Anda di halaman 1dari 14

1.

Preeklamsia
a. Definisi
Preeklamsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat
disebabkan oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme pembuluh darah
dengan keterlibatan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu.
Preeklamsia dapat berlangsung hingga 4-6 minggu post-partum. Penyakit ini
ditentukan oleh kejadian hipertensi onset baru ditambah onset baru proteinuria
dengan atau tanpa edema patologis. Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan
adalah gangguan penglihatan, sakit kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
Insidensi preeklamsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan,
dengan insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar, dan
wanita dengan riwayat preeklamsia sebelumnya (Lindheimer et al., 2008; Rugolo et
al., 2011).
b. Faktor Risiko
1) Primipara
2) Riwayat preeklamsia pada kehamilan
Risiko preeklamsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan dengan riwayat
preeklamsia sebelumnya.
3) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
4) Usia Kehamilan
Preeklamsia pada kehamilan pertama dengan persalinan pada usia kehamilan 32
minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan risiko preeklamsia pada
kehamilan kedua sebesar 25,3 %.
5) Riwayat keluarga dengan preeklamsia
6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m 2 memiliki risiko sebesar
4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m2 memiliki risiko sebesar 13,3%
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen, mola
hidatidosa, dan penyakit periodontal
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami preeklamsia.
10) Ras
Di Amerika Serikat, preeklamsia pada wanita berkulit putih 1.8 % dan 3 % pada
wanita berkulit hitam.

11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia adalah kehamilan


multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal lain yang meningkatkan massa
plasenta dan perfusi plasenta yang buruk
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
c. Patogenesis dan Patofisiologi
1) Implantasi Abnormal
Salah satu mekanisme yang berperan pada proses abormalitas invasi
trofoblas dan remodeling pembuluh darah adalah jalur Notch signaling (American
College of Obstetrics and Gynecology, 2013). Jalur Notch signaling mengatur
diferensiasi dan fungsi sel selama sel kontak di dalam jaringan. Komponen ini
adalah komponen penting di mana sel-sel trofoblas janin menginvasi dan
merubah pembuluh darah ibu (Hunkapiller et al., 2011).
Notch2floxlflox; Tpbpa-Cre yang gagal merubah pembuluh darah ibu secara
adekuat akan menyebabkan penurunan perfusi plasenta. Kegagalan transformasi
fisiologis ini dikaitkan dengan tidak adanya Notch2 karena berkurangnya
diameter pembuluh darah dan perfusi plasenta. Trofoblas mengkoordinasi
peningkatan pasokan pembuluh darah ibu melalui invasi progresif dan pelebaran
pembuluh darah ibu. Perivaskular dan endovaskular sitotrofoblas sering gagal
untuk mengekspresikan JAG1 yang merupakan ligan Notch di preeklamsia
memberikan bukti lebih lanjut bahwa kelainan pada Notch signalingmemiliki
peran penting dalam patogenesis preeklamsia (Hunkapiller et al., 2011).
2) Stres Oksidatif dan Nitrat Oksida
Disfungsi Nitrat Oksida (NO) merupakan salah satu jalur
yang terlibat dalam patogenesis preeklamsia. NO adalah vasodilator utama dan
radikal bebas yang sangat reaktif, disintesis oleh sel endotel dari L-arginine.
Penurunan konsentrasi NO dalam plasma dan plasenta dapat menyebabkan
kurangnya efek vasodilatasi parakrin pada aliran darah uteroplasenta (Rugolo et
al., 2011).
Penurunan bioavailabilitas NO terjadi melalui pengurangan produksi atau
peningkatan konsumsi NO oleh stres oksidatif. Stres oksidatif pada tahap
berikutnya bersama dengan zat toksin akan merangsang kerusakan sel endotel
pembuluh darah yang nantinya akan menimbulkan disfungsi endotel (Roeshadi,
2006; Rugolo et al., 2011).
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan antara produksi zat-zat
vasodilator (misalnya prostasiklin dan nitrat oksida) dengan vasokonstriktor

(misalnya endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II) sehingga terjadi


vasokontriksi dan menyebabkan hipertensi (Roeshadi, 2006).
3)

Disfungsi Endotel
Gangguan sel endotel jika dibiarkan akan menimbulkan kebocoran

khususnya pada sistem mikrovaskular yang akan direspon tubuh dengan


manifestasi agregasi tombosit. Dalam keadaan normal, sel endotel akan
memproduksi prostasiklin (PGI2) dan trombosit akan memproduksi tromboksan 2
(TXA2). (Birawa et al., 2009).
Prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator kuat otot polos yang bekerja
pada reseptor spesifik sel otot polos dan merangsang pembentukan cyclic
adenosinmonophosphate (cAMP) melalui siklus adenylate serta faktor relaksasi
yang kuat. Tromboxan (TXA) merupakan vasokonstriktor kuat. Akibat rasio PGI2
: TXA meningkat maka efek vaskonstriktif akan tinggi dan menyebabkan
terjadinya hipertensi. Disfungsi endotel akan menyebabkan keluarnya mediator
inflamasi seperti TNF-, Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8
(IL-8), Interleukin-10 (IL-10) dan fibronektin serta mikropartikel endotel yang
terbukti meningkat pada preeklamsia (Birawa et al., 2009).
4)

Faktor Angiogenik
Pada plasenta ibu terdapat dua protein yang dapat mencapai jumlah

abnormal di sirkulasi ibu. Pertama adalah solubleFms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) yang merupakan reseptor placental growthfactor (PIGF) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kadar sFlt-1 ibu akan
menurunkan konsentrasi sirkulasi PIGF dan VEGF sehingga terjadi disfungsi
endotel. Inaktivasi VEGF bebas menyebabkan endoteliosis gromular sehingga
terjadi proteinuria. Kedua, protein antiangiogenik, soluble endoglin (sEng) yang
dapat mengganggu pengubahan ikatan growth factor 1 menjadi reseptor
endotelial sehingga mengurangi nitrat oksida endotel dan menyebabkan
terjadinya preeklamsia (Lindheimer et al., 2008; American College of Obstetrics
and Gynecology, 2013).
5)

Renin - Angiotensin System ( RAS )


Angiotensin II type-1 receptor autoantibody (AT1AA) ikut berperan dalam

peningkatan sel endotel dan sensitivitas tekanan darah serta sensitivitas


angiotensin II (ANGII) (Wenzel et al., 2011). Sel endotel meningkatkan sekresi
endhotelin-1 (ET-1) dalam merespon ANGII atau AT1-AA. Ketika AT1-AA dan

ANGII bergabung, sekresi sel endotel ET-1 meningkat 200 kali lipat
dibandingkan jika hanya merespon ANGII atau AT1-AA saja. Sementara itu, baik
ANGII atau AT1-AA akan meningkatkan tekanan darah selama kehamilan. AT1AA memiliki peran penting untuk meningkatkan sensitivitas sel endotel ataupun
tekanan darah terhadap ANGII selama kehamilan (LaMarca B, 2012).
6)

Sistem Imun
Respon inflamasi memiliki peran penting selama plasentasi, natural cell

killer mensekresi sitokin yang akan meningkatkaninfiltrasi trofoblas ke arteri


spiral sehingga menyebabkan respon inflamasi desidua. Plasentasi yang buruk
dan berkurangnya suplai darah uteroplasenta menyebabkan hipoksia plasenta
yang diikuti pelepasan beberapa mediator seperti faktor pertumbuhan dan
reseptor terlarutnya, sitokin inflamasi, debris plasenta, dan produk stres oksidatif
plasenta. Hal ini menyebabkan respon inflamasi sistemik yang berhubungan erat
dengan disfungsi sel endotel dan aktivasi leukosit (Rugolo, 2011).
Genbacev dalam Uzan et al. (2011) menyatakan preeklamsia dapat terjadi
akibat penurunan sistem kekebalan ibu yang mencegah pengenalan unit
fetoplasenta. Produksi berlebihan sel imun menyebabkan sekresi tumor necrosis
factor (TNF) yang akan menginduksi apoptosis sititrofoblas ekstravili.
Colbern et al. dalam Uzan et al. (2011) juga menyatakan bahwa sistem Human
Leukocyte Antigen (HLA) juga memainkan peran dalam invasi arteri spiral, dan
wanita dengan pre-eklampsia menunjukkan penurunan kadar HLA-G dan HLAE.

Gambar 2.1 Patogenesis Preeklamsia (Rugolo et al., 2011)


d. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklamsia
1) Menurut Onset
Menzies et al. dalam Hypertesive Disease in Pregnancy menggolongkan
preeklamsia menjadi dua jenis yaitu preeklampsia onset awal dan preeklamsia
onset lambat. Preeklamsia onset awal cenderung berkembang sebelum usia
kehamilan 34 minggu, preeklamsia onset lambat muncul pada atau setelah usia
kehamilan 34 minggu. Preeklamsia onset awal biasanya dikaitkan dengan
disfungsi plasenta, penurunan volume plasenta, IUGR, abnormalitas uterus dan
evaluasi Doppler arteri umbilikus, disfungsi multiorgan, kematian perinatal dan
luaran maternal dan neonatal yang kurang baik. Preeklamsia onset lambat
diperkirakan muncul dari gangguan konstitusional ibu, hal itu lebih terkait
dengan plasenta yang normal dan hasil evaluasi Doppler yang baik, berat lahir
normal dan luaran ibu dan janin yang baik (Arulkumaran et al., 2014).
2) Menurut Derajat
a)

Preeklamsia ringan
Preeklamsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah

140/90 mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang sebelumnya sudah
memiliki hipertensi esensial, preeklamsia didiagnosis jika tekanan darah

sistolik telah meningkat sebesar 30 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
telah meningkat sebesar 15 mm Hg (Lim et al., 2014).
b)

Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas

perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ibu
160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi dua
kali lipat pada pemeriksaan setidaknya 6 jam terpisah; gangguan neurologis
maternal seperti sakit kepala terus-menerus, tinnitus yang menyebar, refleks
tendon polikinetik, eklamsia, edema paru akut, proteinuria 5 g/hari atau
lebih dari 3+ pada dua sampel urin yang dikumpulkan secara acak minimal
4 jam terpisah, oliguria < 500 cc/hari, kreatinin > 120 mol/L, sindrom
HELLP, trombositopenia < 100.000/mm3, edema paru atau sianosis, nyeri
epigastrium dan atau gangguan fungsi hati, dan kriteria pada janin terutama
pertumbuhan janin terhambat (PJT), oligohidramnion, kematian janin dalam
rahim, atau abrupsio plasenta ( Sibai dan Barton, 2007; Uzan et al., 2011;
Lim et al., 2014).
Kriteria diagnosis preeklamsia berat menurut POGI tahun 2010 adalah
preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda dibawah berikut :
(1)

Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik 160


mmHg dan atau tekanan diastolik 110 mmHg

(2)

Proteinuria, yaitu protein 5 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstick

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

4+
Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
Kenaikan kreatinin serum
Edema paru dan sianosis
Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen.
Gangguan otak dan visus antara lain perubahan kesadaran, nyeri kepala,

skotomata, dan pandangan kabur.


(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 cell/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklamsia berat dalam beberapa kategori :
(1) Preeklamsia berat tanpa impending eklamsi
(2) Preeklamsia berat dengan impending eklamsi, dengan gejala impending : nyeri kepala, mata
kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri kuadran kanan atas abdomen.

Penatalaksanaan preeklamsia berat bertujuan mengendalikan tekanan


darah dan mencegah terjadinya eklamsia, persalinan pervaginam pada pasien
dengan kehamilan cukup bulan dan operasi caesar pada kasus mendesak atau
ketika induksi persalinan gagal, dengan pengaturan waktu yang seimbang
antara keselamatan ibu dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi prematur
(kurang bulan). Manajemen kehamilan hanya untuk beberapa pasien yang jauh
dari usia kehamilan cukup bulan tetapi stabil pada pemberian terapi obat
antihipertensi, dengan hasil pemeriksaan laboratorium stabil dan profil biofisik
janin yang meyakinkan (Turner, 2010).
Norwitz dan Funai (2008) memberikan pedoman untuk mengidentifikasi
kondisi di mana manajemen kehamilan dapat digunakan untuk pasien dengan
preeklamsia berat:
(1) Tidak ada istilah preeklamsia sedang hanya ada ringan atau berat.
(2) Ketika janin dapat dilahirkan dengan aman, segera melakukan

proses

persalinan, dengan catatan ada perawatan neonatal yang baik.


(3) Tidak ada manfaat bagi ibu untuk melanjutkan kehamilan ketika sudah
terdiagnosis preeklamsia berat.
(4) Tidak ada pengelolaan konservatif untuk keadaan: terdapat gejala utama
eklamsia, edema paru, gangguan serebrovaskular, oliguria atau gagal
ginjal, kerusakan hati atau gangguan hemopoetic, dan ditandai dengan
adanya growth restriction (hambatan pertumbuhan).
(5) Pengobatan anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, dan jumlah
trombosit yang rendah (sindrom HELLP) dengan steroid terbukti
meningkatkan beberapa marker atau tanda dari preeklamsia berat tetapi
tidak dapat memperbaiki keluaran ibu atau janin, sehingga tetap
diindikasikan untuk melakukan persalinan.
(6) Kontrol tekanan darah, tekanan darah sistolik harus kurang dari 160
mmHg dan tekanan darah diastolik harus kurang dari 105-110 mmHg.
(7) Mempertahankan kehamilan ketika sudah didiagnosis preeklamsia berat
hanya boleh dilakukan di rumah sakit pusat ketiga dengan memberikan
informed concent yang lengkap setelah konseling dengan spesialis
fetomaternal dan neonatologis.
Komplikasi preeklamsia berat pada ibu meliputi edema pulmo, infark
miokardial, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal ginjal
berat, dan retinal injury. Komplikasi pada janin dan bayi baru lahir berasal

dari insufisiensi uteroplasenta atau kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
e. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan proteinuria.
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda
dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang, maka diagnosis
eklampsia sudah tidak diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala
oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala
subyektif, antara lain: nyeri kepala frontal, gangguan visual dan nyeri epigastrium.
Sedangkan gejala obyektif, antara lain: hiperreflexia, eksitasi motorik, dan sianosis
(Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklamsia berat antara lain: hipertensi menahun,
penyakit ginjal, dan epilepsi.
f. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi
sehat.11
Preeklampsia Ringan
Rawat jalan:
-Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: menghilangkan tekanan uterus pada vena
kava inferior meningkatkan aliran darah balik meningkatkan curah
jantung meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital ginjal:
filtrasi glomerolus meningkat diuresis meningkat ekskresi Na
meningkat menurunkan reaktivitas kardiovaskular mengurangi
vasospasme.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah oksigenasi plasenta
sehingga memperbaiki kondisi janin.
-Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan
roboransia prenatal.
-Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.

-Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal, dan

urin

lengkap.
Rawat inap:
-Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu.
-Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat.
Selama di RS, lakukan:
-Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
-Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
-

Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll (Cunningham, 2005; Saifuddin,


2006; Manuaba, 2007).

Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah mencapai


normal, persalinan ditunggu sampai aterm. Pada kehamilan aterm (> 37
minggu): persalinan ditunggu sampai muncul tanda-tanda persalinan
alami. Persalinan dapat dilakukan secara spontan dengan induksi, bila
perlu memperpendek kala II (Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006;
Manuaba, 2007).

Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran


trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah karena
preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.
g. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam
bentuk kemungkinan:
1) Perdarahan subkapsular
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver (Manuaba, 2007).
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari
kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan
menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut:
1) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
2) Iskemia yang menimbulkan infark serebal
3) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
4) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
5) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula
Oblongata (Manuaba, 2007).

Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia.
h. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8
20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,248,9%. Kematian
ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu
penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian
ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah
ginjal, dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intrauterin (Artikasari, 2009).
2. Thalasemia
a. Definisi
Talasemia merupakan defek genetik yang mengakibatkan berkurang atau tidak
adanya sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin yang merupakan polipeptida
penting molekul hemoglobin (Ruangvutilert, 2007; Atmakusumah et al, 2010).
Talasemia disebabkan oleh penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi
satu atau lebih rantai globin , , ataupun rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi
total atau parsial gen globin dan substitusi, delesiatau insersi nukleotida
(Atmakusumah et al, 2009).
b. Epidemiologi
Saat ini talasemia didapatkan hampir di semua belahan dunia, akibat terjadinya
migrasi populasi hingga ke Eropa, Amerika dan Australia (Old, 2013). Talasemia
ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara, Cyprus, Yunani, Turki dan Sardinia
(Galanello et al, 2011). Sedangkan talasemia banyak ditemukan di Mediterania,
Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan dan Cina (Rund et al,
2005; Cousens et al, 2010).
Di Indonesia kasus talasemia disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dan
percampuran penduduk.Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan, Sulawesi,
pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores. Di Indonesia, diperkirakan jumlah
pembawa sifat thalasemia sekitar 3-5% dari jumlah populasi. Di beberapa daerah di
Indonesia mencapai 10% sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,536%.2 Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional

talasemia adalah 0,1%, dengan 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi di atas


prevalensi nasional yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (1,34%), DKI Jakara
(1,23%), Sumatera Selatan (0,54%), Gorontalo (0,31%), Kep. Riau (0,3%), Nusa
Tenggara Barat (0,26%), Papua Barat (0,22%) dan Maluku (0,19%). Prevalensi
terendahterdapat di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara
masing-masingsebesar 0,01%. Di Bali prevalensi talasemia didapatkan 0,04% (Riset
Kesehatan Dasar 2007).
c. Etiologi
Talasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif
dimana semua perubahan genetik yang terjadi diturunkan dari ibu maupun ayah.
Talasemia terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun (Atmakusumah et
al, 2009).
Mutasi gen pada talasemia dibagi menjadi bentuk:
1) Delesi, sedikitnya 17 delesi berbeda ditemukan pada talasemia . Delesi yang
ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3 gen globin , pada populasi
Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Bentuk homozigot delesi ini
menyebabkan talasemia sedangkan heterozigotnya menimbulkan peningkatan
HbA2 dan HbF.
2) Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik:
a) Region promoter
b) Mutasi transkripsional pada lokasi CAP
c) Mutasi prosesing RNA : intron-exon boundaries, polyadenilation signal,
splice site consesnsus sequences, cryptic sites in exons, cryptic sites in
introns.
d) Mutasi yangmenyebabkan translasi abnormal RNA messenger: inisiasi,
nonsense dan mutasi frameshift.
3) Bentuk mutasi lain seperti talasemia yang diwariskan dominan, varian globin
tidak stabil, talasemia tersembunyi, mutasi talasemia yang tidak terkait kluster
gen globin dan bentuk variasi talasemia
(Atmakusumah et al, 2009).
Sedangkan pada talasemia , mutasi gen yang terjadi berbentuk:
1) Delesi, mencakup satu gen (-) atau kedua (--) gen globin . Pada talasemia ,
terdapat 14 delesi yang mengenai gen , sehingga produksi rantai hilang sama
sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum + yang paling umu ( 3,7 dan
4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi gen globin lainnya.

2) Non delesi, kedua haplotip gen utuh ( ).ekspresi gen 2 lebih kuat 2-3 kali
dari ekspresi gen 1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi ditemukan
predominasi pada ekspresi gen- 2 (Atmakusumah et al, 2009).
d. Patofisiologi
Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang
mengandung besi dan globin (Old, 2013; Pignatti et al, 2014). Hemoglobin berperan
dalam sistem pengangkutan oksigen. Satu molekul hemoglobin mengandung 4
subunit. Masing-masing subunit tersusun atas satu molekul globin dan satu molekul
heme. Sesuai dengan rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati
dan sumsum tulang diikuti juga dengan variasi sintesis hemoglobin.
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac
membentuk rantai globin epsilon dan zeta yang akan membentuk hemoglobin
primitive Gower 1. Selanjutnya dimulai sintesis rantai alpha mengganti rantai zeta;
rantai gamma mengganti rantai epsilon di yolk sac, yang akan membentuk Hb
Portland dan Gower 2. Hemoglobin yang ditemukan terutama pada masa gestasi 4-8
minggu adalah Hb Gower 1 dan Gower 2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan
hemoglobin yang disintesis di yolk sac tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3
bulan. Migrasi pluripoten stem cell dari yolk sac ke hati diikuti dengan sintesis
hemoglobin fetal dan awal sintesis rantai . Setelah masa gestasi 8 minggu HbF
paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan
hemoglobin kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira
70% HbF. Sintesis HbF menurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12
bulan hanya sedikit ditemukan (Strong et al, 2011; Old, 2013).
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA karena telah terjadi perubahan
sintesis rantai menjadi dan selanjutnya globin meningkat pada masa gestasi 6
bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai 30% dan pada usia 6-12
bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa. Hemoglobin dewasa
minor (HbA2) ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir dan pada usia 12 bulan
mencapai 2-3,4%, dengan rasio normal antara HbAdan HbA2 adalah 30:1. Perubahan
hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa diferensiasi sel induk
eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor yang mempengaruhi eritroid dan
dikontrol oleh faktor humoral.
Pada talasemia homozigot sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis sama
sekali.1,3,5 Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha, khususnya
kekurangan sintesis rantai akan menyebabkan kurangnya pembentukan Hb.

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk
menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika
hanya 1 gen yang diturunkan maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi
tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.Secara biokimia kelainan yang
paling mendasar adalah menurunnya biosintesis dari unit globin pada Hb A. Pada
talasemia heterozigot, sintesis globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya.
Pada talasemia homozigot, sintesis globin dapat mencapai nol. Karena adanya
defisiensi yang berat pada rantai , sintesis Hb A total menurun dengan sangat jelas
atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan talasemia homozigot mengalami
anemia berat. Sebagai respon kompensasi maka sintesis rantai menjadi teraktifasi
sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun
sintesis rantai ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi (Ruangvutilert,
2007; Old, 2013).
Patofisiologi talasemia umumnya sama dengan talasemia kecuali beberapa
perbedaan utama akibat delesi atau mutasi rantai globin . Hilangnya gen globin
tunggal tidak berdampak pada fenotif, sedangkan talasemia 2a homozigot (-/-)
atau 1a heterozigot (/--) memberi fenotif seperti talasemia carrier. Kehilangan 3
dari 4 gen globin memberi fenotip dengan berat gejala penyakit menengah disebut
HbH disease. Sedangkan talasemia homozigot (--/--) tidak dapat bertahan hidup,
disebut Hb-Barts hydrops syndrome.
e. Diagnosis Talasemia
Diagnosis talasemia dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang14. Pada wanita hamil, dari anamnesis dapat ditanyakan
adanya gejala anemia seperti pusing, lemah, mudah lelah, hingga sinkop. Ada
atautidaknya riwayat splenomegali, batu empedu, trombosis, kardiomiopati, penyakit
hati kronis serta kelainan endokrin seperti diabetes melitus.Gejala talasemia sering
muncul pada usia >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2-8 tahun). Pada beberapa
wanita gejala anemia akan bertambah berat karena ekspansi volume plasma yang
disertai sedikit peningkatan eritropoiesis. Dapat ditanyakan juga adanya riwayat
transfusi, apakah sejak sebelum atau setelah kehamilan, karena stress fisiologis
kehamilan dapat mengeksaserbasi gejala talasemia (Welch et al, 2010; Kilpatrick,
2014)
f. Penanganan Talasemia Dalam Kehamilan

Kebutuhan transfusi akan meningkat selama kehamilan. Pasien yang tidak


tergantung dengan transfusi seperti pada talasemia intermedia atau Hemoglobin H
menjadi perlu transfusi saat hamil hingga setelah melahirkan. Hemoglobin harus tetap
terjaga 10 g/dl pada talasemia mayor. Observasi pasien dilakukan terhadap fungsi
jantung dan USG serial untuk mengetahui kesejahteraan janin (Welch et al, 2010;
Kilpatrick, 2014).
Pemberian kelasi besi di luar kehamilan biasanya menggunakan desferrioxamin
mesilat (Desferal) yang diberikan perinfus subkutan selama 12 jam 5-7 hari seminggu.
Bila terapi dilanjutkan saat kehamilan berisiko kelainan tulang pada janin.Sebaiknya
kelasi besi dioptimalkan sebelum kehamilan kemudian saat kehamilan tidak dilakukan
terapi kelasi besi terutama pada trimester pertama (Strong et al, 2011).

Anda mungkin juga menyukai