PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam merupakan gangguan neurologis yang lazim pada anak dengan
frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang dapat berupa serangan mendadak yang
nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktifitas motorik abnormal,
kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi outonom. Beberapa kejang
ditandai oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran.
Kebanyakan kejang pada anak-anak disebabkan oleh gangguan somatik yang berasal
dari luar otak seperti demam tinggi, infeksi, pingsan, trauma kepala, hipoksia, toksin,
atau aritmia jantung.1
Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak, 2%-5% anak berusia
di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Di Amerika Serikat
insiden kejang demam berkisar antara 2%-5% pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi sekitar 80%-90% dan
yang tersering adalah kejang demam sederhana.2 Menurut consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam biasanya terjadi saat peningkatan suhu tubuh (>38 OC
rectal) pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang berhubungan dengan
adanya demam tetapi tanpa terbukti adanya infeksi atau gangguan intrakranial. Akan
tetapi kejang demam pada anak-anak yang sebelumnya pernah menderita kejang
tanpa demam tidak dimasukkan pada kejang demam. Selain itu pada bayi umur di
bawah 1 bulan juga tidak dikategorikan sebagai kejang demam.3
Secara umum berdasarkan manifestasi klinis kejang, kejang demam di bagi
menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. 1
Kejang demam sederhana umumnya berlangsung singkat (15 menit), berbentuk
umum tonik dan atau klonik (tanpa gerakan fokal), tidak berulang dalam waktu 24
jam, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam. Kejang demam demam kompleks merupakan kejang
demam yang berlangsung >15 menit,kejang terjadi secara fokal atau persial, terjadi
>1 kali dalam 24 jam.4
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme meningkat.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.5
Pengobatan kejang demam pada anak mencakup 3 hal, yaitu pengobatan fase
akut dengan membebaskan jalan napas dan memantau fungsi vital tubuh; mengatasi
kejang dan demam fase akut; mencari dan mengobati penyebab demam dengan
melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali terjadi kejang
demam (sesuai indikasi); dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang
demam.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang Demam
2.1 Definisi
Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38OC) akibat suatu proses ekstrakranial. Pada
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dan tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang mengalami kejang tanpa
demam, bayi yang kejang dengan demam dengan usia dibawah 4 minggu dan anak
pernah kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
kejang demam.6
2.2 Epidemiologi
Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak, 2%-5% anak berusia
di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Di Amerika Serikat
insiden kejang demam berkisar antara 2%-5% pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80%-90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana.2
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan 5 tahun.
Paling sering pada usia 17-23 bulan. Sedikit yang mengalami kejang demam pertama
sebelum umur 5-6 bulan atau setelah 5-8 tahun. Biasanya setelah usia 6 tahun pasien
jarang mengalami kejang demam lagi. Lebih kurang 80 % kasus kejang demam
adalah kejang demam sederhana, dan sisanya 20 % nya kejang demam kompleks.
Sekitar 8% berlangsung lama (> 15 menit), 16 % berulang dalam waktu 24 jam.2
2.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui penyebab pasti kejang demam. Semua jenis
infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi pernafasan akut seperti faringitis, tonsilofaringitis, otitis media
akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih. Beberapa
faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam setelah
imunisasi DPT dan campak, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau
keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, serta perubahan keseimbangan cairan
dan elektrolit.6
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam
keluarga, usia kurang dari 18 bulan, serta suhu tubuh saat kejang. Bila seluruh faktor
diatas ada, kemungkinan berulang 80%. Bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10%
- 15% berulang. Kejang demam berulang paling sering pada tahun pertama.6
Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yakni adanya
gangguan perkembangan neurologis yang jelas sebelum kejang demam pertama;
terjadinya kejang demam kompleks sebelumnya; serta adanya riwayat epilepsi dalam
keluarga.6
2.4 Patogenesis
Sel saraf, seperti sel hidup umumnya mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dari ekstrasel. Dalam keadaan istirahat, potensial membran
berkisar antara 30-100 mV. Selisih potensial ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan. Perbedaan potensial ini terjadi akibat perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Dalam keadaan normal, membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K + dan sangat sulit oleh ion Na + dan
elektrolit lainnya kecuali ion Cl- sehingga berakibat konsentrasi ion K+ dalam sel
syaraf tinggi dan Na+ rendah, sedangkan di luar sel syaraf sebaliknya. Bila sel saraf
mengalami stimulasi misalnya suhu tubuh yang tinggi, stimulasi listrik akan berubah
sehingga mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan potensial
membran akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini,
perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na +
dan K+. Sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.7
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Pada keadaan demam
Demam
(kenaikankenaikan
suhu tubuh
11 C)
kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan
metabolisme
basal 10%-15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Bila terjadi kenaikan suhu akan terjadi
Metabolisme
basal sel, akan terjadi Kebutuhan
perubahan keseimbangan
membran
difusi dariO2
ion Kalium dan
meningkat
meningkat
Natrium sehingga terjadi
lepas muatan listrik. Lepas muatan
sedemikian besarnya
(10-15%)
(20%)
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan
bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang. Selain itu pada anak dibawah usia 5
Perubahan
keseimbangan
tahun proses mielinisasi dari serabut
sel syaraf
masih belum sempurna, plastisitas
(membrane sel neuron)
otak juga masih berlangsung, sehingga saat terjadi demam bisa mengganggu aliran
listrik pada sel syaraf hal tersebut dapat pula mencetuskan kejang, sehingga dapat
Difusi melalui membran
+
+
menurunkan ambang batas kejang pada
anak.
anak
(ion K
---- Tiap
ion Na
) mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan kejang terjadi tergantung dari derajat ambang tinggi rendahnya
Lepas muatan listrik berlebihan neurotransmitter
kejang tersebut. Pada anak denganmenyebabkan
ambang kejang
yang rendah, kejang telah terjadi
kejang
pada suhu 38oC sedangkan pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40Oc atau lebih.5
2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk kejang demam, ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. 6
2.7.1
Gejala Klinis
1.
Anamnesis6
2.
dalam keluarga.
d) Singkirkan penyebab kejang yang lain.
Pemeriksaan Fisik6
a) Penyebab dasar dari demam harus dilihat.(Pemeriksaan fisik yang
teliti untuk menyingkirkan otitis media, faringitis atau virus
sebagai penyebab demam).
b) Evaluasi serial dari status neurologis pasien (umunya tidak
ditemukan adanya kelainan).
c) Pemeriksaan
tanda
meningeal,
tanda
peningkatan
tekanan
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi
lengkap, elektrolit dan glukosa darah dapat dilakukan, walaupun
kadang tidak menunjukkan kelainan yang berarti. Hitung leukosit
diatas 20.000 L atau pergeseran ke kiri yang ekstrim mungkin
berhubungan dengan bakteremia. Hitung sel darah lengkap dan kultur
darah mungkin merupakan pemeriksaan yang cocok. Meningitis harus
disingkirkan. Pasien dengan bakterial meningitis bisa menampakkan
demam dan kejang. Tanda dari meningitis (seperti fontanella yang
menonjol, kaku kuduk, stupor) mungkin tidak ada terutama pada anak
dibawah 18 bulan.1 Pemeriksaan lab rutin biasanya tidak diindikasikan
kecuali diperlukan untuk mencari penyebab demam. Penilaian
elektrolit jarang membantu dalam evaluasi kejang demam.6
2. Pencitraan
a)
b)
c)
Bayi lebih dari 18 bulan selektif atau tidak rutin karena umumnya
gejala meningitis sudah terlihat dengan jelas. Bila pasti bukan
meningitis pungsi lumbal tidak dianjurkan.6
(meningoensefalitis),
sedangkan
ensefalomielitis
10
mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat,
koma, kejang dan kematian.8
3. Epilepsi
Epilepsi adalah terjadinya bangkitan kejang dua kali atau lebih tanpa
provokasi, yang dipisahkan oleh interval > 24 jam. Hal hal yang menjadi
pedoman diagnostik epilepsi yang diprovokasi demam adalah kejang lama
dan bersifat fokal, umur lebih dari 6 tahun, frekuensi serangan lebih dari 4
kali per tahun, EEG setelah tidak demam abnormal.8
2.9 Penatalaksanaan
1.
11
demam
tinggi,
kompres
dengan
12
air
hangat
dan
3.
Pengobatan profilaksis6
13
14
Kejang
Di rumah sakit
Pencarian akses vena
Lab: darah tepi, gula darah , elektrolit
Kejang (+)
Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kg BB
Kecepatan 0,5-1 mg/menit, max 20 mg
Kejang (+)
Fenitoin bolus iv 10-20mg/kgBB
Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit, max 1000 mg
Kejang (-)
Phenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari
Kejang (+)
Phenobarbital 20mg/kg/iv
(rate >5-10menit; max 1 g)
Kejang (+)
Midazolam 0,2 mg/ kgBB bolus
dilanjutkan infus 0,1-0,4 mg/kgBB/jam
15
Kejang (-)
Fenitoin iv 5-7
mg /kgBB/hari
2.10 Komplikasi
1.
b.
c.
Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang
demam makin besar resiko berulangnya kejang demam.
d.
80%. Bila sama sekali tidak terdapat faktor tersebut, risiko kejang demam
kembali adalah 10-15%. Kemungkinan kejang demam kembali paling besar
pada tahun pertama.8
2. Epilepsi
Anak yang mendapatkan kejang demam risikonya meningkat untuk
menjadi epilepsi dibandingkan dengan anak tanpa riwayat kejang demam. Anak
yang mendapatkan kejang fokal, kejang lama dan episode berulang dari kejang
16
17
Jika tidak ditangani, 33% pasien mengalami setidaknya satu kali kekambuhan.
Menurut United States National Collaborative Perinatal Project yang meneliti 1.706
anak dari baru lahir sampai umur 7 tahun yang mengalami satu atau lebih kejang
demam, faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi adalah :
1. riwayat kejang tanpa demam
2. adanya abnormalitas neurologis
3. kejang demam kompleks.
Dari pasien yang mempunyai satu faktor risiko, 2 % berkembang menjadi
epilepsi dan pada pasien yang memiliki 2 atau lebih faktor risiko, 10% berkembang
menjadi epilepsi.10,11
B. Bronkitis Akut
2.1 Definisi
Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta
cabang cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum
yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada
bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari
penyakit saluran pernapasan lainnya. 13
2.2 Epidemiologi dan Etiologi
Jamur
Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90%
sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% 14
18
2.3 Patogenesis
sistem mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan sehingga lebih
mudah terserang Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah
virus, namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat
diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.
Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut
adalah virus virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni
influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV).
Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan menyebar
secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat infeksi virus
influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila
penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka
gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang
terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang orang orang tua yang terutama
mendiami panti jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama
keluarganya dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada
pasien dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV.15
Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang
dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer
dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis.15
Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,
Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma
pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kampus
dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam
terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya
ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran.15
19
Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis bahwa
bakteri bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan
Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk dan
produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik merupakan
suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri tersebut dapat
mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam sputum dapat
berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi akut. 15
Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan
normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu
sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien
dengan bronkhitis akut, infeksi. Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran
mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan
hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan
meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkhial meradang, menebal (sering
kali sampai dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya
mukus kental dari dinding bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus
dalam jumlah banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus
akan mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya
mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.. Pasien
mengalami kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di
mana terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai
PCO,sehingga pasien terlihat sianosis.15
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3
minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut
20
ini (Demam, Sesak napas, Bunyi napas mengi atau ngik, Rasa tidak nyaman di dada
atau nyeri dada)16
2.5 Diagnosis
Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien
mempunyai gejala batuk yang timbul tiba tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa
adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut
bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pemeriksaan fisik
pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala
rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan
perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat terdengar ronki,
wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak
dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah. 16
Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Foto thorax biasanya menunjukkan gambaran normal atau tampak corakan
bronkial meningkat.
21
uji
fungsi paru.
c. Laboratorium
Pada bronkhitis didapatkan jumlah leukosit meningkat.
Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai
menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai
berikut:
Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan
suara napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat
penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan pada
penderita yang sebelumnya sehat. 16
2.6 Penatalaksanaan
1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa
pemberian antibiotik sendiri tidak efektif.16 Pasien dengan usia tua paling sering
22
menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka menerima terapi antibiotik
dengan spektrum luas.17 Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat dijumpai
di praktek dokter dokter pada umumnya.17
Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90%
menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang
menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai
riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan
bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat beberapa penelitian mengenai kegunaan
antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat keparahan batuk pada
bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.16
Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik
sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan oleh
virus.17 Dalam praktek dokter di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang
minta diberikan antibiotik dan sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan
penjelasan mengenai tidak perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian
antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap
antibiotik.17
Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut
yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau
seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan
dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak
dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk dirawat
dalam ruang isolasi selama 5 hari.16
2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator tidak
direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi. Ringkasan
statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya keuntungan dari
penggunaan -agonists oral maupun dalam mengurangi gejala batuk pada pasien
dengan bronkhitis akut.18
23
Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut
dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan
bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar.17 Penggunaan antikolinergik
oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti
dan oleh karena itu tidak dianjurkan. 16
3. Antitusif
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk
dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara
sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut
terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik,
maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu
penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk
pada common cold dan penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang
beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek
keseharian19
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam
menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak 710 orang
dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara acak
diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau placebo dan
gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan rekaman batuk secara
berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam
pengamatan.19
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih banyak
berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi empiris untuk
batuk pada bronkitis akut dapat digunakan. 19
24
Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang
menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa penelitian,
meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal. 16
4.
Lain lain
25
Inhaler (g)
Larutan
Nebulizer
(mg/ml)
Oral
Vial
injeksi
(mg)
Durasi
(jam)
100-200 (MDI)
0,5% (sirup)
Salbutamol
5mg (pil),
0,24% (sirup)
0,1 ; 0,5
4-6
Terbutaline
400,500 (DPI)
2,5 ; 5 (pil)
0,2; 0,25
4-6
Formoterol
4,5-12 MDI&DPI
12+
Salmeterol
Antikolinergik
25-50 MDI&DPI
12+
Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol
4-6
Ipatropium bromide
20,40(MDI)
0,25-0,5
6-8
Oxitropium bromide
100 (MDI)
1,5
7-9
Tiotropium
18(DPI)
24+
Methylxanthines
Aminophylline
Theophylline
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium
200-600mg (pil)
100-600mg (pil)
240mg
24
24
200/80 (MDI)
1,25/0,5
6-8
Salbutamol/Ipatropium
75/15 (MDI)
Inhalasi Glukortikosteroid
0,75/4,5
6-8
Beclomethasone
50-400(MDI&DPI)
0,2-0,4
Budenosid
100,200,400(DPI)
0,20, 0,25, 0,5
Futicason
50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone
100(MDI)
40
Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
26
40
Prednisone
Methy-Prednisone
5-60 mg(Pil)
4, 8 , 16 mg (Pil)
2.7 Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat
atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari
penyakit yang mendasari. Pada umumnya prognosis pasien bonam.
27