tahun. Sedangkan menurut Perry (2012) wanita pubertas terjadi antar usia 8-14 tahun
sedangkan laki-laki terjadi pada usia antara 9-14 tahun.
Penyebab munculnya pubertas ini adalah hormon yang dipengaruhi oleh hipofisis
(pusat dari seluruh sistem kelenjar penghasil hormon tubuh). Berkat kerja hormon ini, remaja
memasuki masa pubertas sehingga mulai muncul ciri-ciri kelamin sekunder yang dapat
membedakan antara lai-laki dan perempuan. Dengan kata lian, pubertas terjadi karena tubuh
mulai memproduksi hormon-hormon seks sehingga alat reproduksi telah berfungsi dan tubuh
mengalami perubahan. Hormon seks yang mempengaruhi perempuan aalah estrogen dan
progesteron yang diproduksi diindung telur, sedangkan pada laki-laki diproduksi oleh testis
dan dinamakan testosteron. Hormon-hormon tersebut ada di dalam darah dan mempengaruhi
alat-alat dalam tubuh sehingga terjadilah beberapa pertumbuhan (Yulrina, 2015).
Hormon yang mempengaruhi sistem reproduksi wanita
Hipotalamus akan menyekresikan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin
merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilakn hormon FSH (Follicle Stimulating
Hormone). Hormon FSH merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam
ovarium. Pematangan folikel ini merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam
ovarium. Pematangan folikel ini merangsang kelenjar ovarium mensekresikan hormon
estrogen. Hormon estrogen berfungsi membantu pembentukan kelamin sekunder seperti
tumbuhnya payudara, panggul membesar, dan ciri lainnya. Selain itu, estrogen juga
membantu pertumbuhan endometrium yang memberikan tanda pada kelenjar pituitary agar
menghentikan sekresi hormon FSH dan berganti dengan sekresi hormon LH (Luetinizing
Hormone). (Yulrina, 2015).
Oleh stimulasi hormon LH, folikel yangs udah matang pecah menjadi korpus luteal.
Saat seperti ini, ovum akan keluar dari folikel dan ovarium menuju uterus (terjadi ovulasi).
Korpus luteum yang terbentuk akan segera mnyekresi progesteron. Progesteron berfungsi
menjaga pertumbuhan endometrium seperti pembesaran pembuluh darah dan pertumbuhan
kelenjar endometrium yang menyekresikan cairan bernutrisi. Apabila ovum pada uterus tidak
dibuahi, hormon estrogen akan berhenti. Berikutnya sekresi hormon LH oleh ekelnjar
pituitary juga berhenti. Akibatnya korpus luteal tidak bisa meangsungkan sekresi hormon
progesteron. Oleh karena itu progesteron tidak ada dan dinding rahim luruh bersama darah.
Darah ini akan keluar dari tubuh dan dinamakan menstruasi (Yulrina, 2015).
Al Mighwar (2006) dalam Inayah (2014) menjelaskan masa pubertas terjadi secara
bertahap, yaitu:
1) Tahap Prapubertas (9 - 10 tahun)
Tahap ini disebut juga tahap pematangan yaitu pada satu atau dua terakhir masa kanak
kanak, yaitu periode sekitar 2 tahun sebelum pubertas ketika anak pertama kali
mengalami perubahan fisik yang menandakan kematangan seksual. Pada masa ini anak
dianggap sebagai prapubertas, sehingga ia tidak disebut seorang anak dan tidak pula
seorang remaja. Pada tahap ini, ciri - ciri seks sekunder mulai tampak, namun organorgan reproduksinya belum berkembang secara sempurna.
2) Tahap Puber (12 - 15 tahun)
Tahap ini disebut juga tahap matang, yaitu terjadi pada garis antara masa kanak - kanak
dan masa remaja. Pada tahap ini, kriteria kematangan seksual mulai muncul. Pada anak
perempuan terjadi haid pertama dan pada anak laki - laki terjadi mimpi basah pertama kali.
Dan mulai berkembang ciri - ciri seks sekunder dan sel - sel diproduksi dalam organ - organ
seks.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulakn dari beberapa ahli, di dapatkan
kecemasan merupakan gangguan rasa nyaman yang dirasakan oleh individu sebagai bentuk
reaksi dari suatu ancaman (Andini, 2012).
Proses Terjadinya Kecemasan
Menurut Blackburn dan Davidson, secara teoritis kecemasan terjadi diawali oleh
pertemuan individu dengan stimulus yang berupa dituasi yang berpengaruh dalam
membentuk kecemasan (situasi mengancam), yang secara langsung /tidak langsung hasil
pengamatan/pengalaman tersebut diolah melalui proses kognitif dengan menggunakan
skemata (pengetahuan yang telah dimiliki individu terhadap situasi yang sebenarnya
mengancam/tidak mengancam dan pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk
mengendalikan dirinya dan situasi tersebut). Setiap pengetahuan tersebut dapat terbentuk dari
keyakinan pendapat orang lain, maupun pendapat individu sendiri serta dunia luar.
Pengetahuan tersebut tentunya akan mempengaruhi individu untuk membuat penilaian (hasil
kognitif) sehingga respon yang akan ditimbulkan tergantung seberapa baik individu tersebut
dapat mengendalikan dirinya. Apabila pengetahuan (skemata) subjek terhadap situasi yang
mengancam tersebut tidak memadai, tentunya individu tersebut akan mengalami kecemasan
(Safaria dan Saputra, 2009; Andini, 2012).
Kecemasan pada individu dapat terjadi melalui suatu proses atau rangkaian yang dimulai
dengan adanya suatu rangsangan eksternal maupun internal, sampai suatu keadaan yang
dianggap sebagai ancaman atau membahayakan. Spielberger, 1972 dalam Atikah (2011),
menyebutkan ada lima proses terjadinya kecemasan pada individu, yaitu:
1) Evaluated Situation; adanya situasi yang mengancam secara kognitif sehingga
ancaman ini dapat menimbulkan kecemasan.
2) Perception of Situation; situasi yang mengancam diberi penilaian oleh individu, dan
biasanya penilaian ini dipengaruhi oleh sikap, kemampuan, dan pengalaman individu.
3) Anxiety State of Rection; individu menganggap bahwa ada situasi berbahaya, maka
reaksi kecemasannya akan timbul. Kompleksitas respon dikenal sebagai reaksi
kecemasan sesaat yang melibatkan respon fisiologis seperti denyut jantung dan
tekanan darah.
4) Cognitive Reappraisal Follows; individu kemudian menilai kembali situasi yang
mengancam tersebut, untuk itu individu menggunakan pertahanan diri (defense
mechanism) atau dengan cara meningkatkan aktivitas kognisi atau motoriknya.
Gejala Kecemasan
Simtom terkait kecemasan ; (Semiun, 2006)
a. Simptom Suasana Hati
kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk
melindungi dirinya dari apa saja yang dirasa mengancam.
Pola Asuh
Pengertian
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu
bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan nilai
yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pola asuh dalam masyarakat umumnya
bernuansa dari sangat permisif sampai yang sangat otoriter. Pola asuh dalam masyarakat
dapat dikatakan homogen bila dapat diterima sebagai pola asuh oleh seluruh keluarga yang
hidup dalam masyarakat itu. Jadi merupakan pola asuh dari suatu etnik (Hardywinoto dan
Setiabudhi, 2003).
Menurut Baumrind (1971) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua terdiri dari 2 dimensi
yaitu parent warmth (dimensi kehangatan) dan parent control (dimensi kendali) yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dimensi kehangatan menunjukkan
bahwa respon dan afeksi pada anak. Sedangkan dimensi kendali adalah aspek dimana
orangtua mengendalikan perilaku anak untuk memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi
(Apriany, 2006; Yulita, 2014).
Berdasarkan kedua dimensi diatas maka terdapat empat kategori pola asuh yaitu
permissive, authoritarian, authoritative (demokratis), dan neglectfull. Orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter memperlihatkan kehangatan tetapi keras, menjunjung tinggi
kemandirian tetapi menuntut tanggung jawab akan sikap anak. Pada pola asuh authoritarian,
orang tua menjunjung tinggi kepatuhan, kenyamanan, dan disiplin yang berlebih/ orang tua
lebih menekankan pemberian hukuman kesalahan, tanya jawab verbal dan penjelasan tidk
diterapkan. Pola asuh permissive, orang tua bersikap menerima, murah hati dan agak pasif
dalam hal kedisplinan, menerima seluruh tingkah laku yang ditampilkan anak, mengabulkan
setiap permintaan anak/ terlalu memberikan perhatian yang berlebihan tanpa menegakkan
otoritasnya sebagai orang tua. Sedangkan pola asuh neglectfull, orang tua memberikan
kendali dan afeksi yang rendah pada anaknya, mereka membriarkan anak mengambil
keputusan sendiri, orang tua dan anak tidak ada kedekatan emosi dan orang tua cenderung
mengabaikan kesejahteraan anak (Moaccoby, 1980; Apriany, 2006; Yulita, 2014).
Dalam kenyataannya seringkali pola asuh tersebut tidak diterapkan secara kaku,
artinya orang tua tidak menerapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah
satu pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes, dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Sehingga seringkali muncul
lah, tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada
pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes (Dariyo, 2004; Andini,
2012).
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecemasan Remaja
Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama sebagai dasar-dasar kepribadian remaja
(Corah, 2011). Sejalan dengan tahap-tahap perkembangan pada remaja, berpengaruh pula
terhadap kebutuhan akan perubahan pola pengasuhan pada orang tua (Faizah, 2010).