Anda di halaman 1dari 10

Definisi Remaja

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa.


Batasan usia remaja menurut WHO (2007) adalah 12 sampai 24 tahun. namun jika pada usia
remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa dan bukan lagi remaja
(Nursalam, 2009). Sebaliknya, jika usia sudah menunjukan bukan remaja tetapi masih
bergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka tetap dimasukkan dalam kelompok remaja
(Nursalam, 2009).
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adilescere (kata bendanya,
adolecentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Sedangkan dalam bahasa Inggris, adolescence mengandung makna berangsur-angsur yang
diartikan sebagai berangsur-angsur menuju kematangan fisik, akal kejiwaan dan sosial serta
emosional (Al-Mighwar, 2006: Andini, 2012).
Remaja merupakan tahapan seseorang di mana ia berada di antara fase anak dan
dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologi dan emosional.
Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke waktu memang berubah sesuai perkembangan
zaman. Diinjau dari segi pubertas, 100 tahun terakhir usia remaja putri mendapatkan haid
pertama semakin berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun, demikian pula remaja pria.
Kebanyakan orang menggolongkan remaja dari usia 12 tahun-24 tahun dan beberapa literatur
menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang terpenting adalah seseorang mengalami perubahan pesat
dalam hidupnya di berbagai aspek (Nursalam, 2009).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa
peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa, dimana terjadi perubahan fisik yang sangat
signifikan disertai dengan mulai berfungsinya organ reproduksi dan perubahan pada psiko
sosialnya (Sarwono, 2011; Andini, 2012).
Pubertas
Pengertian
Pubertas pada umunya di definisikan sebagai saat dimaan seorang anak mengalami
pematangan dalam hal fisik dan seksual (University of Maryland Medical Center ; Perry,
2010; Inayah, 2014). Menurut Monks (2006) masa pubertas pada remaja putri usia 12-15

tahun. Sedangkan menurut Perry (2012) wanita pubertas terjadi antar usia 8-14 tahun
sedangkan laki-laki terjadi pada usia antara 9-14 tahun.
Penyebab munculnya pubertas ini adalah hormon yang dipengaruhi oleh hipofisis
(pusat dari seluruh sistem kelenjar penghasil hormon tubuh). Berkat kerja hormon ini, remaja
memasuki masa pubertas sehingga mulai muncul ciri-ciri kelamin sekunder yang dapat
membedakan antara lai-laki dan perempuan. Dengan kata lian, pubertas terjadi karena tubuh
mulai memproduksi hormon-hormon seks sehingga alat reproduksi telah berfungsi dan tubuh
mengalami perubahan. Hormon seks yang mempengaruhi perempuan aalah estrogen dan
progesteron yang diproduksi diindung telur, sedangkan pada laki-laki diproduksi oleh testis
dan dinamakan testosteron. Hormon-hormon tersebut ada di dalam darah dan mempengaruhi
alat-alat dalam tubuh sehingga terjadilah beberapa pertumbuhan (Yulrina, 2015).
Hormon yang mempengaruhi sistem reproduksi wanita
Hipotalamus akan menyekresikan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin
merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilakn hormon FSH (Follicle Stimulating
Hormone). Hormon FSH merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam
ovarium. Pematangan folikel ini merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam
ovarium. Pematangan folikel ini merangsang kelenjar ovarium mensekresikan hormon
estrogen. Hormon estrogen berfungsi membantu pembentukan kelamin sekunder seperti
tumbuhnya payudara, panggul membesar, dan ciri lainnya. Selain itu, estrogen juga
membantu pertumbuhan endometrium yang memberikan tanda pada kelenjar pituitary agar
menghentikan sekresi hormon FSH dan berganti dengan sekresi hormon LH (Luetinizing
Hormone). (Yulrina, 2015).
Oleh stimulasi hormon LH, folikel yangs udah matang pecah menjadi korpus luteal.
Saat seperti ini, ovum akan keluar dari folikel dan ovarium menuju uterus (terjadi ovulasi).
Korpus luteum yang terbentuk akan segera mnyekresi progesteron. Progesteron berfungsi
menjaga pertumbuhan endometrium seperti pembesaran pembuluh darah dan pertumbuhan
kelenjar endometrium yang menyekresikan cairan bernutrisi. Apabila ovum pada uterus tidak
dibuahi, hormon estrogen akan berhenti. Berikutnya sekresi hormon LH oleh ekelnjar
pituitary juga berhenti. Akibatnya korpus luteal tidak bisa meangsungkan sekresi hormon
progesteron. Oleh karena itu progesteron tidak ada dan dinding rahim luruh bersama darah.
Darah ini akan keluar dari tubuh dan dinamakan menstruasi (Yulrina, 2015).

Hormon yang mempengaruhi sistem reproduksi pria


Ada sejumlah hormon yang berperan dalam sistem reproduksi laki-laki terutama pada
proses pemebntukan sperma. Dibawah konrol hipotalamus, sebuah hormon dikeluarkan untuk
merangsang hipofisis anterior. Hormon ini adalah gonadotropin. Hormon ini merangsang
hipofisis anteroir untuk menghasilkan hormon LH dan hormon FSH. Hormon LH
menstimulasi sel-sel Leydig untuk menyekresikan hormon testosteron. Testosteron berfungsi
dalam spermatogenesis, pematangan sperma dan pertumbuhan kelamin sekunder pada pria.
Sementara itu, hormon FSH berperan merangsang sel-sel sertoli untuk mengahsilkan ABP
(Androgen Binding Protein) yang akan memacu spermatogonium utnuk emmulai proses
spermatogenesis. Selain itu, estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh
FSH. Keua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma. Proses pemasakan spermatosit
menjadi spermatozoa disebut spermatogenesis. Sprematogenesis terjadi di dalam epididimis
dan membutuhkan waktu selama 2 hari (Yulrina, 2015).
Tahapan-tahapan Pubertas

Al Mighwar (2006) dalam Inayah (2014) menjelaskan masa pubertas terjadi secara
bertahap, yaitu:
1) Tahap Prapubertas (9 - 10 tahun)
Tahap ini disebut juga tahap pematangan yaitu pada satu atau dua terakhir masa kanak
kanak, yaitu periode sekitar 2 tahun sebelum pubertas ketika anak pertama kali
mengalami perubahan fisik yang menandakan kematangan seksual. Pada masa ini anak
dianggap sebagai prapubertas, sehingga ia tidak disebut seorang anak dan tidak pula
seorang remaja. Pada tahap ini, ciri - ciri seks sekunder mulai tampak, namun organorgan reproduksinya belum berkembang secara sempurna.
2) Tahap Puber (12 - 15 tahun)
Tahap ini disebut juga tahap matang, yaitu terjadi pada garis antara masa kanak - kanak
dan masa remaja. Pada tahap ini, kriteria kematangan seksual mulai muncul. Pada anak
perempuan terjadi haid pertama dan pada anak laki - laki terjadi mimpi basah pertama kali.
Dan mulai berkembang ciri - ciri seks sekunder dan sel - sel diproduksi dalam organ - organ
seks.

3) Tahap Pasca Puber (17 - 18 tahun)


Pada tahap ini menyatu dengan tahun pertama dan kedua masa remaja. Pada tahap ini ciri
- ciri seks sekunder sudah berkembang dengan baik dan organ-organ seks juga berfungsi
secara matang. Merupakan periode 1 sampai 2 tahun setelah pubertas, ketika pertumbuhan
tulang telah lengkap dan fungsi reproduksinya terbentuk dengan cukup baik.
Pengaruh peningkatan hormon yang pertama-tama nampak adalah pertumbuhan badan
anak yang lebih cepat, terutama ekstremitasnya, dan badan lambat laun mendapat bentuk
sesuai jenis kelaminnya. Walaupun ada pengaruh hormon somatropin, disuga bahwa pada
wanita kecepatan pertumbuhannya terutama disebabkan oleh estrogen. Estrogen inipula yang
pada suatu waktu menyebabkan penutupan garis epifisis tulang-tulang, sehingga pertumbuha
badan berhenti. Pengaruh estrogen yang lain ialah pertumbuhan genitalia interna, genitalia
eksterna dan ciri-ciri kelamin sekunder. Dalam masa pubertas, genitalia interna dan eksterna
lambat laun tumbuh utnuk mencapai bentuk dan sifat seperti pada masa dewasa
(Wiknjosastro, 2007; Andini, 2012).
Perubahan fisik yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan pada remaja menyebabkan
para remaja sadar dan lebih sensitif terhadap bentuk tubuhnya dan mencoba membandingkan
dengan teman-teman sebaya. Jika perubahan tidak berlangsung secara lancar maka akan
berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dan emosional anak, bahkan terkadang timbul
ansietas (Steinberg, 2009; Batubara, 2010).
Ansietas
Pengertian
Ansietas adalah bagian dalam hidup yang tidak dapat dihindari dalam hidup. Penting
untuk menyadari bahwa bebrapa situasi dapat menyebabkan ansietas (Bournes, 2008).
Kecemasan adalah hasil dari proses psikologis dan proses fisiologi dalam tubuh manusia.
Calhoun dan Acocella menambahkan kecemasan adalah perasaan ketakutan (baim realistik
maupun tidak realistik) yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan. Ahli lain
menjelaskan, bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan gejala seperti kekhawatiran dan perasaan takut. Adanya ancaman fisik, ancaman
terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga
menumbuhkan kecemasan (Safaria dan Saputra, 2009: Andini, 2012).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulakn dari beberapa ahli, di dapatkan
kecemasan merupakan gangguan rasa nyaman yang dirasakan oleh individu sebagai bentuk
reaksi dari suatu ancaman (Andini, 2012).
Proses Terjadinya Kecemasan
Menurut Blackburn dan Davidson, secara teoritis kecemasan terjadi diawali oleh
pertemuan individu dengan stimulus yang berupa dituasi yang berpengaruh dalam
membentuk kecemasan (situasi mengancam), yang secara langsung /tidak langsung hasil
pengamatan/pengalaman tersebut diolah melalui proses kognitif dengan menggunakan
skemata (pengetahuan yang telah dimiliki individu terhadap situasi yang sebenarnya
mengancam/tidak mengancam dan pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk
mengendalikan dirinya dan situasi tersebut). Setiap pengetahuan tersebut dapat terbentuk dari
keyakinan pendapat orang lain, maupun pendapat individu sendiri serta dunia luar.
Pengetahuan tersebut tentunya akan mempengaruhi individu untuk membuat penilaian (hasil
kognitif) sehingga respon yang akan ditimbulkan tergantung seberapa baik individu tersebut
dapat mengendalikan dirinya. Apabila pengetahuan (skemata) subjek terhadap situasi yang
mengancam tersebut tidak memadai, tentunya individu tersebut akan mengalami kecemasan
(Safaria dan Saputra, 2009; Andini, 2012).
Kecemasan pada individu dapat terjadi melalui suatu proses atau rangkaian yang dimulai
dengan adanya suatu rangsangan eksternal maupun internal, sampai suatu keadaan yang
dianggap sebagai ancaman atau membahayakan. Spielberger, 1972 dalam Atikah (2011),
menyebutkan ada lima proses terjadinya kecemasan pada individu, yaitu:
1) Evaluated Situation; adanya situasi yang mengancam secara kognitif sehingga
ancaman ini dapat menimbulkan kecemasan.
2) Perception of Situation; situasi yang mengancam diberi penilaian oleh individu, dan
biasanya penilaian ini dipengaruhi oleh sikap, kemampuan, dan pengalaman individu.
3) Anxiety State of Rection; individu menganggap bahwa ada situasi berbahaya, maka
reaksi kecemasannya akan timbul. Kompleksitas respon dikenal sebagai reaksi
kecemasan sesaat yang melibatkan respon fisiologis seperti denyut jantung dan
tekanan darah.
4) Cognitive Reappraisal Follows; individu kemudian menilai kembali situasi yang
mengancam tersebut, untuk itu individu menggunakan pertahanan diri (defense
mechanism) atau dengan cara meningkatkan aktivitas kognisi atau motoriknya.

5) Coping ; individu menggunakan jalan keluar dengan menggunakan defense


mechanism (pertahanan diri) seperti proyeksi atau rasionalisasi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Remaja


Pandangan Psikoanalitik Freud
Freud menyebutkan ada 3 penyebab yang mendasari terjadinya kecemasan pada
seseorang yaitu; (Semiun, 2006)
1) Kecemasan dapat disebabkan ancaman-ancaman dari dunia eksternal, ia menyebutkan
kecemasan ini sebagai kecemasan objektif. Meskipun kecemasan ini objektif, namun
Freud mengemukakan bahwa kecemasan ini merupakan penyebab yang penting dari
tingkah laku abnomal.
2) Kecemasan dapat disebabkan konflik internal terhadap ungkapan impuls-impuls id.
Menurut Freud, konflik dan kecemasan terjadi apabila id mencari pemuasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya, tetapi dihalangi oleh ego dan sueprego.
3) Freud mengemukakan untuk hal ketiga yang dapat menyebabkan kecemasan yakni
disebabkan karena superego tidak efektif dalam mengekang ego dan akan terjadi
tingkah laku yang tidak dapat diterima.
Dua faktor yang menentukan apakah kita akan mengalami kecemasan atau tidak, yakni
tingkat konflik dalam kepribadian dan efektivitas dari mekanisme mekanisme pertahanan
individu. Sebagian tingkat konflik ditentukan oleh norma-norma yang ditetapka superego.
Apabila superego terlalu mengekang tingkah laku yang dpaat diterima, maka konflik akan
menjadi hebat dan ndividu akan mengalami kecemasan. Apabila superego terlalu lunak, amak
konflik akan mengurang dan kecemasan juga akan berkurang (Semiun, 2006).
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi tingat kecemasan adalh efektivitas dari
mekanisme-mekanisem pertahanan individu. Mekanisme-mekanisme pertahanan membantu
individu menghindari konflik; dan dengan demikian dapat menghindari kecemasan (Semiun,
2006).
Wangmuba (2009), menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan
seseorang, antara lain :
a) Usia dan tahap perkembangan Tahap perkembangan pada remaja terdiri dari tiga masa
antara lain : masa remaja awal (11-13 tahun), masa remaja pertengahan (14 16
tahun), masa remaja lanjut (17 - 20 tahun). Pada tahap remaja awal akan timbul

penyesuaian dengan perubahan-perubahan baik yang terjadi secara fisik maupun


emosional. Salah satu perubahan yang terjadi adalah terjadinya menstruasi yang
pertama (menarche). Jika sebelumnya remaja tidak memahamni tentang menstruasi
maka akan timbul kecemasan.
b) Pengetahuan
Semakin banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang maka seseorang
tersebut akan lebih siap dalam menghadapi sesuatu dan dapat mengurangi kecemasan
c) Stress yang ada sebelumnya
Perubahan pekerjaan tertentu, kekhawatiran akan keadaan keuangan, tempat tinggal,
permasalahan keluarga, perceraian dan permasalahan lainnya membuat survivor
berisiko mengalami kecemasan. Kecemasan ini akan semakin tinggi jika dukungan
yang diperoleh bersifat terbatas.
d) Dukungan sosial
Tidak adanya sistem dukungan sosial dan psikologis menyebabkan seseorang berisiko
mengalami kecemasan, karena tidak ada yang membantunya dalam memaknai
peristiwa serta menghadapi kenyataan secara lapang dada untuk membangkitkan
harga dirinya.
e) Kemampuan mengatasi masalah (coping)
Kemampuan coping yang buruk atau maladaptif memperbesar resiko seseorang
mengalami kecemasan.
f) Lingkungan budaya dan etnis
Setiap informasai yang bersifat baru akan disaring oleh budaya setempat untuk dinilai
apakah informasi tersebut layak atau tidak untuk disampaikan, sehingga terkadang
informasi yang sifatnya penting untuk diketahui tidak dapat disampaikan tepat waktu
dan tepat sasaran yang pada akhirnya dapat berisiko terjadinya kecemasan pada
seseorang yang tidak mengetahuinya.
g) Kepercayaan
Adanya kepercayaan tertentu yang tidak membenarkan perilaku atau informasi (yang
berkaitan dengan menstruasi) dapat berisiko menimbulkan kecemasan karena
seseorang akan timbul persepsibahwa hal tersebut tidak baik atau merupakan suatu
masalah.

Gejala Kecemasan
Simtom terkait kecemasan ; (Semiun, 2006)
a. Simptom Suasana Hati

Simtom-simtom suasana hati dalam kecemasan adalah kecemasan itu sendiri,


perasaan tegang, dan kekhawatiran. Indiidu yang mengalami kecemasan memiliki
perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber
yang tidak diketahui. Simtom-simtom suasana hati yang lain adalah depresi dan sifat
mudahh marah. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan menyebabkan
sifat mudah marah tersebut dapat timbul. Depresi dan sifat mudah marah dilihat
sebagai simtom-simtom sekunder karena keduanya disebabkan oleh kecemasan yang
merupakan simtom primer.
b. Simtom Kognitif
Simtom-simtom kognitif dalam gangguan-gangguan kecemasan menunjukkan
kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang di antisipasi oleh individu.
Perhatian individu dipusatkan pada masalah-masalah yang mungkin terjadi, maka
individu tersebut tidak memperhatikan masalah-masalah yang benar-benar ada, dan
dengan demikian dia menjadi ceroboh dan kebingungan. Sebagai akibat dari
pemusatan yang tidak tepat, individu akan melupakan kegiatan yang harsunya
dilakukan dan akhirnya akan menjadi lebih cemas.
c. Simtom Somatik
Simtom-simtom somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama adalah simtom-simtom langsung yang terdiri dari keluarnya ekringat, mulut
kering, bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa
berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Simtom-simtom ini menunjukkan tingkat
rangsangan dari sistem saraf ototmo tinggi, dan respon-respon yang sama juga terjadi
pada ketakutan. Simtom-simtom tambahan dapat terjadi jika individu terlalu cepat
bernapas (hiperventilasi). Hiperventilasi dpaat menyebakan kepala pusing, jantung
berdenyut dengan cepat, dada terasa sakit, dan kehabisan napas.
Simtom kedua adalah kecemasan yang berkepanjangan, terdapat peningkatan tekanan
darah secara kronis, sakit kepala, otot melemah, dan gangguan motilitas usus yang
jika berkepanjangan dapat menyebabkan ulcer.
d. Simtom Motorik
Orang yang cemas merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti dan
tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang
terjadi secara tiba-tiba. Simtom-simtom motorik ini merupaka gambaran rangsangan

kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk
melindungi dirinya dari apa saja yang dirasa mengancam.
Pola Asuh
Pengertian
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu
bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan nilai
yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pola asuh dalam masyarakat umumnya
bernuansa dari sangat permisif sampai yang sangat otoriter. Pola asuh dalam masyarakat
dapat dikatakan homogen bila dapat diterima sebagai pola asuh oleh seluruh keluarga yang
hidup dalam masyarakat itu. Jadi merupakan pola asuh dari suatu etnik (Hardywinoto dan
Setiabudhi, 2003).
Menurut Baumrind (1971) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua terdiri dari 2 dimensi
yaitu parent warmth (dimensi kehangatan) dan parent control (dimensi kendali) yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dimensi kehangatan menunjukkan
bahwa respon dan afeksi pada anak. Sedangkan dimensi kendali adalah aspek dimana
orangtua mengendalikan perilaku anak untuk memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi
(Apriany, 2006; Yulita, 2014).
Berdasarkan kedua dimensi diatas maka terdapat empat kategori pola asuh yaitu
permissive, authoritarian, authoritative (demokratis), dan neglectfull. Orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter memperlihatkan kehangatan tetapi keras, menjunjung tinggi
kemandirian tetapi menuntut tanggung jawab akan sikap anak. Pada pola asuh authoritarian,
orang tua menjunjung tinggi kepatuhan, kenyamanan, dan disiplin yang berlebih/ orang tua
lebih menekankan pemberian hukuman kesalahan, tanya jawab verbal dan penjelasan tidk
diterapkan. Pola asuh permissive, orang tua bersikap menerima, murah hati dan agak pasif
dalam hal kedisplinan, menerima seluruh tingkah laku yang ditampilkan anak, mengabulkan
setiap permintaan anak/ terlalu memberikan perhatian yang berlebihan tanpa menegakkan
otoritasnya sebagai orang tua. Sedangkan pola asuh neglectfull, orang tua memberikan
kendali dan afeksi yang rendah pada anaknya, mereka membriarkan anak mengambil
keputusan sendiri, orang tua dan anak tidak ada kedekatan emosi dan orang tua cenderung
mengabaikan kesejahteraan anak (Moaccoby, 1980; Apriany, 2006; Yulita, 2014).

Dalam kenyataannya seringkali pola asuh tersebut tidak diterapkan secara kaku,
artinya orang tua tidak menerapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah
satu pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes, dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Sehingga seringkali muncul
lah, tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada
pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes (Dariyo, 2004; Andini,
2012).
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecemasan Remaja
Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama sebagai dasar-dasar kepribadian remaja
(Corah, 2011). Sejalan dengan tahap-tahap perkembangan pada remaja, berpengaruh pula
terhadap kebutuhan akan perubahan pola pengasuhan pada orang tua (Faizah, 2010).

Anda mungkin juga menyukai