Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA DAN

PERMASALAHANNYA
Untuk memenuhi tugas Pengantar Ilmu Ekonomi

Nama

: Dewi Setiani

NIM

: K7412052

Prodi / Kelas

: Pendidikan ekonomi / B

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012 / 2013
A. Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia

Perkembangan perekonomian indonesia dibagi menjadi 4 masa yaitu ; masa


sebelum kemerdekaan, orde lama (suhat), orde baru (soeharto), dan masa reformasi
(mulai dari biji habiebie).
SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam
beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu
Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang
mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang
kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem
yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia,
rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode,
berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia
Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
Pendudukan Belanda Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar
menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk
mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie),
sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan
antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis
lain seperti EIC (Inggris).

Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang
antara lain meliputi :
1. Hak mencetak uang

2. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai


3. Hak menyatakan perang dan damai
4. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai penguasa Hindia
Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara
telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor
sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan
hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti
verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan
contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping
itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan
diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam
penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya
melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku
yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas
negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda.
Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman
kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300
metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.

Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang


ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk
ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat
ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak
tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca
pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi
kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang
antara lain disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya
besar, terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain
karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh
Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di
Hindia Belanda.
Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir tiga abad
diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini
sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan
berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi
akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari
India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar

untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk
dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang
menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak
produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat
kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah
surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas
pasar bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam
menyerap hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit
dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma
seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang,
apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak
mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas
inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi
yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak

saat itu, diperintahkan

pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,


tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk
pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem

konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian
akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan
penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam
tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk
kemudian

dibayar

dengan

harga

yang

sudah

ditentukan

oleh

pemerintah.

Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain


dengan memanfaatkan tatanan politik Mataramyaitu kewajiban rakyat untuk
melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalandan memotivasi para
pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai
dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat
dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi
uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah
Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor
yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup
masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah
penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel,

pemerintah

Belanda

membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul
dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya
menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah
yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan
rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan
kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.

Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)


Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan
nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda
untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang
baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak
boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara
lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta
yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat
pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada
diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh
laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat
tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta,
walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai
penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang
pada umumnya tidak diperlakukan layak.

Pendudukan Jepang (1942-1945)


Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber
daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai
akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.

Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,


karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.

2. ORDE LAMA
Dibagi

menjadi

(pascakemerdekaan,demokrasi

liberal,demokrasi

terpimpin)
1) Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :

Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu
mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu.
Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas
baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan

teori

moneter,

banyaknya

jumlah

uang

yang

beredar

mempengaruhi kenaikan tingkat harga.


Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara


lain :
o Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.
Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
o Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan
kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di
Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
o Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang

mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang,


serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
o Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
o Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan
tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
o Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).
2) Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaanperusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan

ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada
pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha
swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni IndonesiaBelanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaanperusahaan tersebut.

3) Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)


Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang

diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi


Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barangbaranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang
rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga
salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik,
eonomi, maupun bidang-bidang lain.

3. ORDE BARU

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi
prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi,
penyelamatan

keuangan

negara

dan

pengamanan

kebutuhan

pokok

rakyat.

Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi
kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal
ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem
etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran
dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari
salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian
secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar
tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan
kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan
pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynes-ian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang,
tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan,
pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita
dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan
dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan
angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka
partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang
meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk

menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan
menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan
hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar
golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam,
serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi,

dan

sosial

yang

adil.

Sehingga

meskipun

berhasil

meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.


Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
4. ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakankebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi,
antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi,
kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah

presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata


masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a. Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3
triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
b. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke

subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung


peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial
kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT
tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai
masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala
daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan
kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu
ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang
salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak
investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan
bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa
utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia
tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri.
Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah
keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin
menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari

2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih
sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja
sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi
pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi
dalam negri masih kurang kondusif.

B. Masalah-masalah Perekonomian Indonesia


Beberapa permasalahan ekonomi Indonesia yang masih muncul saat ini selain
pengangguran yang dijadikan fokus program ekonomi 2008-2009 yang tertuang
dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 yang memuat berbagai kebijakan ekonomi yang
menjadi target pemerintah yang dapat dikelompokkan ke dalam 8 bidang yaitu: (i)
investasi, (ii) ekonomi makro dan keuangan, (iii) ketahanan energi, (iv) sumber daya
alam, lingkungan dan pertanian, (v) pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM),

(vi)

pelaksanaan

komitmen

masyarakat

ekonomi

ASEAN,

(vii)

infrastruktur, dan (viii) ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.


Analisis singkat atas kondisi ke-delapan bidang yang menjadi paket kebijakan
ekonomi tahun 2008-2009 adalah sebagaimana berikut ini:
1. Iklim investasi.

Realisasi investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha
Tetap PMDN pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 159 proyek
dengan nilai realisasi investasi sebesar Rp. 34.878,7 miliar (34,88 triliun Rupiah).
Sedangkan realisasi Investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin
Usaha Tetap PMA (FDI) pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak
983 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar US$. 10.349,6 juta (US$ 10,34
milyar).
Dibandingkan dengan FDI global yang selama 2007 mencapai rekor sebesar
US$ 1.500 milyar dan FDI yang masuk ke Amerika Serikat sebesar US$ 193 miliar,
nilai FDI yang masuk ke Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,66% terhadap FDI
dunia dan 5,18% terhadap FDI ke Amerika Serikat. Walau demikian, masuknya FDI
ke Indonesia pada tahun 2007 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa puncak
pra krisis yaitu tahun 1996-1997 yang hanya mencapai US$ 2,98 miliar (1996) dan
US$ 4,67 miliar (1997).
Menurut hemat penulis realisasi FDI ke Indonesia akan dapat lebih
meningkat kalau dua faktor kunci untuk masuknya FDI dibenahi yaitu kondisi
infrastruktur, dan masalah birokrasi yang bertele-tele.
2. Kebijakan ekonomi makro dan keuangan
Dari sisi fiskal, pemerintah menerapkan APBN yang cukup baik yaitu dengan
sedikit ekspansif walau masih sangat berhati-hati. Hal ini terlihat dari defisit
RAPBN tahun 2009 sebesar Rp 99,6 triliun atau 1,9 persen dari PDB (Kompas 15
Agustus 2008), walau defisit APBN masih dapat ditolerir sampai angka 3%
(berdasarkan golden rule) . Pada tahun 2009 anggaran yang digunakan untuk belanja
modal tercatat sebesar Rp 90,7 triliun lebih besar dari belanja barang sebesar Rp
76,4 triliun (Kompas 15 Agustus 2008). Total belanja pemerintah pada tahun 2009
meningkat menjadi sebesar Rp1.022,6 triliun yang diharapkan lebih berperan dalam

menstimulus ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan di atas 6,5%. Pemerintah


juga pada tahun 2009 berencana untuk memberikan empat macam insentif fiskal
yaitu (i) Pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dalam jumlah
dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pionir. (ii) Keringanan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha tertentu pada
wilayah

atau

kawasan

tertentu. (iii) Pembebasan

atau

penangguhan

Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta peralatan untuk
keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka
waktu tertentu. (iv) Pemerintah mengubah perlakuan PPN atas sebagian barang kena
pajak yang bersifat strategis dari yang semula dibebaskan menjadi tidak dipungut
atau ditanggung pemerintah.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia dengan instrument BI-rate cukup berhasil
untuk mengendalikan inflasi, khususnya core inflation sejak BI rate diterapkan pada
tahun 2005. Namun inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga energi dan
terganggunya masalah distribusi terutama akibat naiknya harga gas, premium, solar,
dan makanan (volatile food) membuat tahun 2008 ini tingkat inflasi cukup tinggi
yaitu untuk Januari-Agustus 2008 tercatat 9,4 persen, dan inflasi Agustus 2007Agustus 2008 mencapai 11,85 persen.
Menghadap hal ini BI melakukan antisipasi dengan menaikan BI rate pada
bulan-bulan terakhir sampai September 2008, dan saat ini BI rate sudah mencapai
9,25%. Tingginya BI rate ini memang diharapkan dapat menekan angka inflasi namun
disisi lain akan berpengaruh terhadap sektor riil karena kenaikan BI rate berakibat
terhadap peningkatan tingkat bunga pinjaman di bank-bank komersial.
3. Ketahanan energi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa harga energi dunia terus berfluktuasi dan sangat
sulit untuk diprediksi. Pada tahun 2008 harga minyak dunia bahkan sudah mencapai
rekor tertinggi sebesar US$ 147 per barel pada 11 Juni lalu. Walau saat ini menurun

pada kisaran US$ 106, bahkan hari ini tanggal 10 September 2008 harga minyak
telah turun dibawah US$ 100 (detik.com). Hal ini sangat berbahaya bagi ketahanan
energi nasional karena kita tahu bahwa ,sebagai input, naiknya harga energi akan
berdampak terhadap kenaikan biaya produksi dan harga jual. Disamping kenaikan
biaya produksi dan harga jual akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar
internasional apalagi pada saat ini sedang terjadi penurunnya daya beli masyarakat
internasional akibat inflasi yang meningkat hampir disemua negara tujuan utama
ekspor Indonesia yaitu Amerika Serikat, Negara Eropa (EU), dan Asia Timur
(Jepang, Korea Selatan dan China). Dalam rangka ketahanan energi ini, pemerintah
melakukan diversifikasi energi dengan misalnya memproduksi bio-fuel yang
merupakan pencampuran produk fosil dengan nabati (minyak kelapa sawit). Namun
muncul kendala program ini karena saat ini harga komoditi yang menggunakan bahan
baku kelapa sawit mengalami kenaikan yang luar biasa yaitu Crude Palm Oil (CPO).
Akibatnya, produsen kelapa sawit menjadi gamang dalam menggunakan kelapa sawit
apakah untuk digunakan sebagai bio energy atau untuk menghasilkan CPO yang
ditujukan untuk ekspor. Beberapa pengamat mengatakan sebaiknya Indonesia lebih
mengembangkan energy geothermal (panas bumi) yang cadangannya sangat
berlimpah di Indonesia (terbesar di dunia) karena biaya investasi yang mahal untuk
investasi energi pada geothermal ini akan di offset oleh turunnya subsidi
pemerintah untuk bahan bakar minyak karena adanya peralihan penggunaan energi
dari minyak ke geothermal.
4. Kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian
Indonesia beruntung memiliki sumber daya alam yang melimpah baik bahan tambang,
hutan, pertanian, hasil laut, dan cahaya matahari yang sepanjang tahun. Untuk itu,
sumber daya alam yang ada harus dikelola dengan baik bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat (welfare).

Sejauh ini Indonesia telah memanfaatkan banyak bahan tambang bagi pertumbuhan
ekonomi seperti minyak bumi, batubara, gas, bijih besi, emas, nikel, timah dan lain
sebagainya. Namun pemanfaatan sumber daya alam ini membawa dampak negatif
(negative

externalities)

terhadap

lingkungan

berupa

penggundulan

hutan

penghancuran bukit-bukit yang tentunya berdampak sangat negatif terhadap


kondisi lingkungan. Disisi pertanian, walau banyak kemajuan yang dicatat Indonesia
masih mengimpor beras, dan produk pertanian lain seperti kedele, dan hasil
perkebunan (gula). Ditargetkan pada tahun

2009, Indonesia sudah dapat

berswasembada beras dan gula.


5. Pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini merupakan sektor
ekonomi yang cukup tangguh terutama pada saat krisis ekonomi 1998 dimana banyak
pelaku ekonomi besar bertumbangan. Beberapa program yang akan diterapkan oleh
pemerintah menyangkut pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini
adalah peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan dengan (i) Meningkatkan
kapasitas kelembagaan dan akses UMKM pada sumber pembiayaan. (ii) Memperkuat
sistem penjaminan kredit bagi UMKM. (iii) Mengoptimalkan pe-manfaatan dana non
perbankan untuk pemberdayaan UMKM. Disamping itu akan dilakukan juga
pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia (SDM) dengan (i)
Meningkatkan mobilitas dan kualitas SDM. (ii) Mendorong tumbuhnya kewirausahaan yang berbasis teknologi. Hal lainnya adalah peningkatan peluang pasar
produk UMKM dengan (i) Mendorong berkembangnya institusi promosi dan kreasi
produk UMKM. (ii) Mendorong berkembangnya pasar tradisional dan tata hubungan
dagang antar pelaku pasar yang berbasis kemitraan. (iii) Mengembangkan sistem
informasi angkutan kapal untuk UMKM. (iv) Mengembangkan sinergitas pasar.

Terakhir adalah reformasi regulasi dengan (i) Menyediakan insentif perpajakan


untuk UMKM. (ii) Menyusun kebijakan di bidang UMKM.
6. Pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN.
Sebagai anggota penting ASEAN Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan
program yang telah ditetapkan oleh organisasi yaitu pelaksanaan komitmen
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC). Beberapa
langkah ke depan adalah (i) Komitmen AEC untuk Arus Barang Secara Bebas (ii)
Komitmen AEC untuk Arus Jasa
Secara Bebas (iii) Komitmen AEC untuk Arus Penanaman modal Secara Bebas
(iv) Komitmen AEC untuk Arus Modal Secara Bebas (v) Komitmen AEC untuk
Arus Tenaga
Kerja Terampil Secara Bebas (vi) Komitmen AEC untuk Perdagangan Makanan,
Pertanian, dan Kehutanan (vii) Komitmen AEC untuk Menuju Kawasan Ekonomi
Yang Kompetitif (viii) Sosialisasi Pelaksanaan Komitmen Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015
7. Infrastruktur.
Sebagaimana disinggung di depan, kondisi infrastruktur ekonomi Indonesia
berada pada titik yang nadir. Kalau pada masa orde baru, kondisi infrastruktur
Indonesia mengalami titik puncak, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi infrastruktur yang ada sudah tidak lagi memadai. Belum lagi kondisi
infrastruktur yang kualitasnya menurun seiring berjalannya waktu. Banyaknya jalan
dan jembatan yang rusak ini tidak terlepas dari masa-masa sulit APBN kita yang
sampai tahun 2004 lebih dikonsentrasikan kepada pembayaran hutang dan belanja
barang dan gaji pegawai. Di tahun 2009, perlu ditingkatkannya belanja pemerintah

untuk

keperluan

infrastruktur

ini

disamping

menerapkan

KPS

(Kerjasama

Pemerintah dan Swasta) untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, perlistrikan,


telekomunikasi dan lain-lain.
8. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
Masalah pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah ekonomi utama
yang sampai saat ini belum bisa diatasi. Sampai tahun 2008, tingkat pengangguran
terbuka masih berada pada kisaran 9% dari jumlah angkatan kerja atau berada pada
kisaran 9 juta orang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa terjadi perubahan patern
perekonomian paska krisis dari usaha yang padat karya ke usaha yang lebih padat
modal. Akibatnya pertumbuhan tenaga kerja yang ada sejak tahun 1998 s/d 2004
terakumulasi dalam meningkatnya angka pengangguran. Dilain sisi, pertumbuhan
tingkat tenaga kerja ini tidak diikuti dengan pertumbuhan usaha (investasi) yang
dapat

menyerap

keberadaannya.

Akibatnya

terjadi

peningkatan

jumlah

pengangguran di Indonesia yang pada puncaknya di tahun 2004 mencapai tingkat


10% atau sekitar 11 juta orang. Untuk menangani masalah pengangguran ini
pemerintah perlu memberikan fasilitas baik fiskal, perkreditan, maupun partnership
untuk menciptakan usaha yang bersifat padat karya dalam rangka menyerap
kelebihan tenaga kerja yang ada.
Menyangkut masalah ketransmigrasian ada yang berubah pada penanganannya
dibandingkan dengan masa orde baru. Kala itu program transmigrasi berjalan dengan
sangat gencar dengan hasil yang bervariasi. Di satu daerah program transmigrasi
berjalan baik tapi di daerah lain mengalami kegagalan, namun secara keseluruhan
program transmigrasi berjalan lumayan. Paska krisis, program transmigrasi
kelihatannya mati suri atau sudah hampir tidak lagi terdengar gaungnya. Apalagi

sejak berlakunya otonomi daerah dimana kewenangan mengatur daerah diserahkan


kepada pemerintah daerah, termasuk mengatur datangnya penduduk dari luar
daerah. Saat ini tentunya perlu ada koordinasi antara pusat dengan daerah
menyangkut masalah transmigrasi ini

Anda mungkin juga menyukai