yang memiliki kelebihan energi dapat membatasi jumlah pakan yang
dikonsumsi, termasuk protein dan sejumlah nutrien yang dibutuhkan. Jumlah konsumsi pakan pada
perlakuan A dan B lebih sedikit dibandingkan perlakuan C dan D. Hal ini mungkin saja disebabkan
tingginya kadar lemak dalam pakan A dan B (Tabel 4), sehingga pada batas jumlah pakan tertentu
udang menghentikan aktivitas makannya. Pernyataan ini didukung oleh Lovell (1988) dan Alanara
(1994) yang mengemukakan bahwa pakan yang berenergi tinggi karena keberadaan lemak yang
tinggi menyebabkan konsumsi pakan menjadi rendah. Rendahnya konsumsi pakan udang
menyebabkan semakin rendah pula kemungkinan nutrien-nutrien pakan seperti protein dapat terserap
Tabel 4. Kandungan nutrisi pakan percobaan

% Protein pakan;
C/P ratio)
A (29%;16,8)
B (31%;15,5)
C (33%;14,2)
D (35%;13,6)
E (40,69%;11,1)
1)
2)

Air
3,91
4,44
3,50
3,60
5,43

Nutrisi pakan (% bobot kering)


Abu
8,82
9,24
9,71
10,08
10,54

Protein Lemak
28,96
30,92
33,58
35,43
40,69

17,36
16,03
14,89
15,20
7,51

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen


GE : Gross Energy
1 gram protein = 5,6 kkal GE
1 gram lemak = 9,4 kkal GE
1 gram karbohidrat/BETN = 4,1 kkal GE (Watanabe)

1)

Serat kasar

BETN

5,56
6,08
5,93
5,31
3,43

39,30
37,73
35,89
33,98
37,83

Energi2)
486,49
478,53
475,16
480,61
453,56

725

Pengaruh pemberian pakan dengan kadar protein berbeda ... (Deisi Heptarina)

oleh udang, sehingga protein yang disimpan dalam tubuh juga rendah. Tentu saja hal ini menyebabkan
rendahnya laju pertumbuhan udang.
Faktor pertumbuhan juga sangat memungkinkan untuk mempengaruhi jumlah konsumsi pakan.
Pada Tabel 2, jumlah konsumsi pakan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai pertumbuhan
udang uji. Udang yang lebih besar tentu saja membutuhkan asupan pakan yang lebih banyak
dibandingkan udang yang lebih kecil. Dengan kata lain, jumlah konsumsi pakan rendah sejalan
dengan nilai pertumbuhan yang rendah, karena udang yang lebih kecil akan mengkonsumsi pakan
yang lebih sedikit.
Seperti halnya retensi protein, retensi lemak meningkat sesuai dengan penambahan kadar protein dalam pakan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah lemak yang dikandung dalam tubuh udang pada
akhir percobaan (Tabel 5). Retensi lemak yang rendah ditunjukkan oleh perlakuan dengan kadar
protein pakan yang rendah, kemudian retensi lemak semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya
kadar protein pakan. Meskipun kadar lemak tubuh akhir mengalami peningkatan (Tabel 5),
sesungguhnya penambahan kadar lemak dalam pakan (Tabel 4) berbanding terbalik dengan kadar
lemak tubuh. Semakin besar kadar lemak yang dimasukkan dalam pakan, menyebabkan kadar lemak
tubuh akhir semakin kecil.
Tabel 5. Komposisi proksimat tubuh udang putih, Litopenaeus vannamei pada awal dan akhir
percobaan (% bobot kering)1)
Perlakuan (% Protein pakan;C/P rasio)

Parameter

Awal
percobaan

A (29%;16,8)

B (31%;15,5)

C (33%;14,2)

D (35%;13,6)

E (40,69%;11,1)

Protein
Lemak
Karbohidrat
Abu

57,98
4,29
29,10
8,62

60,2
7,35
20,19
12,26

61,72
9,01
17,72
11,54

65,75
11,31
11,12
11,82

67,14
13,03
7,73
12,10

69,53
10,45
7,26
12,76

Kadar air pada awal percobaan 75,30% dan pada akhir percobaan: A (74,78%), B (73,98%), C (75,18%), D (75,26%), dan E ( 74,02%)

Meningkatnya kadar lemak pakan pada percobaan ini, mengakibatkan rendahnya retensi lemak
tubuh karena sebagian besar lemak pakan yang dikonsumsi digunakan sebagai sumber energi dan
hanya sedikit yang disimpan dalam tubuh. Lemak banyak digunakan sebagai sumber energi non
protein, terutama pada perlakuan A (kadar lemak pakan 17,36%) dan B (kadar lemak pakan 16,03%)
yang kadar lemak pakannya lebih besar daripada kadar lemak pakan lainnya. Kadar lemak pakan E
(lemak 7,51%) merupakan yang terendah dari semua perlakuan, namun memiliki retensi lemak tertinggi
(94,841,54%). Besar kemungkinan bahwa hal ini disebabkan oleh berlebihnya energi total pada
pakan komersial (pakan E) sehingga kelebihannya dikonversi menjadi lemak di dalam tubuh. Kadar
lemak pakan yang dianjurkan oleh Akiyama et al. (1992) untuk udang berukuran 00,5 g adalah
sebesar 7,5%, sedangkan udang berukuran 0,53,0 diberikan pakan dengan kandungan lemak 6,7%.
Alanara (1994) mengemukakan bahwa pakan yang berenergi tinggi karena keberadaan lemak yang
tinggi tidak hanya mengurangi konsumsi pakan tetapi juga menyebabkan pertumbuhan rendah.
Nilai pertumbuhan relatif erat kaitannya dengan konversi pakan. Nilai konversi pakan (FCR)
menunjukkan seberapa besar udang dapat memanfaatkan pakan tersebut yaitu berapa banyak jumlah
pakan yang dibutuhkan untuk membentuk 1 kg daging (Zonneveld et al., 1991). Nilai FCR yang
semakin kecil menunjukkan mutu pakan yang semakin baik yang mana tingkat kecernaan pakan
tersebut semakin tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 2 dan beberapa penjelasan di atas, pertumbuhan
terbaik dalam percobaan ini diperlihatkan oleh perlakuan pakan D yang dibuktikan pula dengan
nilai konversi pakan terbaik. Sebaliknya, nilai pertumbuhan yang rendah memiliki nilai konversi
pakan yang besar, terutama pada perlakuan pakan A. Perbedaan nilai ini memperlihatkan bahwa
kandungan protein pakan mampu meningkatkan konversi pakan dan pertumbuhan.

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010

726

Namun, apabila dibandingkan dengan pakan E, pertumbuhan yuwana udang putih pada perlakuan
pakan D masih tergolong rendah. Perbedaan nilai pertumbuhan pada kedua perlakuan ini kemungkinan
disebabkan belum optimalnya protein pakan yang diberikan untuk yuwana udang putih. Menurut
Akiyama et al. (1992) udang berukuran post larva lebih membutuhkan protein yang tinggi dalam
pakannya daripada udang yang berukuran lebih besar. Kandungan protein yang dianjurkan untuk
udang penaeidae berukuran 00,5 g sebesar 45%, sedangkan yang berukuran 0,53,0 g membutuhkan
protein pakan sebesar 40%.
Selain itu, berdasarkan data pada Tabel 2, udang putih yang diberi pakan E memiliki pertumbuhan
relatif, konversi pakan, retensi protein, retensi lemak, kecernaan total dan kecernaan protein yang
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pakan D. Perbedaan ini diduga karena pakan komersial
buatan pabrik memiliki stabilitas pakan yang lebih baik (>62%) sedangkan pakan lainnya memiliki
stabilitas pakan yang hampir sama mutunya (<52%). Akibatnya, ketika pakan diberikan, pakan mudah
hancur. Akibatnya, nutrisi yang terkandung di dalam pakan lebih banyak mengalami proses pencucian
oleh air (leaching) sehingga mengurangi kesempatan udang untuk mendapatkan nutrisi yang optimal
dari pakan tersebut. Stabilitas pakan dipengaruhi oleh ukuran partikel, komposisi bahan, kadar bahan
pengikat dan teknik pengolahan pakan (Poernomo, 1985 dalam Murdinah, 1989). Pakan buatan
sebaiknya memiliki stabilitas lebih dari 90% (Robinitte, 1977 dalam Murdinah,1989) atau memiliki
daya tahan selama 23 jam (Amri, 2003). Semakin rendah stabilitas pakan, maka pakan akan semakin
mudah larut sehingga kesempatan udang untuk mendapatkan nutrien semakin berkurang. Sedangkan
krustasea memiliki kebiasaan makan yang membuat sebagian partikel pakan kehilangan nutrisinya
akibat leaching (Halver, 1989).
Nilai sintasan udang yang disajikan pada Tabel 2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
meningkatnya kadar protein dalam pakan. Pengaruh perlakuan yang sama dan nilai sintasan yang
relatif tinggi ini dapat diartikan bahwa nutrisi dalam pakan yang diberikan sudah cukup untuk
mempertahankan kebutuhan pokok udang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan dengan kadar protein 35% dengan C/P ratio 13,6 kkal GE/g protein menghasilkan pertumbuhan yuwana udang putih
dan konversi pakan yang terbaik setelah pakan komersial dengan kadar protein 40,69% dan C/P ratio
11,1 GE/g protein. Perlakuan D dapat diujikan kembali dengan beberapa pengembangan formulasi
dan perbaikan water stability agar mutunya setara dengan pakan komersial udang windu.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, D.M., Dominy, W.G., & Lawrence, A.L. 1992. Penaeid Shrimp Nutrition. In: Marine Shrimp
Culture : Principles and Practices (ads A.W. Fast and L.J. Lester). p. 535-566. Elsevier Science, New
York.
Alanara. 1994. The effect of temperature, dietary energy content and reward level on the demand
feeding activity of rainbow trout (Onchorhyncus mykiss). Aquaculture, 126: 349359.
Amri, K. 2003. Budidaya udang windu secara intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta, 98 hlm.
Balazs, G.H., Ross, E., & Brooks, C.C. 1973. Preliminary studies on the preparation and feeding of
crustacean diets. Aquaculture, 2: 369377.
Cruz-Suarez, L.E., Ricque-Marie, D., Pinal-Marcilla, J.D., & Wesche-Ebelling. 1994. Effect of different
carbohydrate source on the growth of Pennaeus vannamei: economical impact, Aquaculture, 123:
349360.
Cuzon, G., Lawrence, A., Gaxiola, G., Rosas, C., & Guillaume, J. 2004 Nutrition of Litopenaeus vannamei
Reared in Tanks or in Ponds. Aquaculture, 235: 513551.
Guillaume, J. 1997. Protein and amino acids. In: DAbramo L.R., Conklin D.E. and Akiyama DM (Ed.)
Crustacean Nutrition vol. 6 (Advances in World Aquaculture). The World Aquaculture Society. USA.
Haliman, R.W. & Adijaya, D.S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta, 75 hlm.
Halver, J.E. 1988. Fish Nutrition. Academic Press, Inc. London, 789 pp.
Herunadi, B., dkk. 2004. Iptek Kelautan dan Perikanan Masa Kini. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

727

Pengaruh pemberian pakan dengan kadar protein berbeda ... (Deisi Heptarina)

Departemen Kelautan dan Perikanan, 188 hlm.


HoungYung Chen & JiaChang Tsai. 1994. Optimal dietary protein levels for the growth of juvenile
grouper, Epinephelus malabaricus, fed semipurified diets. Aquaculture, 119: 265271.
Lovell, T. 1988. Nutrition and feeding of fish. Van Nostrand Reinhold. New York, 260 pp.
Ming, F.W. 1985. Ammonia excretion rate as an index for comparing efficiency of dietary protein
utilization among rainbow trout (Salmo gairdneri) different strains. Aquaculture, 46: 2735.
Murdinah. 1989. Studi stabilitas dalam air dan daya pikat pakan udang bentuk pelet. (Tesis) Bogor :
Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
National Research Council. 1982. Nutrient requirement of warmwater Aquatic Animal. National Academic Press. Whasington D.C., 273 pp.
__________. 1983. Nutrient requirement of warmwater fishes and shellfishes. National Academic of
Science. Whasington D.C., 102 pp.
Pascual, F.P. 1989. Status of shrimp nutrition and feed development in Southeast Asia. In Nutrition
Research in Asia by De Silva (Ed.). Proceeding of The Third Asian Fish Nutrition Network Meeting.
Asian Fisheries Society. Philippines, p. 8089.
Peres, H., Goncalves, P., & Teles, A.O. 1999. Glucose Tolerance in Gilthead Seabream (Sparus aurata)
and European Seabass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture, 179: 415423.
Poernomo, A. 1985. Persyaratan pakan untuk budidaya pantai dalam Prosiding Rapat Teknis Tepung
Ikan . Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Smith S.F. & Briggs, M. 2003. The Introduction of Penaus vannamei and P. stylrostris into AsiaPasific
Region. International Workshop: International mechanisms for the control and responsible Use of
Alien Species in Aquatic Ecosysems. 2629 August 2003, Jinghong, Xishuangbanna, China.
Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi
kedua. PT. Gramedia. Jakarta, 772 hlm.
Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and marine culture: JICA Text Book General Course. Japan: University of Fisheries.
Takeuchi, W. 1988. Fish nutrition and mariculture. Departement of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA, 233 pp.
Velasco, M., Lawrence, A.L., Castille, F.L., & Obaldo, L.G. 2000. Dietary protein requirement for
Litopenaeus vannamei. In: CruzSuarez L.E., RicqueMarie, D., TapiaSalazar, M., OlveraNovoa,
M.A., CiveraCerecedo, R. (Ed.). Avances en Nutricion Acuicola V. Memorias del V Simposium
Internacionale de Nutricion Acuicola. 1922 Noviembre, 2000. Merida, Yucatan, Mexico.
Zonneveld, N.Z.A., Huisman, E.A., & J.H. Bonn. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta, 318 hlm.

Anda mungkin juga menyukai