Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam merupakan gangguan neurologis yang lazim pada anak dengan
frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang dapat berupa serangan mendadak yang
nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktifitas motorik abnormal,
kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi outonom. Beberapa kejang
ditandai oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran.
Kebanyakan kejang pada anak-anak disebabkan oleh gangguan somatik yang berasal
dari luar otak seperti demam tinggi, infeksi, pingsan, trauma kepala, hipoksia, toksin,
atau aritmia jantung.1
Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak, 2%-5% anak berusia
di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Di Amerika Serikat
insiden kejang demam berkisar antara 2%-5% pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi sekitar 80%-90% dan
yang tersering adalah kejang demam sederhana.2 Menurut consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam biasanya terjadi saat peningkatan suhu tubuh (>38 OC
rectal) pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang berhubungan dengan
adanya demam tetapi tanpa terbukti adanya infeksi atau gangguan intrakranial. Akan
tetapi kejang demam pada anak-anak yang sebelumnya pernah menderita kejang
tanpa demam tidak dimasukkan pada kejang demam. Selain itu pada bayi umur di
bawah 1 bulan juga tidak dikategorikan sebagai kejang demam.3
Secara umum berdasarkan manifestasi klinis kejang, kejang demam di bagi
menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. 1
Kejang demam sederhana umumnya berlangsung singkat (15 menit), berbentuk
umum tonik dan atau klonik (tanpa gerakan fokal), tidak berulang dalam waktu 24
jam, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam. Kejang demam demam kompleks merupakan kejang

demam yang berlangsung >15 menit,kejang terjadi secara fokal atau persial, terjadi
>1 kali dalam 24 jam.4
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme meningkat.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.5
Pengobatan kejang demam pada anak mencakup 3 hal, yaitu pengobatan fase
akut dengan membebaskan jalan napas dan memantau fungsi vital tubuh; mengatasi
kejang dan demam fase akut; mencari dan mengobati penyebab demam dengan
melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali terjadi kejang
demam (sesuai indikasi); dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang
demam.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang Demam
2.1 Definisi
Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38OC) akibat suatu proses ekstrakranial. Pada
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dan tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang mengalami kejang tanpa
demam, bayi yang kejang dengan demam dengan usia dibawah 4 minggu dan anak
pernah kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
kejang demam.6
2.2 Epidemiologi
Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak, 2%-5% anak berusia
di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Di Amerika Serikat
insiden kejang demam berkisar antara 2%-5% pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80%-90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana.2
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan 5 tahun.
Paling sering pada usia 17-23 bulan. Sedikit yang mengalami kejang demam pertama
sebelum umur 5-6 bulan atau setelah 5-8 tahun. Biasanya setelah usia 6 tahun pasien
jarang mengalami kejang demam lagi. Lebih kurang 80 % kasus kejang demam
adalah kejang demam sederhana, dan sisanya 20 % nya kejang demam kompleks.
Sekitar 8% berlangsung lama (> 15 menit), 16 % berulang dalam waktu 24 jam.2
2.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui penyebab pasti kejang demam. Semua jenis
infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi pernafasan akut seperti faringitis, tonsilofaringitis, otitis media

akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih. Beberapa
faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam setelah
imunisasi DPT dan campak, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau
keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, serta perubahan keseimbangan cairan
dan elektrolit.6
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam
keluarga, usia kurang dari 18 bulan, serta suhu tubuh saat kejang. Bila seluruh faktor
diatas ada, kemungkinan berulang 80%. Bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10%
- 15% berulang. Kejang demam berulang paling sering pada tahun pertama.6
Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yakni adanya
gangguan perkembangan neurologis yang jelas sebelum kejang demam pertama;
terjadinya kejang demam kompleks sebelumnya; serta adanya riwayat epilepsi dalam
keluarga.6
2.4 Patogenesis
Sel saraf, seperti sel hidup umumnya mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dari ekstrasel. Dalam keadaan istirahat, potensial membran
berkisar antara 30-100 mV. Selisih potensial ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan. Perbedaan potensial ini terjadi akibat perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Dalam keadaan normal, membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K + dan sangat sulit oleh ion Na + dan
elektrolit lainnya kecuali ion Cl- sehingga berakibat konsentrasi ion K+ dalam sel
syaraf tinggi dan Na+ rendah, sedangkan di luar sel syaraf sebaliknya. Bila sel saraf
mengalami stimulasi misalnya suhu tubuh yang tinggi, stimulasi listrik akan berubah
sehingga mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan potensial
membran akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini,
perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na +
dan K+. Sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.7

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Pada keadaan demam
Demam
(kenaikankenaikan
suhu tubuh
11 C)
kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan
metabolisme
basal 10%-15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Bila terjadi kenaikan suhu akan terjadi
Metabolisme
basal sel, akan terjadi Kebutuhan
perubahan keseimbangan
membran
difusi dariO2
ion Kalium dan
meningkat
meningkat
Natrium sehingga terjadi
lepas muatan listrik. Lepas muatan
sedemikian besarnya
(10-15%)
(20%)
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan
bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang. Selain itu pada anak dibawah usia 5
Perubahan
keseimbangan
tahun proses mielinisasi dari serabut
sel syaraf
masih belum sempurna, plastisitas
(membrane sel neuron)
otak juga masih berlangsung, sehingga saat terjadi demam bisa mengganggu aliran
listrik pada sel syaraf hal tersebut dapat pula mencetuskan kejang, sehingga dapat
Difusi melalui membran
+
+
menurunkan ambang batas kejang pada
anak.
anak
(ion K
---- Tiap
ion Na
) mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan kejang terjadi tergantung dari derajat ambang tinggi rendahnya
Lepas muatan listrik berlebihan neurotransmitter
kejang tersebut. Pada anak denganmenyebabkan
ambang kejang
yang rendah, kejang telah terjadi
kejang
pada suhu 38oC sedangkan pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40Oc atau lebih.5

Skema 1. Patogenesis kejang5


Jadi dapat disimpulkan demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme
sebagai berikut :5
1. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/imatur.
2. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permeabilitas membrane sel.
3. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron
4. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.
2.5 Klasifikasi Kejang Demam
Menurut Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006, klasifikasi kejang
demam pada anak dibedakan menjadi dua, yaitu6

1. Kejang Demam Sederhana ( Simple Febrile Seizure )


Kejang demam sederhana akan berlangsung singkat, dimana berdurasi kurang dari 15
menit, tidak disertai dengan gerakan fokal dan umumnya akan berhenti dengan
sendirinya. Kejang demam sederhana tidak berulang dalam 24 jam dan kejang yang
terjadi bersifat umum, tonik dan atau klonik.6
2. Kejang Demam Kompleks ( Complex Febrile Seizure )
Kejang demam kompleks akan berlangsung lebih dari 15 menit dengan gerakan fokal
di satu sisi, atau kejang umum yang didahului oleh kejang parsial. Dapat terjadi lebih
dari satu kali dalam 24 jam ( berulang ).6
2.6 Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak langsung sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti
hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam
yang pertama.4
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh mencapai 38C atau lebih. Sebagian kejang berlangsung
kurang dari 6 menit dan hanya 8 persen yang berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang
demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik
seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.6

2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk kejang demam, ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. 6
2.7.1

Gejala Klinis
1.
Anamnesis6

a) Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang,


suhu sebelum/pada saat kejang, frekuensi, penyebab demam di luar
SSP.
b) Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
c) Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsy

2.

dalam keluarga.
d) Singkirkan penyebab kejang yang lain.
Pemeriksaan Fisik6
a) Penyebab dasar dari demam harus dilihat.(Pemeriksaan fisik yang
teliti untuk menyingkirkan otitis media, faringitis atau virus
sebagai penyebab demam).
b) Evaluasi serial dari status neurologis pasien (umunya tidak
ditemukan adanya kelainan).
c) Pemeriksaan

tanda

meningeal,

tanda

peningkatan

tekanan

intracranial, dan tanda infeksi di luar SSP.


2.7.2

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi
lengkap, elektrolit dan glukosa darah dapat dilakukan, walaupun
kadang tidak menunjukkan kelainan yang berarti. Hitung leukosit
diatas 20.000 L atau pergeseran ke kiri yang ekstrim mungkin
berhubungan dengan bakteremia. Hitung sel darah lengkap dan kultur
darah mungkin merupakan pemeriksaan yang cocok. Meningitis harus
disingkirkan. Pasien dengan bakterial meningitis bisa menampakkan
demam dan kejang. Tanda dari meningitis (seperti fontanella yang
menonjol, kaku kuduk, stupor) mungkin tidak ada terutama pada anak
dibawah 18 bulan.1 Pemeriksaan lab rutin biasanya tidak diindikasikan
kecuali diperlukan untuk mencari penyebab demam. Penilaian
elektrolit jarang membantu dalam evaluasi kejang demam.6
2. Pencitraan

Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan / MRI tidak dianjurkan


pada anak tanpa kelainan neurologis karena hampir semuanya
menunjukkan gambaran normal. CT Scan atau MRI boleh dilakukan
pada kasus dengan kelainan neurologis atau kasus dengan kejang fokal
untuk mencari lesi organik di otak. CT scan biasanya tidak perlu
dalam evaluasi pada anak dengan kejang demam sederhana yang
pertama kali. CT scan dilakukan pada pasien dengan kejang demam
kompleks.5
3. Pemeriksaan Cairan Serebro Spinal (CSS)
Setelah mengontrol demam dan menghentikan kejang, seorang
dokter harus memutuskan apakah akan melakukan pungsi lumbal.
Indikasi pungsi lumbal pada kejang demam adalah untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Fakta bahwa seseorang
mempunyai riwayat kejang demam sebelumnya tidak menyingkirkan
meningitis sebagai penyebab kejang yang terjadi. Semakin muda usia
anak semakin penting dilakukan, karena pemeriksaan fisik kurang
reliabel dalam mendiagnosis meningitis. Pungsi lumbal seharusnya
dilakukan jika usia anak dibawah 2 tahun, penyembuhan lambat, atau
jika hal lain sebagai penyebab demam tidak ditemukan.1 Pelaksanaan
pungsi lumbal masih kontroversi pada pasien dengan kejang demam
sederhana. Dan perlu dilakukan jika dicurigai terjadi meningitis
walaupun kejang bukan satu-satunya tanda meningitis. Beberapa
literatur melaporkan kurang dari 5% insiden meningitis pada anakanak menimbulkan kejang dan demam.

Bila pasti bahwa kejang

tersebut bukan disebabkan meningitis, pungsi lumbal tidak perlu


dilakukan. Kemampuan menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis bervariasi tergantung pengalaman dokter.1
Rekomendasi yang dapat digunakan yakni6 :

a)

Bayi kurang dari 12 bulan harus dilakukan pungsi lumbal karena


gejala meningitis sering tidak jelas.6

b)

Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal


kecuali pasti bukan meningitis.6

c)

Bayi lebih dari 18 bulan selektif atau tidak rutin karena umumnya
gejala meningitis sudah terlihat dengan jelas. Bila pasti bukan
meningitis pungsi lumbal tidak dianjurkan.6

4. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam, oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali
pada kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang demam
kompleks pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam plus (FS+).6
2.8 Diagnosis Banding
1. Meningitis bakterialis
Peradangan selaput otak pada anak yang disebabkan oleh bakteri
pathogen. Penyakit ini seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas
atau pencernaan seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam,
nyeri kepala, kaku kuduk dengan atau tanpa penurunan kesadaran
merupakan hal yang sangat sugestif meningitis. Banyak gejala meningitis
berkaitan dengan usia. Anak berusia kurang dari tiga tahun jarang
mengeluh nyeri kepala.8
2. Ensefalitis
Infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya
bakteri, ptozoa, cacing, spirochaeta, atau virus. Penyebab yang tersering
dan terpenting adalah virus. Pada banyak pasien sering terjadi keterlibatan
leptomeningeal

(meningoensefalitis),

sedangkan

ensefalomielitis

menunjukkan keterlibatan medulla spinalis. Manifestasi klinis bervariasi

10

mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat,
koma, kejang dan kematian.8
3. Epilepsi
Epilepsi adalah terjadinya bangkitan kejang dua kali atau lebih tanpa
provokasi, yang dipisahkan oleh interval > 24 jam. Hal hal yang menjadi
pedoman diagnostik epilepsi yang diprovokasi demam adalah kejang lama
dan bersifat fokal, umur lebih dari 6 tahun, frekuensi serangan lebih dari 4
kali per tahun, EEG setelah tidak demam abnormal.8
2.9 Penatalaksanaan
1.

Pengobatan fase demam dan kejang akut6


Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien
dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus
bebas agar oksigen terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran,
tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Pemberian diazepam
rektal pada saat kejang sangat efektif dalam menghentikan kejang. Diazepam
rektal dapat diberikan di rumah. Dosis diazepam rektal adalah :
- Dosis 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg
- Dosis 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau 0,5 - 0,75 mg/kg
BB/kali.
Di rumah, maksimum diberikan 2 kali berturutan dengan jarak 5 menit.
Hati-hati dengan depresi pernafasan. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan. Diazepam
dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak masih kejang. 6
Bila kejang tidak berhenti, dapat diberikan phenobarbital intravena 20
mg/kgBB dengan kecepatan >5-10 menit dengan dosis maksimal 1 mg. Bila
kejang tidak berhenti juga, berikan Fenitoin dengan dosis awal 10-20

11

mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari


50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Setelah pemberian Fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena Fenitoin bersifat basa
dan menyebabkan iritasi vena, selain itu efek samping fenitoin dapat
menyebabkan pasien aritmia dan hipotensi. Bila dengan Fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.6
Setelah kejang berhenti pemberian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap
8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam
pada suhu > 38,5oC Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.6
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,
rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10
mg/kg/kali ,3-4 kali sehari
2.

Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan Meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai Meningitis atau apabila kejang demam berlangsung
lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga
pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan
dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan
laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab. Jika anak
mengalami

demam

tinggi,

kompres

dengan

perikan Parasetamol secara rektal (10-15 mg/kgBB).6

12

air

hangat

dan

3.

Pengobatan profilaksis6

Pengobatan profilaksis ada 2 , yaitu profilaksis intermittent (saat demam) dan


profilaksis terus menerus (continuous) .
a. Profilaksis Intermitten pada waktu kejang demam
Antipiretik
-Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari
-Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, diberikan 3-4 kali/hari
Obat antikonvulsan
-Diazepam oral : 0,5 mg/kg BB setiap hari
-Diazepam rektal : 0,5 mg/kg BB atau 5 mg untuk BB<10 kg; 10 mg
untuk BB>10 kg diberikan setiap hari
Profilaksis intermittent diberikan apabila tidak terdapat faktor-faktor resiko dari
kejang demam.
b. Pemberian profilaksis terus-menerus (continuous) hanya diberikan bila terdapat
faktor resiko sebagai berikut : berikut (salah satu):6
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal

4. Pengobatan profilaksis dipertimbangkan bila:

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12


kejang demam > 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat

13

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak


mempunyai fokus organik.

Pengobatan Profilaksis dapat berupa :


Asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
Fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis
Catatan :
-Asam valproat dan fenobarbital dapat mencegah rekurensi sampai 90%
kasus. 6
-Pemakaian fenobarbital sering menyebabkan gangguan perilaku ,
gangguan belajar, dan penurunan IQ pada 40-50% kasus.6
-Obat pilihan saat ini yakni asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproate dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati.6
- Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan
profilaksis hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek.6
- Pemberian obat profilaksis ini dapat diberikan selama satu tahun bebas
kejang dan berhenti bertahap selama 1 sampai 2 bulan.6

14

Kejang

Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB


Max 2 kali dengan jarak 5 menit

Di rumah sakit
Pencarian akses vena
Lab: darah tepi, gula darah , elektrolit

Kejang (+)
Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kg BB
Kecepatan 0,5-1 mg/menit, max 20 mg

Kejang (+)
Fenitoin bolus iv 10-20mg/kgBB
Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit, max 1000 mg

Kejang (-)
Phenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari

Kejang (+)
Phenobarbital 20mg/kg/iv
(rate >5-10menit; max 1 g)

Kejang (+)
Midazolam 0,2 mg/ kgBB bolus
dilanjutkan infus 0,1-0,4 mg/kgBB/jam

Kejang (+), Propofol 3-5mg/kg/infusion

15

Kejang (-)
Fenitoin iv 5-7
mg /kgBB/hari

2.10 Komplikasi
1.

Kejang demam berulang


Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang demam berkisar
antara 25%-50%. Faktor terpenting untuk memperkirakan berulangnya kejang
demam adalah umur anak pada saat kejang terjadi pertama kali. Anak yang
mendapatkan kejang pertama kali pada umur 1 tahun atau kurang mempunyai
kemungkinan sebesar 65% mendapatkan kejang demam kembali. Hal ini
berbeda dengan apabila onset kejang antara umur 1 sampai 2 tahun
kemungkinan berulangnya kejang sebesar 35% dan menjadi 20% apabila onset
kejangnya setelah 2 tahun. Angka berulangnya kejang demam juga meningkat
pada anak yang memiliki perkembangan yang abnormal sebelum kejang
pertama dan pada anak yang memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami
kejang tanpa demam. 7
Faktor risiko terjadinya kejang demam berulang7
a.

Riwayat kejang demam dalam keluarga.

b.

Usia kurang dari 18 bulan.

c.

Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang
demam makin besar resiko berulangnya kejang demam.

d.

Lamanya demam sebelum kejang. Makin pendek jarak antara mulainya


demam dengan terjadinya bangkitan kejang demam, makin besar risiko
berulangnya kejang demam.7
Bila ada 3 faktor, kemungkinan kejang demam berulang kembali adalah

80%. Bila sama sekali tidak terdapat faktor tersebut, risiko kejang demam
kembali adalah 10-15%. Kemungkinan kejang demam kembali paling besar
pada tahun pertama.8
2. Epilepsi
Anak yang mendapatkan kejang demam risikonya meningkat untuk
menjadi epilepsi dibandingkan dengan anak tanpa riwayat kejang demam. Anak
yang mendapatkan kejang fokal, kejang lama dan episode berulang dari kejang

16

demam memiliki kemungkinan sebesar 25% menjadi epilepsi sampai umur 25


tahun. 8
Faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah :
a.Kelainan saraf
b.

Kejang demam kompleks

c.Riwayat epilepsi dalam keluarga


Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%. Adanya ketiga faktor-faktor risiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-15%.8
3. Todd paresis9
Merupakan kelemahan yang terjadi setelah kejang dan timbul setelah
kejang demam 1 kali atau 2 kali. Kelemahan ini biasanya sembuh setelah 24 48 jam atau setelah 1 minggu.9
4.Gangguan intelegensia
Yang mengalami kelainan ini adalah anak-anak yang sebelumnya sudah
menderita gangguan neurologis dan gangguan perkembangan. Gangguan
belajar dan kebiasaan, retardasi mental, dan defisit motorik serta koordinasi
dilaporkan pada anak dengan skuele kejang demam. Angka insiden dari
komplikasi ini sangat rendah pada anak normal yang mendapatkan kejang
demam sederhana. Tidak ada peningkatan insiden dari retardasi mental pada
anak yang hanya mendapatkan kejang demam dan pada anak yang normal
sebelum timbul kejang pertama.9
2.11 Prognosis
Prognosis anak dengan kejang demam adalah bagus, dimana pencapaian
intelektual pasien dapat kembali normal. Kebanyakan anak akan mengalami kejang
demam di kemudian hari, tetapi perkembangan ke epilepsi dan kejang tanpa demam
adalah jarang. Kejang demam akan kambuh pada 50% anak yang mengalami kejang
demam kurang dari 1 tahun dan 27% pada onset setelah umur satu tahun.11,12

17

Jika tidak ditangani, 33% pasien mengalami setidaknya satu kali kekambuhan.
Menurut United States National Collaborative Perinatal Project yang meneliti 1.706
anak dari baru lahir sampai umur 7 tahun yang mengalami satu atau lebih kejang
demam, faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi adalah :
1. riwayat kejang tanpa demam
2. adanya abnormalitas neurologis
3. kejang demam kompleks.
Dari pasien yang mempunyai satu faktor risiko, 2 % berkembang menjadi
epilepsi dan pada pasien yang memiliki 2 atau lebih faktor risiko, 10% berkembang
menjadi epilepsi.10,11
B. Bronkitis Akut
2.1 Definisi
Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta
cabang cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum
yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada
bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari
penyakit saluran pernapasan lainnya. 13
2.2 Epidemiologi dan Etiologi

Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus


(RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.

Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus


influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)

Jamur

Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90%
sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% 14

18

2.3 Patogenesis
sistem mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan sehingga lebih
mudah terserang Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah
virus, namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat
diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.
Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut
adalah virus virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni
influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV).
Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan menyebar
secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat infeksi virus
influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila
penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka
gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang
terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang orang orang tua yang terutama
mendiami panti jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama
keluarganya dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada
pasien dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV.15
Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang
dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer
dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis.15
Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,
Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma
pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kampus
dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam
terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya
ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran.15

19

Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis bahwa
bakteri bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan
Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk dan
produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik merupakan
suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri tersebut dapat
mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam sputum dapat
berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi akut. 15
Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan
normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu
sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien
dengan bronkhitis akut, infeksi. Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran
mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan
hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan
meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkhial meradang, menebal (sering
kali sampai dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya
mukus kental dari dinding bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus
dalam jumlah banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus
akan mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya
mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.. Pasien
mengalami kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di
mana terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai
PCO,sehingga pasien terlihat sianosis.15
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3
minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut

20

ini (Demam, Sesak napas, Bunyi napas mengi atau ngik, Rasa tidak nyaman di dada
atau nyeri dada)16
2.5 Diagnosis
Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien
mempunyai gejala batuk yang timbul tiba tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa
adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut
bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pemeriksaan fisik
pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala
rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan
perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat terdengar ronki,
wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak
dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah. 16
Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Foto thorax biasanya menunjukkan gambaran normal atau tampak corakan
bronkial meningkat.

Gambar 1. Rontgen pada Bronkitis16


b. Uji faal paru

21

Pada beberapa penderita menunjukkan adanya penurunan

uji

fungsi paru.
c. Laboratorium
Pada bronkhitis didapatkan jumlah leukosit meningkat.
Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai
menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai
berikut:

Denyut jantung > 100 kali per menit

Frekuensi napas > 24 kali per menit

Suhu > 38C

Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan
suara napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat

disingkirkan dan dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax . 16


Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk
diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis harus
ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada bronkitis
kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena sebagian
besar penyebabnya adalah virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak
corakan bronkial meningkat.

Pada beberapa penderita menunjukkan adanya

penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan pada
penderita yang sebelumnya sehat. 16
2.6 Penatalaksanaan
1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa
pemberian antibiotik sendiri tidak efektif.16 Pasien dengan usia tua paling sering

22

menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka menerima terapi antibiotik
dengan spektrum luas.17 Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat dijumpai
di praktek dokter dokter pada umumnya.17
Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90%
menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang
menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai
riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan
bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat beberapa penelitian mengenai kegunaan
antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat keparahan batuk pada
bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.16
Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik
sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan oleh
virus.17 Dalam praktek dokter di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang
minta diberikan antibiotik dan sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan
penjelasan mengenai tidak perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian
antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap
antibiotik.17
Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut
yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau
seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan
dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak
dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk dirawat
dalam ruang isolasi selama 5 hari.16
2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator tidak
direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi. Ringkasan
statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya keuntungan dari
penggunaan -agonists oral maupun dalam mengurangi gejala batuk pada pasien
dengan bronkhitis akut.18

23

Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut
dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan
bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar.17 Penggunaan antikolinergik
oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti
dan oleh karena itu tidak dianjurkan. 16
3. Antitusif
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk
dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara
sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut
terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik,
maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu
penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk
pada common cold dan penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang
beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek
keseharian19
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam
menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak 710 orang
dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara acak
diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau placebo dan
gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan rekaman batuk secara
berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam
pengamatan.19
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih banyak
berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi empiris untuk
batuk pada bronkitis akut dapat digunakan. 19

24

Tabel 1. Ringkasan penelitian mengenai efek penggunaan antibiotik untuk gejala


batuk pada pasien dengan bronkitis akut.

Drug Information Handbook. 20th ed. Hudson, OH: Lexi-Comp, 2011

Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang
menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa penelitian,
meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal. 16

4.

Lain lain

25

Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,


diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang cukup
serta masukan cairan ditingkatkan.
Tabel 2. Macam-macam obat16
Obat

Inhaler (g)

Larutan
Nebulizer
(mg/ml)

Oral

Vial
injeksi
(mg)

Durasi
(jam)

100-200 (MDI)

0,5% (sirup)

Salbutamol

100, 200 MDI&DPI

5mg (pil),
0,24% (sirup)

0,1 ; 0,5

4-6

Terbutaline

400,500 (DPI)

2,5 ; 5 (pil)

0,2; 0,25

4-6

Formoterol

4,5-12 MDI&DPI

12+

Salmeterol
Antikolinergik

25-50 MDI&DPI

12+

Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol

4-6

Ipatropium bromide

20,40(MDI)

0,25-0,5

6-8

Oxitropium bromide

100 (MDI)

1,5

7-9

Tiotropium

18(DPI)

24+

Methylxanthines
Aminophylline
Theophylline
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium

200-600mg (pil)
100-600mg (pil)

240mg

24
24

200/80 (MDI)

1,25/0,5

6-8

Salbutamol/Ipatropium
75/15 (MDI)
Inhalasi Glukortikosteroid

0,75/4,5

6-8

Beclomethasone
50-400(MDI&DPI)
0,2-0,4
Budenosid
100,200,400(DPI)
0,20, 0,25, 0,5
Futicason
50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone
100(MDI)
40
Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid

26

40

Prednisone
Methy-Prednisone

5-60 mg(Pil)
4, 8 , 16 mg (Pil)

2.7 Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat
atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari
penyakit yang mendasari. Pada umumnya prognosis pasien bonam.

27

Anda mungkin juga menyukai