Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

VAGINOSIS BAKTERIAL

Pembimbing :
dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd.Ked., M.Sc., Sp.KK

Disusun Oleh :
Yuni Purwati
G4A014085

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

VAGINOSIS BAKTERIAL

Disusun oleh:
Yuni Purwati

G4A014085

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Margono Soekarjo
Purwokerto.

Purwokerto,

Mei 2016

Pembimbing:

dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd.Ked., M.Sc., Sp.KK


NIP 19790129 200501 2 004

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul Vaginosis Bakterial ini
dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.

dr. Thianti

Sylviningrum,

M.Pd.Ked.,

M.Sc.,

Sp.KK

selaku

dosen

pembimbing.
2.

Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RS. Margono Soekarjo.

3.

Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas
semangat dan dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di

dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.

Purwokerto, Mei 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan............................................................................................ i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
I. LAPORAN KASUS......................................................................................... 1
A. Identitas Pasien................................................................................... 1
B. Anamnesis.......................................................................................... 1
C. Pemeriksaan Fisik............................................................................... 2
D. Resume............................................................................................... 3
E. Diagnosis Banding.............................................................................. 4
F. Diagnosis Kerja.................................................................................. 4
G. Pemeriksaan penunjang...................................................................... 4
H. Terapi.................................................................................................. 4
I. Prognosis............................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 6
A. Definisi............................................................................................... 6
B. Epidemiologi...................................................................................... 6
C. Etiologi............................................................................................... 6
D. Patogenesis......................................................................................... 7
E. Patofisiologi........................................................................................ 8
F. Gejala Klinis....................................................................................... 8
G. Diagnosis............................................................................................ 9
H. Terapi.................................................................................................. 11
I. Prognosis............................................................................................ 13
III. PEMBAHASAN............................................................................................ 14
IV. KESIMPULAN.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

I.

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama

: Sdr. Seli

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 20 tahun

Suku

: Jawa

Alamat

: Keniten

Pekerjaan

:-

B. Anamnesis
Keluhan utama

: Keluar duh tubuh dari alat kelamin.

Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien datang ke Puskesmas Baturaden 1


pada tanggal 17 Mei 2016 dengan keluhan
keluar duh tubuh dari alat kelamin.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 7 hari
yang

lalu.

Pasien

mengeluh

keluar

keputihan, berwarna putih susu sampai


keabuan kental. Keluhan dirasakan semakin
lama semakin memberat. Selain itu pasien
juga mengeluhkan rasa gatal, keputihan
berbau amis terutama setelah senggama
tidak berbuih, tidak terasa panas dan
mengeluhkan nyeri perut bagian bawah
terutama saat buang air kecil.
Riwayat Penyakit Dahulu

: Riwayat keluhan yang sama disangkal


pasien
Riwayat sakit kulit disangkal
Riwayat alergi (makanan seperti udang,
ikan laut, telur, debu, maupun obat-obatan)
disangkal

Riwayat asma disangkal


Riwayat DM dan hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

: Riwayat menderita keluhan yang sama


disangkal
Riwayat alergi (makanan seperti udang,
ikan laut, telur, debu, maupun obat-obatan)
disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit DM dan hipertensi
disangkal
Pasien memiliki pacar yang mengeluhkan
sama dengan pasien, yang mengeluhkan
keluar cairan putih dari kelamin dan nyeri
panggul.

Riwayat Sosial Ekonomi

: Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan


seorang kakak laki-laki. Pasien sehari-hari
tidak bekerja. Pasien mengakui melakukan
hubungan seksual pertama kali sejak usia
18

tahun

(2

tahun

yang

lalu)

dan

menggunakan kondom saat berhubungan,


tetapi 7 hari sebelum pasien memeriksakan
diri ke puskesmas, pasien mengakui tidak
menggunakan kondom saat berhubungan
sekual. Pasien menyangkal bergonta-ganti
pasangan seksual.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Vital Sign
TD

: 110/70 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36 C

Status Generalis : Dalam Batas Normal


Kepala
: Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung
: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut
: Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax
: Simetris, retraksi (-)
Jantung
: BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru
: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
: Supel, datar, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

Status Dermatologis
Lokasi

Vulva agina
Efloresensi

Tampak adanya duh tubuh vagina berwarna putih keabuan, homogen berbau
amis, tidak berbuih. Tak tampak adanya benjolan di labia mayora dan minora
dekstra et sinistra dan tidak nyeri saat palpasi serta tidak terlihat dilatasi
pembuluh darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah
pada dinding vagina disertai gambaran serviks normal.

Gambar 1.1 Sekret putih keabuan berbau amis tidak berbuih pada pasien
D. Resume
Pasien, perempuan 20 tahun datang dengan keluhan keluar cairan putih
kebuan kental berbau amis tidak berbuih dari jalan lahir. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 7 hari yang lalu. Pasien mengatakan keluhan dirasakan
semakin lama semakin memberat. Riwayat sakit yang sama sebelumnya
disangkal pasien. Selain itu pasien juga mengeluhkan saat keluar keputihan
terasa gatal, berbau amis tetapi tidak terasa panas dan tidak berbuih. Pasien
juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah saat berkemih.
Riwayat alergi makanan, debu, maupun obat-obatan disangkal. Riwayat
asma disangkal. Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan yang sama
disangkal. Pasien mengakui mulai berhubungan seksual sejak dua tahun yang
lalu, setiap berhubungan seksual pasien mengatakan selalu menggunkan
kondom tetapi saat berhubungan seksual terakhir yaitu 7 hari sebelum ke
puskesmas berhubungan seksual terakhir dan tidak menggunakan kondom.
Riwayat alergi pada keluarga juga disangkal. Riwayat sosial, pasien mengaku
tidak bergonta-ganti pasangan seks dan kurang menjaga higienitas genital.

E. Diagnosis Banding
-

Trichomoniasis

Candidiasis

F. Diagnosis Kerja
Vaginosis Bakterial
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopis
preparat basah dan pemeriksaan kertas lakmus. Usulan pemeriksaan
penunjang lain adalah pemeriksaan whiff test, pewarnaan gram secret vagina
dan pemeriksaan kultur vagina.
H. Terapi
Medikamentosa

1. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari.


2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
Non Medikamentosa

1. Rutin minum obat.


2. Hindari bergonta-ganti pasangan seks.
3. Jaga kebersihan dan higienitas terutama sekitar alat kelamin.
4. Banyak minum air dan makan makanan yang bergizi secara teratur.
I. Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bakterial

vaginosis

adalah

sindrom

klinik

akibat

pergantian

Lactobacillus Spp penghasil hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan flora


normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh :
Bacteroides Spp, Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma
hominis. Jadi, bakterial vaginosis bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh
suatu organisme, tetapi timbul akibat perubahan. Lactobacillus adalah
organisme dominan pada wanita dengan sekret vagina normal dan tanpa
vaginitis. Lactobacillus biasanya ditemukan 80-95 % pada wanita dengan
sekret vagina normal. Sebaliknya, Lactobacillus ditemukan 25-65 % pada
bakterial vaginosis.
B. Epidemiologi
Pada wanita yang memeriksakan kesehatannya, penyakit bakterial
vaginosis lebih sering ditemukan daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi
bergantung pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50
% wanita aktif seksual terkena infeksi G. vaginalis, tetapi hanya sedikit yang
menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan pada pemakai alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR) dan 86% bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.10
Terdapat hubungan antara infeksi G.vaginalis dengan ras, promiskuitas,
stabilitas marital, dan kehamilan sebelumnya. Pada penggunaan AKDR dapat
ditemukan infeksi G.vaginalis dan kuman-kuman anaerob gram negatif.10
Hampir 90% laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi
G.vaginalis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra,
tetapi tidak menyebabkan uretritis. Pada suatu penyelidikan ditemukan adanya
hubungan antara timbulnya rekurensi setelah pengobatan tehadap kontak
seksual. Ditemukannya G.vaginalis sering diikuti dengan infeksi lain yang
ditularkan melalui hubungan seksual.10

C. Etiologi
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis
dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada beberapa kategori dari
bakteri vagina yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :
1. Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi
Gardner

dan

Dukes bahwa

Gardnerella

vaginalis

sangat

erat

hubungannya dengan bakterial vaginosis.1 Organisme ini mula-mula


dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella
atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat.
Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram
negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole,
dan urease semuanya negatif.10 Kuman ini bersifat anaerob fakultatif,
dengan produksi akhir utama pada fermentasi berupa asam asetat, banyak
galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan
juga galur anaerob obligat. Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin,
riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.11
2. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Bacteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak
36% pada wanita dengan bakterial vaginosis. Pada wanita normal kedua
tipe anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bacteriodes dan
Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organik yang predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan
bahwa

bakteri

anaerob

berinteraksi

dengan

G.vaginalis

untuk

menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat hubungan antara bakteri


anaerob dengan vaginosis bakterial. Mikroorganisme anaerob lain yaitu
Mobiluncus Spp, merupakan batang anaerob lengkung yang juga
ditemukan pada vagina bersama-sama dengan organisme lain yang
dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobiluncus Spp hampir tidak

pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan bakterial


vaginosis mengandung organisme ini.1
3. Mycoplasma hominis
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga
harus dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterial,
bersama-sama dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. Prevalensi
tiap mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan bakterial
vaginosis. Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih
besar pada wanita dibandingkan dengan bakterial vaginosis pada wanita
normal.1
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine,
satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml
cairan vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial
vaginosis. Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan
bakteri

anaerob

termasuk

Bacteroides,

Leptostreptococcus,

dan

Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat.9


D. Patogenesis
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah
bakteri predominan di vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina
yang bersifat asam. Faktor-faktor yang dapat mengubah pH melalui efek
alkalinisasi antara lain adalah mukus serviks, semen, darah haid, mencuci
vagina (douching), pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil
dan

menopause.

Faktor-faktor

ini

memungkinkan

meningkatnya

pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri


anaerob. Metabolisme bakteri anaerob menyebabkan lingkungan menjadi
basa yang menghambat pertumbuhan bakteri lain8,12

Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,


keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya
konsentrasi

mikroflora

normal

sehingga

memungkinkan

terjadinya

pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik. 16


Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu
cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang
terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini
merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai
pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret
vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika
mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel
yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue
cell.11
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis
sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif
dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan
pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis.
Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan
sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari
vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya
Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari
infeksi genitalia.10
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh
tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi
lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam
sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial
vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita
infeksi Trichomonas.10 Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa

disebabkan

oleh

kurangnya

pengetahuan

tentang

faktor

penyebab

berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering rekurennya


belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan, yaitu:9
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab
bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung
untuk kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan
pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang
hanya dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai
flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya
pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
E. Gejala Klinis
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina
yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor). 1-6,9 Bau tersebut disebabkan
oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan
seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya
pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun
beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar
wanita dapat asimptomatik. 1 Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal,
rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal
dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva.

Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan
kalau ada karena penyakit lain. 10

Gambar 1. Cairan vagina yang abnormal pada bakterial vaginosis17


Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus
genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan
gejala genital yang tidak spesifik. 1

F. Diagnosis
Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan
aktivitas ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu,
homogen, berbau dengan pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis,
kemungkinan besar menderita bakterial vaginosis. WHO (1980) menjelaskan
bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya clue cells, pH vagina lebih
besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya G. vaginalis sebagai flora vagina
utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan diagnosis
berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis dan ditemukannya clue
cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina yang tinggi
akan memperkuat diagnosis. 10
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu
diagnosis, oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis
yang sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa
terdapat tiga dari empat gejala, yaitu : 9,10
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
2.

vagina dan abnormal


pH vagina > 4,5

3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum
4.

atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).


Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.
a. Anamnesis
Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau
vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor). 1 Pasien sering
mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa terbakar. Biasanya kemerahan dan
edema pada vulva.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang
tipis dan sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau
normal, homogen, dan jarang berbusa.14 Sekret tersebut melekat pada
dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kelainan yang
difus. Gejala peradangan umum tidak ada. 9,10 Sebaliknya sekret vagina
normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang
memberikan gambaran bergerombol. 9
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl
0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi
dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik
menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells,
yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri
(terutama Gardnerella vaginalis).

6,10

Pemeriksaan preparat basah

mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi


bakterial

vaginosis.

vaginosis.9,10,12

Clue

cells

adalah

penanda

bakterial

Gambar 2. Clue cell14


2. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina.
Bau muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil
alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial
vaginosis.9,10,12,14
3. Tes lakmus untuk pH
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna
kertas dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 4,2). Pada 80-90% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.9,12,14
4. Pemarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak
ditemukan Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan
berlebihan dari Gardnerella vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan
bakteri anaerob lainnya.9,10
5. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis
bakterial vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada
hampir seluruh penderita bakterial vaginosis, tapi juga dapat
ditemukan lebih dari 58% pada perempuan tanpa bakterial
vaginosis.9
6. Deteksi hasil metabolik 9:

Tes proline aminopeptidase: G.vaginalis dan Mobilincus Spp


menghasilkan Proline aminopeptidase, dimana Laktobasilus

tidak menghasilkan enzim tersebut.


Permainan Suksinat/ Laktat: batang gram negatif anaerob
menghasilkan suksinat sebagai hasil metabolik. Perbandingan
suksinat terhadap laktat dalam sekret vagina ditunjukkan
dengan analisa kromotografik cairan-gas meningkat pada
bakterial vaginosis dan digunakan sebagai tes skrining untuk
bakterial vaginosis dalam penelitian epidemiologik klinik.

G. Terapi
Karena penyakit bakterial vaginosis merupakan vaginitis yang cukup
banyak ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat
yang digunakan hendaknya tidak membahayakan, dan sedikit efek
sampingnya.10
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara
bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau
endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif
yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan
antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial
vaginosis.9,10
a. Terapi sistemik4,9
1. Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif
dengan kesembuhan 84-96%. Metronidasol dapat menyebabkan mual
dan urin menjadi gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari selama
pengobatan dan 48 jam setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi
disulfiram. Metronidasol 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari untuk
wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif daripada
terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bakterial oleh karena angka
rekurensi lebih tinggi.

2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan


metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%.
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
b. Terapi Topikal9
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7%
dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini
dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 45 %.
c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena
dapat muncul masalah.9 Metronidazol tidak digunakan pada trimester
pertama kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. 9,14 Dosis
yang lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek
samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita
hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan
amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita
tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan
yang rendah.9
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II
dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai
gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup
efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol9

d. Pengobatan vaginosis bakterial rekuren9


Vaginosis bakterial yang rekuren dapat diobati ulang dengan:
-

Rejimen terapi
Metronidazol 500 mg 2x sehari selama 7 hari.
Merupakan obat yang paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%.
Penderita dinasehatkan untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24
jam sesudahnya.

Rejimen alternatif
Metronidazol oral 2 gram dosis tunggal.
Kurang efektif bila dibandingkan rejimen 7 hari; kesembuhan 84%.
Mempunyai aktivitas sedang terhadap Gardnerella vaginalis, tetapi
sangat aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan
dengan inhibisi anaerob.
Metronidazol gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2 kali
sehari untuk 5 hari.
Klindamisi krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5gr), dipakai saat
akan tidur untuk 7 hari atau dua kali sehari untuk lima hari
Klindamisi 300mg 2 kali sehari untuk 7 hari
Augmentin oral (500mg amoksilin + 125 mg asam clavulanat) 3 kali
sehari selama 7 hari.
Sefaleksin 500mg 4 kali sehari semala 7 hari
Jika cara ini tidak berhasil untuk vaginosis bakterial rekuren, maka
dilakukan pengobatan selama seminggu sebelum permulaan menstruasi
dan begitupun pada menstruasi berikutnya, dengan pengobatan selama
3-5 hari dengan metronidazol oral dan anti jamur yaitu clotrimazol
intravaginal atau flukonazol.

H. Prognosis
Prognosis bakterial vaginosis baik, dilaporkan perbaikan spontan pada lebih
sepertiga kasus. Dengan pengobatan metronidasol dan klindamisin memberi
angka kesembuhan yang tinggi (84-96%).9

III.

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis dengan kandidosis vulvovaginalis


didasarkan pada anamnesis yang berhubungan dengan gejala yakni adanya

keputihan yang dialami berwarna putih dan menggumpal seperti susu basi.
Keputihan tersebut disertai rasa gatal sehingga aktivitas sehari-hari
terganggu. Keputihan berbau amis dan tidak berbusa. Anamnesis juga
menunjukan adanya faktor resiko yang dimiliki oleh pasien yaitu pasien
memiliki riwayat higienitas genital yang kurang baik dan juga mempunyai
kebiasaan memakai celana ketat. Selain itu pasien mengakui kurang
menjaga kebersihan setelah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.
Kemaluan terasa panas disangkal, namun terasa nyeri pada bagian perut
bawah. Faktor resiko ini menjadikan pasien memiliki kemungkinan untuk
menderita

infeksi

jamur

yaitu

infeksi

kandida.

Pada

kandidosis

vulvovaginitis juga didapatkan keputihan yang dialami berwarna putih dan


menggumpal seperti susu basi, namun keputihan tidak berbau dan tidak
berbusa, yang sesuai dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak eritem pada labia minora
dekstra et sinistra dan pada daerah vulva, dengan lesi satelit di daerah
sekitar vulva. Tampak adanya fluor albus. Tak tampak adanya benjolan di
labia mayora dan minora dekstra et sinistra. Hasil pemeriksaan ini
menunjukan infeksi yang terjadi karena infeksi kandida. Untuk diagnosis
pasti kandidosis vulvovaginitis perlu untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang yakni kemudian dikonfirmasi dengan preparat KOH yang
diambil dari permukaan mukosa. Pada pemeriksaan mikroskopis ini dapat
dijumpai germ tubes atau budding dan pseudohypa sebagai sel-sel
memanjang seperti sosis yang tersusun memanjang. Kultur vagina sebaiknya
dilakukan pada wanita yang menunjukkan gejala kandidiasis vulvovaginitis
tapi dengan pemeriksaan mikroskopis negatif dan pH vagina yang normal.
Diagnosis kandidiasis vulvovaginitis membutuhkan korelasi antara gejala
klinis, pemeriksaan mikroskopis, dan kultur vagina.
Untuk penatalaksanaan pasien sendiri, pada pasien ini diberikan
pengobatan ketokonazol yang diberikan secara oral dan topikal, pengobtan
ini sudah sesuai dengan literatur yang ada. Pemberian ketokonazol sendiri
berfungsi

sebagai

anti

fungi

yang

bekerja

dengan

menghambat

pembentukan glukosa sehingga jamur kandida tidak mempunyai sumber


makanan.

IV. KESIMPULAN

1. Kandidiasis merupakan penyakit yang 70-80% disebabkan oleh Candida


albicans. Candida albicans merupakan jamur komensal yang dapat
ditemukan pada traktus gastrointestinal dan kulit.
2. Pada penderita wanita, dengan diabetes melitus, penggunaan steroid, alat
kontrasepsi, memakai celana ketat dan baju sintetik, peningkatan estrogen,
penggunaan antibiotik dan imunosupresi, terjadi kerentanan sehingga
mikroba komensal yang bervirulensi rendah dapat berubah menjadi
patogen.
3. Pada pasien ini di diagnosis sebagai kandidiasis vulvovaginitis yang
berdasarkan dari anamnesis, gejala klinis dan penunjang yang mengarah
pada kandidiasis vulvovaginitis.
4. Untuk penegakan pasti diagnosis kandidiasis vulvovaginitis diperlukan
adanya pemeriksaan mikroskopis dengan pemeriksaan sediaan dengan
KOH 10% untuk menemukan pseudohifa.
5. Jika anamnesis dan gejala klinis mengarah ke kandidiasis vulvovaginitis
namun dengan pemeriksaan KOH 10% tidak didapatkan pseudohifa maka
perlu untuk dilakukan pemeriksaan kultur sekret vagina.
6. Untuk penatalaksanaan sendiri diberikan ketokonazol oral dan topika
dengan tujuan sebagai anti fungi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yan ZE. Vulvovaginal candidiasis. Clinical Prevention Services. 2012
2. Leon EM, Jacober JS, Sobel DJ, Foxman B. Prevalence and risk factors
for vaginal Candida colonization in women with type 1 and type 2

diabetes. Updated: 2002. Available from: URL: www.biomedcentral.com.


Accessed may 30, 2012.
3. Sobel
DJ.
Vaginitis.
The
medicine.1997;337:1896-903.

New

England

Journal

of

4. Darmani H.E. Hubungan Antara Pemakaian AKDR Dengan Kandidiasis


Vagina Di RSUP Dr. Prngadi Medan. Updated : 2003. Available from:
URL:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6376/1/D0300597.pdf.
Accesed May 22,2012.
5. Simatupang M.M. Candida albicans. Updated : 2009. Available from:
URL: repository.usu.ac.id. Accessed May 22,2012.
6. Wolf K, Johnson R.A. Genital Candidiasis. In Fitzpatricks Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
p.727-30.
7. Nabhan A. Vulvovaginal Candidiasis. ASJOG. 2006;3:73-9.
8. Prabha. Vaginal yeast Infection. Updated: 2012. Available from: URL:
http://ehealthadvice.info. Accessed may 30,2012
9. Harningsih Dena. Kandidiasis. Updated 2010. Available from:
URL:http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=kandidiasis.
Accessed may 30, 2012.
10. Faraji R, Rahimi MA, Rezvanmadani F, Hashemi M. Prevalence Of
Vaginal Candidiasis Infection In Diabetic Women. African Journal Of
Microbiology Research. 2012;6(11):2773-8.
11. Neerja J, Aruna A, Paraamjet G. Significance of candida culture in women
with vulvovaginal symptoms. J Obstet Gynecol India. 2006;56(2):139-41.
12. Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 6 (cetakan
kedua 2011). FK UI. Jakarta p.383-388
13. Linda O. Eckert.2006. Acute Vulvovaginitis. The New England Journal of

medicine.p355:1244-52.
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp053720

Anda mungkin juga menyukai