Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Taala atas


segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita semua termasuk
terselesaikannya

Makalah RADIOLOGI

KEDOKTERAN

NUKLIR

SCANNING TULANG ini, sebagaimana amanat yang diberikan kepada kami di


dalam memenuhi tugas mata kuliah Kedokteran Nuklir.
Sebuah penghargaan bagi kami atas diberikannya tugas ini, karena dengan
begitu kita akan dapat mengkaji kembali tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pemanfaatan radiasi, yang pasti akan bermanfaat menambah keilmuan dan
pengetahuan akademis kita serta modal dalam beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Taala.
Kami pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu sumbang-saran maupun masukan sangat saya harapkan. Atas segala
kekurangan tersebut, kami mohon dibukakan pintu maaf seluas-luasnya.
Demikian dari kami, semoga segala tujuan baik dengan hadirnya makalah
ini dapat tercapai. Amiin
Makassar, 18 Maret 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

1.1 Latar Belakang ................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................
1.4 Manfaat Penulisan ...........................................................................

3
4
4
5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

2.1 Definisi Kedokteran Nuklir..............................................................


2.2 Sejarah Kedokteran Nuklir...............................................................

6
8

2.3 Radiofarmaka...................................................................................

10

2.4 Radionuklida....................................................................................

11

2.5 Zat Pembawa....................................................................................

12

2.6 Konfigurasi Peralatan.......................................................................

14

2.7 Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir Scanning Tulang..............

19

BAB III PENUTUP ........................................................................................

22

3.1 Kesimpulan .....................................................................................


3.2 Penutup ............................................................................................

22
22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pemanfaatan radiasi di bidang kedokteran semakin memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap paparan radiasi yang diterima
manusia. Aktivitas pemanfaatan radiasi di bidang kesehatan yang diterima
manusia meliputi radiodiagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir.
Ketiga pemanfaatan radiasi tersebut umumnya menggunakan sumber
radiasi yang spesifikasi fisiknya berbedabeda dan bermanfaat dalam
bidang

kesehatan.

Radiodiagnostik

mengkhususkan

hanya

untuk

penunjang diagnostik dengan memanfaatkan sinar-X antara lain roentgen


dan CT-scan. Radioterapi, mengkhususkan hanya untuk terapi dengan
sumber radiasi tertutup.
Kedokteran nuklir, menggunakan sumber radiasi terbuka untuk
melakukan penunjang diagnostik baik secara in-vivo, in-vitro maupun
terapi radiasi interna. Dengan menggunakan kamera gamma akan
diperoleh data secara fisiologi maupun patofisiologi dari organ tubuh.
Pada saat ini di Indonesia juga sudah digunakan PET (positron emission
tomography) pada kedokteran nuklir yaitu untuk melihat organ tubuh
secara metabolik dan molekuler. Penggunaan teknik nuklir di bidang
kedokteran

sangat

luas,

sejalan

dengan

pesatnya

perkembangan

bioteknologi, serta didukung pula oleh perkembangan instrumentasi nuklir


dan

produksi

radiofarmaka

waktu

paroh

pendek

yang

lebih

menguntungkan bila ditinjau dari sisi medis.


Makalah ini akan membahas tentang Kedokteran Nuklir dan
pemeriksaannya pada tulang. Dan hal ini pulalah yang menjadi dasar

dibuatnya makalah ini serta untuk memenuhi yang diberikan oleh bapak
dosen.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apa defenisi dari Kedokteran Nuklir?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Kedokteran Nuklir?
3. Apakah yang dimaksud dengan radiofarmaka dan Radionuklida serta
pengunaannya di Kedokteran Nuklir?
4. Bagaimana fungsi Zat Pembawa pada Kedokteran Nuklir?
5. Apa-apa saja alat yang digunakan pada prosedur pemeriksaannya?
6.
Bagaimana teknik pemeriksaan kedokteran nuklir (bone
scintigraphy /sidik tulang)?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari Kedokteran Nuklir.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan sejarah perkembangan
Kedokteran Nuklir.
3. Untuk

mengetahui

apa

dimaksud

dengan

radiofarmaka

dan

Radionuklida serta pengunaannya di Kedokteran Nuklir.


4. Untuk mengetahui bagaimana fungsi Zat Pembawa pada Kedokteran
Nuklir.
5. Untuk mengetahui apa saja alat yang digunakan pada prosedur
pemeriksaannya
6. Untuk mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan kedokteran nuklir
(bone scintigraphy /sidik tulang).

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Penulis
Untuk memperdalam pengetahuan penulis tentang pengembangan
IPTEK khususnya dalam jalur-jalur ke-islaman.
2. Bagi Akademik
Dapat dijadikan sebagai acuan literatur atau bacaan oleh mahasiswa
ATRO Muhammadiyah Makassar.

BAB II
PEMBAAHASAN
2.1

Definisi Kedokteran Nuklir


Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang
menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti
radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan
biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan
penelitian kedokteran. Pada kedokteran Nuklir, radioisotop dapat
dimasukkan ke dalam tubuh pasien (studi invivo) maupun hanya
direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung,
urine dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien yang lebih dikenal
sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke dalam
tubuh pasien melalui mulut atau suntikan atau dihirup lewat hidung dan
sebagainya maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
a. Citra atau gambar dari organ atau bagian tubuh pasien yang dapat
diperoleh dengan bantuan peralatan yang disebut kamera gamma
ataupun kamera positron (teknik imaging)
b. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ atau bagian tubuh tertentu
dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam
organ atau bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang
diperoleh dengan kamera gamma atau kamera positron.

c. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis (darah, urine


dsb) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang
dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).

Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun nonimaging memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa.

Pencitraan (imaging) pada kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda


dengan pencitraan dalam radiologi. Pada studi in-vitro, dari tubuh pasien
diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah. Cuplikan
bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah
ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan
detektor radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem instrumentasi.
Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan
hormon-hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin dll.
Pemeriksaan

kedokteran

nuklir

banyak

membantu

dalam

menunjang diagnosis berbagai penyakitseperti penyakit jantung koroner,


penyakit kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan
penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang,
mendeteksi

pendarahan

pada

saluran

pencernaan

makanan

dan

menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari
diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang pada saat ini
berkembang pesat.
Disamping membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga
berperanan dalam terapi-terapi penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar
gondok, hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian
obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi
(peradangan)sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi
obat-obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan
dalam dosis yang sangat kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja
diberikan dalam dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap
jaringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun
jaringan kanker itu.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun
1960-an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai
dioperasikan di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh
tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini

merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin,


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unitunit berikutnya di Jakarta (RSCM, RSPP, RS Gatot Subroto) dan di
Surabaya (RS Sutomo). Pada tahun 1980-an didirikan unit-unit kedokteran
nuklir berikutnya di RS sardjito (Yogyakarta) RS Kariadi (Semarang), RS
Jantung harapan Kita (Jakarta) dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini di
Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran
nuklir dengan menggunakan kamera gamma, di samping masih terdapat 2
buah rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang
lebih dikenal dengan nama Renogram.
2.2

Sejarah Kedokteran Nuklir


Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran
yang mengalami perkembangan pesat seiring dengan kemajuan penelitian
dibidang pemnfaatan tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Dalam
proses perkembangannya, kedokteran nuklir merupakan hasil dari
kontribusi dari para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda,
mulai dari ilmu fisika, kimia, teknik, dan kedokteran.
Momentum paling penting dalam perkembangan kedokteran nuklir
adalah penemuan radionuklida buatan Frdric Joliot-Curie dan Irne
Joliot-Curie pada tahun 1934. Pada bulan Februari 1934, Joliot-Currie
mempubllikasikan bahan radioaktiv buatan yang pertama dalam jurnal
Nature. Penemuan mereka diilhami hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Wilhelm Konrad Roentgen tentang X-ray, Henri Becquerel
tentang garam radioaktif uranium, dan Marie Curie (ibu Irene Curie)
tentang thorium radioaktif, polonium serta pengaruh penggunaan koin
dalam radioaktivitas.
Pada tahun 1930, Taro Takemi mempelajari penerapan fisika nuklir
dalam bidang pengobatan. Pada tanggal 7 Desember 1946, Kedokteran
Nuklir mendapat pengakuan lebih luas ketika sebuah artikel yang ditulis
oleh Sam Seidin diterbitkan dalam Journal of American Medical

Association. Dalam artikel tersebut diuraikan kesuksesan penggunaan


radioiod (I-131) terhadap pasien dengan metastasis kanker tiroid. Hal ini
dianggap oleh banyak sejarahwan sebagai artikel yang paling penting yang
pernah diterbitkan dalam Kedokteran Nuklir. Walaupun, pada awal
penggunaan I-131 dikhususkan untuk terapi kanker tiroid, dalam
perkembangannya penggunaan I-131 kemudian berkembang untuk
pencitraan kelenjar tiroid,kuantifikasi fungsi tiroid, dan terapi untuk
hipertiroidisme.
Semakin meluasnya penggunaan secara klinis, Kedokteran Nuklir
dimulai pada awal 1950-an, sehingga pengetahuan tentang radionuklida ,
deteksi radioaktivitas, dan penggunaan radionuklida tertentu untuk
melacak proses-proses biokimia semakin diperluas dan diperdalam oleh
para ahli. Benediktus Cassen adalah perintis dalam mengembangkan
scanner pertama dan Hal O Anger' mengembangkan kamera scintilasi dan
memperluas applikasi Kedokteran Nuklir dengan spesialisasi pencitraan
medis.
Pada tahun-tahun awal pertumbuhan kedokteran nuklir sangat
fenomenal. Pada tahun 1954, Perhimpunan Kedokteran Nuklir dibentuk di
Spokane, Washington, USA. Pada tahun 1960, Perhimpunan tersebut
mulai mempublikasikan Jurnal Kedokteran Nuklir yang merupkan salah
satu jurnal ilmiah terkemuka Amerika.
Di antara banyak radionuklida yang ditemukan, dalam aplikasi
medis, penemuan dan pengembangan Technetium-99m merupakan hal
yang sangat penting. Penemuan Technitium pertama kali ditemukan pada
tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai unsur buatan. Saat ini,
Technetium-99m

adalah

unsur

yang

paling

dimanfaatkan

dalam

Kedokteran Nuklir dan berperan dalam berbagai studi pencitraan


Kedokteran Nuklir.
Pada

tahun

1970-an

sebagian

besar

organ

tubuh

dapat

divisualisasikan menggunakan metode Kedokteran Nuklir. Pada tahun


1971, American Medical Association resmi mengakui kedokteran nuklir

sebagai spesialisasi medis, dan pada 1980-an, radiofarmasi dirancang


untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Teknik pencitraan
tomografi telah dikembangkan lebih lanjut di Washington University
School of Medicine.

2.3

Radiofarmaka
Radiofarmaka adalah senyawa aktif yang diberikan ke pasien
peroral maupun parental untuk tujuan diagnostik maupun terapi,
merupakan sumber terbuka dan ikut metabolisme dalam tubuh. Suatu
radiofarmaka berupa isotop radioaktif misalnya Tl-201 atau berupa
senyawa yang dilabel dengan pembawa materi contoh I-131 Hipuran, Tc99m DTPA.
Sifat-sifat radiofarmaka diagnostik yang ideal:

Pemancar gamma murni


100 keV < energi gamma < 250 keV
Waktu paruh efektif = 1.5 x lamanya pemeriksaan.
Target to non-target ratio tinggi.
Dosis radiasi yang diterima pasien dan petugas kedokteran nuklir

minimal.
Keselamatan pasien
Reaktivitas kimia
Tidak mahal dan tersedia dengan mudah.
Penyiapan serta kendali kualitasnya sederhana jika dibuat ditempat
(rumah sakit).

Sifat-sifat radiofarmaka terapi yang ideal :

Pemancar partikel bermuatan yang murni (b- atau a).


Memiliki energi cukup tinggi atau sedang (>1 meV).
Waktu paruh effektif cukup panjang, misalnya dalam hari.
Perbandingan uptake di dalam target terhadap organ bukan target

tinggi
Dosis radiasi yang diterima pasien harus minimal dan juga yang
diterima petugas kedokteran nuklir.

10

Keselamatan pasien diutamakan.


Radiofarmaka tersedia dengan mudah dan harganya murah.
Preparasi dan QC radiofarmaka mudah dan sederhana bila

radiofarmaka disiapkan ditempat.


2.4 Radionuklida
Radionuklida yang digunakan di kedokteran nuklir adalah hasil
produksi dari reaktor nuklir seperti I-131, Cr-51 dan cyclotron seperti Tl201, In-123 namun harganya jauh lebih mahal dibanding dengan reaktor
nuklir atau melalui generator dengan mengilusi isotop induk. Contoh yang
paling dikenal dari radionuklida yang berasal dari generator adalah Tc99m yang diilusi dari isotop induk Mo-99 yang pemakainnya paling
banyak di kedokteran nuklir.
Penggunaan radionuklida di kedokteran nuklir harus dibedakan
antara pemakaian untuk keperluan terapi dan diagnostik. Untuk
penggunaan terapi diperlukan radionuklida yang massa paruhnya panjang
dan memancarkan radiasi sinar beta yang mempunyai efek biologis tinggi.
Radionuklida yang mempunyai beban radiasi kecil terhadap pasien dan
memiliki energi yang ideal untuk pemeriksaan dengan gamma kamera.
Kriteria yang ideal dimiliki oleh suatu radionuklida untuk keperluan
diagnostik adalah :
Waktu paruh : pendek tetapi tidak lebih pendek dari waktu pemeriksaan
Radiasi
: memancarkan gamma
Energi
: 50 400 keV
Sifat kimia
: tidak toxis dan tidak merubah sifat biologis dari farmaka
yang dilabel
Ekonomis
: murah dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak
Dari kriteria di atas Tc-99 merupakan radionuklida yang paling
memenuhi syarat karena Tc-99 mempunyai waktu paruh 6 jam, radiasi
gamma, energi 146 keV, sifat kimia tidak toxis dan tidak merubah sifat
biologis farmaka yang dilabel dan ekonomis.

11

2.5

Zat Pembawa
Untuk membawa aktifitas ke organ yang akan diperiksa diperlukan
senyawa yang mempunyai spesitas terhadap organ tersebut yang biasanya
disebut zat pembawa. Zat pembawa adalah unsur / zat yang dapat
mengikat radionuklida dan membawa ke organ yang akan diperiksa dan
dimetabolisir oleh organ tersebut.
Kemajuan dalam bidang bioteknologi sangat membantu dalam
perkembangan kedokteran nuklir baik dalam jumlah dan produksi dan
jenis zat pembawa tetapi juga teknik-teknik labeling senyawa tersebut
berkembang pesat. Sebagaimana radionuklida zat pembawa ini juga harus
mempunyai kriteria sebagai unsur dari radiofarmaka, yaitu :
Mudah dilabel dengan radionuklida serta mudah preparasinya
tanpa merubah sifat biologisnya terutama biodistribusi dalam

tubuh.
Harus terakumulasi atau teralokasi sebagian besar di organ yang

akan diperiksa.
Harus bisa dieliminasi dari tubuh dengan waktu paruh yang sesuai
dengan lamanya pemeriksaan.

Zat pembawa yang umum digunakan pada pemeriksaan

Kedokteran

Nuklir adalah sebagai berikut :


NO

ZAT PEMBAWA

RADIONUKLIDA

ORGAN YANG

1.

MDP

Tc-99m

DIPERIKSA
Tulang

2.

DTPA

Tc-99m

Ginjal

3.

DMSA

Tc-99m

(glomurolus)

4.

MAA

Tc-99m

Ginjal (parenkin)

5.

MIBI

Tc-99m

Paru

6.

HMPAO

Tc-99m

Jantung

7.

Hipuran

I-131

Otak

8.

I-131

Ginjal (tubular)
Tiroid

12

Ada berbagai cara dalam menempatkan radiofarmaka ke dalam


organ tubuh. Beberapa penempatan yang sudah diketahui mekanismenya
adalah:
a. Proses Fagositosis
Bila pembawa materi adalah mikro koloid yang dapat ditandai
dengan Tc-99m, In-113m, atau Au-198, maka radiofarmaka akan
difagositosit oleh system Retikuloendotelia (RES) tubuh setelah
disuntikkan intravena. Radiofarmaka ini dimanfaatkan untuk
membuat skaninghati, limpa, sumsum tulang dan juga membuat
skening kelenjar getah bening regional bila diberikan secara
subkutan.
b. Transportasi aktif
secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka ini dari
plasma darah ke dalam organ untuk selanjutnya ikut metabolisme
tubuh/dikeluarkan dari tubuh. Contoh I-131 Hippuran diekskresi o/
sel tubulus sehingga dapat dipakai untuk memeriksa fungsi ginal
pada Renogram, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel
poligonal hati ditransfer dari darah untuk diekskresi ke usus halus
lewat saluran empedu.
c. Penghalang kapiler
Apabila pembawa materi adalah makrokoloid yg disuntikkan IV
akan menjadi penghalang kapiler di Paru, misal Tc-99mmakrokoloid dimanfaatkan membuat scanning perfusi paru untuk
mendeteksi emboli paru.
d. Pertukaran Difus
Pembawa materi yang telah ditandai radioaktif akan saling bertukar
tempat dgn senyawa yang sama dari organ tubuh. Contoh Polifosfat
bertanda Tc-99m akan bertukar tempat dengan senyawa polifosfat
tulang.
e. Kompartemental
Bila radiofarmaka berada pada organ tubuh yang diperiksa dalam
waktu lama. Misal pada Scanning jantung dgn Tc-99m Sn eritrosit.
f. Pengasingan Sel

13

Sel darah merah yg ditandai oleh Cr-51 dan dipanaskan 50 derajad


Celcius selama 1 menit bila dimasukkan kembali ke tubuh pasien
scr IV akan segera diasingkan ke limpa dan merupakan
radiofarmaka untuk scanning limpa.

2.6

Konfigurasi Peralatan
Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya sebagai
detector, yaitu menangkap radiasi yang dipancarkan oleh bahan
radioaktif dalam tubuh dan merubahnya menjadi data yang dapat dilihat
sebagai angka-angka, warna ataupun grafik. Pemeriksaan imaging
kedokteran nuklir memerlukan gamma kamera yang mempunyai detector
dalam jumlah banyak. Satu gamma kamera biasanya terdiri dari kolimator,
detector, Photo Multiplier Tube (PMT), Catode Ray Tube (CRT), Pulse
Height Analizer (PHA).
Gamma Kamera
Gamma kamera pada hakekatnya merupakan kamera skintilasi
(scintillation cameras). Pencitraan menggunakan kamera gamma
merupakan teknologi imeging emisi. Kamera gamma akan merubah
photon gamma yang berhasil diterima oleh detektor menjadi pulsa
cahaya dan selanjutnya dirubah menjadi pulsa elektronik (voltage
signal). Signal tersebut yang akhirnya akan membentuk citra (image)
sesuai dengan ditribusi radionuklida yang dimasukkan kedalam tubuh.
Setiap unit kamera gamma memiliki komponen dasar yang terdiri
dari :
a. Kolimator
b. Detektor/ Kristal skintilasi
c. Photo Multiplier Tube (PMT)
d. Cathode Ray Tube (CRT)
e. Pulse Height Analyzer (PHA)
f. Konsole/Panel Kontrol
Kamera gamma jenis digital memiliki beberapa kelebihan dibanding
jenis analog, antara lain dapat melakukan pemrosesan data lebih cepat,

14

karena selalu dilengkapi dengan unit komputasi yang lebih canggih,


dan secara umum relatif lebih mudah perawatanya.
a. Kolimator
Sebagaimana pada sistem optic yang memerlukan lensa untuk
memfokuskan cahaya, dalam kedokteran nuklir juga diperlukan
sarana untuk memfokuskan sinar gamma detector. Untuk itu
diperlukan kolimator yang terbuat dari timbal yang berisikan pipapipa kecil, dimana arah dari pipa-pipa ini tergantung dari jenis
kolimator. Dengan kolimator, hanya sinar gamma yang searah
dengan pipa-pipa dapat melalui kolimator dan menumbuk detector.
Sedangkan sinar gamma yang arahnya miring akan menumbuk
pipa-pipa dan akan diabsorbsi sehingga tidak sampai detektor
(kristal skintilasi), hanya menerima signal dari radionuklida
terbatas pada sebagian tertentu didalam tubuh pasien). Karenanya
kolimator

dalam

menjalankan

fungsinya

adalah

dengan

mengabsorbsi dan menghalangi radiasi photon yang datang diluar


bidang tertentu yang berhadapan dengan permukaan detektor.
Sehingga radiasi yang diterima oleh kolimator dengan posisi
oblique tidak dapat mempengaruhi pembentukan citra.
Efektivitas kolimator dalam memproduksi gambar pada detektor
tergantung dari faktor-faktor, antara lain :

Dimensi dari kolimator : besar pipa/ukuran hole, jumlah hole,

panjang hole dan tebal septa.


Jarak dari obyek : makin dekat obyek dengan kamera makin
baik

resolusinya,

karena

itu

sangat

penting

untuk

menempatkan pasien sedekat mungkin dengan kamera.

15

Resolusi dan sensitivitas juga sangat dipengaruhi oleh energi


sinar gamma yang diterima, makin tinggi energi yang

diterima makin buruk cahaya yang dihasilkan detektor.


b. Detektor
Detector terdiri dari scintilasi kristal yang diletakkan di belakang
kolimator, terbuat dari Natrium Iodida (NaI) kristal plus Thalium.
NaI (Tl) ini akan mengeluarkan cahaya/scintilisai apabila
tertumbuk sinar gamma.
Interaksi photon gamma

dengan

kristal

detektor

akan

menyebabkan terjadinya efek penyerapan photoelektrik, sehingga


menghasilkan cahaya fluorosensi yang intensitasnya proposional
dengan kandungan energi dari photon gamma yang bersangkutan.
Pada umumnya diameter kristal detektor bervariasi sekitar 10 s/d
21 inch, dan ketebalan s.d inch. Semakin luas ukuran bidang
kristal semakin luas pula bidang pencitraan yang dimiliki kamera
gamma, sehingga harganya semakin mahal. Semakin tebal ukuran
suatu kristal detektor, derajat resolusi spatial akan semakin rendah
tetapi semakin efektif dalam menangkap radiasi photon gamma.
Dibagian kedokteran nuklir RSCM detektor mempunyai luas 25,4
cm2.
c. Photo Multiplier Tube (PMT)
PMT berfungsi untuk merubah signal cahaya menjadi signal
elektrik secara terukur. PMT ditempatkan dibagian belakang kristal
NaI(Tl) dan berjumlah banyak serta tersusun dalam suatu
konfigurasi. PMT dihubungkan dengan kristal secara optis dengan
bahan silicon-like materials. Signal skintilasi yang dihasilkan dari
kristal akan diterima/dicatat oleh satu atau lebih PMT. Signal
keluaran PMT memiliki 3 komponen,yaitu : Semua data-data ini
akan terkumpul dalam kolektor dan disimpan dalam memori ini
akan diproses menjadi data visual berupa gambar, grafik maupun
angka.
d. Cathode Ray Tube (CRT)

16

Signal-signal yang dapat dari PMT akan diproses menjadi 3 (tiga)


signal X, Y, Z. spatial coordinates X dan Y sebagai sumbu , dan
komponen Z sebagai parameter besarnya energi yang masuk dalam
kristal detektor dan diproses oleh PHA. Koordinat X dan Y dapat
langsung diamati pada layar display (CRT) atau didalam komputer.
Sedang signal Z (intensitas) akan diproses lebih lanjut oleh
komponen berikutnya, yaitu PHA.
e. Pulse Height Analyzer (PHA)
PHA pada prinsipnya memiliki fungsi membuang (to discard)
signal-signal radiasi yang beraasal dari cacah latar (background)
dan sinar hamburan atau radiasi lain dari hasil interferensi isotop,
sehingga hanya foton yang berasal dari photopeak yang
dikehendaki yang dicatat. PHA akan melakukan pemilahan
terhadap signal-signal tersebut, selanjutnya meneruskan signal
yang sesuai untuk diteruskan ke sistem komputer, sedang yang
tidak sesuai ditolak. PHA mampu melakukan fungsi tersebut
karena energi yang diterima oleh detektor akan diubah menjadi
signal skintilasi yang memiliki korelasi linier dengan voltage signal
yang dikeluarkan oleh PMT.
f. Kontrol Panel
Image exposure time ditentukan melalui panel kontrol, dengan
pilihan :
Preset count
Preset time atau
Preset ID (information density) untuk citra kompresi.

Generator
Pada prinsipnya generator radioisotop terdiri dari radionuklida yang
mempunyai waktu paroh panjang (disebut radionuklida induk) yang
spontan meluruh dan menghasilkan radionuklida yang waktu
parohnya jauh lebih pendek (disebut radionuklida anak). Keduanya
membentuk pasangan keseimbangan transien dan pada suatu saat

17

radioaktivitas generator akan berkurang menurut waktu paro nuklida


induk.
Sistem generator radioisotop harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Radionuklida induk harus mempunyai sifat-sifat fisika dan

kimia yang cocok agar mudah diolah dalam bentuk generator.


Radionuklida induk dapat menghasilkan nuklida anak dengan

kemurnian kimia, radiokimia yang tinggi.


Sistem generator harus aman dan

penggunaanya
Radioaktivitas anak harus cukup tinggi.
Nuklida anak harus mudah dipisahkan dari induknya.
Struktur generator harus tetap baik setelah berkali-kali dielusi

sederhana

dalam

(dalam pemisahan nuklida anak dari induknya).


Hingga saat ini dari sistem generator telah dapat dihasilkan beberapa
radioisotop, misalnya :
Generator
99Mo
68Ge
81Rb
82Sr
87Y
113Sn
132Te
137Cs
191Os

2.7

99mTc
68Ga
81mKr
82Rb
87mSr
113mIn
132I
137mBa
191mIr

T1/2 Induk
2,78 hari
275 hari
4,7 jam
25 hari
3,3 hari
115 hari
3,2 hari
30 tahun
15 hari

T1/2 Anak luruh


6 jam
68 menit
12 detik
1,3 menit
2,8 jam
1,7 jam
2,3 jam
2,6 menit
4,7 detik

E Anak Luruh
(%)
140 keV (90)
511 keV (176)
190 keV (65)
511 keV (192)
388 keV (80)
393 keV (64)
(banyak)
622 keV (89)
129 keV (25)

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Bone Scintigraphy /Sidik


Tulang)
Tujuan Meriksaan: Menilai adanya kelainan /Aktivitas patologi
Indikasi
: Metastasis pada tulang
Tumor tulang primer
Osteomielitis
Nekrosis Aseptik

18

Trauma
Kelainan sendi
Penyakit metabolik pada tulang
Kontraindikasi
: Wanita hamil / menyusui
Radiofarmaka
: Tc-99m MDP (Methylenediphosphonate)
dengan dosis 15 20 mCi.
Persiapan Alat
:
1. Kamera gamma planar dilengkapi data prosessor dengan
kolimator LEHR
2. Puncak energi: 140 KeV
3. Window width : 20%
Prosedur Persiapan Pasien
:
1. Tidak diperlukan persiapan khusus
2. Beritahu dokter atau petugas, jika :
a. Sedang hamil atau menyusui
b. Beberapa hari sebelumnya telah melakukan pemeriksaan yang
mengandung barium (misalnya barium enema) atau sedang
mengkonsumsi obat yang mengandung bismuth (misalnya
pepto-bismuth) karena kedua zat tersebut dapat berpengaruh
terhadap hasil pemeriksaan.
3. Kurangi konsumsi cairan 4 jam sebelum pemeriksaan dilakukan,
karena pasien akan diminta mengkonsumsi banyak cairan setelah
perunut radioaktif disuntikkan.
4. Setelah perunut disuntikkan, pasien harus menunggu 1 3 jam
sebelum

bone

scan

dilakukan.

Oleh

karena

itu

pasien

diperbolehkan membawa buku, majalah atau barang lainnya untuk


memanfaatkan waktu pada saat menunggu pengambilan gambar.
5. Sebelum pemeriksaan dilakukan, lepaskan perhiasan atau benda
logam lainnya yang dikenakan pasien dan yang kita kenakan,
karena dapat menggangu pencitraan.
Prosedur Tindakan
: Pencitraan Dengan Metoda Tiga Fase
1. Fase pertama (vaskuler)
Penderita tidur terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian
rupa sehingga tubuh yang akan diperiksa berada di atas lapang
pandang detektor.

19

Pemeriksaan vase pertama merupakan pemeriksaan dinamik dalam


frame berukuran matrix 128 x 128 dengan waktu pencacahan 2
detik/frame selama 2 menit.
Posisi pencitraan: anterior dan atau posterior.
Pencitraan dimulai bersamaan dengan

saat

penyuntikan

radiofarmaka secara bolus.


2. Fase kedua (blood pool)
Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase pertama
selesai berupa pencitraan statik dalam frame berukuran matrix 256
x 256 sebanyak 300 Kcounts.
Posisi pencitraan: anterior dan atau posterior.
3. Fase ketiga (delayed/bone)
Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3 jam
pasca penyuntikan radiofarmaka.
Sebelum memasuki ruang pemeriksaan penderita dianjurkan untuk
buang air kecil dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi.
Pada fase ketiga ini dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh (whole
body scan) dari posisi anterior dan posterior dilanjutkan dengan
pemeriksaan SPECT-CT pada bagian-bagian yang mencurigakan.
Pemeriksaan dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak
700 Kcounts.
Posisi pencitraan: anterior dan posterior. Apabila diperlukan
pemeriksaan dapat dari posisi miring (oblique) untuk memperjelas
lokasi kelainan.
Lama Tindakan
: 3 Jam
Evaluasi Hasil
:
1. Daerah tulang yang menyerap sedikit perunut atau bahkan tidak
menyerap sama sekali disebut Cold Spot, yang menggambarkan
bahwa suplai darah ke tulang tersebut kurang (infarksi tulang)
atau memperlihatkan adanya kanker.
2. Daerah yang menyerap perunut banyak atau terlihat terang

disebut Hot Spot, yang menggambarkan terjadinya tumor,


fraktur,

atau

infeksi.

20

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Keodokteran Nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang
masih diperlukan untuk pemeriksaan baik diagnosa maupun terapi dan
untuk tujuan penelitian, menggunakan sumber radiasi terbuka dari proses
desintegrasi/peluruhan inti radionuklida.
Pada teknik pemeriksaan Kedokteran Nuklir radioisotop dapat
dimasukkan ke dalam tubuh pasien (studi invivo) maupun hanya
direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung,
urine dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien yang lebih dikenal
sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).

3.2

Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna mengingat
kami yang masih dalam proses belajar, tentulah masih sangat
21

memerlukan bimbingan serta ilmu yang lebih, untuk mendekati kata


sempurna tersebut. Olehnya itu sumbang saran serta masukkan akan
sangat membantu untuk kedepannya

DAFTAR PUSTAKA

http://amywardhana.blogspot.com/2013/11/kedokteran-nuklir.html
diakses pada tanggal 18 maret 2015, pukul 17.25 wita.
http://siavent.blogspot.com/2010/02/teknik-pemeriksaankedokteran-nuklir_27.html

diakses pada tanggal 18 maret 2015, pukul 18.00 wita.


http://triasri12.blogspot.com/2013/11/kedokteran-nuklir.html
diakses pada tanggal 18 maret 2015, pukul 19.36 wita.

22

23

Anda mungkin juga menyukai