BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Praktikum sedimentology, lapangan profil kali ini dilaksanakan pada hari
Minggu 6 Desember 2015 di daerah Bayat. Lapangan kali ini mempelajari tentang
pembuatan profil dan lingkungan pengendapan batuan sedimen. Analisa profil adalah
salah satu cara untuk menentukan lingkungan pengendapan dan mendapatkan
gambaran paleogeografinya. Metode yang digunakan sebenarnya adalah metode
stratigrafi asli, yaitu dengan menganalisis urut urutan vertical dari suatu sikuen.
Analisa profil sangat penting di dalam mempelajari lingkungan pengendapan. Suatu
lingkungan pengendapan tertentu akan mempunyai mekanisme pengendapan yang
tertentu pula. Karenanya urut urutan vertical (dalam keadaan normal) akan
mempunyai karakteristik tersendiri. Dengan demikian dari suatu profil akan dapat
diketahui perkembangan pengendapan yang terjadi dan sekaligus dapat ditafsirkan
perkembangan cekungannya.
Kelompok Sedimentologi
Page 1
1.2.
1.3.
Dasar Teori
1.3.1. Lingkungan Pengendapan Laut Dalam
Sekitar 70% daerah bumi ini merupakan daerah cekungan laut dengan alas kerak
samudra tipe basaltis. Berdasarkan dari fisiografinya, lingkungan laut dalam ini
dibagi menjadi tiga daerah yaitu, continental slope, continental rise dan cekungan
laut dalam . Prinsip elemen dari Kontinental margin (Drake, C.L dan Burk, 1974
dalam Boggs, 1995) Lereng benua (continental slope) dan continental rise
merupakan perpanjangan dari shelf break. Kedalaman lereng benua bermula dari
shelf break dengan kedalaman rata-rata 130 m sampai dengan 1500-4000 m.
Kemiringan pada lereng benua ini sekitar 40, walaupun ada variasi pada lingkungan
delta (20) dan pada lingkungan koral (450) (Boggs, 1995). Sedangkan kemiringan
pada continental rise biasanya lebih kecil dibandingkan kemiringan pada lereng
benua. Karena lerengnya yang cukup curam dibandingkan paparan, pada lereng
benua ini sering merupakan daerah dari pergerakan arus turbidit. Continental rise
biasanya tidak akan ada pada daerah convergen atau aktif margin dimana subduksi
berlangsung. Morfologi pada lereng benua ini sering menunjukan bentuk cembung,
kecuali pada daerah-daerah yang yang mempunyai stuktur sangat aktif. Volume
Kelompok Sedimentologi
Page 2
endapan sedimen yang dapat mencapai lereng benua dan continental rise ini akan
sangat bergantung pada lebarnya shelf dan jumlah sedimen yang ada. Continental
rise dan cekungan laut dalam membentuk sekitar 80% dari total dasar laut.
1.3.1.1.
Dalam menentukan facies turbidit, Walker merinci pembagian fasies turbidit dari
Mutti dan Ricci Lucci (1972). Walker mengemukaka suatu model, yaitu model kipas laut
dalam
dan
hubungannya
dengan
fasies
turdibid.
Walker
(1978)
kemudian
Kelompok Sedimentologi
Page 3
Kelompok Sedimentologi
Page 4
Kipas atas merupakan pengendapan pertama dari suatu sistem kipas laut dalam,
yang merupakan tempat dimana aliran gravitasi itu terhenti oleh perubahan
kemiringan. Oleh karena itu, seandainya aliran pekat (gravitasi endapan ulang)
ini membawa fragmen ukuran besar, maka tempat fragmen kasar tersebut
diendapkan adalah bagian ini. Fragmen kasar dapat berupa batupasir dan
konglomerat yang dapat digolongkan ke dalam fasies A,B dan F. Bentuk
lembah-lembah pada kipas atas ini bermacam-macam, bias bersifat meander,
bias juga hampir berkelok (low sinuosity). Mungkin hal ini berhubungan dengan
kemiringan dan kecepatan arus melaluinya, ukuran kipas atas ini cukup besar
dan bervariasi tergantung besar dan kecilnya kipas itu sendiri. Lebarnya bisa
mencapai mulai dari ratusan meter sampai beberapa kilometer, dengan
kedalaman dari puluhan sampai ratusan meter. Alur-alur pada kipas atas
berukuran cukup besar. Walker (1978) memberikan model urutan macam
sedimen kipas atas ke bawah. Bagian teratas ditandai oleh fragmen aliran (debris
flow) berstruktur longsoran (slump), jika sedimennya berupa konglomerat,
maka umumnya letak semakin ke bawah pemilahannya makin teratur,
mengakibatkan bentuk lapisan tersusun terbalik ke bagian atas dan berubah
menjadi lapisan normal bagian bawah.
Kelompok Sedimentologi
Page 5
Gambar 1.1.
1.3.1.2.
Struktur
perlapisan ini menjadi tidak jelas atau hilang sama sekali apabila batupasir
penyusun ini terpilah baik. Tanda tanda struktur lainnya tidak tampak.
c.
Kelompok Sedimentologi
Page 6
Gambar 1.2.
1.3.1.3.
Kelompok Sedimentologi
Page 7
Mutti ( 1992 ) membagi fasies fasies pada endapan turbidit didasarkan pada tekstur
bauan, komposisi batuan, struktur sedimen, dan kenampakan erosi. Sehingga dapat
membedakan antara fasies yang satu dengan fasies yang lain. Fasies tersebut
digolongkan menjadi 3 tipe utama, yaitu :
1. Very Coarse Grained Facies (VCGF)
Endapan pada fasies turbidit ini terdiri dari beragam jenis tipe sedimen, mulai
dari mud supported sampai clast-supported conglomerates. Facies dasar dari
VCGF adalah F1, F2, F3. Endapan pada fasies F1 dan F2 merupakan endapan
endapan debris flow deosits, dimana sediment tetrasnport dan terendapkan oleh
arus cohesive.Tahap akhir dari proses transportasi cohesive debris flow adalah
menghasilkan endapan endapan yang termasuk kedalam fasies F3 klastika
kasar dari (Konglomerat). Endapan endapan ini merupakan salah satu tipe
endapan
turbidit
yang
dihasilkan
oleh
hyperconcentrated
flow
yang
Kelompok Sedimentologi
Page 8
pling ideal dengan tipe endapan pada sikuen Bouma, yang terdiri atas struktur
sedimen, dan ukuran butir dari pasir sedang pasir halus, kecenderungan
penghalusan ke atas dapat hadir jika arus yang mentransport dan material yang
tertransport dapat memenuhi persyaratan. Endapan pada fasies F9 terbentuk oleh
endapan endapann berbutir sangat halus dengan struktur laminasi sejajar yang
dibatasi oleh batulempung berstuktur massif.
1.3.2. Geologi Regional
Daerah Tegalrejo termasuk ke dalam formasi Kebo-Butak. Lokasi tipe formasi
ini terletak di Gunung Kebo dan Gunung Butak yang terletak di lereng dan kaki utara
gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir
berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya
berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam.
Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian
atasnya dijumpai breksi andesit. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur
Oligosen Akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka
yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara Pegunungan
Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras Formasi
Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari
formasi ini lebih dari 650 meter.
1.3.2.1.
Geomorfologi Regional
Daerah Yogyakarta merupakan rangkaian pegunungan selatan, yaitu
pegunungan yang terletak pada bagian selatan Jawa tengah, mulai dari bagian
tenggara dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur
sepanjang pantai selatan Jawa Timur. Secara morfologis daerah pegunungan selatan
merupakan pegunungan yang dapat dibedakan menjadi 3 satuan morfologi utama,
yaitu:
Satuan
morfologi
perbukitan
berelief
sedang
sampai
curam.
Satuan ini dimulai dari daerah sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang ke utara
hingga Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan terus ke arah
Kelompok Sedimentologi
Page 9
Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah pegunungan selatan bagian barat laut secara umum
tersusun oleh batuan yang hampir seluruhnya terbentuk oleh pengendapan gaya
berat (gravity depositional processes), yang mencirikan arah perlapisan yang khas
dari pegunungan selatan, yaitu mempunyai kemiringan ke arah selatan. Sedangkan
stratigrai regional mulai dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
1) Formasi Kepek Wonosari :
Pada formasi Wonosari terdiri dari litologi berupa batugamping, batugamping
napalan tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufaan dan batulanau.
Kemudian diatasnya terendapkan secara tidak selaras Formasi Kepek dengan
litologi berupa napal dan batugamping berlapis. Umur pengendapan pada kala
miosen tengah miosen akhir.
2) Formasi Oyo :
Kelompok Sedimentologi
Page 10
Formasi ini terdiri dari litologi napal tufaan, tuf andesitan, dan batugamping
konglomeratan. Umur pengendapan pada kala miosen tengah. Formasi ini
terendapakan secara tak selaras diatas Formasi Sambipitu
3) Formasi Sambipitu :
Formasi Sambipitu tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau
atau batulempung. Di bagian bawah batupasir masih menunjukkan sifat volkanik
sedang ke arah atas yang berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan.
Fomasi ini berumur antara miosen awal miosen tengah dengan ketebalan sekitar
150 meter.
4) Formasi Nglanggran :
Formasi ini dicirikan oleh penyusun utama terdiri dari breksi dengan penyusun
material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dan memiliki ketebalan
cukup besar. Breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkahan bongkahan lava
andesit dan juga bom andesit.
Umur formasi ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang
berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut yang dalam dan proses
pengendapan berjalan cepat, yaitu selama awal Miosen. Formasi ini berumur
miosen tengah bagian bawah dengan ketebalan lapisan kira-kira 750 meter (Van
bammelen, 1949).
5) Formasi Semilir :
Litologi dari Formasi ini umumnya terdiri dari batupasir tufaan, batu lanau dan
batulempung. Pada beberapa bagian terdapat pula batupasir tufan konglomeratan,
yang sebagian besar fragmennya berupa pumis. Formasi ini terbentuk pada kala
Miosen awal bagian tengah pengendapan.
6) Formasi Kebobutak :
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batu pasir dan batu lempung
yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan
gaya berat yang lain. Berdasarkan terdapatnya gejala turbidit maka ditafsirkan
lingkungan ini terjadi kenaikan muka air laut sehingga berubah menjadi lingkungan
yang lebih dalam. Di bagian bawah, yang oleh Bothe (1929) disebut sebagai Kebo
Kelompok Sedimentologi
Page 11
Beds terdiri dari perselang - selingan antara batu pasir, batu lanau dan batu lempung
yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batu pasir
konglomeratan yang mengandung klastika lempung.
1.3.2.3.
Struktur Geologi
Pola struktur geologi yang terdapat di daerah penyelidikan sebagian besar
berkaitan dengan gejala-gejala tektonik yang pernah berlangsung pada Java
Trench dan pembentukan sistem pegunungan di selatan jawa. Bentuk struktur yang
terdapat didaerah penyelidikan dan sekitarnya selain diperkuat oleh kenampakan
permukaan juga di dukung oleh karakteristik anomali geofisika (geomagnet,
gayaberat dan head-on). Struktur yang ada didaerah penyelidikan adalah berupa
Sesar, normal ( Bantul, Bambang Lipuro dan Mudal), sesar medatar
( Parangkusumo, Soka Nambangngan dan Siluk); ketidak selarasan, kekar dan
Kelarasan(fracturing).
Pada umumnya orientasi sesar SE-NW berkisar antara N 275W hingga N
310 W dan NE-SW berkisar antara N20E hingga 50E. Diantara sesar-sesar tsb
diatas Sesar Parangkusumo dengan arah N 300W, menunjam 80 ke barat daya,
merupakan sesar yang penting karena mengontrol pemunculan mata air panas
Parangtritis. Sudut penunjam sesar menyebabkan pembukaan zona kekaran
(fracturing zones).
1.3.2.4.
Fisiografis
Secara fisiografis, daerah ini merupakan perbukitan kecil-kecil dengan
ketinggian kurang dari 100 m, yang di sekitarnya berupa dataran pesawah-an subur.
Perbukitan kecil tersebut tersusun oleh batuan gunung api Tersier, yang menjadi
penyusun sebagian Pegunungan Selatan. Dataran pesawahan di sekitarnya terdiri
atas endapan aluvium sebagai bahan rombakan produk Gunung Api Merapi, yang
terletak 30 km di sebelah utara daerah penelitian. Secara umum, aliran sungai di
wilayah ini berpola paralel, yang berhulu di Gunung Api Merapi. Sungai utama di
Kelompok Sedimentologi
Page 12
daerah penelitian adalah Kali Opak. Sungai itu mempunyai cabang Kali Gendol
yang hulunya di bawah Kawah Gendol di puncak Merapi.
1.3.2.5.
Kondisi Stratigrafi
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf
berupa filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk
batuan malihan hingga saat ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung
untuk perkiraan umurnya adalah didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang
diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat yang menunjukkan
umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang menutup batuan
malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen), maka
umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks.
Secara tidak selaras menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir
yang tidak garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan batu lempung, kemudian di
atasnya tertutup oleh batu gamping yang mengandung fosil nummulites yang
melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping Discocyc1ina,
menunjukkan lingkungan laut dalarn. Keberadaan forminifera besar ini bersarna
dengan foraminifera plangtonik yang sangat jarang ditemukan di dalam batu
lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga Eisen Atas. Secara
resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping. Keduanya,
batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku
menengah bertipe dioritik.
Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul, yang
terletak di bagJn timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike.
Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi
di atas batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi
terletak di bawah batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan
lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike! intrusi pendul oleh Soeria
Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana
Kelompok Sedimentologi
Page 13
hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen (1949), yang menfsirkan
bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan leher/ neck dari gunung api
Oligosen. Mengenai genetik dan generasi magmatisme dari diorit di Perbukitan
Jiwo masih memerlukan kajian yang lebih hati-hati.
Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut
disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir
oligosen. Proses erosi terse but telah menurunkan permukaan daratan yang ada,
kemudian disusul oleh periode transgresi dan menghasilkan pengendapan batu
garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah Perbukitan Jiwo tersebut
mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang tersingkap lenih
banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya).
Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi
WungkalGampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan
Pegunungan Baturagung di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastikmarin yang dicirikan turbidit dan sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi
lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-perbedaan ini kemungkinan disebabkan
oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah Perbukitan Jiwo dengan
Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah.
Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir.
Pengangkatan yang diikuti dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan
Jiwo berubah menjadi daerah lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari
gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi proses sedimentasi endapan
aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut dari Perbukitan Jiwo.
Keadaan stratigrafi Pegunugan Selatan, dari tua ke muda yaitu :
1. Formasi Kebo, berupa batu pasir vulkanik, tufa, serpih dengan sisipan lava, umur
Oligosen (N2-N3), ketebalan formasi sekitar 800 meter.
2. Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah
(N4), terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih.
Kelompok Sedimentologi
Page 14
3. Formasi Semilir, berupa tufa, lapili, breksi piroklastik, kadang ada sisipan lempung
dan batu pasir vulkanik. Umur N5-N9. Bagian tengah meJ1iari dengan Formasi
Nglanggran.
4. Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, batu pasir vulkanik, lava dan breksi
aliran.
5. Dari puncak Baturagung ke arah selatan, yaitu menuju dataran Wonosari akan
dijumpai Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari dan
6. Formasi Kepek.
BAB 2
METODOLOGI
2.1. Metode Penelitian
Metode penelitian di laksanakan dengan beberapa tahap, yaitu :
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data seperti mengambil data kedudukan disetiap lapisan, deskripsi
batuan di setiap lapisan, foto bentang alam, foto tiap lapisan, dan foto lintasan yang
tidak lupa dibarengi dengan azzimuth di tiap fotonya . serta membentangkan meteran
kurang lebih se panjang 100m untuk menghitung panjang lintasan dan panjang tiap
lapisan yang nantinya akan dianalisa untuk mencari tebal terkoreksi tiap lapisan.
2. Pengolahan data
Pengolahan data berdasarkan data data yang diambil secara langsung di
lapangan, yang kemudian di analisa untuk mencari tebal terkoreksi sehingga
terbentuknya profil yang disertakan litologi tiap lapisan berdasarkan skala yang
ditentukan.
3. Analisa data
Tahap ke-3 pada metode penelitian ini berfungsi untuk menentukan nama dan
komposisi batuan berdasarkan ketentuan para ahli seperti Embry & Klovan, Pettijohn,
Kelompok Sedimentologi
Page 15
Dunham dan Sam Bougs. Serta identifikasi keberadaan fosil jika terdapat pada batuan
tersebut.
4.
Interpretasi data
Tahap terakhir pada metode penelitian ini di laksanakan untuk menentukan
lingkungan pengendapan serta umur dari lintasan yang di tarik untuk membuat profil
berdasarkan data di setiap lapisan.
Kelompok Sedimentologi
Page 16
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Foto 3.1.
Keterangan :
Azimuth foto : N 182 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Yang di lingkari merah ( Sandstone, Brown, Coarse Sandsone ( - 1 mm ). Subrounded.
Well sorted. Grain supported. F : Litik M : Kuarsa S: Silica . Massive)
Yang disekitar merah ( Sandstone, Grey, fine sandstone ( - 1/8 mm). Rounded. Well
sorted. Grain Supported . Massive)
Kelompok Sedimentologi
Page 17
Penjelasan : Pada gambar diatas terdapat struktur Ball , yang menunjukkan bahwa adanya
lingkungan pengendapan laut dalam. Perkembangan dari struktur ball yaitu Load Cast dan
Flute Cast.
Foto 3.2.
Keterangan :
Azimuth foto : N 198 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Sandstone, Brown, Very coarse sandstone (1 2 mm), Subrounded, Well Sorted, Grain
Supported, F = Litik, Andesit ; M = Hornblende, Biotite ; S = Silica. Massive
Fasies : Massive Sandstone
Kelompok Sedimentologi
Page 18
Foto 3.3.
Keterangan : N 186 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Claystone, Brown, Clay (<0,006mm), Massive
Foto 3.4.
Kelompok Sedimentologi
Page 19
Keterangan :
Azimuth foto : N 278 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Sandstone, Grey, Fine sandstone (0,125 0,25 mm), Rounded, Well sorted, Grain
supported, F = Plagioclase ; M = Hornblende, Biotite ; S = Silica. Massive
Fasies : Massive Sandstone
Foto 3.5.
Keterangan :
Kelompok Sedimentologi
Page 20
Foto 3.6.
Keterangan :
Azimuth foto : N 158 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Kelompok Sedimentologi
Page 21
Sandstone, Grey, Fine sand (0,125 0,25 mm), Rounded, Well sorted, Grain supported, F =
Plagioclase ; M = Hornblende, Biotite ; S = Silica. Lamination
Foto 3.7.
Keterngan :
Azimuth foto : , N 282 E oleh Momo
Diambil oleh : Momo
Deskripsi :
Sandstone, Gey, Very fine sand (0,04 0,125 mm), Rounded, Well sorted, Grain supported,
F = Andesit ; M = Hornblende, Biotite ; S = Silica. Massiv
Kelompok Sedimentologi
Page 22
Foto 3.8.
Keterangan :
Azimuth foto : N 175 E
Diambil oleh : Momo
Deskripsi
Kelompok Sedimentologi
Page 23
3.2.
Gambar 3.1.
Kelompok Sedimentologi
Page 24
Gambar 3.2.
Lingkungan pengendapan menurut Mutti yang kita temui yaitu Lobe Region,
berdasarkan data data yang kita peroleh F8 memiliki prosentase terbanyak pada
profil.
3.3.
Sketsa Lintasa
3.3.1. Foto Lintasan
Kelompok Sedimentologi
Page 25
Kelompok Sedimentologi
Page 26
Kelompok Sedimentologi
Page 27
Kelompok Sedimentologi
Page 28
BAB 4
KESIMPULAN & SARAN
4.1. Kesimpulan
Pada lapangan profil kali ini merupakan Lingkungan pengendapan laut dalam
Menurut Walker (1984) dan data data yang kami dapat dinamai dengan Smooth to
Channelled Suprafan Lobes on Mid Fan.
Kelompok Sedimentologi
Page 29
dalam.
Dalam pembuatan profil kami menggunakan fasies Walker (1984 ) dan Mutti (1992)
4.2. Saran
Kelompok Sedimentologi
Page 30