Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

STROKE HEMORAGIK

OLEH:
Glancius N Harefa `
Jos Briyan R H S
Farzana Khairunisa
Ananda Putri Tarigan
Hendriawan Putra

110100066
110100302
110100448
110100358
110100314

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Stroke Hemoragik. Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk melengkapi persyaratan kepanitraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit
Syaraf RSUP H. Adam Malik Medan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada dr. Yati atas bimbingan dan ilmu yang
sangat berguna bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
teman-teman yang turut membantu memberikan ide.
Penulis menyadari makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran.
Medan, 15 Januari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1....................................................................................................... Latar
Belakang ...................................................................................... 1

1.2....................................................................................................... Tujua
n Penulisan .................................................................................. 2
1.3....................................................................................................... Manfa
at Penulisan .................................................................................. 2
BAB 2 LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
2.1. Status Neurologi ......................................................................... 3
2.2. Kesimpulan Pemeriksaan ........................................................... 13
2.3. Follow Up Pasien ....................................................................... 16
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 18
3.1. Definisi ....................................................................................... 18
3.2. Epidemiologi .............................................................................. 18
3.3. Etiologi ....................................................................................... 20
3.4. Klasifikasi ................................................................................... 21
3.5. Faktor Risiko............................................................................... 22
3.6. Patogenesis ................................................................................. 23
3.7. Manifestasi Klinis ....................................................................... 24
3.8. Diagnosis .................................................................................... 26
3.9. Penatalaksanaan .......................................................................... 28
3.10. Komplikasi ............................................................................... 42
3.11. Prognosis .................................................................................. 42
BAB 4 DISKUSI KASUS ............................................................................ 45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 47
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 47
5.2. Saran ........................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 49

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik
tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global yang berkembang cepat
akibat adanya gangguan fungsi serebral, dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau menimbulkan kematian tanpa terdapat penyebab yang jelas
selain vaskuler.1,8
Stroke Hemoragik adalah kondisi medis yang ditandai dengan pecahnya
satu atau lebih pembuluh darah di dalam otak. Darah keluar melalui pembuluh
yang pecah di sekeliling jaringan otak, akumulasi dan menekan jaringan otak di
sekitarnya. Gumpalan darah juga dapat terbentuk dan menghentikan suplai darah
ke jaringan otak lainnya. Terdapat dua tipe stroke hemoragik tergantung dari
lokasi dimana pembuluh darah tersebut pecah: Stroke Hemoragik Intraserebral
(perdarahan di dalam otak) dan Stroke Perdarahan Subaraknoid (perdarahan di
daerah antara otak dan lapisan tipis yang melapisi otak).2
Stroke Hemoragik adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa karena hal
ini cenderung mempengaruhi daerah otak yang lebih luas jika dibandingkan
dengan stroke iskemik, menyebabkan gangguan lebih besar pada tubuh dan fungsi
otak, seperti paralisis, kehilangan kemampuan bicara dan menelan hilang ingatan
dan kehilangan kecardasan. Faktor resiko utama dari stroke hemoragik, baik
perdarahan subaraknoid maupun perdarahan intraserebral, adalah hipertensi,
fibrilasi atrium, diabetes, merokok, dan pemakaian alkohol.3,4
Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2001, jumlah
penderita stroke diseluruh dunia sebanyak 20,5 juta jiwa dan 5,5 juta jiwa
diantaranya telah meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 26,8%.
Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus
stroke di dunia. Hasil prevalensi stroke hemoragik di RSUP H. Adam Malik
Medan pada tahun 2009 yaitu berdasarkan kelompok umur 45-64 tahun sebanyak
115 orang (42,1%), umur <45 tahun sebanyak 48 orang (17,6%), dan umur >65
tahun sebanyak 110 orang (40,3%).5

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan


sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1
per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara
(10,8), diikuti DI Yogyakarta (10,3), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan
gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9), DI Yogyakarta (16,9),
Sulawesi Tengah (16,6), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.6,7
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk melaporkan kasus stroke
hemoragik yang ditemukan di lapangan dan membandingkannya dengan landasan
teori yang sesuai. Penyusunan makalah ini sekaligus dilakukan untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat Penulisan
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk mengintegrasikan teori yang ada
dengan aplikasi kasus yang dijumpai di lapangan.

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1. STATUS NEUROLOGI


IDENTITAS PRIBADI
NAMA

: Edi Irawan

JENIS KELAMIN

: Laki-laki

USIA

: 43 tahun

SUKU BANGSA

: Batak

AGAMA

: Islam

ALAMAT

: Jl. Soekarno Hatta No 8 Lk IV

STATUS

: Sudah Menikah

PEKERJAAN

: Wiraswasta

TGL. MASUK

: 06/01/2016

TGL. KELUAR

ANAMNESA
KELUHAN UTAMA : Penurunan Kesadaran
TELAAH
-

:
Hal ini dialami OS secara tiba-tiba sejak 3 hari sebelum masuk ke
rumah sakit saat OS beraktivitas ringan. Riwayat nyeri kepala (+),
muntah menyembur (+) 1 kali. Kejang (-), riwayat hipertensi (+) sejak
5 tahun yang lalu dengan pengobatan tidak teratur.

RPT

: Hipertensi 5 tahun yang lalu

RPO

: Tidak Jelas

ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius

: Desah (-)

Traktus Respiratorius

: Sesak (+)

Traktus Digestivus

: BAB (+), Normal

Traktus Urogenitalis

: BAK (+), Normal

Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : Tidak ada


Intoksikasi dan obat-obatan

: Tidak ada

ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter

: (-)

Faktor Familier

: (-)

Lain-lain

: (-)

ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan : Tidak Jelas
Imunisasi

: Tidak Jelas

Pendidikan

: Tamat SMA

Pekerjaan

: Wiraswasta

Perkawinan

: Sudah menikah

.
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah

: 200/100 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Frekuensi Nafas

: 20 x/menit

Temperatur

: 36.9 oC

Kulit dan Selaput Lendir

: Dalam batas normal

Kelenjar dan Getah Bening

: Dalam batas normal

Persendian

: Dalam batas normal

Kepala dan Leher


Bentuk dan Posisi

: Bulat dan Medial

Pergerakan

: (+) Normal

Kelainan Panca Indera

: Dalam batas normal

Rongga Mulut dan Gigi

: Dalam batas normal

Kelenjar Parotis

: Dalam batas normal

Desah

: Tidak dijumpai.

Dan lain-lain

: (-)

Rongga Dada dan Abdomen

Rongga Dada

Rongga Abdomen

Inspeksi

Simetris fusiformis

Simetris

Perkusi

Sonor pada kedua lap. Paru

Timpani

Palpasi

SF ka=ki, kesan: normal

Soepel

Auskultasi

Vesikuler, ronki (-)

Normoperistaltik

Genitalia
Rectal Toucher

: Tidak dilakukan pemeriksaan.

STATUS NEUROLOGI
Sensorium

: Compos Mentis

Kranium
Bentuk

: Bulat

Fontanella

: Tertutup

Palpasi

: a.temporalis dan a.carotis teraba

Perkusi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Transiluminasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Perangsangan Meningeal
Kaku Kuduk

: (-)

Tanda Kernig

: (-)

Tanda Brudzinski I

: (-)

Tanda Brudzinski II

: (-)

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah

: (-)

Sakit Kepala

: (-)

Kejang

: (-)

SARAF OTAK/ NERVUS KRANIALIS


Nervus I

Meatus Nasi Dekstra

Meatus Nasi Sinistra

Normosmia

(+)

(+)

Anosmia

(-)

(-)

Parosmia

(-)

(-)

Hiposmia

(-)

(-)

Nervus II

Okuli Dekstra

Visus

Okuli Sinistra
Sulit dinilai

Lapangan Pandang
Normal

(+)

(+)

Menyempit

(-)

(-)

Hernianopsia

(-)

(-)

Scotoma

(-)

(-)

(+)

(+)

Warna

Tidak dilakukan pemeriksaan

Batas

Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekskavasio

Tidak dilakukan pemeriksaan

Arteri

Tidak dilakukan pemeriksaan

Vena

Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks ancaman
Fundus Okuli

Nervus III, IV, VI

Okuli Dekstra

Okuli Sinistra

Gerakan Bola Mata

(+) Normal

(+) Normal

Nistagmus

(-)

(-)

Lebar

3mm

3mm

Bentuk

Bulat

Bulat

Refleks Cahaya Langsung

(+)

(+)

Pupil

Refleks Cahaya Tidak Langsung :

(+)

(+)

Rima Palpebra

7mm

7mm

Deviasi Conjugate

(-)

(-)

Fenomena Dolls Eyes

(+)

(+)

Strabismus

(-)

(-)

Nervus V

Kanan

Kiri

(+)

(+)

Palpasi otot masseter dan temporalis :

(+)

(+)

Kekuatan gigitan

(+)

(+)

Kulit

Dalam batas normal

Selaput Lendir

Dalam batas normal

Langsung

(+)

(+)

Tidak Langsung

(+)

(+)

Reflex masseter

Dalam batas normal

Reflex bersin

Dalam batas normal

Motorik
Membuka dan menutup mulut

Sensorik

Refleks Kornea

Nervus VII

Kanan

Kiri

Motorik
Mimik

Sudut mulut simetris

Kerut Kening

(+)

(+)

Menutup mata

(+)

(+)

Meniup Sekuatnya

(+)

(+)

Memperlihatkan Gigi

(+)

(+)

Tertawa

(+)

(+)

Pengecapan 2/3 depan lidah

Dalam batas normal

Produksi kelenjar ludah

(+)

Sensorik
(+)

Hiperakusis

(-)

(-)

Refleks stapedial

(+)

(+)

Kanan

Kiri

(+)

(+)

Nervus VIII
Auditorius
Pendengaran

Test Rinne

Tidak dilakukan pemeriksaan

Test Weber

Tidak dilakukan pemeriksaan

Test Schwabach

Tidak dilakukan pemeriksaan

Nistagmus

Tidak dilakukan pemeriksaan

Reaksi kalori

Tidak dilakukan pemeriksaan

Ventibularis

Vertigo

Tinnitus

(-)
:

(-)
(-)

(-)

Nervus IX, X
Pallatum Mole

: Medial

Uvula

: Medial

Disfagia

: (-)

Disartria

: (-)

Disfonia

: (-)

Refleks muntah

: (+)

Pengecapan 1/3 belakang lidah

: Dalam batas normal

Nervus XI

Kanan

Kiri

(+)

(+)

Fungsi otot sternokleidomastoideus :

(+)

(+)

Mengangkat bahu

Nervus XII
Lidah
Tremor

: (-)

Atrofi

: (-)

Fasikulasi

: (-)

Ujung lidah waktu istirahat

: Medial

Ujung lidah sewaktu dijulurkan

: Medial

Sistem Motorik
Trofi

: Eutrofi

Tonus otot

: Normotonus

Kekuatan Motorik

Sikap (duduk-berdiri-berbaring)

ESD: 33333/33333

ESS:55555/55555

EID: 33333/333333

EIS: 55555/55555

: Berbaring

Gerakan spontan abnormal


Tremor

: (-)

Khorea

: (-)

Ballismus

: (-)

Mioklonus

: (-)

Atetosis

: (-)

Distonia

: (-)

Spasme

: (-)

Tic

: (-)

Dan lain-lain

: (-)

Tes Sensibilitas
Eksteroseptif

: Dalam batas normal

Propioseptif

: Dalam batas normal

Fungsi kortikal untuk sensibilitas


Stereognosis

: Dalam batas normal

10

Pengenalan Dua Titik

: Dalam batas normal

Grafestesia

: Dalam batas normal

Refleks
Refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

Biseps

(++)

(++)

Triseps

(++)

(++)

Radioperiost

(++)

(++)

APR

(++)

(++)

KPR

(++)

(++)

Strumple

(++)

(++)

Kanan

Kiri

Refleks Patologis
Babinski

(-)

(-)

Oppenheim

(-)

(-)

Chaddock

(-)

(-)

Gordon

(-)

(-)

Schaefer

(-)

(-)

Hoffman-Tromer

(-)

(-)

Klonus Lutut

(-)

(-)

Klonus Kaki

(-)

(-)

Refleks Primitif

Tidak dilakukan pemeriksaan

Koordinasi
Lenggang

: Sulit dinilai

Bicara

: Dalam batas normal

Menulis

: Dalam batas normal

Percobaan Apraksia

: Dalam batas normal

Test telunjuk-telunjuk

: Dalam batas normal

Test telunjuk-hidung

: Dalam batas normal

Diadokokinesia

: Dalam batas normal

Test tumit-lutut

: Dalam batas normal

11

Test Romberg

: Sulit dinilai

Vegetatif
Vasomotorik

: (+)

Sudomotorik

: (+)

Pilo-erector

: (+)

Miksi

: (+)

Defekasi

: (+)

Potensi dan Libido

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Vertebra
Bentuk
Normal

: Dalam batas normal

Scoliosis

: (-)

Hiperlordosis

: (-)

Pergerakan
Leher

: Dalam batas normal

Pinggang

: Dalam batas normal

Tanda Perangsangan Radikuler


Laseque

: (-)

Cross Laseque

: (-)

Test Lhermite

: (-)

Test Naffziger

: (-)

Gejala-Gejala Serebelar
Ataksia

: (-)

Disartria

: (-)

Tremor

: (-)

Nistagmus

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Fenomena rebound

: Sulit dinilai

12

Vertigo

: (-)

Dan lain-lain

: (-)

Gejala-Gejala Ekstrapiramidal
Tremor

: (-)

Rigiditas

: (-)

Bradikinesia

: (-)

Dan lain-lain

: (-)

Fungsi Luhur
Kesadaran Kualitatif

: Compos Mentis

Ingatan Baru

: Dalam Batas Normal

Ingatan Lama

: Dalam Batas Normal

Orientasi
Diri
Tempat

: Dalam Batas Normal


: Dalam Batas Normal

Waktu

: Dalam Batas Normal

Situasi

: Dalam Batas Normal

Intelegensia

: Sulit dinilai

Daya Pertimbangan

: Sulit dinilai

Reaksi Emosi

: Sulit dinilai

Afasia
Ekspresif

: (-)

Represif

: (-)

Apraksia

: (-)

Agnosia
Agnosia Visual

: (-)

Agnosia jari-jari

: (-)

Akalkulia

: (-)

Disorientasi kanan-kiri

: (-)

13

2.2 KESIMPULAN PEMERIKSAAN


Telah dirawat seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan penurunan kesadaran. Hal
ini telah dialami os sejak 3 hari yang lalu secara tiba-tiba saat sedang melakukan
aktivitas ringan. Riwayat nyeri kepala (-), Muntah menyembur (+) sebanyak 1
kali, Riwayat kejang (-), Riwayat hipertensi (+) 5 tahun yang lalu tetapi tidak
teratur makan obat antihipertensi. Riwayat DM (-) Penyakit jantung dan
hiperkolesteremia (-). Riwayat stroke sebelumnya disangkal.
RPT

: Hipertensi 5 tahun yang lalu

RPO

: Tidak Jelas

Status Presens
Sensorium
: Compos Mentis
Tekanan Darah : 200/100 mmHg
Nadi
: 84 x/i
Pernafasan
: 20 x/i
Temp
: 36.0 oC

Tanda Peningkatan TIK


-

Nyeri kepala (-)


Muntah
(-)
Kejang
(-)

Tanda Perangsangan meningeal


Nervus Kranialis
NI
: Normosmia
N II,III : RC +/+, pupil isokor, 3 mm
N III, IV, VI : Gerakan bola mata (+)
NV
: Buka tutup mulut (+)
N VII : Sudut mulut simetris
N VIII : Pendengaran (+) N
N IX, X : Uvula medial
N XI
: Angkat bahu (+)
N XII : Lidah dijulurkan medial
Kekuatan Motorik
ESD: 33333/33333
EID: 33333/33333

ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555

Kaku kuduk
(-)
Tanda Kernig
(-)
Tanda Brudzinski I/II : (-)

Refleks Fisiologis
Ka
Ki
B/T
: ++/++
++/++
APR/KPR : ++/++
++/++
Refleks Patologis
H/T
:
Babinski :

Ka
-/-

Ki
-/-

14

DIAGNOSA
DIAGNOSA FUNGSIONAL : Somnolen + Hemiparese dextra
DIAGNOSA ETIOLOGIK

: Hipertensi

DIAGNOSA ANATOMIK

: Intraserebral

DIAGNOSA BANDING

: 1. Stroke Hemoragik
2. Stroke Iskemik

DIAGNOSA KERJA

: Somnolen + Hemiparese dextra ec Stroke


Hemoragik

PENATALAKSANAAN

Bed Rest + Head up 30


IVFD R Sol 20gtt/i
Nicardipine 10mg + 40cc NaCL 0,9% 10cc/jam
Inj Furosemide 20mg/12 jam
Amlodipine 1x10 mg

RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan Darah Lengkap
- EKG
- Foto Thorax
- Head CT Scan

15

16

2.3.
TGL

6
Januari
2016

FOLLOW-UP PASIEN
S

Penuru
nan
Kesadar
an (+)

Sens: Apatis
TD:
200/100
mmHg
HR: 80 x/i
RR: 20 x/i
T: 37,0oC
Peningggian
TIK
(-),
Nyerikepala (-)
R. Meningeal:
Kakukuduk: (-)
Brudzinski (-)
N. Kranialis:
N. III, IV, VI:
Gerak
bola
mata (+)
N. VII: Sudut
mulut simetris
N.XII:
lidah
dijulurkan
medial
R. Fisiologis:
B/T: ++/++ +
+/++
APR/KPR: ++/
++ ++/++
R. Patologis:
H/T: -/- -/Babinski: - K. Motorik:
ESD
33333/33333
ESS

Apatis ec
stroke
hemoragik

P
Terapi
-Bed Rest , head up
30o
- IVFD R S0L 20
gtt/i
- NGT & Kateter
terpasang
- Diet Sonde Veeding
rendah garam
-Inj
Nicardipine
10mg + 40cc NaCl
0,9% = 10cc/jam
titrasi 2cc/15 mnt
sampai TD 160/90
mmHg
- Inj Furosemide
20mg / 12 jam
-Inj.
Mannitol
125cc/6jam
-Inj.
Amlodipin
1x10mg

Diagnost
ik
Cek
lab
puasa
(KGDP,
2JPP,
HBA1C,
LFT,
lipid
profile)
-Konsul
pembaca
an EKG,
Foto
Thorax,
Head CT
Scan

17

55555/55555
EID
33333/33333
EIS
55555/55555
7
Januari
2016

8
Januari
2016

Penuru
nan
Kesadar
an (+)

Penuru
nan
Kesadar
an (+)

Secondary
headache +
hemiparese
dextraec
stroke
hemoragik
(IVH)

Secondary
headache +
hemiparese
dextraec
stroke
hemoragik
(IVH)

-Bed Rest , head up


30o
- IVFD R S0L 20
gtt/i
- NGT & Kateter
terpasang
- Diet Sonde Veeding
rendah garam
-Inj
Nicardipine
10mg + 40cc NaCl
0,9% = 10cc/jam
titrasi 2cc/15 mnt
sampai TD 160/90
mmHg
- Inj Furosemide
20mg / 12 jam
-Inj.
Amlodipin
1x10mg
- Diet diberi :
Makanan cair bentuk
sonde Rendah Garam
I 1500 kalori
- Captopril 50mg 3x1
tab
Citicoline
inj
500mg/12 jam

-Konsul
pembaca
an head
CT scan
danfoto
thorax

-Bed Rest , head up


30o
- IVFD R S0L 20
gtt/i
- NGT & Kateter
terpasang
- Diet Sonde Veeding
rendah garam
-Inj
Nicardipine
10mg + 40cc NaCl
0,9% = 10cc/jam
titrasi 2cc/15 mnt

-Susul
jawaban
pembaca
an foto
thorax

Konsule
ndokrin

18

sampai TD 160/90
mmHg
- Inj Furosemide
20mg / 12 jam
-Inj.
Amlodipin
1x10mg
-Inj
Cefoperazone
1gr /12 jam.
- Diet diberi :
Makanan cair bentuk
sonde Rendah Garam
I 1500 kalori
- Captopril 50mg 3x1
tab
Citicoline
inj
500mg/12 jam

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsi serebral yang terjadi baik fokal maupun
global yang terjadi mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau
meninggal disebabkan oleh gangguan pembuluh darah.1
Klasifikasi utama stroke dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan penyebab,
yaitu iskemia-infark dan hemoragik.2 Stroke hemoragik sendiri dibagi lagi
berdasarkan lokasi perdarahannya menjadi perdarahan intraserebral dan
perdarahan subarakhnoid.3

19

Stroke akibat perdarahan intraserebral adalah gejala disfungsi neurologis


yang berkembang cepat akibat kumpulan darah di dalam parenkim otak atau
sistem ventrikel. Sedangkan stroke akibat perdarahan subarakhnoid adalah gejala
disfungsi neurologis dan/atau nyeri kepala akibat perdarahan di dalam ruang
subarakhnoid.4
3.2. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian kelima di Amerika Serikat. Dari
seluruh jumlah penderita stroke 15% diantaranya merupakan penderita stroke
hemoragik.Namun 30% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh stroke
disebabkan oleh stroke hemoragik. (CDC) Stroke hemoragik dengan perdarahan
intraserebral merupakan penyebab morbiditas dan kematian pada 10%-15% pada
kasus stroke pada ras kaukasia dan 30% pada ras Afrika dan Asia. Lokasi
perdarahan paling sering adalah putamen (40%), lobus serebral (22%), thalamus
(15%), pons (8%), serebelum (8%), dan kaudatus (7%).5Insidensi perdarahan
subarakhnoid bervariasi dari 6-16 per 100.000 populasi, insidensi tertinggi
terdapat di Finlandia dan Jepang.3
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1
per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara
(10,8), diikuti DI Yogyakarta (10,3), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan
gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9), DI Yogyakarta (16,9),
Sulawesi Tengah (16,6), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.2
Setiap tahun sebanyak 15 juta jiwa di seluruh dunia menderita stroke dengan
5 juta di antaranya meninggal dunia, dan 5 juta lainnya menderita cacat
permanen.4Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5
juta kasus stroke di dunia.4 Hasil prevalensi stroke hemoragik di RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2009 yaitu berdasarkan kelompok umur 45-64 tahun
sebanyak 115 orang (42,1%), umur <45 tahun sebanyak 48 orang (17,6%), dan
umur >65 tahun sebanyak 110 orang (40,3%).4

20

Gambar 1. Potongan horizontal serebrum (atas) dan potongan sagittal batang otak (bawah).
Gambar di atas menunjukkan lokasi paling sering perdarahan intraserebral.3

3.3. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya stroke hemoragik antara lain:4
a. Hipertensi
Etiologi dari stroke hemoragik primer (perdarahan intraserebral) yang
paling umum adalah hipertensi. Setidaknya 2/3 dari jumlah pasien dengan
perdarahan intraparenkimal primer dilaporkan memiliki hipertensi.
Penyakit hipertensi pembuluh darah kecil dihasilkan dari aneurisma
lipohyalinotic kecil yang pecah subsekuens dan menghasilkan perdarahan
intraparenkimal. Lokasi yang paling umum biasanya di basal ganglia,
thalami, cerebellum, dan pons.
b. Ruptured saccular aneurysm
c. Cerebral amyloidosis

21

Biasanya menyerang pada usia tua dan dapat menyebabkan perdarahan


intraserebral pada 10% kasus. Angiopati serebral amyloid dapat
disebabkan mutasi pada protein prekursor amyloid, dan diwariskan
secaran autosomal dominan.
d. Kelainan pembekuan darah dan koagulopati
Koagulopati pada kasus stroke hemoragik bisa didapatkan ataupun
diwariskan. Penyakit pada organ hati dapat mengakibatkan perdarahan
diathesis. Gangguan koagulopati seperti defisiensi faktor VII, VIII, IX, X
dan XIII yang diwariskan dapat mengakibatkan perdarahan masif, dan
perdarahan intrakranial banyak ditemukan pada gangguan-gangguan
tersebut.
e. Komplikasi terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan cenderung meningkatkan risiko perdarahan pada
pasien yang metabolisme warfarinnya tidak efisien. Metabolisme warfarin
dipengaruhi oleh polimorfisme pada gen CYP2C9. Ada 3 varian dari gen
CYP2C9 yang telah diketahui, dimana varian 2 dan 3 memiliki
kecenderungan untuk menurunkan efisiensi metabolisme warfarin.
f. Arteriovenous malformation
Berbagai penyebab genetik dapat memicu timbulnya malformasi
arteriovena di otak, meskipun MAV biasanya tersebar sporadic.
Polimorfisme pada gen IL6 meningkatkan suseptibilitas terhadap beberapa
penyakit, termasuk MAV. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia(HHT),
yang dikenal sebagai Sindroma Osler-Weber-Rendu, adalah gangguan
autosomal dominan yang menyebabkan displasia pada vaskulatur. HHT
disebabkan oleh mutasi pada gen ENG, ACVRL1, ataupun SMAD4. Mutasi
pada gen SMAD4 biasanya diasosiasikan pada polyposis juvenile,
sehingga harus dipastikan ketika mencari tahu riwayat pasien. HHT
biasanya didiagnosa ketika pasien datang dengan telangiektasia pada kulit
dan mukosa atau dengan epistaksis kronis dari MAV di mukosa nasal.
3.4. Klasifikasi Stroke Hemoragik3
a. Perdarahan Sub Araknoid (PSA)
Perdarahan Subaraknoid

(PSA)

adalah

keadaan

akut

dimana

terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid, atau perdarahan yang

22

terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di
selaput otak atau bagian bawah otak.PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus
Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO). PSA paling banyak disebabkan oleh
pecahnya aneurisma (50%).
b. Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma, dimana
70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior(batang otak
dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). PIS terutama
disebabkan oleh hipertensi (50-68%). Angka kematian untuk perdarahan
intraserebrum hipertensif sangat tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi
diruang supratentorium (diatas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik
apabila volume darah sedikit. Namun, perdarahan kedalam ruang infratentorium
didaerah pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena
cepatnya timbul tekanan pada strukturstruktur vital dibatang otak.
3.5.Faktor Risiko7,9
Faktor risiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
lebih rentan atau mudah terkena stroke, antara lain :
a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang paling penting bagi semua stroke.
Insiden stroke meningkat secara eksponsial dengan bertambahnya usia. Setelah
umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat setiap 10 tahun (risiko
relatif ). Di Oxfordshire, selama tahun 19811986, tingkat insiden stroke pada
kelompok usia 45- 54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dan pada
kelompok usia 85 tahun keatas terdapat 1.987 kasus per 100.000 penduduk.
b. Jenis Kelamin
Pada pria memiliki kecendrungan lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun para pria lebih
rawan dari pada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi para wanita akan
menyusul setelah usia mereka mencapai menopause. Hasil-hasil penelitian
menyatakan bahwa hormon berperan dalam hal ini, yang melindungi para wanita
sampai mereka melewati masa-masa melahirkan anak. Pria berusia kurang dari 65
tahun memiliki risiko terkena stroke iskemik atau perdarahan intra sereberal lebih
tinggi sekitar 20% dari pada wanita. Namun, wanita usia berapa pun memiliki

23

risiko perdarahan subaraknoid sekitar 50% lebih besar. Menurut data dari 28
Rumah Sakit di Indonesia pada tahun 2000, ternyata bahwa kaum pria lebih
banyak menderita stroke dibandingkan kaum wanita. Risiko relatif stroke 1,25
kali lebih besar pada pria dibanding wanita.
c. Riwayat Keluarga dan Genetika
Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsung stroke.
Namun, gen memang berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke,
misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan kelainan pembuluh darah.
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga
pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun.Anggota keluarga dekat
dari orang yang pernah mengalami PSA memiliki peningkatan risiko 2-5%
terkena PSA.
d. Ras / Suku Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada orang kulit
putih. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Pada tahun
2004 di Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih
sebesar 37,1% dan yang berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita
yang berkulit putih sebesar 41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%.
e. Riwayat Stroke
Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan
terjadinya serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan
akan terjadi stroke kembali sebanyak 35-42%.
f. Diabetes Mellitus
Gula darah yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh
darah yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang menderita Diabetes
Mellitus risiko untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih besar (risiko relatif).
3.6. Patogenesis Stroke Hemoragik10
A. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain
atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi
sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut
amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati
amiloid)melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.

24

Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat


lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan
perdarahan,dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi.
Pendarahan gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko
kematian dari perdarahan intraserebral.

B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,
perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dianggap sebagai stroke.
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan
yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti
kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya
aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang
menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat
muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu
setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding
arteri.Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital.
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari
pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam
atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat
kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang
sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan
(menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi
meradang. Arteri kemudian dapat melemah dan pecah.
3.7.

Manifestasi Klinis
Timbulnya gejala klinis pada stroke hemoragik sering tanpa didahului oleh

gejala prodromal. Manifestasi klinis dapat muncul saat pasien sadar atau saat
sedang beraktivitas misalnya ketika berada di kamar mandi, kantor, berdiri ataupu

25

saat berjalan. Kejadian tersebut jarang terjadi ketika pasien sedang tertidur, kirakira hanya sekitar 10% kejadian.11
a. Gejala Perdarahan Intraserebral
Bentuk manifestasi klinis dari perdarahan intraserebral bergantung pada
dimana lokasi hematom dijumpai. Pada pasien yang memiliki hematom
dengan ukuran yang besar sering mengeluhkan peningkatan tekanan darah,
sakit kepala, muntah, penurunan kesadaran, hal ini dikarenakan oleh
peningkatan tekanan intracranial serta edema otak. Kompresi langsung
ataupun distorsi oada batang otak dan thalamus juga dapat dijumpai.11
Dibandingkan dengan kasus stroke iskemik dan perdarahan subarachnoid,
terdapat progresi defisit fokal yang cepat. Dysautonomia juga sering
ditemukan pada perdarahan intra serebral, misalnya hiperventilasi,
takipnoe, bradikardi, demam, hipertensi dan hiperglikemia. Gejala klinis
stroke sering sukar dibedakan dengan kondisi neurologis lainnya yang
menyerupai gejala stroke seperti pada kejang, sinkop, serta sepsis. Gejala
sensori seperti vertigo dan sakit kepala sulit untuk dibedakan penyebabnya
antara stroke dan non stroke.12
Gejala-gejala yang disebut diatas sering membingungkan klinisi untuk
membedakannya antara iskemik dan hemoragik, bahkan terkadang gejala
klinis yang dijumpai sedikit dan kurang khas. Oleh karena itu pemeriksaan
penunjang berupa pencitraan otak sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis. Awitan awal, kelemahan anggota gerak, gangguan berbicara dan
otot wajah melemah juga merupakan keluhan yang sering dijumpai.12
Tabel 2.1 Gejala Klinis Stroke12
Symptoms Cases

(%)

Acute onset

96

Arm weakness

63

Leg weakness

54

26

Speech disturbances

53

Facial weakness

23

Limb parasthesia

20

Visual disturbances

11

Facial parasthesia

Vertigo

Impaired limb coordination

Convulsive fits

b. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid didefinisikan sebagai kebocoran perdarahan
hingga masuk ke ruang subarachnoid, bisa disebabkan oleh karena rupture
dari arteri, vena, atau manifestasi sekunder dari perdarahan intra serebral.
Gejala klinis yang dapat dijumpai yaitu, muncul secara tiba-tiba,
memberat, sakit kepala yang hebat, iritasi meningeal (tanda kernig, tanda
brudzinski dan kaku kuduk), dijumpai darah pada cairan serebrospinal,
tanda fokal neurologi yang tidak khas, gangguan kesadaran, perdarahan
preretinal.12
3.8. Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan
cermat. Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:13
a. Anamnesis: terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan
kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).13
b. Pemeriksaan fisik: meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat
jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada

27

gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,


kulit dan ekstremitas.13
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke: Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem
motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National
Institutes of Health Stroke Scale), Siriraj Stroke Score (SSS ), Algoritme
Stroke Gajah Mada ( ASGM ).13

Siriraj Stroke Score (SSS)


= (2,5x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x tekanan darah
diastolic) (3 x atheroma) 12
Kesadaran: sadar=0, mengantuk/stupor=1, koma=2
Muntah: tidak=0, ya=1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak=0, ya=1
Ateroma: tidak ada=0, satu atau lebih tanda atheroma=1 (anamnesis diabetes,
angina, klaudikasio intermitten)
Interpretasi
Skor>1: perdarahan otak
<-1: infark otak
d. Pemeriksaan penunjang3:

Laboratorium: Dilakukan pemeriksaan Darah Perifer Lengkap


(DPL), Gula Darah Sewaktu (GDS), Fungsi Ginjal(Ureum,
Kreatinin dan Asam Urat), Fungsi Hati (SGOT dan SGPT), Protein
darah (Albumin,Globulin), hemostasis, Profil Lipid (Kolesterol,
Trigliserida, HDL, LDL), Homosistein, Analisa GasDarah dan
Elektrolit. Jika perlu pemeriksaan cairan serebrospinal.

28

Radiologis: Pemeriksaan Rontgen dada untuk melihat ada tidaknya


infeksi maupun kelainan jantung.
Brain CT-Scan tanpa kontras (Golden Standard)
MRI kepala

Gambar 2.1 Pasien dengan spot sign menggambarkan ekstravasasi dan ekspansi
hematom. A. Unenhancet CT menunjukkan putaminal posterior kiri dan hematom
kapsula interna yang dikelilingi edema ringan. B. focus kecil di perifer, ditandai
dengan panah warna hitam. C. post-contrast CT menunjukkan pembesaran spot
sign dengan ekstravasasi (panah putih) D. Unenhanced CT 1 hari setelah
gambaran pembesaran hematom dan perdarahan intraventrikel.2
3.9. Penatalaksanaan
1. Terapi Umum3
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam

72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.


Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi

oksigen < 95%.


Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar

dengan gangguan jalan napas.


Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.

29

Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan

terapi oksigen.
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg
atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko

untuk terjadi aspirasi.


Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.
Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan

dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian

cairan hipotonik seperti glukosa).


Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan
tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk

rnemasukkan cairan dan nutrisi.


Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan

Tekanan Darah pada Stroke Akut).


Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah
mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara
titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau

epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.


Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama

24 jam pertama setelah serangan stroke.


Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi

(konsultasi Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung

sekuncup harus dikoreksi.


c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan
tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.

30

Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan

TIK.
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70

mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi :
o Tinggikan posisi kepala 200 - 300
o Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
o Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
o Hindari hipertermia
o Jaga normovolernia
o Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target 310
mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence
C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam
sehari selama pemberian osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
o

mg/kgBB i.v.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan

dilakukan tindakan operatif.


o Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat

batuk,

suction,

bucking

ventilator.

Agen

nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium


yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion
lebih baik digunakan. Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau
o

lidokain sebagai alternatif.


Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi
edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke

31

iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada


o

kontraindikasi.
Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut

akibat stroke iskemik serebelar.


o Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik
sereberal yang menimbulkan efek masa, merupakan
tindakan

yang

dapat

menyelamatkan

nyawa

dan

memberikan hasil yang baik.


d. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi
stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
e. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU. Pemberian
antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
dianjurkan. Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan.
f. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya.

Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5oC atau 37,5
o

C.
Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik.

32

Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus


dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.
g. Terapi Cairan
Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.


Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral

maupun enteral).
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak
tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita

panas).
Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai

normal.
Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa

gas darah.
Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah

dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia.


h. Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan

baik.
Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,

nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.


Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi
35-55 %);
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein
1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8
g/kgBB/hari).

33

Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6

minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.


Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan,

dukungan

nutrisi

boleh

diberikan

secara

parenteral.
Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak
mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

A. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral 14


1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial
dan Penyebabnya
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan
untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intrakranial.
b. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu
mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma. Bila secara klinis atau
radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke lesi structural termasuk
malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi CT,
CT dengan kontras, MRI dengan kontras, MRA, dan venografi

2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial


a. Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat
sebaiknya mendapat erapi penggantian faktor koagulasi atau trombosit
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat terapi untuk
menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat
vitamin K intravena. Konsentrat kompleks protrombin tidak menunjukkan

34

perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,


pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi komplikasi
dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif FFP.
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:
Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR
dan diberikan dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek
akan timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk
meminimalkan risiko anafilaksis.
FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor pembekuan
darah bila ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau aPTT.
Terapi FFP ini untuk mengganti pada kehilangan factor koagulasi.
Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor pembekuan, dan
walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh karena
itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai
agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada perdarahan
intracranial. Walaupun faktor VII a rekombinan dapat membatasi
perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian
tromboemboli akan meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak
ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi
Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial
dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap
penelitian.
Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan
intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression
selain dengan stoking elastis
Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan
dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboembolin
vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat
hari pascaawitan.
Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg IV
dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu
pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.

35

3. Tekanan Darah
4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder
a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial sebaiknya
dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki keahlian perawatan
intensif neurosains.
b. Penanganan Glukosa
c. Obat kejang dan antiepilepsi
5. Prosedur/ Operasi
a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

Pasien

dengan

skor

GCS

<8,

dengan

tanda

klinis

herniasi

transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas atau


hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan Pemantauan
tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg dapat

dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak.


Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus

dapat

di[pertimabngkan pada pasien dengan penurunan tingakt kesadaran.

b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun

pemberian

intraventrikuler

recombinant

tissue-type

plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler


memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata
laksana ini masih belum pasti dan dalam tahap penelitian.
c. Evakuasi hematom

Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan


tindakan operasi masih belum pasti.

36

Pasien

dengan

perdarahan

serebral

yang

mengalami

perburukan

neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus
akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnnya. Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase

ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan.


Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm
dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan

kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.


Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik
aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan

trombolitik masih belum pasti dalam tahap penelitian.


Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari
perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran
fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan
karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang.

d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi


Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak
melakukan perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari, Kecuali pada
pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak diresusitasi.
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun


untuk mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah
karena pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari
perdarahan awal, usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel
E2 atau E4 apolipoprotein dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada

MRI.
Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi
medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada
pasien yang lokasi perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif.

37

Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah


dapat dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika

diabetes penyakit ginjal kronik.


Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana
fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan
intrakranial lobar spontan karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan
berulang. Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah
perdarahan intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada

keadaan terdapat indikasi pasti penggunaan terapi tersebut.


Pelanggaran konsusmsi alkohol berat sangat bermanfaat.
6. Rehabilitasi dan pemulihan

Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa kecacatan yang
berat, serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara
multidisiplin. Jika memungkinkan, rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin
dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari program
terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan
berbasis rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk
meningkatkan pemulihan.

B. Penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid (PSA) 14


1. Tatalaksana penegakan diagnosis perdarahan subarachnoid
a. Perdarahan subarachnoid merupakan salah satu gawatdarurat neurologi dengan
gejala yang kadangkala tidak khas sehingga sering ditemukan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis. Pasien dengan keluhan nyeri kepala hebat (paling sakit
yang dirasakan sepanjang hidup) yang muncul tiba-tiba sebaiknya dicurigai
dicurigai sebagaisuatu tanda adanya PSA.
b. Pasien yang dicurigai PSA sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala.
Apabila hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda PSA pada pasien

38

yang secara klinis dicurigai PSA maka tindakan pungsi lumbal untuk analisis
cairan cerebrospinal sangat direkomendasikan.
c. Untuk memastikan adanya gambaran aneurisma pada pasien PSA, pemeriksaan
angiografi serebral sebaiknya dilakukan. Namun, apabila tindakan angiografi
konvensional tidak dapat dilakukan maka pemeriksaan MRA atau CT angiografi
perlu dipertimbangkan.
2. Tatalaksana umum PSA
a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H)
adalah sebagai berikut:

Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin


Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30 0dan nyaman, bila

perlu berikan O2 2-3 L/menit


Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat

kesadaran).
Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor
ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul

b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih


intensif

Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang

gawat darurat
Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila

didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial


Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penialaian status neurologi
3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA

a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang.
Hipertensi berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik

39

sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan


ulang pada PSA.
b. Istirahat total di tempat tidur.
c. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian
dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan
72 jam) untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis
tertentu. Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien dengan
koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau
trombosis vena dalam. Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan
risiko rendah terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan
penundaan operasi. Pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan
tingginya

angka

kejadian

iskemik

serebral

sehingga

mungkin

tidak

menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi
dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan lain untuk
mengurangi vasospasme perlu dilakukan.
d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan
ulang.
e. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih
lanjut masih diperlukan.
4. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur
a. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan
ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan bahwasecara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi segera
(early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan derajat yang lebih baik serta
lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera
atau yang ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.

40

Rujukan dini ke pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan


pasien aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian besar kasus.
c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and
clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan
endovaskuler coiling lebih bermanfaat.
d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi untuk
perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan
saja bila memungkinkan.
5. Penegahan dan tatalaksana vasospasme
a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. 2 Pemakaian nimodipin oral terbukti
meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calsium
antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang
ruptur, dengan mepertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia)
dan menghindari terjadinya hypovolemia.
c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi
hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-HypertensiveHemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan mepertahankan tekanan
perfusi serebral. Dengan demikian, angka kejadian iskemik serebral akibat
vasospasme dapat dikurangi. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau Clipping.
d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan antiinflamasi tidak tidak bermakna.
e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional, angioplasti transluminal
dianjurkan untuk pengobatan vasospasme.
f. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai berikut:\

41

Pencegahan vasospasme
o Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari
o NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap
timbulnya komplikasi berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM)
o Jaga keseimbangan elektrolit
Delayed vasospasm
o Stop dimodipin, antihipertensi dan diuretika
o Berikan 5% albumin 250 ml intravena
o Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan
wedge preasure 12-14 mmHg
o Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter
o Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min
6. Pengelolaan darah pada PSA
7. Tata Laksana Hiponatremia pada PSA
8. Tata Laksanan Kejang pada PSA
9. Tatalaksana Komplikasi Hidrosefalus
10. Terapi Tambahan

a. Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara reguler.


b. Analgesik

Asetaminofen -1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-6 jam.


Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.
Tylanol dengan kodein
Hindari asetosal

c. Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan:

3.10.

Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam


Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6 jam
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam
Propofol 3-1 mg/kg/jam
Komplikasi

42

Komplikasi yang paling sering terjadi pada stroke hemoragik adalah


peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi. Hal ini terjadi apabila lokasi
perdarahan di intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan
deteorisasi pada 24-48 jam pertama. Pada pasien dalam keadaan waspada, 25%
akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama.15
Komplikasi subakut diantaranya pneumonia, thrombosis vena dalam, infeksi
traktus urinarius, ulkus dekubitus, kontraktur, spasme, masalah sendi dan
malnutrisi. Beberapa pasien post stroke hemoragik juga dapat mengalami depresi
dan disabilitas permanen. Hal ini dapat diatasi dengan identifikasi dan penanganan
dini depresi pada pasien untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.15
3.11.Prognosis
Hampir setengah

pasien dengan stroke hemoragik mengalami kematian

dalam 24 jam pertama setelah perdarahan awal. Hal ini bergantung pada volume
hematom yang besar (>30 ml), usia yang lebih tua, MAP>130 mmHg dan Skor
Koma Glasgow < 4. Skor ICH dan skor FUNC dapat digunakan untuk menilai
prognosis pada pasien stroke hemoragik.16

43

Gambar 1. Intracerebral Haemorrhage Score


Sumber: http://stroke.ahajournals.org/content/34/1/6.figures

44

Gambar 2. Func Score Prediction tool


Sumber: https://www2.massgeneral.org/stopstroke/funcCalculator.aspx

45

BAB 4
DISKUSI KASUS

TEORI

KASUS

1. Non modifiable risk factors :


a.
b.
c.
d.

Pada kasus ini, os merupakan


seorang pria dengan usia 43
tahun dengan riwayat
hipertensi

Usia
Jenis Kelamin
Ras / Etnik
Genetik

2. Modifiable risk factors :


a. Well documented and modifiable risk
factors :
- Hipertensi
- Diabetes Mellitus
- Merokok
- Atrial Fibrilasi atau

kelainan

jantung lain
- Hiperlipidemia
- Obesitas
Tanda utama gejala stroke hemoragik Pada kasus ini, gejalanya
adalah defisit neurologik fokal muncul secara berupa penurunan kesadaran,
kelemahan anggota gerak dan
mendadak. Gejala umum berupa lemas
adanya
riwayat
muntah
mendadak di wajah, lengan atau tungkai, menyembur.
terutama di salah satu sisi tubuh, gangguan
penglihatan seperti penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau dua mata,
bingung

mendadak,

vertigo,

hilangnya

kesimbangan atau koordinasi dan nyeri kepala


mendadak tanpa penyebab yang jelas.
Posisi pasien berbaring dengan kepala elevasi
30o
Bebaskan jalan nafas jika perlu intubasi.

Bed Rest + Head up 30


IVFD R Sol 20gtt/i
Nicardipine 10mg + 40cc
NaCL 0,9% 10cc/jam

46

Diberikan O2 2-4 L/i

Demam antipiretik

Inj Furosemide 20mg /12 jam


Inj Ranitidine 50mg /12 jam
Amlodipine 1x10 mg
Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam

Neuroprotektif sitikolin atau pirasetam


Penurunan kesadaran pasang NGT
Terapi cairan hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonik.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Definisi stroke berdasarkan WHO adalah suatu tanda klinis yang
berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) yang

47

berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain selain vaskular. Stoke hemoragik adalah stroke yang terjadi
apabila lesi vaskuler intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan
kedalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.8
Diagnosis stroke hemoragik dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, CT-scan, dan MRI.1
Penatalaksanaan stroke hemoragik berbeda berdasarkan manifestasi
perdarahan yang terjadi. Pada stroke hemoragik dengan perdarahan intrasereberal,
penatalaksanaan yang diberikanberupa berupa terapi hemostasik, penghentian
pemberian antikoagulan, dan penataklasaan dan penatalaksanaan bedah bila
terdapat indikasi. Pada stroke hemoragik dengan pendarahan subarkhnoid,
penatalaksanaan yang diberikan berupa penatalaksanaan dini di ruang gawat
darurat, pencegahan perdarahan ualang, pencegahan vasospasme, pengobatan
antifibrinolitik, antihipertensi, hiponatremi, kejang, dan terapi tambahan berupa
terapi simtomatik dan terapi suportif.6
5.2 Saran
Dalam penanganan kasus stroke hemoragik perlu diberikan edukasi pasien
maupun keluarga bahwa stroke adalah penyakit yang membutuhkan penanganna
yang sangat lama. Keluarga dan penderita harus mengerti bahwa stroke dapat
menyebabkan disabilitas dan membutuhkan waktu terapi panjang untuk
mengembalikan fungsinya seperti semula. Meskipun begitu, tidak ada jaminan
bahwa pasien stroke dapat sembuh seutuhnya atau mengalami disabilitas
permanen.
Saran yang bisa diberikan untuk klinisi dan tenaga kesehatan adalah
meningkatkan mutu pelayanan stroke, khususnya dalam penatalaksanaan
kegawatdaruratan. Dengan deteksi dini dan penanganan awal yang tepat sasaran,
diharapkan dapat memberikan prognosis yang baik bagi pasien.

48

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization, 2006. Incidence of Stroke in United States.
Geneva : WHO
2. Feigin, V.L., et al., 2005. Risk Factors for Subarachnoid Hemorrhage An
Updated Systematic Review of Epidemiological Studies. Stroke (36):
2773-2780
3. Pokdi Stroke, 2011. Guideline Stroke 2011. Jakarta: PERDOSSI

49

4. Sacco, et al., 2013. An Updated Definition of Stroke for the 21 st Century:


A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/ American Stroke Association. Stroke (44): 2064-2089.
5. Riskesdas, 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2013. Jakarta :
Kemenkes RI
6. Sotirios A.T., 2000. Differential Diagnosis in Neurology and
Neurosurgery. New York: Thieme Stuttgart
7. Mozaffarian, D., Benjamin, E.J., Go, A.S., et al., 2015. Heart Disease and
Stroke Statistics-2015 Update : A Report from the American Heart
Association. Circulation : e29-322
8. World Health Organization, 1989. Recommendation on Stroke prevention,
diagnosis, and therapy, Stroke (20):1407-31
9. Wang Xiang, et al., 2009. Cholesterol Levels and Risk of Hemorrhagic
Stroke A Systematic Review and Meta-Analysis. Stroke (27):1147-90
10. Zhang, Y., et al., 2011. Lifestyle Factors on the Risks of Ischemic and
Hemorrhagic Stroke. Arch Intern Med ;171(20):1811-1818.
11. Shinohara,Y., Fisher,M., 2009. Handbook of Clinical Neurology Stroke
Part II, Hemorrhagic stroke syndromes: clinical manifestations of
intracerebral and subarachnoid hemorrhage. Elsevier
12. Broderick, J., Connolly, S., Feldmann, E., et al., 2007. Guidelines for the
management of spontaneous intracerebral hemorrhage in adults: 2007
update: a guideline from the American Heart Association/American Stroke
Association Stroke Council, High Blood Pressure Research Council, and
the Quality of Care and Outcomes in Research Interdisciplinary Working
group. Stroke (38): 2001-23.
13. AHA/ASA Guideline. Guideline for the early management of adults with
hemmoragic stroke. Stroke (38):1655-1711.
14. Budiman, Y., 2013. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Jakarta : Refika Aditama
15. Nasissi, D., 2010.
Hemorrhagic Stroke Medicine. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/overview
16. Fablo, M., Stephanie, B., Jason, M., 2013. Intracerebral Hemorrage:
Pathophysiology, Diagnosis and Management. MUMJ (10):15-22

Anda mungkin juga menyukai