Anda di halaman 1dari 8

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH PENGANTAR


TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI

Disusun oleh:
Elvansyah Fajri
1406556356
Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2016

Menjawab Soal Nomor 1


Seperti dikutip Dwyer di Media Convergence: Issues in Cultural and
Media Studies, mengatakan bahwa istilah konvergensi diaplikasikan pada
perkembangan teknologi digital yang paling sering terjadi, yaitu integrasi teks,
angka, gambar, dan suaraatau digitalisasi. Walaupun begitu, itu hanyalah
secuil dari perubahan di media saat ini. Satu perkembangan teknologi yang
dilihat benar-benar mengubah bagaimana konten diproduksi, didistribusikan, dan
dikonsumsi adalah Internet.
Tak hanya soal konten, di era globalisasi seperti ini dimana arus informasi
harus bergerak cepat, dibutuhkan suatu penggabungan berbagai media dapat
diakses dimana saja dan kapan saja. Dengan adanya konvergensi media,
komunikasi massa menjadi lebih efektif dan mampu menjaring massa lebih
banyak. Konvergensi media memungkinkan audiens media massa untuk
berinteraksi dengan media massa, dapat mengontrol kapan, di mana dan
bagaimana mereka mengakses dan berhubungan dengan informasi, dalam
berbagai jenisnya.
Memang masih sungguh banyak pro dan kontra mengenai konvergensi
media. Namun dalam hal ini, saya merasa bahwa konsep konvergensi media
dibutuhkan di era sekarang. Pertama, efek positif adanya konvergensi dipahami
sebagai praktik jika berbagi dan mempromosikan konten dari lintas berbagai
media dan mengandung kolaborasi ruang berita adalah dengan maraknya
jurnalisme online. Bentuk komunikasi konvensional one to many menjadi gugur.
Setiap orang dapat menjadi sumber (komunikator) atas berbagai macam
informasi. Bentuk komunikasinya menjadi many to many. Dengan adanya konsep
many to many setiap orang dapat memilih dan memilah informasi sesuai dengan
apa yang mereka inginkan. Semua orang yang memberikan informasi ini, tidak
hanya menyebabkan banjir berita tapi -meminjam istilah Phil Hemin- juga terkena
musibah tsunami informasi. Maka dari itu konvergensi media juga dapat
memperkaya informasi secara meluas tentang seluruh dunia. Lebih mudah,
praktis, dan efisien. Masyarakat pun dapat lebih interaktif langsung memberikan
umpan balik terhadap informasi - informasi yang disampaikan. Tak hanya itu, kini
masyarakat dapat mendapatkan informasi lebih cepat.

Lalu, dengan adanya konvergensi, informasi yang diterima menjadi


semakin berwarna. Satu pesan dapat dikemas dalam berbagai macam perspektif.
Beda halnya dengan jaman dahulu ketika orang belum mempunyai media
alternatif untuk megkonfirmasi kebenaran berita, orang cenderung mempunyai
pemahaman yang seragam. Tidak adanya media alternatif yang dapat diakses oleh
masyarakat menyebabkan keseragaman frame of reference yang kebenarannya
patut dipertanyakan. Konvergensi media hadir untuk dapat menjadi referensi
dalam mencari kebenaran.
Tak hanya itu, konvergensi media rupanya juga mengubah banyak dari
segi kehidupan manusia, konvergensi menghubungkan antara teknologi, industri,
pasar, gaya hidup dan khalayak. Singkatnya, konvergensi mengubah pola-pola
hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada
berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan.
Konvergensi juga dapat dilihat sebagai jendela kesempatan bagi media
tradisional untuk menyelaraskan diri dengan teknologi abad ke-21. Digitalisasi
dari media dan teknologi informasi adalah dorongan utama di balik konvergensi
Misalnya saja, bagaimana surat kabar harian yang dulunya hanya menyediakan
berita di media cetak kemudian dihadapkan dengan perubahan teknologi yang
drastis ini. Untuk mengikuti perkembangan teknologi saat ini, berbagai surat
kabar harian tersebut pada akhirnya mencoba juga menyediakan berita di internet.
Tak hanya untuk menarik massa yang banyak, konvergensi yang dilakukan oleh
surat kabar harian dapat mendorong kompetisi yang lebih besar karena bahan
mentah (raw material) bagi semua media saat ini menjadi luar biasa murah. Tidak
perlu lagi mengeluarkan biaya produksi tinggi untuk membeli kertas, cukup dalam
bentuk digital yang hampir nol biaya produksi.
Dengan tersedianya berita di internet yang bisa dikonsumsi dengan
komputer bahkan sekarang bisa mengkonsumsi berita dengan handphone secara
cuma-cuma, masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi, hiburan,
sosial, politik, bahkan bidang ekonomi (misalnya, saat ini, orang tidak perlu repot
lagi jika ingin berbelanja sesuatu, dari ponsel yang dimiliki bisa melakukan
banyak hal misalnya membaca koran di pagi hari, bertegur sapa dengan para
kolega, mengirim pesan penting dalam bentuk yang singkat via sms atau dengan

aplikasi pengiriman pesan atau dengan bentuk yang panjang melalui email,
melakukan rapat-rapat penting, sampai pada melakukan transaksi dalam jumlah
yang besar). Semua konten tersebut hadir dalam satu platform media.
Dari contoh-contoh di atas dapat ditarik sejumlah pengertian tentang
pengertian komunikasi massa dengan pola tradisional. Perkembangan teknologi
dalam konvergensi media ini memungkinkan orang untuk terlibat secara pribadi,
antarpribadi, maupun dengan khalayak ramai dalam waktu yang bersamaan.
Ini menunjukkan konvergensi media memadukan ciri-ciri komunikasi
massa dengan komunikasi antarpribadi yang dilakukan dalam satu media
sekaligus. Hal ini disebut dengan demasivikasi, yakni kondisi dimana ciri utama
media massa yang menyebarkan informasi secara masif menjadi lenyap. Arus
informasi yang berlangsung menjadi makin personal, seperti halnya yang telah
disebutkan karena tiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih informasi
yang mereka butuhkan atau yang mereka inginkan.
Kenyataan-kenyataan tadi sejalan dengan teori konvergensi media yang
menyatakan bahwa berbagai perkembangan bentuk media massa terus terjadi
sejak awal penemuannya. Setiap model media terbaru cenderung menjadi
perpanjangan atau evolusi dari model-model pendahulunya, tidak berperan
sebagai pengganti, melainkan sebagai benda komplimenter. Hukum teknologi
berkembang berdasarkan deret ukur, melampaui deret hitung. Jika media
konvensional tidak melakukan penyesuaian, maka mereka akan tertinggal jauh.
Menjawab Soal Nomor 2 Bagian A
Dalam Freenomics yang dikupas Chris Anderson, pebisnis andal asal
Chicago, King Camp Gillette memperkenalkan praktek pricing Cross-subside. Di
mana menggratiskan sesuatu kepada konsumen adalah langkah pemasaran yang
lebih dari gimmick yang sifatnya taktikal, namun sebuah bagian dari dari strategi
keseluruhan. Contohnya, semakin banyak pemasar di industri seluler yang
memberikan ponselnya secara cuma-cuma namun yang dijual adalah paket telpon,
sms, dan internet bulanannya. Atau contoh lainnya ketika berlangganan tv kabel,
sang penyedia jasa secara gratis memberikan decodernya dengan catatan sang

konsumen diharuskan membeli paket yang mereka sediakan setidaknya selama


satu tahun.
Three-Party Market atau Pasar Pihak Ketiga. Contohnya, model ini sukses
dipraktekkan oleh Google, Facebook, Twitter dan hampir semua aplikasi jejaring
sosial. Miliaran penggunanya dapat menikmati berbagai fitur yang mereka
sediakan 24 jam penuh sepanjang hari, bulan dan tahun. Namun seluruh
konsumen tersebut tidak pernah sekalipun menerima tagihan biaya pemakaian.
Lalu darimana sumber penghasilan Facebook, Google, Twitter dan kawan-kawan
berasal? Jawabannya dari iklan yang dipasang oleh pihak ketiga baik individual
(perseorangan) maupun perusahaan yang memanfaatkan milyaran konsumen yang
saban waktu wara-wiri di sosial media tersebut. Konsumen-konsumen tersebut,
sengaja atau tidak, sekali waktu akan mengklik iklan yang beredar diseputaran
menu / fitur aplikasi dan ketika itulah uang masuk ke kas Facebook dan kawankawan.
Lalu, sekarang mari cermati smartphones atau gadget yang dipakai seharihari. Lihat dan hitung berapa banyak aplikasi yang ter-install, dari jumlah tersebut
berapa aplikasi gratis dan berbayar? Kesimpulannya tentu saja sebagian besar
aplikasi yang terpasang tidak berbayar alias gratis, sebuah fakta yang sulit
dibantah. Bagaimana mungkin aplikasi yang dibuat dengan teknologi tinggi dapat
dinikmati oleh konsumen dengan tanpa biaya? Kondisi ini disebut oleh Anderson
sebagai model "Freemium", dimana sebuah aplikasi dapat ditawarkan ke
konsumen dengan 2 versi, yakni Light Version dan Full (upgrade) Version.
Konsumen yang memilih light version tidak dikenai biaya tetapi fitur dan menu
aplikasinya dibatasi, sementara kelompok pelanggan yang menginginkan menu
atau fitur secara lengkap dapat memperolehnya dengan melakukan upgrade ke
full version dengan konsekuensi membayar sejumlah nominal tertentu. Dalam
teori Freemium, jika 10% saja dari total konsumen suatu aplikasi menggunakan
full version, maka bisnis tersebut sudah mampu survive dan mendapatkan
keuntungan (profit) yang memadai. Contoh relevan yang baru saja terjadi ialah
kehadiran aplikasi pengaliran musik Spotify di Indonesia. Spotify membiarkan
pengguna gratis untuk bisa mengakses lagu-lagu yang ada. Namun, terdapat lagulagu tertentu yang hanya disediakan untuk pengguna premium. Untuk menikmati

layanan ini, pengguna dikenakan biaya sebesar Rp 50.000,- per bulannya.


Pengguna premium akan menikmati layanan musik tanpa iklan, kualitas audio
yang lebih bagus (bitrate hingga 320kbit/s, berbanding dengan 160kbit/s untuk
pengguna gratis), dan bisa memutar lagu secara offline.
Dalam non-monetary market, orientasi uang dikesampingkan. Money is
not the only motivation. Kepuasan pribadi dan penghargaan menjadi salah satu
orientasi. Contoh mudahnya mungkin semua pengguna internet tentunya tahu
Wikipedia, sebuah layanan ensiklopedia gratis yang memberikan suatu informasi
hasil dari kontribusi ribuan orang lewat internet. Meskipun tidak ada bayaran
untuk para kontributor di Wikipedia, namun mereka memperoleh kepuasan dan
pengakuan atas apa yang disampaikannya melalui wikipedia. Atau contoh lain,
Kompasiana. Dimana semua orang dapat bebas menuliskan opininya tanpa
dibayar, namun dapat berdampak untuk ketenaran dan menaikkan nama sang
penulis atau kontributor.
Menjawab Soal Nomor 2 Bagian B
Pelaku bisnis digital di Indonesia cenderung kerap menggunakan strategi
bisnis cross-subsidies. Melihat aktifitas e-commerce yang berlangsung di sejumlah
marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Dinomarket, Blibli dan lainlain. Mungkin kita kerap melihat mereka akan segera menyediakan sebuah produk
yang masih berstatus coming soon dengan harga dan promosi yang menggiurkan .
Bagaimana sebuah produk baru yang belum di launching di pasar ditawarkan
dengan harga lebih murah? Istilah yang mereka sering gunakan adalah "PreOrder". Produk belum tersedia dipasar namun sudah dijual dengan berbagai
pemanis seperti diskon, cashback, cicilan 0% dan ditambah gimmick hadiah
produk tertentu serta tak jarang mereka menawarkan gratis ongkos kirim.
Eksekusi penawaran ini tentu saja melibatkan produsen, supplier, bank, kurir dan
penyedia marketplace. Mereka bekerja sama dengan konsep subsidi silang yang
saling menguntungkan satu sama lain, misalnya diskon diberikan oleh produsen
dan supplier, cashback dan fasilitas cicilan disediakan oleh bank penerbit kartu
kredit, dan potongan ongkos kirim ditanggung oleh penyedia jasa kurir. Apakah
mereka rugi? Tentu saja tidak, keuntungan yang diterima per unit transaksi

memang relatif kecil tetapi karena volume transaksinya besar maka efek
multiplikasi memberi margin yang menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anderson, Chris. 2009. Free: The Future of a Radical Price. New York: Random
House Business Books.
Briggs, Asa. dan Peter Burke. 2009. A Social History of The Media: From
Guttenberg to the Internet. London: Polity Press.
Dwyer, Tim. 2010. Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies.
Maidenhead, Berkshire: Open University Press.
McQuail, Denis. McQuails Mass Communication Theory (6th Edition). London:
SAGE Publications Ltd.
Siapera, Euginia. dan Andreas Veglis. 2012. The Handbook of Global Online
Journalism. Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons, Inc.
Straubhaar, Joseph. LaRose, Robert. dan Lucinda Davenport. 2012. Media Now:
Understanding Media, Culture, and Technology (Seventh Edition). USA:
Wadsworth, Cengage Learning.
Artikel Jurnal:
Jenkins, H. 2004. The Cultural Logic of Media Convergence. International
Journal of Cultural Studies, Volume 7(1), 33-43.
Internet:
Amir, Sodikin. 2016. Spotify, Menguji Bisnis Freemium di Indonesia. Diakses
tanggal

April

2016.

Dari

http://tekno.kompas.com/read/2016/03/31/09474967/Spotify.Menguji.Bisn
is.Freemium.di.Indonesia
Anderson, Chris. 2008. Free! Why $0.00 is the Future of Business. Diakses
tanggal 3 April 2016. Dari http://www.wired.com/2008/02/ff-free/
Newman, Jonathan. 2016. The Economics of Free Stuff. Diakses tanggal 5
April 2016. Dari https://mises.org/library/economics-free-stuff
The Economist. 2009. The Economics of Free: Nice but Tricky. Diakses tanggal 5
April 2016. Dari http://www.economist.com/node/14030161

Anda mungkin juga menyukai