Anda di halaman 1dari 83

BAB II

PERIMBANGAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH SETELAH


REFORMASI

A. Keuangan Negara
Berbicara tentang keuangan negara, kita tidak bisa mendefinisikan
dalam suatu defenisi tertentu, karena definisi keuangan negara bersifat politis,
tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara
dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang
apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud
keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN
maupun Perum.1
Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas
meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan
sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya
meliputi

setiap

badan

hukum

yang

berwenang

mengelola

dan

mempertanggungjawabkannya.2
Beberapa ahli berpendapat keuangan negara dalam BUMN/BUMD
adalah sebatas saham di perusahaan itu. UU Korupsi hanya bisa diterapkan
dalam penjualan saham secara melawan hukum. Namun negara tetap bisa
melakukan upaya hukum perdata maupun pidana berdasarkan undang-undang
selainnya.
1

Arifin P Soeria Atmaja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori,


Kritik, dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 70
2
Hekinus Manao, Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan,
Hukumonline, hlm. 2, diakses 30 Oktober 2009

Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E Sahetapy dalam Diskusi Publik


Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi mengatakan perlu
kejelasan definisi secara yuridis dalam menentukan pengertian keuangan
negara. Menurutnya pengertian keuangan negara masih tersebar dalam
beberapa undang-undang. Diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara
dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah.3
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.17/2003 mendefinisikan
keuangan negara adalah: semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas maka keuangan negara tersebut dapat
meliputi;4
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
serta melakukan pinjaman
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketig
3. Penerimaan Negara

J.E Sahetapy, Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi,


Senin, 12 Nopember 2007, Hukumonline, hlm. 1, diakses 30 Oktober 2009
4
Muhammad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2007), hlm.12

4. Pengeluaran Negara

5. Penerimaan daerah
6. Pengeluaran daerah
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain, baik berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara dan daerah
8. Kekayaan

pihak

lain

yang

dikuasai

pemerintah,

dalam

rangka

penyelenggaraan tugas pemerintah, dan/atau kepentingan umum


9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 17/203, menurut
J.E. Sahetapy definisi keuangan negara tersebut belum jelas, dimana pihak
yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada ketentuan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada
BUMN dan Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan
ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan
umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan
negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya,
apabila terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.5
Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan
5

Hekinus Manao, Op.Cit., hlm.1

negara terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan
penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika
kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk
ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.
Pendapat senada disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi
Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan
keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara
meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.6
Pemahaman kedudukan keuangan negara berdasarkan ketentuan itu
menurutnya terbatas pada kekayaan yang dipisahkan, yaitu sebesar modal
yang disetor atau perubahannya. Kalau pemerintah memegang saham 50%
maka penyertaannya ya 50%, jangan ditafsirkan aset BUMN identik dengan
aset negara.7
Hekinus menambahkan pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan
negara ditafsirkan sebagai seluruh aset BUMN/BUMD merupakan aset
pemerintah.

Jika

demikian

berarti

seluruh

piutang

maupun

utang

BUMN/BUMD juga piutang pemerintah dan mestinya seluruh utang utang


BUMN/D adalah utang pemerintah. Padahal, ketika suatu bagian kekayaan
6

Hariyadi B. Sukamdani, Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan,


Hukumonline, hlm. 2, diakses 30 Oktober 2009
7
Hekinus Manao, Op.Cit.,hlm.2

negara masuk pada BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang


disertakan di dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi.8
Dengan demikian, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian
negara dalam konteks BUMN/BUMD mengacu pada UU No.1 Tahun 1995
Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Sementara
itu Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan
kepabeanan, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kerancuan pengertian
keuangan negara berdampak pada dunia usaha.
Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN tidak
berani mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja
perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret
pengusaha membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.9
Dilain pihak Erman Radjagukguk, mengkaitkan keuangan negara
dengan kerugian negara, berkaitan dengan apakah kekayaan BUMN
merupakan keuangan negara, ia menegaskan bahwa kekayaan negara
menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN
secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan dalam
BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh negara.10
Tindak pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang
menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara
melawan hukum sesuai Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang

Ibid
Hariyadi B. Sukamdani, Op.Cit.,hlm.2-3
10
Erman Rajagukguk, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara,
hukumonline, hlm.3, diakses 30 Oktober 2009
9

No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Ketentuan PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah adalah sebuah kesalahan. Pasal 19 dan 20
menyebutkan tata cara dan penghapusan secara bersyarat maupun mutlak
piutang perusahaan negara/daerah diserahkan pada PUPN dan diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan begitu tidak ada
pemisahan kekayaan BUMN Persero dengan kekayaan negara sebagai
pemegang saham.11
Ketentuan Undang-undang No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada
negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badanbadan baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Menurut
Hekinus, aturan ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tidak
seharusnya digunakan lagi.12
Aturan ini diterbitkan saat pemerintah RI mengambil alih perusahaanperusahaan eks Belanda, sementara kedudukan perusahaan negara waktu itu
berbeda. Karenanya, lanjutnya, seharusnya digunakan penafsiran lex
posteriori derogat lex priori (hukum yang berlaku kemudian menghapuskan
hukum yang berlaku terdahulu).13

B. Keuangan Daerah
Berlakunya
11

Undang-undang

Ibid
Hekinus Manao, Op.Cit.,hlm.3
13
Ibid
12

Nomor

25 Tahun

1999

tentang

perimbangan Keuangan Pusat dan daerah sebagaimana telah diubah dengan


Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah membuka seluasnya
kesempatan bagi para pejabat daerah untuk mengeksploitasi potensi kekayaan
daerah.
Keuangan Daerah merupakan bagian dari keuangan negara, oleh
karena itu keuangan daerah dapat juga diartikan sebagai semua hak dan
kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam
kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Definisi keuangan negara yang bersifat politis, tergantung kepada
sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan Negara Dari sudut
pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila
bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan
negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN maupun
Perum. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas
meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan
sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya
meliputi

setiap

badan

hukum

yang

berwenang

mengelola

dan

mempertanggungjawabkannya.14
Pasal 157 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 5 ayat (2)
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
14

Hariyadi B. Sukamdani, Op.Cit.,hlm.2

antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa sumber-sumber


pendapatan/penerimaan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber pendataan asli daerah yang dalam bentuk retribusi daerah
digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu:15
a. Retribusi jasa umum
b. Retribusi jasa usaha, dan
c. Retribusi perizinan tertentu
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah (selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001), diatur
lebih lanjut tentang jenis retribusi berdasarkan 3 (tiga) penggolongan di atas.
1. Perbandingan APBD Sebelum dan Sesudah Reformasi16
APBD Sebelum Reformasi
Sejak Repelita I Tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita
IV Tahun1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia
disusun menurut anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir
31 Maret Tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama
dengan bentuk dan susunan APBN hanya saja sebutan untuk pos-pos
pendapatan dan belanja berbeda.
Menurut UU No. 5 Tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat
didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat. Bantuan

15

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan


Pemnikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 86
16
Muhammad Karya Satria Azhar Analisis kerja keuangan pemerintah daerah
kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah hlm, 28

keuangan dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan


yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada
pemerintahan daerah. Dalam Pasal 55 undang-undang tersebut disebutkan
tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu:
a. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos
pendapatan yaitu ; pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha
dan lain-lain pendapatan yang sah
b. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang
terdiri dari sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan
pembangunan. Istilah subsidi daerah otonom sebagai bagian dari
bantuan pemerintahan pusat terus mengalami perubahan istilah
disesuaikan dengan saran-sarn pemberian bantuan. Terakhir sebelum
otonomi daerah digunakan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana
Pembangunan Daerah.
c. Lain-lain penerimaan yang sah
d. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang
bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah
e. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih
merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari
pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan
prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa sebelum adanya Undangundang Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU No. 22 dan

UU No. 25 Tahun 1999, ternyata sistem penatausahaan pembiayaan daerah


sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pemerintahan
pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah
dalam hal pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang
dieksploitasi.
Disisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975 dan No. 6 Tahun 1975 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 jo. Tahun 1996 yang
mengatur

tentang

tata

cara

penyusunan,

pelaksanaan

dan

pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Beberapa


karakteristik pengelolaan belanja daerah di era sebelum otonomi daerah
dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut diatas, dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa,
belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja anggsuran,
sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain serta
pengeluaran tak terduga ;
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk
membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik ;
c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang/jasa, belanja
pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran
yang tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap
jenis belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan

pengeluaran

lain-lain

yang

tidak

jelas

pemanfaatan

dan

pertanggungjawabannya seperti belanja barang lain-lain, pemeliharaan


lain-lain dan perjalanan dinas lain- lain ;
d. Masih dalam komposisi belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan
pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak terduga
yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya.
Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan Kepala
Daerah masing-masing ;
e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja
pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat ;
f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan
terhadap pekerjaan non fisik, sangat sulit diukur tingkat manfaat dan
pencapaian sasaran serta pertanggungjawabannya seringkali tidak
didukung bukti pengeluaran yang memadai.
APBD Sesudah Reformasi17
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah
masalah pengelolaaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam
upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka prespektif perubahan
yang diinginkan dalam pengelolaaan keuangan daerah dimasa otonomi
daerah dan anggaran daerah adalah :
a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik,
hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk
kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam
17

Ibid, hlm 31

perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah ;


b. Kejelasan tentang misi pengelolaaan keuangan daerah dan anggaran
daerah pada khususnya ;
c. Desentralisasi pengelolaaan keuangan dan kejelasan peran serta
partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD,
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah lainnya ;
d. Kerangka hukum dan administrasi pembiayaan, investasi dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar ;
e. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain-lain yang tidak
jelas akuntabilitas ;
f. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran
diluar ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD.
2. Pemeriksaan Atas Tanggungjawab Keuangan Pemerintah Daerah18
Pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBD meliputi pemeriksaan
atas pelaksanaan pendapatan daerah, pelaksanaan anggaran daerah, dan
pemeriksaan atas pangsa keuangan daerah.
a. Pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran pendapatan daerah
Luas

lingkup

pemeriksaan

atas

pelaksanaan

anggaran

pendapatan daerah meliputi pendapatan asli daerah berupa pajak dan


retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah, penerimaan dinasdinas daerah, penerimaan lain-lain,dan pendapatan yang berasal dari
pemerintah pusat seperti bagi hasil pajak dan bukan pajak berupa Pajak
18

Mikael PH Togatorop Analisis yuridis keuangan publik dan keuangan


privat pada pemeriksaan BPK hlm, 141

Bumi Bangunan, IHPH dan IHH serta lain-lain pendapatan daerah


yang sah.Ruang lingkup pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran
pendapatan daerah meliputi penilaian tentang ketertiban dan ketaatan
atas

peraturan

perundang-

undangan

dan

penilaian

tentang

penatausahaan efisiensi operasional.


b. Pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran belanja daerah
Luas lingkup pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran belanja
daerah meliputi pelaksanaan anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan daerah. Pemeriksaan atas pelaksanaan belanja
rutin daerah, mencakup pembiayaan aparatur pemerintah berupa
belanja pegawai daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan
berupa belanja barang dan belanja non pegawai serta pengeluaran rutin
lainnya ; pembayaran bunga dan cicilan utang yang terdiri atas
pembayaran

utang

daerah,

subsidi

kepada

daerah

bawahan.

Pemeriksaan atas pelaksanaan belanja daerah mencakup pengeluaran


pembangunan berdasarkan jenis pembayaran perdinas / instansi/
lembaga daerah dan pembangunan daerah lainnya. Ruang lingkup
pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran belanja daerah ini meliputi
penilaian atas temuan tentang ekonomis, efisiensi, dan efektivitas dari
pelaksanaan anggaran belanja dimaksud.
c. Pemeriksaan atas pelaksanaan perhitungan anggaran daerah
BPK melakukan pemeriksaan atas perhitungan daerah adalah
untuk menilai kelengkapan dan kebenaran daripada perhitungan

anggaran daerah yang disajikan, untuk itu dimanfaatkan pula hasilhasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah
d. Pemeriksaan atas pangsa keuangan lainnya
Pangsa keuangan adalah bahagian dari tanggungjawab keuangan yang
berupa embrio dari pos-pos neraca keuangan daerah sebagai akibat
keuangan dari pelaksanaan anggaran pada saat tertentu. Luas lingkup
pemeriksaan atas pangsa keuanagan dimaksud mencakup posisi kas
daerah, posisi piutang daerah, posisi utang daerah, posisi barang inventaris
milik daerah, posisi barang persediaan milik daerah, posisi penyertaan
pemerintah pada badan usaha daerah, posisi konsesi-konsesi daerah, posisi
kewajiban daerah tak terduga (contingency), pemeriksaan pangsa
keuangan berupa inventaris kekayaan milik daerah dilaksanakan setiap
tahun, sedangkan pemeriksaan atas pangsa keuangan lainnya belum dapat
dilaksanakan secara rutin seperti halnya pemeriksaan atas inventaris
barang milik daerah. Ruang lingkup pemeriksaan atas pangsa keuangan ini
ditujukan untuk menilai ketetiban dan ketaatan atas peraturan perundangundangan

C. Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah Setelah Reformasi


Keberadaan Pemerintah Daerah (Pemda), dalam konteks otonomi
daerah, bertujuan untuk menyediakan pelayanan prima dan memfasilitasi
proses pemberdayaan masyarakat.19 Oleh karenanya, Pemda dinilai memiliki
19

Kristian Widya Wicaksono,


Yogyakarta: Graha Ilmu 2006, hlm. 41

Administrasi

dan

Birokrasi

Pemerintah,

kompetensi untuk menterjemahkan keinginan masyarakat secara lebih akurat


dibandingkan institusi vertikal pemerintah lainnya. Pada sisi lain, keyakinan
tersebut turut mendorong Pemda sebagai institusi publik untuk secara
berkesinambungan mampu melaksanakan good governance dalam seluruh
aspek pelaksanaan kepemerintahan.
Kekecewaan
tersentralisasi,

terhadap

mendorong

sistem

pengelolaan

masyarakat

lokal

pemerintahan

menuntut

yang

pelaksanaan

desentralisasi. Latar belakang ini, memang menjadi argumen yang paling


fundamental (mendasar) yang melatarbelakangi kebijakan desentralisasi.20
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan
daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.21
Di Indonesia, penelitian terhadap motivasi desentralisasi menyatakan
bahwa dorongan utama pelaksanaan desentralisasi adalah munculnya gejala
kedaerahan. J.D.Legge yang melakukan penelitian selama satu dasawarsa
(1950-1960) menyatakan bahwa terdapat tiga unsur yang menyebabkan
munculnya gejala kedaerahan (daerahnisme) sebagai akumulasi emosi dan
rasio, yakni :22
20

21

Ibid
Undang-undang No.33

Tahun 2004 Tentang


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
22
Kristian Widya Wicaksono, Op.Cit, hlm. 42

Perimbangan Keuangan

1. Kebutuhan untuk mempromosikan identitas etnis daerahnya sebagai


manifestasi dari akar pemerdekaan Indonesia 1945 sekaligus jalan
aktualisasi kedaerahan masing-masing.
2. Munculnya keresahan atas Imperialisme Jawa. Penelitian di sejumlah
daerah seperti Makasar, Padang dan Flores menunjukkan adanya keluhan
terhadap penguasaan cabang pemerintahan pusat yang didominasi oleh
Pejabat Jawa.
3. Argumen terakhir nampak lebih plausible (masuk akal) yakni daerah
pengekspor seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang
memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia
tidak memperoleh manfaat yang sebanding dengan jasa-jasanya tersebut.
Pasca reformasi 1998, gejala kedaerahan menunjukkan perkembangan
yang semakin kronis. Bahkan diindikasikan mengundang terjadinya
disintegrasi. Fenomena empiris seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
Republik Maluku Selatan (RMS) atau Republik Papua Merdeka (RPM) dapat
ditinjau sebagai cerminan bahwa terdapat potensi gerakan sosial di daerah
yang menginginkan untuk berpisah dari pangkuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana yang terjadi dengan Timor Leste.23
Respon pemerintah kala itu terhadap permasalahan disintegrasi adalah
dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-undang ini memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dengan harapan
pelimpahan

kewenangan

tersebut

akan

memberikan

kepuasan

bagi

masyarakat daerah sehingga meredam permasalahan disintegrasi bangsa.24


Salah satu tawaran solusi atas berbagai masalah pemberlakuan
otonomi daerah adalah memahami kembali ontologi (hakikat) desentralisasi.
23
24

Ibid, hlm. 43
Ibid

Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dalam rangka penyediaan


layanan dari pemerintah pusat (individu atau agen) kepada individu atau agen
yang lebih dekat dengan publik yang akan dilayani. 25 Terdapat dua aspek
yang melatarbelakangi pelimpahan kewenangan. Pertama, aspek Territorial
(kewilayahan), hal ini dimotivasi oleh keinginan untuk menempatkan
kewenangan pada level pemerintahan yang lebih rendah dalam hirarki
teritorial dan secara geografis lebih dekat antara penyedia layanan (agen
pemerintah) dengan pengguna layanan (publik). Kedua, aspek fungsional
yakni pelimpahan kewenangan kepada agen tertentu yang secara fungsional
telah terspesialisasi.26
Terdapat tiga jenis pelimpahan kewenangan, yaitu :27
1. Delegasi dalam struktur formal politik. Contohnya pada saat pemerintah
pusat mendelegasikan tambahan otoritas kepada pemerintah local.
2. Pelimpahan dalam kegiatan administrative public atau dalam organisasi
sejenis yang berbeda tingkatan. Contohnya dari kantor pusat kementrian
kepada kantor wilayah kementrian tersebut.
3. Transfer dari sebuah institusi negara kepada sebuah agen non-pemerintah.
Contohnya pada saat sebuah perusahaan penerbangan nasional dijual kepada
pemegang saham privat atau yang dikenal dengan istilah divestasi/privatisasi.
Namun, tidak sepenuhnya desentralisasi merupakan konsep yang
sempurna. Terdapat beberapa kendala dalam desentralisasi, diantaranya
25

Lembaga administrasi Negara Republik Indonesia, Sistim Administrasi Negara


Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hlm. 93
26
Kristian Widya Wicaksono, Op.Cit ., hlm. 45-46
27
Ibid., hlm. 46

adalah :28
1. Klaim yang menyatakan bahwa desentralisasi akan meningkatkan efesiensi
teknis pada level lokal dapat disanggah dengan argument bahwa
perencanaan dan kebijakan lokal mungkin saja tidak konsisten dengan
kebijakan nasional. Hal ini akan memicu ketidak adilan regional.
2. Besarnya jumlah unit local berarti banyak sumberdaya yang menuntut
koodinasi administrative dan audit.
3. Kekurangan orang yang terlatih sehingga agen desentralisasi pada lokal
diisi staff yang tidak kompeten.
4. Perbedaan potensi daerah yang mencolok dapat menyebabkan daerah yang
miskin dan orang-orang miskin bertambah miskin.
Hambatan-hambatan di atas perlu untuk diperhatikan dalam
pelaksanaan desentralisasi, bahkan perlu dipersiapkan model incremental
(penambahan

atau

pembenahan)

terhadap

impelementasi

kebijakan

desentralisasi. Oleh karenanya, dalam implementasinya, beberapa hal berikut


ini perlu untuk dipersiapkan :29
1. Terdapat Lembaga lokal yang secara konstitusional berpisah dari
pemerintah pusat dan bertanggungjawab atas sejumlah pelayanan lokal
yang signifikan.
2. Memiliki kekayaan, anggaran dan tabungan daerah serta mampu
menggalang penerimaannya sendiri sepanjang hal tersebut sesuai dengan
kewenangan substansi yang dimilikinya.
3. Mempekerjakan pegawainya sendiri yang kompeten direkrut melalui merit
sistem (sistem yang sesuai dengan regulasi), dipecat apabila tidak
kompeten, dapat dialihkan kepada pekerjaan atas alasan profesionalitas
dan efektivitas kerja serta dipromosikan sesuai dengan masa kerja serta
prestasi kerja yang mampu ditunjukkannya.
4. Legislatif yang secara mayoritas dipilih oleh masyarakat local sehingga
dapat mengoperasikan garis kebijakan partai, memutuskan kebijakan dan
menentukan prosedur internal dalam kepartainnya.
5. Administrasi pemerintah pusat sebaiknya melayani secara murni sebagai
penasihat eksternal dan inspektor serta tidak memiliki peranan dalam
kewenangan lokal.
Indonesia pasca reformasi tidak mengalami perubahan sebagaimana
yang digembar-gemborkan banyak kalangan selama ini. Krisis ekonomi dan
28
29

Ibid., hlm. 49-50


Ibid., hlm. 50

kepercayaan yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan


dampak negative bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Di satu sisi, krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa
pada tingkat kemiskinan, namun di sisi yang lain, krisis tersebut dapat juga
member berkah tersembunyi (blessing in disguised) bagi upaya peningkatan
taraf hidup seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan datang.30
Salah satu unsur reformasi total adalah tuntutan pemberian otonomi
yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah
wajar, paling tidak untuk dua alasan, yaitu;
1. Intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah
daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi
di daerah. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari
pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah
cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan
pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.31
2. Tuntutan pembelian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk
memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek
kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana
globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin
30
31

Mardiasmo, Op.Cit., hlm. 3-4


Ibid., hlm. 4

kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan


internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan,
pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahn kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua
masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk menghadapi new game yang penuh dengan new rules tersebut,
dibutuhkan new strategy. Berbagai ketetapan MPR yang telah dihasilkan
melalui Sidang istimewa yang lalu merupakan new strategy kita, untuk keluar
dari krisis ekonomi dan kepercayaan serta menghadapi globalization cascade.
Salah satu ketetapan MPR tersebut adalah Tap MPR Nomor XV/MPR/1998
tentang: Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan
Keuntungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Repubik
Indonesia.
Tap MPR tersebut merupakan landasan hukum keluarnya Undangundang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah yang akan segera membawa angin segar bagi pengembangan otonomi
daerah. Kedua UU ini telah membawa perubahan mendasar pada pola
hubungan antar pemerintahan dan keuangan antar pusat dan daerah.32
Misi utama kedua Undang-undang tersebut adalah desentralisasi.
Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa
32

Ibid

wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi.


Pemerintah pada berbagai tingkatan harus bisa menjadi katalis: fokus pada
pemberian pengarahan bukan pada produksi pelayanan publik.
Produksi pelayanan publik harus dijadikan sebagai pengecualian dan
bukan keharusan. Pada masa yang akan datang, Pemerintah pada semua
tingkatan harus fokus pada fungsi-fungsi dasarnya yaitu: penciptaan
modernisasi lingkungan legal dan regulasi; pengembangan suasana yang
kondusif bagi proses alokasi sumber daya yang efisien; pengembangan
kualitas sumber daya manusia dan infrastuktur; melindungi orang-orang yang
rentan secara fisik maupun non fisik, serta meningkatkan dan konservasi daya
dukung lingkungan hidup.33
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di
Indonesia. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan
otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan
memperhatikan

prinsip-prinsip

demokrasi,

peran

serta

masyarakat,

pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman


daerah.34
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya,
pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan
33
34

Ibid
Ibid., hlm. 8

pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan


keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah upaya untuk
mendorong

pemberdayaan

masyarakat,

pengembangan

prakarsa

dan

kreatifitas, peningkatan peran serta masyarakat dan pengembangan peran


fungsi DPRD, sebagai salah satu alat daerah. 35 UU ini memberikan otonomi
secara utuh kepada kepala daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya.
Sekarang ini daerah sudah diberi kewenangan yang utuh dan bulat
untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan
mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah.
Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi
kemudian akan mempengaruhi komponen pemerintahan lainnya. Salah
satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and
control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi
yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran
pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur
(wirausaha) dalam proses pembangunan.36
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara
hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Seperti sudah diketahui, anggaran daerah adalah rencana kerja daerah dalam
bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran
35
36

Josep Riwu Kaho, Op.Cit, hlm. 77


Mardiasmo, Op.Cit., hlm.8

daerah atau anggaran pendapatan belanja daerah merupakan instrument


kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.
Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar
pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan
perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan
datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk mengevaluasi
kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua
aktifitas dari berbagai unit kerja.
Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran
hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas
atau program yang menjadi prioritas dan prefensi daerah yang bersangkutan.37
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif
perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah adalah sebagai berikut :38
a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik
(public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat
pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan
keuangan daerah.
b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan
yang terkait dalam pengelolaan anggaran seperti DPRD, KDH, Setda dan
perangkat daerah lainnya.
d. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for
money, transparansi dan akuntabilitas.
e. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS daerah,
baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
f. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan
anggaran multi tahunan.
37
38

Ibid., hlm. 9
Ibid., hlm. 9-10

g. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional


h. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan
akuntan public dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja
anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
i. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan,
peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan
profesionalisme aparat pemerintah daerah.
j. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah
daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan
pelaporan dan pengendalian serta, mempermudah mendapatkan informasi.

BAB III
PENGELOLAAN KEUANGAN APBD DALAM PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH

A. Pengelolaan Keuangan Daerah


Negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang merdeka dan
berdaulat, di mana Pemerintah di daerah merupakan bagian integralnya, telah
memiliki tujuan akhir. Tujuan akhir itu ialah suatu masyarakat adil, makmur,
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang dirumuskan lebih terperinci dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Oleh karena luas dan banyak urusan pemerintahan itu, sehingga tidak
mungkin seluruhnya diurus oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di suatu
tempat. Dengan demikian urusan negara memerlukan adanya berbagai alat
perlengkapan negara membantu terwujudnya tujuan negara.
Dengan demikian timbul persoalan bagaimana cara menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup segenap wilayah negara. Persoalan ini
menimbulkan adanya pembagian wilayah negara atau sejumlah pemerintah
daerah-daerah negara. Dalam negara yang berbentuk kesatuan hanya
disebutkan pemerintahan daerah yang biasa juga disebut dengan pemerintahan
setempat atau pemerintah local (local government).
Salah satu bidang yang penting diatur dalam pemerintahan daerah
adalah pengelolaan keuangan. Mengenai keuangan daerah merupakan masalah

esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan


otonominya. Daerah membutuhkan biaya atau dana yang cukup besar,
Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya
daerah membutuhkan dana dan biaya yang cukup besar, dimana dana dan
biaya

tersebut

dimaksudkan

untuk

dipergunakan

bagi

kepentingan

menjalankan roda pemerintahan di daerah. Tanpa adanya otonomi keuangan


daerah tidak akan pernah ada otonomi daerah.39
Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari pemerintah Daerah
untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak
daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari
kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta
bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud ketidak berdayaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma
pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma
pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan
paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket
undang-undang

yaitu

Undang-undang

No.32

Tahun

2004

tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
39

M. Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah, (Malang: FE


Unbraw Press,2002), hlm. 9

Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas,


nyata dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah yang
strategis dalam 2 hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan
jawaban atas permasalahan local bangsa Indonesia berupa ancaman
disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya
kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia.
Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis
bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan
memperkuat basis perekonomian daerah.
Dikeluarkannya kedua UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun
2004 memberikan implikasi yang sangat mendasar yang mengarah pada perlu
dilakukannya reformasi sektor publik dan dipakainya paradigma baru dalam
pengelolaan keuangan daerah. Reformasi sektor publik tersebut harus diikuti
dengan reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat
negara di daerah baik struktur maupun infrastrukturnya.
Lembaga-lembaga di daerah hendaknya tidak lagi dijadikan sebagai
alat Pemerintah Pusat semata-mata, namun lebih diorientasikan pada
pelaksanaan lembaga tersebut secara ekonomis, efisien dan efektif,
transparan, memiliki akuntabilitas dan kepekaan yang tinggi terhadap aspirasi
masyarakat di daerah. Kunci reformasi kelembagaan adalah sebagai
stakeholder, Pemerintah Daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai
stakeholder dengan memberikan tanggung jawab, wewenang, dan
kesempatan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri.

Reformasi manajemen sektor publik sangat penting dilakukan, karena


perubahan tidaklah sekedar perubahan paradigma, namun juga perubahan
manajemen. Berdasarkan pengamatan dan analisis para pakar diperoleh
kesimpulan bahwa sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam perluasan
otonomi ada tiga pokok permasalahan, pertama sharing of power, kedua
distribution of income, dan ketiga kemandirian sistem manajemen di daerah.
Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber
pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan
dan bagian (sharing) dari pemerintah Pusat.
Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan
milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi (enginee growth). Di sisi internal , terdapat tuntutan
yang kuat dari masyarakat terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik oleh
lembaga publik yang ada termasuk pemerintah pusat dan daerah.
Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Jika
dilihat dari sisi eksternal, Daerah dituntut untuk menarik investasi asing agar
bersama-sama swasta domestik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh
mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada
dasarnya terkandung empat misi utama sehubungan dengan pelaksanaan

otonomi daerah dan desentralisasi tersebut, yaitu:


1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
4. Memperkuat Basis Perkonomian Daerah
Untuk menghadapi dampak globalisasi perekonomian dunia dan
liberalisasi perdagangan, maka perlu disusun sistem ekonomi nasional yang
memberi kesempatan pada perekonomian daerah yang kokoh dan tangguh.
Pembangunan ekonomi daerah membutuhkan visi dan arah kebijakan yang
jelas yang sejalan dengan kebijakan perekonomian nasional. Sebagaimana
dijelaskan dalam GBHN tahun 1999, arah kebijakan pembangunan ekonomi
yang pokok adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat,
kualitas

hidup,

pembangunan

berwawasan

berlingkungan

dan

berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama berusaha dan


bekerja, perlindungan hak-hak konsumen serta perlakuan yang adil bagi
masyarakat.
2. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dan membangun keunggulan komparatif sebagai negara maritim
dan negara agraris.
3. Meningkatkan peranan pemerintah dalam bidang :

a. Mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dan mewujudkan persaingan


sehat.
b. Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan yang adil bagi
masyarakat.
c. Mengembangkan kebijakan makro dan mikro ekonomi secara
terkoordinir dan sinergis, mengembangkan kebijakan fiskal yang
memperhitungkan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi,
efektivitas untuk menambah penerimaan negara, mengembangkan
kebijakan

industri,

perdagangan,

dan

investasi

dalam

rangka

meningkatkan daya saing global.


d. Penataan BUMN
e. Renegoisasi hutang luar negeri
f. Rekapitalisasi sektor perbankan
g. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih

efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha


yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas
negara diberikan secara efektif dalam bentuk perlindungan dari
persaingan yang tidak sehat, pendidikan dan pelatihan, informasi bisnis
dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bahwa era globalisasi
perekonomian memaksa segenap komponen ekonomi nasional untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan meningkatkan daya saing
sehingga permasalahan pembangunan ekonomi kerakyatan untuk menghapus

kemiskinan dan kesenjangan sosial perlu dirumuskan dan dilaksanakan jika


kita masih konsisten dengan cita-cita memajukan kesejahteraan umum.
Tantangan globalisasi ekonomi seperti telah diterangkan di muka
adalah peningkatan persaingan ekonomi antar negara-negara dalam suatu
sistem ekonomi internasional. Salah satu cara memanfaatkan perdagangan
internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi
dan produktivitas kerja.
Hal itu dilakukan dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia
dan pembangunan teknologi. Dalam konteks ini, pengembangan ekonomi
rakyat seharusnya diarahkan atau berorientasi pada perubahan struktural
dengan memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat

dalam

perekonomian nasional.
Perubahan strukutral adalah perubahan dari ekonomi tradisionil yang
subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Oleh karena
itu diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan,
penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya manusia. Langkahlangkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi,
yang paling mendasar adalah akses pada dana.
2. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas
sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.

4. Kebijakan Pengembangan industri harus mengarah pada penguatan


industri rakyat yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang
berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat
harus menjadi tulang punggung industri nasional.
5. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja
mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang
menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
6. Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar
diseluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan
daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi
rakyat.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di
Indonesia.
Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi
pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta memperhatikan potensi keanekaragaman daerah.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara
hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Seperti secara umum sudah diketahui anggaran daerah adalah anggaran
rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (Rupiah) dalam satu
periode tertentu (satu tahun).

B. Pengelolaan Keuangan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


Kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonomi berarti
memberi kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri
dari segala macam kekuasaannya untuk mengurus kepentingan umum
(penduduk). Pemerintahan yang demikian itu dinamakan Otonom.
Dalam uraian yang lain logemann menyatakan bahwa kekuasaan
bertindak merdeka (Vrij Beweging) yang diberikan kepada satuan kenegaraan
yang memerintah sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan
inisiatif sendiri dan Pemerintahan yang berdasarkan inisiatif sendiri inilah
yang disebut otonomi.40
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merumuskan, bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan.
Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam
mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan
reformasi.
Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.32 Tahun
2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan
40

Victor M. Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, hlm. 63

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup,
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai
bagian utama dari tujuan nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan

kesejahteraan

masyarakat

dengan

selalu

memerhatikan

kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk


itu, otonomi daerah diharapkan dapat (1) menciptakan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum
dan kesejahteraan masyarakat, (3) membudayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat


srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya.
Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas
peran kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya.41
Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal
pemanfaatannya

bila

bupati/walikota

tidak

mengetahui

bagaimana

mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi


dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam
memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia yang ada.
Pengelolaan keuangan daerah dijabat oleh kepala pemerintahan
daerah, karena keuangan daerah merupakan bagian dari kekuasaan
pemerintahn daerah.42
Seagaimana dijelaskan dalam Pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun
2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar
pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara
efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.
Dalam rangka kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan
oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan selaku pejabat pengelola APBD,
dan kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian
41
42

Aheruddin, www. Sumbawa News.Com diakses tanggal 20 Juli 2009


Muhammad Djumhana, Op.Cit., hlm. 66

reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak


sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alatalat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik
tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai
dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar
tercapai.
Untuk

mewujudkan

good

governace

diperlukan

reformasi

kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public


management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan
seluruh

alat-alat

pemerintahan

di

daerah,

baik

struktur

maupun

infrastrukturnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31Desember.
APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, dan Anggaran Belanja.
Anggaran Pendapatan terdiri atas Pendapatan Daerah (PAD), yang meliputi
pajak daerah, retribusi daerah hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan
penerimaan lain-lain Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Lainlain Pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan

tugas Pemerintahan di daerah. Terdiri dari, Pembiayaan, yaitu setiap


penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang berjalan maupun tahuntahun anggaran berikutnya.
Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya
digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman, misalnya new publik management yang
berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan
berorinentasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public management
tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. di antaranya
perubahan pendekatan dalam penganggaran, yakni dari penganggaran
tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja
(performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan
biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive
tendering contract).
Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi sektor publik, diawal
periode otonomi daerah, telah keluar sejumlah peraturan pemerintah (PP)
sebagai operasionalisasi dari Undang-undang Otonomi daerah. Kelemahan
perundang- undangan dalam bidang keuangan daerah selama ini menjadi
salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara.
Dalam

upaya

menghilangkan

penyimpangan

tersebut

dan

mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable)

sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang


dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal, maka dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang
mengatur pengelolaan keuangan negara.
Adapun kekuasaan pengelolaan keuangan daerah menurut Pasal 6 UU
No. 17 Tahun 2003 merupakan bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan
negara. Dalam hal ini presiden selaku kepala pemerintahan memegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan, kemudian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan
oleh masing-masing kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku
pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat
daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
Dalam era otonomi daerah, penelitian dan kajian mengenai kondisi
makro ekonomi daerah semakin besar kebutuhannya, kondisi makro ekonomi
daerah yang perlu dikaji adalah :43
a. Pertumbuhan ekonomi daerah
b. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)
c. Perkembangan ekonomi sektoral daerah, misalnya :
1) Pertanian
2) Industri pengolahan
3) Pertambangan
4) Listrik, gas, dan air bersih
5) Bangunan
6) Perdagangan, hotel, dan restoran
43

Mardiasmo, Op.Cit., hlm. 69-70

d.
e.
f.

g.

7) Pengangkutan dan komunikasi


8) Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9) perbankan daerah
10) Jasa-jasa
Perkembangan harga-harga di daerah (laju inflasi di daerah)
Arus investasi di daerah (PMDN dan PMA)
Kependudukan, antara lain:
1) Pertumbuhan penduduk
2) Ketenagakerjaan (tingkat pengangguran)
3) Kemiskinan
4) Perkembangan Pendidikan
5) Pertumbuhan kesehatan
Keuangan pemerintah daerah (APBD)
Pelaksanaan

otonomi

daerah

dan

desentralisasi

fiskal

akan

memberikan implikasi penting terhadap kinerja perekonomian daerah. Kinerja


perekonomian daerah dipengaruhi oleh arah dan kebijakan fiskal dan moneter.
Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi kebijakan fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah yang dilakukan melalui penetapan perpajakan,
kebijakan pinjaman luar negeri dan pengaturan surplus dan defisit anggaran
harus tetap memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sudah tentu akan mempengaruhi sektor
perbankan di daerah. Seiring dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah
perbankan di daerah perlu menyelaraskan perkembangan ekonomi di daerah.
Perbankan di daerah dihadapkan pada tantangan baru yaitu :44
a. Peran perbankan daerah dalam mendorong perekonomian daerah
b. Mengembangkan kerjasama dengan DPRD, pemerintah daerah, dan
kemitraan dengan pengusaha daerah terutama usaha kecil dan menengah.
c. Meningkatkan mutu pelayanan dan produk-produk perbankan
d. Meningkatkan kualitas SDM
e. Meningkatkan kualitas penelitian dan riset mengenai potensi ekonomi
daerah
f. Memperbaiki manajemen perbankan daerah
g. Persaingan antar bank di daerah, misalnya BRI, BPD, BPR, Bank Syariah,
44

Ibid.,hlm. 70

dan sebagainya.
Dalam era otonmi daerah, pemerintah daerah tidak lagi diwajibkan
untuk menggunakan satu bank (BPD) untuk administrasi keuangan daerah.
Pada prinsipnya, pemerintah dapat bekerja sama dengan bank yang
memberikan keuntungan terbesar bagi pemerintah daerah.
Oleh karena itu perbankan di daerah dituntut untuk dapat bersaing
dalam memberikan pelayanan dan menghasilkan produk-produk perbankan
yang menarik bagi masyarakat daerah. Perbankan di daerah juga dituntut
dapat mengembangkan kerjasama (contract culture) dengan cara membina
hubungan baik dengan pelaku kunci (key players) di daerah, yaitu :45
1) Masyarakat daerah
2) DPRD
3) Pemerintah Provinsi
4) Pemerintah Kabupaten/Kota
5) Pengusaha Daerah
Di sisi lain, pelaksanaan otonomi daerah juga menyebabkan
munculnya key players di daerah. Pemain baru yang menjadi pemain kunci
nantinya adalah DPRD. Perbankan di daerah perlu melakukan kerjasama
dengan pemain di daerah, terutama adalah DPRD, masyarakat, pemerintah
daerah, dan pengusaha di daerah. Perbankan di daerah juga dituntut untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja manajemennya karena mereka
dihadapkan pada persaingan di tingkat daerah.46
45
46

Ibid., hlm. 71
Ibid., hlm. 72

Selain itu perbankan daerah juga harus mengikuti perkembangan


moneter yang terjadi, diantaranya adalah perkembangan tingkat suku bunga,
nilai tukar, perkembangan uang kartal, dana masyarakat yang berhasil
dihimpun perbankan, perkembangan kredit dan perkembangan system
pembayaran.
Desentralisasi di sektor kesehatan akan menimbulkan perubahanperubahan dalam sistem kesehatan nasional, yaitu :47
a. Struktur otoritas kesehatan
Struktur otoritas kesehatan ini perlu adanya Kejelasan wewenang dan
yang bertanggungjawab mengurusi masalah kesehatan apakah pemerintah
propinsi atau kabupaten, apakah kepala dinas atau kepala departemen
kesehatan. Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintan
Daerah hal tersebut sudah jelas.
b. Jaringan dan fungsi-fungsi penting
Berdasarkan PP No. 45 Tahun 1992 terdapat perbedaan fungsi yang jelas
berkenaan dengan fungsi pemerintah propinsi dan kabupaten. Pemerintah
pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk urusanurusan sebagai berikut :
1. Kepentingan yang melibatkan lebih dari satu kabupaten dan kota.
2. Pengaruhnya kecil terhadap pembangunan dan pertumbuhan daerah.
3. Penerapannya akan lebih efisien dan efektif jika dikerjakan oleh
pemerintah propinsi.
Karena tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diberikan kepada
47

Ibid.,hlm. 75

pemerintah daerah, maka pengelolaan urusan-urusan pemerintah pusat di


daerah dipegang oleh kantor wilayah. Dalam bidang kesehatan urusan
tersebut adalah petunjuk teknis dan pengawasan yang meliputi perencanaan
pembangunan kesehatan, standarisasi, perijinan, pengendalian dan evaluasi.
Petunjuk teknis dan pengawasan terhadap puskesmas, rumah sakit daerah,
akademi kesehatan dan keperawatan diserahkan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota.48

C. Penggunaan dan Pengelolaan Administrasi Anggaran


1. Penggunaan Administrasi Anggaran Keuangan Negara
Reformasi diberbagai aspek kehidupan, telah membangkitkan
kesadaran tentang pengelolaan keuangan negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran

rakyat.

Kebutuhan

dan

harapan

pemilik

kepentingan

(stakeholder) terhadap pengelolaan keuangan negara yang lebih baik.


Reformasi keuangan negara antara lain ditandai dengan terbitnya 3
paket UU di bidang Keuangan Negara, yaitu UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, telah memberikan landasan yg kokoh dalam
pengelolaan keuangan negara/daerah.
Undang-undang Keuangan Negara telah mempertegas definisi
keuangan negara, sehingga dapat menghindari perbedaan pendapat tentang
lingkup keuangan negara. Good governance khususnya di bidang keuangan
negara/daerah adalah pilar utama menuju Clean Government. Akuntabiitas,
48

Ibid., hlm. 78

transparansi

dan

kepatuhan

terhadap

peraturan

perundangan

dalam

pengelolaan keuangan negara/daerah merupakan inti Good Governance dan


Clean Government. Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi tata
pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain,
dari satu pakar ke pakar lainnya.49
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut.
Untuk menentukan keuangan Negara terdapat beberapa unsur-unsur
keuangan Negara yang terkandung didalamnya antara lain:50
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah.
Presiden

selaku

Kepala

Pemerintahan

memegang

kekuasaaan

pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.


49

Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Hukum Pembiayaan


daerah, Dalam Kerangka Keuangan Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika 2009), hlm. 396
50
Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Negara, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2007), hlm. 13-14

Presiden menugaskan kepada Menteri keuangan selaku pengelola fiskal dan


wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Presiden menguasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang pada kementerian/lembaga yang dipimpinnya.89
Presiden menyerahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Kewenangan Presiden dalam bidang keuangan negara, tidak termasuk
kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.
Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk
mencapai tujuan bernegara, antara lain untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat.
Keuangan Negara dikelola secara tertib, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Akuntabilitas berorientasi pada hasil (kinerja) artinya pengelolaan keuangan
negara/ daerah selain harus mengikuti ketentuan, juga harus menghasilkan
output dan outcome yang efektif sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu diperlukan indikator pengukuran kinerja yang jelas pada
setiap entitas pengguna anggaran atau pada setiap program/kegiatan.51
Pengelolaan keuanagn negara harus dilakukan dengan penuh
Profsesionalitas yaitu bahwa keuangan negara/daerah harus dikelola oleh
Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan profesional, disertai pedoman
51

Pasal 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

yang jelas sesuai degan azas-azas tata kelola yang baik.


Disamping
Proporsionalitas

itu
yaitu

pengelolaan
alokasi

juga

keuangan

harus

dilakukan

negara/daerah

pada

dengan
setiap

sektor/bidang pemerintahan dilakukan secara proporsional sesuai degan tugas,


fungsi dan tanggung jawabnya.
Pengelolaan keuangan negara menghendaki sikap Transparan, yaitu
kehendak

agar

alokasi

anggaran

setiap

satuan

kerja/sektor/bidang

pemerintahan dilakukan secara transparan, standar penerimaan/tarif pungutan


dan standar pengeluaran harus diketahui oleh publik. Transparansi juga
menghendaki agar semua penerimaan/pengeluaran negara tercakup dalam
APBN/APBD, yang disetujui oleh DPR/DPDRD.
Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Badan/lembaga yang berada di bawah kendali pemerintah tidak akan dapat
melakukan audit secara independen. Badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri sesuai amanat konstitusi adalah BPK.91
Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus disampaikan
kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui, untuk ditetapkan dengan peraturan
daerah. Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dalam
bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang terdiri dari
Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan
atas Laporan Keuangan.
LRA berisi target dan realisasi penerimaan, belanja dan pembiayaan
dalam satu periode tertentu (biasanya satu tahun anggaran).

Neraca memuat posisi aset, kewajiban (hutang) dan kekayaan bersih


Pemda pada tanggal tertentu (biasanya akhir tahun). Laporan Arus Kas berisi
aliran kas masuk dan keluar selama satu tahun anggaran. LKPD sebelum
disampaikan kepada DPRD, harus terlebih dahulu diperiksa oleh BPK.
Laporan pemeriksaan BPK atas LKPD disampaikan kepada Gubernur,
Bupati/Walikota dan DPRD. Laporan pemeriksaan BPK atas LKPD
merupakan salah satu bahan bagi DPRD dalam membahas Rancangan Perda
atas Pengesahan Pertanggungjawaban APBD. Dalam membahas laporan
pertanggungjawaban atas APBD, DPRD dapat meminta penjelasan kepada
BPK. Dalam membahas laporan pertanggungjawaban APBD, DPRD
memperhatikan hasil pemeriksaan BPK, serta hasil-hasil pengawasan lainnya,
termasuk hasil pengawasan yang dilakukan sendiri oleh DPRD.
Sebagai pemegang hak buget, DPRD dapat menerima atau menolak
laporan pertanggungjawaban keuangan daerah dari gubernur/bupati/walikota.
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
(PPTKN) merupakan tugas, wewenang dan tanggung jawab BPK. PPTKN
meliputi seluruh unsur keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam UU
Keuangan Negara. Jenis pemeriksaan meliputi (1) pemeriksaan keuangan; (2)
pemeriksaan kinerja; dan (3) pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pemeriksaan keuangan ditujukan untuk memberikan pendapat atas kewajaran
penyajian laporan keuangan.
Pemeriksaan kinerja ditujukan untuk menilai aspek ekonomi dan
efisiensi serta efektivitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Dalam merencanakan pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan,


saran dan pendapat lembaga perwakilan. Permintaan, saran dan pendapat
tersebut dapat dibahas lebih dahulu oleh BPK dan lembaga perwakilan.
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK dapat memperhatikan
informasi dari pemerintah, bank sentral dan masyarakat.
Dalam melaksanakan pemeriksaan BPK dapat memperhatikan hasil
pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Oleh karena itu
APIP wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya kepada BPK.
2. Pertanggungjawaban Anggaran Keuangan Negara dan Daerah
Keuangan Negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, merupakan alat
utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat
pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah,
APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga
menyangkut keputusan politik.
Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan
pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN
sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk
mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir
Reformasi

Manajemen

Keuangan

Pemerintah.

Reformasi

tersebut

mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No.

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang
undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: hal-hal lain mengenai keuangan
Negara ditetapkan melalui undang-undang. Berangkat dari landasan
konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan
Undang-undang Keuangan Negara.
Hingga Tahun 2003 yang lalu sebelum UU No.17/2003 diundangkan
aturan

yang

berlaku

untuk

pengelolaan

Keuangan

Negara

masih

menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti


Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925
No.488 yang ditetapkan pertama kali pada Tahun 1864 dan mulai berlaku
Tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927
No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer
(RAB) stbl. 1933 No.381. Sementara itu untuk pelaksanaan pemeriksaan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en
verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320.97
Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja
diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa
yang menjajah Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk menjaga
kepentingan negara Belanda atas Indonesia.
Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai

peraturan- peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah negara yang


berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan peraturan itu
sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan
negara.
Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang bersemangat
independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara yang merdeka
dan berdaulat, tentunya harus dilakukan. Selain itu muatan yang terdapat di
dalam aturan- aturan kolonial itu sudah out of date dan tidak relevan lagi
dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat kompleksitas permasalahan saat ini
jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku
sebagai sebuah aturan perundang-undangan tetapi secara materil sudah tidak
dapat dilaksanakan.
Kekosongan perundang-undangan ini membuat lemahnya system
pengelolaan Keuangan Negara. Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi
dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh Keppres
No. 42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80
Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu
mengikat sebagaimana sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu
penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan
Keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis moneter
pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang

telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai
dengan anjloknya rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD.
Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multi dimensional yang
kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi inilah yang memberikan
momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara.
Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang terdiri dari tiga UU yang
sudah diundangkan, yaitu UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, UU No.15 Tahun
2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab Keuangan Negara,
merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer professional; dan
4.

Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional dan mandiri


serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-undang No.17 Tahun

2003 yaitu:
a. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara;
d. Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga;

e. Susunan APBN dan APBD;


f. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank
sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan
daerah dan perusahaan swasta;
i. Badan pengelola dana masyarakat; dan
j. Penetapan

bentuk

dan

batas

waktu

penyampaian

laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.


k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai
pengganti Propenas dan Repeta.
Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan
negara yang tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1. Penerapan anggaran berbasis kinerja;
2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara
berbasis aktual;
3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada
bank sentral;
5. Sertifikat Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter
akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.
Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan dari sisi obyek;

2. Pendekatan dari sisi subyek;


3. Pendekatan dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk
berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal,
moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu
segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan Negara dari sisi
proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegitan
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 17/2003
merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut99.


Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara
ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:


a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi
pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan
Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya,
analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro,
pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan,
evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama
internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah,
belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik,
penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan
ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan
pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman,
kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan
kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi
pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah. Kekayaan pihak
lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain
berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan

kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah. Pelaksanaan


penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan
perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam
negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang
milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan
keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu
lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD
1945 tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas umum
yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas; maupun asasasas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang
baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas
berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan
pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Presiden

selaku

Kepala

Pemerintahan

memegang

kekuasaan

pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.


Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan
yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah
dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian
kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai
pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO)
maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial
Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief
Operating Officers (COOs). Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan
untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan
tanggung jawab. Sebelumnya fungsi- fungsi tersebut belum terbagi secara
tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga.
Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya
mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masingmasing

kementrian

atau

lembaga

diharapkan

dapat

meningkatkan

profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.


Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga
menggunakan

pendekatan

Gubernur/Bupati/Walikota

pembagian
akan

fungsi

memiliki

yang

fungsi

tidak

sebagai

berbeda.
pemegang

kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai


COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.
Anggaran pemerintah merupakan informasi keuangan yang membahas
rencana yang berhubungan dengan uang, bagaimana memperoleh uang dan
bagaimana mempergunakan uang tersebut seperti disebutkan dalam
perundang- undangan. Salah satu fungsinya yang penting adalah sebagai
bahan pertanggungjawaban keuangan.
Bila renacana tersebut telah dilaksanakan maka anggaran menjadi
kenyataan yang disebut realisasi anggaran. Karena uang sangat penting dan
langka maka harus ada perangkat bagaimana mengamankan penerimaan dan
memanfaatkan uang yang diperoleh untuk kepentingan rakyat banyak sebagai
salah satu kriteria dalam negara demokrasi.
Realisasi anggaran merupakan perangkat untuk tujuan tersebut yang
disusun sebagai salah satu jenis laporan keuangan yang disiapkan oleh
pemerintah.
Pertanggungjawaban dalam penerimaan dan penggunaan uang.
Perangkat yang dipakai adalah laporan keuangan yang secara khusus disebut
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat yang diartikan bahwa
dalam masalah pertanggungjawaban keuangan ini tidak termasuk pemerintah
daerah, walaupun sebagian besar dana yang diperoleh berasal dari penerimaan
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian pembahasan dalam makalah ini sangat terbatas dan
tidak menilai keberhasilan pemerintah dalam mempergunakan uang yang

diperoleh. Historis laporan keuangan yang sejak dulu dibuat pemerintah


hanya

laporan

realisasi

anggaran.

Sekarang

laporan

keuangan

itu

dikembangkan dan mencakup neraca dan laporan arus kas.


Laporan keuangan pemerintah sebagai sarana pertanggungjawaban
keuangan pemerintah yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem
pemerintahan demokrasi. Tanpa sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi
karena pemerintah telah berubah menjadi penguasa yang tidak perlu
memberikan pertanggungjawaban keuangan kepada rakyat yang membayar
pajak.
Anggaran merupakan bagian dari sistem demokrasi yang akan
mempengaruhi kehidupan rakyat banyak. Anggaran keuangan juga sarana
informasi keuangan yang akan menjadi kebijakan keuangan oleh pemerintah.
Sebagai bahan informasi yang penting anggaran disyaratkan memuat
informasi yang dapat dipakai oleh pemerintah dan pihak lain seperti DPR dan
rakyat pada umumnya, artinya informasi itu terpercaya untuk dapat
mengambil keputusan.
Yang menjadi pertanyaan sampai berapa jauh anggaran itu dapat
terpercaya. Untuk itu perlu diuji apakah laporan keuangan itu memenuhi
persyaratan itu. Oleh sebab itu sebelum laporan keuangan disampaikan
pemerintah kepada DPR maka harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
sebagai lembaga tinggi yang mempunyai tugas khusus untuk itu. Anggaran
adalah satu rencana yang baru akan dilaksanakan pada masa mendatang.

Tetapi sebagai rencana selayaknya dapat memberikan pedoman untuk


melaksanakan kebijakan.
Pengalaman yang lalu membuktikan bahwa anggaran dipersiapkan
berdasarkan konsep yang tidak jelas sehingga pelaksanaan anggaran yang
dimuat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat memberikan informasi
yang dapat menyesatkan.
Walaupun ada pedoman yang telah ditetapkan dengan peraturan
pemerintah tetapi karena pemahaman dan penyusunannya masih mengandung
kelemahan maka informasi yang termuat juga menjadi salah.
Penyusunan anggaran dan melaporkan realisasinya pada akhir tahun
telah sejak lama dimulai. Pada masa lalu pemerintah hanya membuat
anggaran pendapatan dan belanja dan kemudian melaporkan realisasinya.
Sekarang pemerintah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan
keuangan yang lain yaitu neraca dan laporan arus kas yang pada masa lalu
tidak diharuskan. Namun pada masa sekarang yang terpenting adalah
anggaran belanja dan pendapatan dan pelaksanaan anggaran yang disebut
realisasinya.
Laporan keuangan adalah informasi yang untuk kepentingan beberapa
pihak. Laporan keuangan sudah dikenal sejak lama khususnya untuk
perusahaan yang mencari keuntungan. Informasi yang terkandung terutama
ditujukan untuk pemilik perusahaan yang sekarang ini jumlahnya mencapai
banyak orang terutama perusahaan yang sudah menjual sahamnya di bursa
saham. Tidak heran bahwa informasi keuangan menjadi salah satu informasi

bagi pemilik untuk menilai kemajuan dari perusahaan.


Dengan berkembangnya peran pemerintah dalam mengatur kehidupan
berwarga negara, laporan keuangan menjadi komoditi yang penting bagi
pemerintah sendiri dan terutama wakil rakyat untuk menilai prestasi
pemerintah termasuk pertanggungjawaban keuangan yang dipercayakan
kepadanya. Informasi yang dibutuhkan adalah laporan keuangan yang dibuat
oleh pemerintah dipergunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri, wakil
rakyat, dan masyarakat umum.
Kegiatan pemerintah tidak saja mencakup fungsi mengatur tetapi kini
pemerintah juga dilibatkan dalam usaha yang tadinya tidak dilakukan oleh
pemerintah. Pada dasarnya laporan keuangan pemerintah tidak banyak
berbeda dengan laporan keuangan perusahaan sehingga prinsip dan
pedomannya juga mirip sama.
Namun karena pedoman khusus untuk menyusun laporan keuangan
pemerintah baru dikembangkan secara resmi pada tahun 2004 berdasarkan
peraturan pemerintah sudah dapat diantisipasi akan banyak masalah yang
dihadapi sehingga laporan keuangan belum mampu untuk menghasilkan
informasi yang diinginkan.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tidak terkecuali dan juga
dimaksudkan untuk pertanggungjawaban pemerintah kepada wakil rakyat di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) R.I. Sebelum disampaikan ke DPR laporan
keuangan tersebut diaudit lebih dulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
R.I.

Laporan keuangan pemerintah seperti dapat dibaca tidak mudah untuk


dipahami, karena membutuhkan pengetahuan khusus yaitu akuntansi.
Walaupun laporan keuangan itu merupakan dokumen publik yang dapat
dibaca oleh setiap orang, namun tidak mudah

untuk mengambil

kesimpulannya.
Kiranya perlu diketahui bahwa ada laporan keuangan yang dapat
dipahami oleh orang awam, tetapi banyak laporan keuangan yang
memerlukan pengetahuan khusus yang disebut akuntansi.
Terkadang laporan keuangan sedemikian rumit sehingga memerlukan
pengetahuan akuntansi yang lebih mendalam. Laporan keuangan pemerintah
sebagaimana disusun seperti LKPP memerlukan pengetahuan akuntansi yang
memadai untuk dapat mengerti dengan baik, apalagi bagaimana cara
menyajikannya. Bahkan dengan pedoman seperti standar akuntansi yang
sudah adapun penyusunan maupun pemahamannya tidak mudah.
BAB IV
NORMA PEMERIKSAAN APBD OLEH BADAN PEMERIKSA
KEUANGAN

A. Norma Pemeriksaan APBD Oleh Badan Pemeriksa Keuangan


Pengelolaan keuangan daerah menjadi tantangan baru yang dihadapi
oleh pemerintah. Sebagaimana yang sudah dimaklumi, bahwa tingkat korupsi
yang tinggi menjadi salah satu masalah di berbagai Negara merupakan
masalah dasar yang harus diselesaikan.

Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006


tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah dijelaskan dalam Bab I bagian
pertama bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penata usahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Dalam pengeloaan keuangan daerah harusnya dipisahkan antara
pengelolaan dan pengawasan keuangan daerah. Hal ini membuka peluang
untuk berkolusi antara pejabat pengelola dan pengawasan keuangan daerah.52
Selanjutnya pada Bab II Bagian pertama Pasal 5 ayat 1 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan
keuangan daerah, bahwa kepala daerah adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, penjelasan ini kemudian
dipertegas dalam ayat 2 pada pasal yang sama, bahwa pengelolaan keuangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan:
Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD; pasal ini secara seksama
menegaskan bahwa setiap kepala daerah memegang amanah rakyat dalam
mengelola keuangan publik.
Laporan pertanggungan jawaban pengelolaan keuangan daerah pemda
untuk saat ini diwujudkan melalui Laporan Keuangan yang wajib disusun
oleh setiap instansi pemda dalam bentuk Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan
Realisasi Anggaran dan Catatan Atas laporan Keuangan yang wajib
dilaporkan setiap periode 31 Desember, hal ini menjadi satu catatan penting
52

Arifin P Soeria Atmaja, Op.Cit., hlm. 297

bahwa transparansi sangat dikedepankan tidak seperti dulu lagi.53


Keberadaan auditor atau pemeriksa keuangan Negara menjadi salah
satu komponen penting dalam mengawasi keluar masuk keuangan Negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi Negara yang
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah sering perkembangan telah
menyikapi hal tersebut. Hal ini tercermin melalui visi dan Misi yang
tercermin dalam rencana strategis BPK 2006-201054.
Kedudukan Badan pemeriksa keuangan negara sebagai lembaga
pemeriksa dilakukan berdasarkan beberapa dasar hukum. Adapun dasar
hukum kewenangan BPK adalah:55
1. Pasal 23 ayat (5) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyebutkan: Pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang
bebas dan mandiri.
2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara Pasal 71 Ayat (2) Badan Pemeriksa Keuangan berwenang
melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 27 ayat (8): Laporan
pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa ekstern

53

Ibid
Visi dan Misi Badan Pemeriksa Keuangan, www.bpk.go.id, diakses tanggal 14
Agustus 2007
55
Arifin P Soeria Atmaja, Op.Cit. hlm. 5-8
54

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pasal 35


ayat (2): Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh
pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ketetapan MPR RI yang menunjuk BPK sebagai satu-satunya
eksternal auditor bagi BUMN, didasari oleh keprihatinan anggota majelis
terhadap kondisi BUMN yang ada di negeri ini. BUMN sebagai mana yang
banyak dilansir oleh media massa, dianggap sebagai sapi perah dan sering
banyak terjadi korupsi di dalamnya. Hal ini sebagai akibat dari tidak adanya
laporan keuangan yang di sampaikan negara mengenai pengunaan dana dan
fasilitas lain di BUMN tersebut.56
Proses audit keuangan di BUMN tersebut di serahkan ke kantor
Akuntan Publik dan di laporkan dalam rapat pemegang saham. Padahal
menurut ideal BPK, karena dana yang digunakan oleh BUMN tersebut adalah
uang negara, maka sudah sepantasnya jika yang mengaudit keuangan lembaga
tersebut adalah BPK. Apalagi setelah adanya TAP MPR yang memberi
legitimasi kuat kepada BPK. BPK juga berpegang pada suatu kenyataan
hukum bahwa secara hierarki TAP MPR lebih tinggi dari Undang-undang.
Sehingga undang-undang yang bertentangan TAP MPR tersebut, TAP
yang dibikin oleh wakil 200 juta warga negara RI dapat di kesampingkan,
atau setidak- tidaknya segera ditinjau kembali untuk di sesuaikan dengan
nafas dari TAP MPR RI No. X/2001.
56

Imran Nating,Kewenangan Mengaudit Keuangan Badan Usaha Milik


Negara, Antara BPK Dan Kementrian BUMN, solusihukum.com. Diakses tanggal 12

Agustus 2007

Menurut UU Nomor 15 tahun 2006, berkaitan dengan tugas dan


wewenang BPK diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, Pasal 6 ayat 1
dinyatakan: BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain
yang mengelola keuangan negara.
Pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana yang dimaksud pada UU
Nomor 15 Tahun 2006 dilakukan berdasarkan undang-undang tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kewenangan
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sesuai wewenangnya BPK dapat melakukan tiga macam pemeriksaan.
Pertama, Pemeriksaan Keuangan; yakni pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah, dalam rangka memberikan opini tentang tingkat kewajaran
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Kedua,
Pemeriksaan Kinerja; yakni pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi,
serta pemeriksaan atas aspek efektivitas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian DPR, DPD dan
DPRD. Ketiga, Pemeriksaan dengan tujuan tertentu; yakni pemeriksaan yang
dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah

pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan


investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah.57
Di dalam UU No. 15 Tahun 2006 terdapat penjelasan mengenai
wewenang BPK, yaitu dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:
a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
dan menyajikan laporan pemeriksaan;
b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain
yang mengelola keuangan Negara
c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik
negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha
keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara
d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada
BPK
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi
dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan
dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
57

Faizal Syamri, Op. Cit. hlm. 4.

f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab


keuangan Negara
g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK
h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan,
yakni:58
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini
dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang
tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan
efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan
bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
58

Hasan Bisri, Op. Cit., hlm. 9

Pasal 23 E Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja
pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga
perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan
agar

kegiatan

yang

dibiayai

dengan

keuangan

negara/daerah

diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya


secara efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan
kinerja. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain
pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan
investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah.
Pelaksanaan

pemeriksaan

sebagaimana

dimaksudkan

di

atas

didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh


BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara
internasional.

Sebelum

standar

dimaksud

ditetapkan,

BPK

perlu

mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi


profesi di bidang pemeriksaan. Saat ini standar pemeriksaan dimaksud sedang
dalam proses penyusunan (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara/SPKN),
dan selama SPKN tersebut belum secara resmi diberlakukan maka dalam
melakukan pemeriksaan digunakan Standar Audit Pemerintahan (SAP) tahun
1995 sebagai standar audit keuangan negara.

B. Mekanisme Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Terhadap


Keuangan Negara
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pra-Perubahan, pemeriksaan
dan pengawasan keuangan negara sebenarnya telah diatur meskipun secara
singkat, dalam Pasal 23 ayat 5. di dalamnya dinyatakan untuk memeriksa
tanggung jawab keuangan negara diadakan BPK, yang hasil pemeriksaannya
diberitahukan kepada DPR. Pasal ini kemudian diubah dengan Pasal 23 E
yang menyatakan BPK dibentuk untuk memeriksa pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Hasil pemeriksaannya diserahkan
kepada DPR, DPD, dan DPRD, yang kemudian ditindaklanjuti oleh lembaga
tersebut sesuai dengan undang-undang.59
Adanya perubahan tersebut pada dasarnya memperluas kewenangan
BPK dalam melakukan pemeriksaan, tidak hanya menyangkut aspek tanggung
jawab, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Jika UUD 1945 naskah asli
menyatakan BPK hanya berwenang melakukan pemeriksaan terhadap
tanggung jawab keuangan negara, dalam perubahannya, BPK juga memeriksa
pengelolaan keuangan negara.
Konsep ini sesungguhnya membebankan BPK sebagai lembaga tinggi
negara untuk memeriksa seluruh pengelolaan keuangan negara, tanpa kecuali.
Secara logika, pemeriksaan yang terlalu luas menimbulkan rentang kendali
yang

terlalu

sulit

dijangkau.

Akibatnya,

pemeriksaan

atau

pertanggungjawaban terhadap keuangan negara kemungkinan besar akan tidak


59

Arifin P Soeria Atmaja, Op.Cit., hlm. 26

optimal.
Di samping itu, pemeriksaan selain bersifat pre-audit, juga bersifat
post-audit yang artinya :Pemeriksaan yang dilakukan sesudah transaksi itu
diselesaikan dan dicatat. Pemeriksaan ini dilakukan beberapa saat setelah
sebagian atau seluruh kegiatan itu selesai. Berdasarkan teori, fungsi
penilaian/pemeriksaan harus dilakukan atas kegiatan-kegiatan yang telah
diselesaikan (completed).
Diperluasnya kewenangan BPK untuk memeriksa pengelolaan
sekaligus pertanggungjawaban keuangan negara tidak sesuai dengan
kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara. Di samping itu, menimbulkan
sentralisasi pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi pengawasan dan pemeriksaan
keuangan negara lebih baik dilakukan dengan cara: Sistem desentralisasi
pengawasan/pemeriksaan yang berjenjanglah yang paling tepat, karena di
samping rentang kendalinya terjangkau, pelaksanaannya pun lebih efektif dan
efisien dengan tumpang tindih yang minimal.60
Perluasan kewenangan BPK untuk memeriksa pengelolaan sekaligus
pertanggungjawaban keuangan negara disebabkan adanya pemeriksaan
eksistensi BPK sebagai lembaga tinggi negara yang disamakan dengan
struktur ketatanegaraan zaman Hindia Belanda, dimana saat itu juga terdapat
Algemene Rekenkamer.
Arifin P. Soeria Atmadja mengemukakan perbandingan kelembagaan
negara yang ada pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dan saat
60

Ibid., hlm. 41

kemerdekaan di bawah sistem UUD 1945 sebelum perubahan.61


Dalam IS 1925

Dalam UUD 1945 Pra-Perubahan

a. Gouverneur General (Pasal 1 ayat Presiden (Pasal 4 15)


(1))
b. Raad van Nederlandsch Indie
(Pasal 7 ayat (1))

Dewan Pertimbangan Agung (Pasal 16)

c. Hooggerechtshof (Pasal 147)

Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat (1))

d. Voolksraad Rakyat (Pasal 53)

Dewan Perwakilan (Pasal 19-22)

e. Algemene Rekenkamer Keuangan

Badan Pemeriksa (Pasal 23 ayat (5))

(Pasal 117)

Kedudukan BPK sebagai lembaga tinggi negara tersebut pada


hakikatnya

dalam rangka melaksanakan filosofi pemeriksaan, yaitu

objektivitas.
Konsep objektivitas dalam pemeriksaan merupakan sesuatu yang
sangat penting guna menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan
keuangan negara.Proses pemeriksaan keuangan yang dapat dilakukan BPK
adalah dengan cara:
1. Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
61

Hasan Bisri, Loc.Cit

2. Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan
segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari
entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang
perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya.
3. Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara. Penyegelan hanya dilakukan apabila
pemeriksaan atas persediaan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan
keuangan negara terpaksa ditunda karena sesuatu hal. Penyegelan
dilakukan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen
pengelolaan keuangan negara dari kemungkinan usaha pemalsuan,
perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan
berlangsung.
4. Meminta keterangan kepada seseorang. Dalam rangka meminta
keterangan, BPK dapat melakukan pemanggilan kepada seseorang.
Permintaan keterangan dilakukan oleh pemeriksa untuk memperoleh,
melengkapi, dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan
dengan pemeriksa. Yang dimaksud dengan seseorang adalah perseorangan
atau badan hukum.
5. Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan. Kegiatan pemotretan, perekaman, dan/atau pengambilan
sampel (contoh) fisik obyek yang dilakukan oleh pemeriksa bertujuan
untuk memperkuat dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan
pemeriksaan.

6. Melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya


indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal
tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.Selain disampaikan kepada lembaga
perwakilan, laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan oleh BPK
kepada pemerintah. Dalam hal laporan hasil pemeriksaan keuangan, hasil
pemeriksaan BPK digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi
dan penyesuaian yang diperlukan, sehingga laporan keuangan yang telah
diperiksa (audited financial statements) memuat koreksi dimaksud
sebelum

disampaikan

kepada

DPR/DPRD.

Apabila

pemeriksa

menemukan unsur pidana, mewajibkan BPK melaporkannya kepada


instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Sebagai lembaga tinggi negara, BPK menurut pasal 2 UU Nomor 5 Tahun
1973, mempunyai tugas memeriksa tanggung jawab pemerintah mengenai
keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan APBN, yang hasilnya
kemudian

diserahkan

kepada

DPR.Untuk

menjaga

objektivitas

pemeriksaannya tersebut, BPK diberikan garansi indepedensinya dari


pengaruh kekuasaan manapun. Objektivitas pemeriksaan ini merupakan
bagian penting dalam rangka optimalisasi pemeriksaan keuangan negara. Jika
ditinjau dari segi maknanya, BPK adalah suatu badan yang tugasnya lebih
banyak dititikberatkan kepada tindakan yang bersifat represif.
Dalam memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK akan

menilai berdasarkan dua segi, yaitu pertama, apakah penggunaan anggaran itu
telah mencapai manfaat yang dituju oleh anggaran itu dan kedua, apakah
penggunaannya itu sesuai dengan peraturan undang-undang.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, BPK juga merumuskan
standar audit pemerintahan (SAP) sebagai standar pemeriksaan yang berlaku
secara nasional bagi pemeriksa di lingkungan BPK, pemerintah, dan akuntan
publik yang memeriksa keuangan negara.
Dengan demikian, sebenarnya, pemeriksaan BPK adalah didasarkan
pada dokumen anggaran, pembukuan anggaran, dan perhitungan anggaran
yang ditinjau dari segi teknis anggaran (begroting technisch). Dengan
mendasarkan pada fenomena tersebut, eksistensi BPK sebenarnya diarahkan
pada tujuan awal menciptakan struktur negara yang kondusif.
Berkaitan dalam hal ini pula, kedudukan BPK sangat penting dalam
tata demokrasi nasional, yaitu untuk mencari kebenaran yang mengandung
arti BPK dalam melaksanakan pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara
adalah untuk menegakkan kebenaran di bidang tanggung jawab keuangan
negara.
Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan Pasal 23E ayat 3
UUD 1945 Perubahan Ketiga disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD
untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Pemberian hasil pemeriksaan kepada ketiga lembaga tersebut
sebenarnya menegaskan kembali kedaulatan anggaran di tangan DPR. Selain
itu, laporan tersebut juga akan dipergunakan sebagai bahan pertimbangan

bagi proses persetujuan pembentukan UU APBN pada tahun anggaran


mendatang. Juga, dapat dipergunakan oleh DPR sebagai, bahan penilai
apakah pemerintah dalam melakukan kebijaksanannya tidak melanggar apa
yang telah ditetapkan dalam undang-undang APBN.
Hasil pemeriksaan BPK tidak dapat dikemukakan kepada publik
karena sesuai dengan Pasal 23 E ayat (2) UUD 1945 dan UU Nomor 5 tahun
1973, hasil pemeriksaan hanya dapat disampaikan kepada DPR, DPD, dan
DPRD sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Ketua BPK (19992004), Satrio Boedihardjo Joedono menyatakan, BPK tidak mengemukakan
hasil pemeriksaan ke publik karena, BPK berpedoman pada UU Nomor
5/1973 tentang BPK. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa
laporan BPK hanya ke DPR. Sedangkan dugaan kasus korupsi dilaporkan ke
jaksa dan polisi.62
Sementara itu, konsekuensi yuridis atas kemungkinan penilaian DPR
terhadap pelaksanaan APBN sangat menentukan posisi pemerintah,
khususnya presiden, dalam menjalankan pemerintahannya. Jika DPR menilai
presiden tidak menjalankan UU APBN berdasarkan hasil pemeriksaan BPK,
sebagaimana ditetapkan tata tertib DPR, DPR berhak mengajukan keterangan
kepada presiden (hak interpelasi).
Jika DPR menganggap kebijakan presiden dalam pelaksanaan APBN
diduga terjadi penyimpangan atau korupsi, sesuai dengan Pasal 7B ayat (1)
UUD 1945 DPR dapat meminta pendapat Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan presiden telah melakukan korupsi atas pelaksanaan APBN. Oleh
62

Arifin P Soeria Atmaja, Op. Cit, hlm. 110

sebab itulah, menjadi sangat penting kedudukan hasil laporan pemeriksaan


BPK dalam menjalankan pengawasan terhadap eksekutif.
Sementara itu. Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan tugas
pemerintah untuk mengajukan RUU pertanggungjawaban pelaksanaan APBN
kepada DPR dalam bentuk laporan keuangan yang telah diperiksa BPK. Hal
ini mengubah ketentuan dalam Pasal 70 ICW 1925 yang mengatur:
Pemerintah mengirimkan perhitungan anggaran negara kepada Badan
Pemeriksa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan membubuhi perhitungan
anggaran tersebut suatu keterangan tentang pendapatnya dan dengan
pemberitahuan tentang keberatan-keberatannya sebagai hasil pemeriksaan
atasnya serta atas bukti-bukti pertanggungjawaban yang disampaikan
kepadanya dikirimkan kembali kepada para pengirimnya dalam waktu empat
bulan setelah diterima, untuk dijawab dan dibetulkan.
Peranan BPK dalam melakukan pertanggungjawaban keuangan negara
juga adalah pada saat memeriksa perhitungan anggaran negara, yang
kemudian oleh Pemerintah disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuannya. Adapun pemeriksaan atas perhitungan anggaran negara tidak
hanya dilakukan setelah perhitungan itu disampaikan kepada BPK, melainkan
sejak APBN dilaksanakan sampai dengan tersusunnya UU Perhitungan
Anggaran Negara (PAN). Dengan demikian BPK melakukan pemeriksaan
untuk menilai kelengkapan dan kebenaran perhitungan anggaran yang
disampaikan, yang juga memanfaatkan pemeriksaan aparat pengawasan intern
pemerintah.

Dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, BPK lebih baik


menggunakan hasil pengawasan intern. Adanya pengawasan intern sebagai
pengawas yang dilakukan oleh Unit pengawas intern organisasi yang diawasi
di mana tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi
serta membantu menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi.
Pengawasan ini lazimnya dilakukan instansi pemeritahan dengan
membentuk suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara. Konsep pengawasan ini
dibutuhkan dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran negara
lebih cepat diatasi oleh unit intern yang dengan organisasi tersebut.
Di dalam organisasi pemerintahan negara, presiden yang dibantu
kabinet menyelanggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Salah
satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU APBN,
yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang
dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan
pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 tentang Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di dalam
pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional
pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal departemen/unit
pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di daerah.
Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan

pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses


pelaksanaanya. Di samping itu, menimbulkan duplikasi dalam rangka
pelaksanaan pengawasan yang akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan
penilaian yang objektif. Juga akan menyebabkan terjadinya pembagian
kapling

pengawasan

dan

pemeriksaan

yang

hanya

menimbulkan

ketidakpastian.
Adanya realitas tersebut kemungkinan terjadinya tumpang tindih
sangat besar yang akibat adanya, Dalam suatu waktu yang bersamaan atau
dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional atau lebih
melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu dengan
sasaran yang sama.63
Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat
pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawasan intern yang ada.
Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut sebenarnya akan
dideskripsikan suatu pola pengawasan berjenjang.
Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan dimana, Aparat
pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris
melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau lebih makro
wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah. Dengan
perkataan lain sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan berbeda satu
sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern.
Selama ini, perjenjangan pengawasan dan pemeriksaan keuangan
negara tampaknya belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan tidak
63

Dian Puji N. Simatupang, Op. Cit., hlm. 90

adanya kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak ada alat yang
dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan.
Disamping itu, tidak ada perencanaan yang terpadu dalam melakukan
pengawasan.
Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP
cukup potensial untuk menjalankan tugas mempersiapkan perumusan
kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga
menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan
keuangan.
Guna mendukung tugas BPKP tersebut BPKP dapat melakukan
pemeriksaaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga
meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat dengan objek
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung
kepada menteri atau pejabat instansi yang diawasi.
Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern
keuangan negara sebenarnya ditujukan pada upaya membantu presiden dalam
bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara. Sebagai
kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan, presiden tidak
dapat senantiasa melakukan pengawasan.
Oleh sebab itu, presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga
melakukan fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Sebagai
aparatur pemerintahan, dan juga aparat pengawas intern, pihaknya tidak boleh

mengeluarkan pernyataan pendapat yang dapat dijadikan dasar bagi


masyarakat umum dalam mengambil suatu keputusan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian keuangan negara, tidak bisa didefinisikan dalam suatu defenisi
tertentu, karena definisi keuangan negara bersifat politis, tergantung
kepada sudut pandang, berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah,
diidentikkan dengan APBN. Sedangkan mengenai Keuangan Daerah
merupakan bagian dari keuangan negara, sehingga keuangan daerah dapat
juga diartikan sebagai semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah adalah
suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan,

dan

bertanggung

jawab

dalam

rangka

pendanaan

penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi,


kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hatihati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.

Anggaran daerah yang merupakan anggaran rencana kerja pemerintah


daerah dalam bentuk uang (Rupiah) dalam satu periode tertentu (satu
tahun). Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, ia
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan
efektivitas pemerintah daerah, yang digunakan sebagai alat untuk
menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masamasa yang akan dating
3. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan,

pelaksanaan,

pertanggungjawaban,

dan

penatausahaan,

pengawasan

keuangan

pelaporan,
daerah.

Dalam

pengeloaan keuangan daerah harusnya dipisahkan antara pengelolaan dan


pengawasan keuangan daerah. Hal ini membuka peluang untuk berkolusi
antara pejabat pengelola dan pengawasan keuangan daerah. Pasal 5 ayat 1
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman
pengelolaan keuangan daerah, bahwa kepala daerah adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, penjelasan ini
kemudian dipertegas dalam ayat 2 pada pasal yang sama, bahwa
pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pad ayat (1)
mempunyai kewenangan: Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan
APBD; pasal ini secara seksama menegaskan bahwa setiap kepala daerah

memegang amanah rakyat dalam mengelola keuangan publik. Laporan


pertanggungan jawaban pengelolaan keuangan daerah pemda untuk saat
ini diwujudkan melalui Laporan Keuangan yang wajib disusun oleh setiap
instansi pemda dalam bentuk Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan
Realisasi Anggaran dan Catatan Atas laporan Keuangan yang wajib
dilaporkan setiap periode 31 Desember, hal ini menjadi satu catatan
penting bahwa transparansi sangat dikedepankan tidak seperti dulu lagi.

B. Saran
Untuk menghadapi Globalisasi perekonomian dan pembangunan
nasional yang menekankan pada pelaksanaan otonomi daerah secara luas,
nyata, dan bertanggungjawab, maka perlu disusun suatu rumusan yang jelas
berkaitan dengan manajemen keuangan daerah. Hal ini adalah salah satu
bentuk bagaimana pemerintah daerah mempersiapkan suatu pra kondisi dalam
pentas perekonomian internasional dan perekonomian nasional.
Keuangan daerah sebagai sumber pembiayaan daerah, yang tertuang
dalam APBD bersumber tidak saja dari pendapatan asli daerah, akan tetapi
juga diperoleh dari dana pemerintah pusat yang di alokasikan ke daerah
dalam rangka penunjang pelaksanaan asas dekosentrasi dan desentralisasi,
oleh karena itu dalam pengelolaan dan pemanfaatan haruslah mengacu
kepada mekanisme penggunaan anggaran dengan berpedoman kepada aturan
yang jelas pula.
Pemeriksaan keuangan daerah, secara umum harus dibuat suatu

kerangka yang jelas dan pasti tentang pembagian kewenangan, baik


pemeriksaan terhadap keuangan daerah yang bersumber dari pendapatan asli
daerah maupun keuangan daerah yang merupakan dana alokasi dari
pemerintah pusat ke daerah, sehingga pemeriksaan penggunaan dan
pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
maupun lembaga pemeriksa lain tidak saling tumpang tindih.

Anda mungkin juga menyukai

  • Deee
    Deee
    Dokumen5 halaman
    Deee
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • 1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    Dokumen72 halaman
    1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Dokumen47 halaman
    Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Derww
    Derww
    Dokumen101 halaman
    Derww
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • ASAS PEMBUKTIAN
    ASAS PEMBUKTIAN
    Dokumen64 halaman
    ASAS PEMBUKTIAN
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Udan
    Udan
    Dokumen41 halaman
    Udan
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Kra2 PPJK011
    Kra2 PPJK011
    Dokumen28 halaman
    Kra2 PPJK011
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Sder
    Sder
    Dokumen15 halaman
    Sder
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen15 halaman
    COVER
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • T Ips 1004768 Chapter3-1
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Dokumen38 halaman
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • T Ips 1004768 Chapter3-1
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Dokumen38 halaman
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen15 halaman
    COVER
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Babab
    Babab
    Dokumen57 halaman
    Babab
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Chapter III-V
    Chapter III-V
    Dokumen71 halaman
    Chapter III-V
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen12 halaman
    Bab Iii
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen23 halaman
    Chapter II
    Ferri Wicaksono
    Belum ada peringkat
  • Serww
    Serww
    Dokumen96 halaman
    Serww
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Freee
    Freee
    Dokumen28 halaman
    Freee
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Reww
    Reww
    Dokumen26 halaman
    Reww
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen23 halaman
    Chapter II
    Ferri Wicaksono
    Belum ada peringkat
  • Derr
    Derr
    Dokumen12 halaman
    Derr
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • DEEE
    DEEE
    Dokumen105 halaman
    DEEE
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Dalma
    Dalma
    Dokumen132 halaman
    Dalma
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Tyuiuu
    Tyuiuu
    Dokumen14 halaman
    Tyuiuu
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Chapter I-1
    Chapter I-1
    Dokumen10 halaman
    Chapter I-1
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Sder
    Sder
    Dokumen19 halaman
    Sder
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Deree
    Deree
    Dokumen12 halaman
    Deree
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat
  • Frtyr
    Frtyr
    Dokumen71 halaman
    Frtyr
    Nur Qodri
    Belum ada peringkat