Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Over eksploiasi Sumber Daya Alam saat ini terjadi hampir seluruh
belahan dunia dan telah menyebabkan ketidak seimbangan lingkungan. Hal
telah berdampak bagi kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Perubahan
lingkungan yang terjadi telah menimbulkan berbagai maslah, termasuk
masalah kesehatan. Lingkungan yang tidak sehat berpotensi menimbulkan
berbagai penyakit baik menular ataupun tidak menular.
Masalah lingkungan global telah menciptakan pola penyebaran penyakit
baru sebagai suatu evolusi penyakit di dunia. Secara nyata perkembangan
alam membawa pengaruh pada berbagai jenis penyakit yang menyerang
manusia. Jumlah penyakit di dunia ini bukannya berkurang justru bertambah
secara terus menerus dengan berbagai jenis dan cara timbulnya penyakit yang
semakin bervariasi dan kompleks.

Penyakit yang bermunculan saat ini

(emerging diseases) belum bisa diatasi secara menyeluruh dan selalu


menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahunnya. Muncul pula
penyakit-penyakit baru misalnya penyakit flu burung/avian influenza pada
manusia.
Perubahan pada lingkungan itu pada gilirannya akan mempengaruhi
kehidupan manusia termasuk masalah kesehatan manusia. Teori Gordon,
dalam Anies (2006) menyatakan ketidakseimbangan terjadi akibat pergeseran
faktor lingkungan akan mempengaruhi bibit penyakit (agent) menjadikannya
lebih ganas atau lebih mudah masuk ke dalam tubuh manusia.
Menurut Timmreck (2005) dalam Budiman (tanpa tahun), penyakit
didefinisikan sebagai suatu pola respons yang diberikan oleh organisme hidup
terhadap beberapa bentuk invasi benda asing atau terhadap cedera, yang
mengakibatkan berubahnya fungsi normal organisme tersebut. Lebih jauh lagi
didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal saat tubuh tidak dapat merespon

atau menjalankan fungsi normalnya. Maka penyakit timbul sebenarnya akibat


dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk semang, dan
lingkungan. Setiap penyakit memiliki perjalanan alamiahnya sendiri jika tidak
diganggu dengan intervensi medis atau jika penyakit dibiarkan sampai
melengkapi perjalanannya. Proses suatu penyakit dimulai dari seorang yang
rentan terhadap penyakit dan diserang oleh agent patogen yang cukup virulen
untuk menimbulkan penyakit.
Salah satu menular saat ini yang sangat berbahaya adalah penyakit flu
burung. Penyakit ini merupakan penyakit yang berasal dari ungas dan
disebabkan oleh virus yang dikenal dengan avian influenza A (H5N1). Dalam
beberapa tahun terakhir penyakit ini telah menjadi sorotan dunia, karena
menyebabkan kematian pada ungas dan penyebaranya terjadi antar kelas yakni
ungas ke mamalia.
Virus flu burung pertama kali menyerang 18 orang penduduk Hongkong
pada tahun 1997 dan 6 diantaranya meninggal dunia. Virus H5N1 memiliki
tingkat patogenik yang tinggi sehingga disebut dengan Higly Pathogenik
Avian Influenza (HPAI).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia mencatat bahwa jumlah
orang di 16 negara yang meninggal akibat penyakit flu burung (H5N1) sejak
awal kasus muncul pada 2003 hingga 20 Maret 2015 adalah sebanyak 430
orang dari 785 kasus artinya angka kematian mencapai 55 persen hal ini
menunjukan bahwa virus yang masuk dalam tubuh manusia mempunyai
tingkat virulensi yang tinggi.
Melihat tingkat patogenik dari virus H5N1 maka perlu adanya
pengetahuan dari berbagai aspek mengenai penyakit yang akan ditimbulkan,
tidak hanya dari satu aspek tetapi dari berbagai aspek. Pengetahuan
masyarakat yang masih minim dapat berpotensi maningkatkan penyebaran
kasus flu burung. Dengan pengetahuan dari berbagai aspek dapat
meningkatkan kewaspadaan dan mencegah terjadinya penularan. Berdasarkan
latar belakang diatas maka judul makalah ini adalah Penyakit Menular Flu
Burung
2

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimanakah penyakit
menular (Flu burung) ditinjau dari aspek biologi, fisika, kimia, geologi, dan sosial
masyarakat.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami penyakit menular (Flu burung) ditinjau dari aspek biologi,
fisika, kimia, geologi, dan sosial masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyakit Menular
Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui
berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di
hampir semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya
yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular
umumnya bersifat mendadak dan menyerang semua lapisan masyarakat.
Penyakit jenis ini diprioritaskan mengingat sifat menularnya yang bisa
menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar. Penyakit
menular

merupakan

hasil

perpaduan

berbagai

faktor

yang

saling

mempengaruhi.
Penyebab (agent) penyakit menular adalah unsur biologis yang
bervariasi mulai dari partikel virus yang paling sederhana sampai organisme
yang paling kompleks yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Dimana proses agent penyakit dalam menyebabkan penyakit pada manusia
memerlukan berbagai cara penularan khusus (mode of transmission) serta
adanya sumber penularan (reservoir) penyakit seperti manusia dan binatang.
Salah satu penyakit menular yang angka kesakitannya dan kematiannya cukup
tinggi adalah penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus.
B. Virus Avian Influenza
Penyakit flu burung (bird flu, avian influenza/AI) ialah penyakit yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan antar unggas. Unggas
penular tersebut ialah burung, bebek, ayam, selain itu dapat ditularkan oleh
beberapa hewan yang lain seperti babi, kuda, anjing laut, ikan paus, dan
musang. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat di burung puyuh
dan burung onta. Selain itu penyakit flu burung merupakan penyakit zoonosis
yaitu suatu penyakit pada hewan (unggas) yang dapat menular kepada
manusia. Pola penularan dari sumber utamanya (unggas) adalah kontak

langsung dan lingkungan udara atau peralatan yang tercemar AI (Depkes RI,
2004).
Virus influenza merupakan virus RNA yang termasuk dalam famili
Orthomyxoviridae. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8
segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza
mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan
karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk
menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat
menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung
hemagglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang
terletak terluar dari virion (Horimoto T, Kawaoka Y. 2001). Hemagglutinin
(HA) mempunyai aktifitas dalam

pelekatan

reseptor,

sedangkan

neurominidase (NA) mempunyai aktifitas sialidase yang dibutuhkan untuk


melepas progeni virus dari permukaan sel (WHO, 2002) dalam Garjito (2013).
Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari protein
nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA), dan protein
matriks (MP).
B. Gejala Flu burung
Manusia yang terserang penyakit flu burung akan melewati masa
inkubasi 1-3 hari, masa infeksi 1 hari sebelum 3-5 hari sesudah timbul gejala
sedangkan pada anak-anak sampai 21 hari (Depkes, 2004).
Secara umum gambaran klinis pada manusia yang tertular oleh virus
H5NI secara nyata dapat di lihat melalui tanda dan gejala yang dikeluhkan.
Gejala pada manusia diantaranya adanya demam dengan suhu badan diatas
38C, adanya batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernafasan atas,
pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Penyakit flu burung pada manusia
mengalami masa inkubasi yang relatif cukup cepat dibandingkan dengan
penyakit menular lainnya.
Faktor manusia lainnya adalah gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari
yang tidak memperhatikan perilaku hidup bersih sehat dapat juga berisiko
tertular H5NI. Salah satu kebiasaan tidak hidup sehat yaitu kebiasaan tidak
5

mencuci tangan ini dapat mempercepat proses penularan H5N1 karena


penularan dapat melalui kontak langsung lewat tangan yang menyentuh,
memegang, atau bersinggungan dengan semua yang tercemar virus, termasuk
saat berkontak dengan unggas atau telurnya (Djuwita & Endarti, 2006).
C. Penyebaran Avian Influenza Virus
Interaksi berbagai komponen lingkungan baik fisik, kimia, dan biologi
telah menjadi penyebab timbulnya penyakit flu burung. Lingkungan biologi
terdiri atas organisme-organisme hidup yang berada di sekitar manusia baik
yang merugikan maupun menguntungkan manusia. Lingkungan biologi
bentuk mikroorganisme yang merugikan manusia adalah bibit penyakit
golongan virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang beradaptasi pada unggas
sebagai penyebab penyakit flu burung pada manusia. Keberadaaan virus
H5N1 di lingkungan biologi yang merupakan faktor risiko mencakup
keberadaan unggas liar, keberadaan kucing, dan burung peliharaan.
Faktor manusia adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia
yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit (Azwar,
1999). Penyakit flu burung yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan faktor
manusia yang terdiri dari umur, kebiasaan, dan faktor lainnya yang ada dalam
manusia.
Penyakit flu burung lebih banyak menyerang kelompok anak-anak dan
usia dewasa di banding usia balita walaupun tingkat kematian lebih banyak
pada usia balita. Kelompok anak-anak dan usia dewasa muda mempunyai
risiko terkena penyakit flu burung lebih tinggi akibat risiko terpapar oleh
reservoir lebih tinggi di bandingkan balita karena aktivitas kehidupan dan
interaksi dengan lingkungan sekitar lebih terbuka dan bebas. Namun untuk
balita risiko kematian lebih tinggi terjadi akibat sistem kekebalan yang belum
kuat atau juga penanganan kasus yang lambat karena gambaran klinis penyakit
flu burung pada balita hampir sama dengan gejala pneumonia atau Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang kadang kala tidak teridentikasi secara
dini bahkan masa inkubasi pada anak bisa sampai 21 hari.

Komponen kimia yang berperan langsung terhadap timbulnya penyakit


flu burung adalah golongan virus influenza tipe A yang terdiri atas
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Berdasarkan sifat antigenesitas dari
glikoprotein-glikoprotein virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas
subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Bahkan secara kimiawi virus
avian influenza juga dapat beradaptasi dengan obat maupun vaksin. Burung
liar sebagai pejamu alami telah membawa virus H5N1 menjadi patogen bagi
golongan unggas domestik yang menular ke manusia.
Lingkungan fisik terdiri atas benda-benda yang tidak hidup termasuk
golongan udara, sinar matahari, tanah, air, perumahan, sampah, dan
sebagainya (Entjang 1993) dalam (Budiman, Tanpa Tahun). Komponen
lingkungan fisik diantaranya udara dan air berperan sebagai faktor risiko
penularan dan penyebaran penyakif flu burung. Penyakit ini dapat menular
melalui lingkungan udara yang tercemar virus avian influenza yang berasal
dari kotoran atau sekreta unggas yang menderita flu burung (Depkes 2004).
Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah
menghirup udara yang mengandung virus flu burung atau kontak langsung
dengan unggas yang terinfeksi. Lingkungan air merupakan tempat hidup virus
H5N1 juga bahkan dapat bertahan di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan
lebih dari 30 hari pada 0 C (Depkes 2004) dalam (Budiman, Tanpa Tahun).
Lingkungan fisik rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit flu
burung dilihat dari aspek-aspek tempat tinggal rumah, jarak rumah dengan
kandang ternak, jarak rumah ke pasar unggas, jarak rumah ke tempat
peternakan, dan posisi tempat tinggal.
Lingkungan fisik lainnya sebagai faktor risiko penyakit flu burung
adalah lingkungan air mencakup sumber air rumah tangga, saluran limbah
rumah tangga, dan saluran air limbah kotoran unggas. Virus H5N1 dapat
bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22C dan lebih dari 30 hari pada
0C (Depkes, 2004). Selain itu faktor lingkungan fisik lainnya adalah
kebersihan kandang ternak dan kebersihan rumah yang dapat saja
berhubungan dengan timbulnya penyakit flu burung (Budiman, Tanpa Tahun).
7

Dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change)


tahun 2001 diperoleh bukti baru bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh
aktivitas-aktivitas manusia. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan
global dapat menimbulkan perubahan fungsi berbagai ekosistem yang ada
didunia dan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi
lingkungan dan kesehatan manusia. Pengaruh buruk perubahan iklim global
bagi kesehatan adalah fluktuasi cuaca jangka pendek dimana cuaca panas atau
dingin yang ekstrim dapat menimbulkan stress panas atau hyperthermia, di
samping dapat meningkatkan laju kematian pada penderita penyakit jantung
dan pernafasan (Budiman, Tanpa Tahun).
Perubahan iklim akan memperpanjang musim bagi penyebaran penyakit
menular Penyakit penyakit menular dapat masuk ke wilayah-wilayah
geografis baru bahkan pada populasi yang tingkat kekebalannya rendah dan
prasarana kesehatan publik yang tinggi.
Menurut Masjhur dan Ridad (1998) dalam (Budiman, Tanpa Tahun)
dampak dari pemanasan global (meningkatnya suhu bumi) selain semakin
luasnya penyebaran penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor yaitu nyamuk
dan lalat akan timbul pula penyakit menular lainnya, seperti penyakit flu
burung karena berhubungan dengan masalah lingkungan baik lokal, regional
maupun lingkungan global.
Pada musim dingin, burung burung liar bermigrasi ke arah selatan
melintasi Indonesia. Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus pada
hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka. Para ilmuwan
menyakini bahwa burung-burung liar/burung air yang bermigrasi membawa
virus H5N1 dalam bentuk HPAIV (High Pathogenic Avian Influenza Virus).
Hal ini terbukti dengan KLB flu burung pada hewan di Asia Tenggara yang
terjadi pada musim dingin 2003-2004. Saat itu, kepadatan burung-burung liar
di Asia Tenggara berada pada puncaknya. Semakin banyak hewan peliharaan
yang terinfeksi maka risiko penularan pada manusia semakin besar (Endarti
dan Juwita, 2006) (Budiman, Tanpa Tahun). Selain itu pola penularan melalui
burung liar yang bermigrasi kini terbukti dengan kesamaan virus H5N1 di
8

Danau Qiangli Cina dan pada pasien di Turki yang meninggal (Aditama,
2007) dalam (Budiman, Tanpa Tahun).
Penyakit flu burung pada manusia mempunyai tingkat keganasan
(virulensi) yang membahayakan di antara penyakit infeksi menular lainnya
(HIV/AIDS, Malaria, dan lain-lain). Tingkat kematian akibat penyakit flu
burung mencapai 55% dan masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia
sangat cepat yaitu 1-10 hari.

Penyakit flu burung telah menjadi isu global

sehingga penanganan yang serius perlu segera diambil agar KLB flu burung
tidak bermutasi menjadi flu yang menular dari manusia ke manusia dan
menjadi wabah pandemi influenza. Menurut WHO, terdapat enam fase global
pandemi influenza berdasarkan faktor epidemiologi pada manusia sebelum
suatu pandemi ditetapkan. Flu burung berdasarkan data yang diperoleh dari
WHO masuk pada fase ke-3 yaitu periode kewaspadaan terhadap pandemi.
Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung dengan hewan
pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang membawa virus, atau
bersentuhan dengan benda-benda yang tercemar bahan mengandung virus.
Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami
suatu fase adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi
dalam jumlah yang cukup besar untuk dapat menular secara horisontal ke
unggas lain, baik dalam kawanan sendiri atau ke kawanan yang lain.
Demikian pula sekali HPAIV berkembang dari kawanan unggas yang
terinfeksi LPAIV, virus juga dapat menular dengan cara yang sama.
Lingkungan fisik lainnya yang merupakan faktor risiko penularan penyakit flu
burung adalah pasar unggas. Menurut Bulaga et al, (2003), pasar unggas yang
menjual unggas dalam jumlah besar dan ditempatkan secara saling
berdesakan, merupakan multifaktor penyebaran penularan penyakit flu
burung. Bahkan Yuen, et al (1998) menyatakan kasus-kasus yang pertama kali
ditemukan adanya hubungan antara HPAIV H5N1 garis Asia dengan penyakit
pernafasan pada manusia di Hongkong pada tahun 1997 yang secara
epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang sangat
patogen di pasar unggas hidup.
9

D. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Sampai hari ini, tidak ada bukti daging unggas yang dimasak secara baik
dapat menjadi sumber penularan H5N1 garis Asia pada manusia. Sebagai
pedoman umum, WHO menganjurkan agar daging di masak sampai matang
benar, sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70Celsius.
Pada suhu ini virus infuenza dapat dimatikan sehingga membuat aman untuk
di makan meskipun daging mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO
2005 dalam Radji 2006).
Saat ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun
pencegahan terhadap influenza, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan
oseltamivir (tamiflu). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah
menghambat replikasi virus. Namun demikian kedua obat ini sudah tidak
mempan lagi untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas (Beigel
JH, et.al.2005 dalam Radji (2006). Sedangkan zanamivir dan oseltamivir
merupakan inhibitor neuraminidase. Sebagaimana kita ketahui bahwa
neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel hospes
pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila
neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi
virus tersebut dapat dihentikan. Namun demikian belum ada uji klinik pada
manusia yang secara resmi dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas dari
zanamivir dan oseltamivir untuk pengobatan avian influenza A (H5N1)
(Herman RA & Strorck M. 2005 dalam Radji (2006).). Secara in vitro
memang telah diketahui bahwa virus H5N1 sensitif terhadap oseltamivir dan
zanamivir, oleh sebab itu dianjurkan bagi penderita yang diduga terinfeksi
virus H5N1 dapat diberikan obat oseltamivir atau zanamivir (Leneva
IA,et.al.2000, Govorkova EA.et.al. 2001). Namun belakangan ini telah
ditemukan bahwa Virus H5N1 yang diisolasi beberapa kasus penderita flu
burung telah resisten terhadap oseltamivir (WHO, 2005, Gupta, R. K,
et.al.2006 dalam Radji (2006).
Sampai saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah
manusia terhadap infeksi H5N1. Berbagai upaya pengembangan vaksin H5N1
10

untuk manusia telah dan sedang dilakukan. Sebagai upaya pencegahan, WHO
merekomendasikan untuk orang-orang yang mempunyai risiko tinggi kontak
dengan unggas atau orang yang terinfeksi, dapat diberikan terapi profilaksis
dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari. Beberapa hal
yang patut diperhatikan untuk mencegah semakin meluasnya infeksi H5N1
pada manusia adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan, menjaga
kebersihan diri, gunakan penutup hidung dan sarung tangan apabila memasuki
daerah yang telah terjangkiti atau sedang terjangkit virus flu burung, dan amati
dengan teliti kesehatan kita apabila telah melakukan kontak dengan
unggas/burung, segeralah cari perhatian medis apabila timbul gejala-gejala
demam, infeksi mata, dan/atau ada gangguan pernafasan WHO (2005) dalam
Radji (2006).

11

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai
media unsur biologis yang bervariasi mulai dari partikel virus yang paling
sederhana sampai organisme yang paling kompleks yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.
2. Penyakit flu burung (bird flu, avian influenza/AI) ialah penyakit yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan antar unggas serta
bersifat zoonosis.
3. Virus influenza memiliki 2 jenis spikes yang mengandung hemagglutinin
(HA) dan neuraminidase (NA). Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen
yang

terdiri

dari

protein

nukleokapsid

(NP),

Hemaglutinin

(HA),

Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP).


4. Penyebaran avian influenza virus dipengaruhi oleh :
a. Komponen biologi terdiri atas organisme-organisme hidup yang berada di
sekitar manusia baik yang merugikan maupun menguntungkan manusia.
b. Komponen kimia yang berperan langsung terhadap timbulnya penyakit flu
burung adalah golongan virus influenza tipe A yang terdiri atas
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N).
c. Komponen lingkungan fisik diantaranya udara dan air berperan sebagai
faktor risiko penularan dan penyebaran penyakif flu burung.
d. Komponen Geologi adalah perubahan iklim global
5. Pencegahan dan pengobatan avian influenza virus
a. Sebagai langkah pencegahan WHO menganjurkan agar daging di masak
hingga mencapai suhu internal 70Celsius
b. Obat antiviral untuk pengobatan ataupun pencegahan terhadap influenza,
yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir (tamiflu)
c. Belum adanya vaksin yang tersedia untuk mencegah manusia terhadap
infeksi H5N, WHO merekomendasikan terapi profilaksis dengan 75 mg
12

oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari untuk orang-orang yang


mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang terinfeksi,
dapat diberikan

DAFTAR PUSTAKA

Budiman (Tanpa Tahun). Penyakit Flu Burung: Riwayat Alamiah dan


Pencegahannya.

13

Anonym (2010) (http//www.who.ins/csr/don/2005_10_13/n/indek.html).


Garjito, A. T. (2013). Virus Avian Influenza H5N1: Biologi Molekuler Dan
Potensi Penularannya Ke Unggas Dan Manusia. Jurnal Vektora Vol. V No. 2,
Oktober 2013
Kartono Muhammad (tanpa tahun) Flu Burung.
Radji, M. (2006). Avian Influenza A (H5N1): Patogenesis, Pencegahan dan
Penyebaran pada Manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2,
Agustus 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai