Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Ny.x 48 tahun datang dengan patah tulang setelah jatuh dari tangga di rumahnya saat
akan menjemur pakaian.Pasien memiliki riwayat alergi makanan dan rutin minum obat
ctm dan dexamethasone 3 kali sehari sejak 5 tahun terakhir.Pada pemeriksaan fisik di
dapatkan TD 150/90 mmHg.Di keluarga Ny.x tidak ada yang menderita hipertensi
maupun asma.
1.2 Klarifikasi dan definisi
a. Dexamethasone : obat golongan kortikosteroid yaitu gluklokortikoid
b. Alergi makanan : Respon abnormal terhadap makanan yang di perantai reaksi hormon
1.3 Kata kunci
a. Ny.x 48 tahun
b. Patah tulang
c. Alergi makanan
d. Riwayat minum dexamethasone dan CTM
e. Tekanan darah 150/90 mmHg
f. Riwayat keluarga : hpertensi (-),asma (-)
g. Jatuh dari tangga
1.4 Rumusan masalah
Ny.x 48 tahun mengalami patah tulang dan riwayat alergi makanan,tekanan darah
150/90 mmHg serta rutin minum oabt dexamethasone dan CTM jangka panjang

1.5 Analisis masalah


Penurunan
kortikosteroid
endogen

Penuruna
n
estrogen

Hipofungs
i adrenal

Gangguan
metabolism
e kalsium

CTM
jangka
panjang

Ny.x 48
thn

hipertensi

Vasok
ontriks
i otot
polos
pemb

Patah
tulang

Dexamethaso
ne jangka
panjang

Kerja
osteoklas
naik,osteo
blas turun

Resisten
si
pembul
uh
darah

Resistensi
Na
Sintesis
prostaglan
din
Penuruna
n
reasorpsi

Peningkat
an sekresi
ca di urin

Penuruna
n ca
serum
Peningkat
an
resorpsi
tulang
Penuruna
n massa
tulang

Osteoporosi
s sekunder
1.6 Hipotesis
Ny.x 48 tahun mengalami hipofungsi kortek adrenal dan hipertensi grade 1 akibat
penggunaan kortikosteroid dan CTM jangka panjang
1.7 Pertanyaan diskusi
1. Kelenjar adrenal
a. anatomi
b. histologi
c. Fisiologi: sintesis dan regulasi,kerja hormon
2. Penyakit apa saja yang timbul jika terjadi gangguan pada kelenjar adrenal
3. Faktor yang menpengaruhi densitas tulang
4. Bagaimana efek glukokortikoid terhadap keseimbangan kalsium
5. Bagaimana efek glukokortikoid terhadap tekanan darah
6. CTM
a) Dosis

b) Farmakokinetik
c) Farmakodinamik
d) Efek samping
7. Dexhametasone
a. Dosis
b. Farmakokinetik
c. Farmakodinamik
d. Efek samping
8. Apa saja indikasi pemberian glukokortikosteroid
9. Pemeriksaan apa saja yang bisa dilakukan untuk gangguan sekresi
10.
11.
12.
13.

kortikosteroid

endogen
Pengaruh penurunan esterogen terhadap patah tulang
Hubungan kosumsi dexamentasone dan ctm jangka panjang terhadap patah tulang
Hubungan riwayat alergi makanan terhadap penggunaan obat pada kasus?
Edukasi dan tatalaksana yang tepat pada kasus

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kelenjar adrenal
1. Anatomi
Kelenjar adrenal (suprarenal) adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub
atas ginjal, dan terbenam dalam jaringan adiposa perirenal. Kelenjar adrenal
merupakan struktur pipih berbentuk bulan sabit, dengan panjang sekitar 4-6 cm,
lebar 7-2 crn, dan tebal 4-6 mm pada orang dewasa. Bersama-sama, kelenjar
adrenal memiliki berat sekitar 8 gram, tetapi berat dan ukurannya bervariasi sesuai
umur dan keadaan fisiologis peroiangan.1

Gambar 1. Anak Ginjal; Glandula Suprarenalis, potongan sagital bagian bawah tampak
ventral(1)

Gambar 2. Anak Ginjal, Galndula Suprarenalis potongan sagital tampak lateral (1)
2. Histologi2
Kelenjar adrenal mensekresikan hormon steroid dan ketokolamin. Bentuknya
triangular dan terletak pada lemak perirenal pada superior ginjal.
Kelenjar adrenal ditutupi oleh kapsul jaringan ikat tebal yang mana
trabekulanya memanjang hingga ke parenkim, membawa pembuluh darah dan
saraf. Jaringan parenkim sekretori dibagi menjadi dua bagian (Gambar 1.1)
1. Korteks merupakan bagian yang mensekresikan steroid. Berada di bawah
kapsul dan dan bagian ini beratnya meliputi hampir 90% kelenjar.
2. Medulla merupakan bagian yang mensekresikan ketokolamin. Letaknya di
bawah korteks dan membentuk bagian tengah kelenjar.

Gambar 1.1 Histologi Kelenjar Adrenal(1)


Sel pada medulla adrenal
Bagian tengah dari kelenjar adrenal, medulla, tersusun dari sel epiteloid yang
pucat, besar, yang bernama sel kromafin, jaringan ikat, pembuluh darah sinusoid,
dan saraf. Banyak serat saraf presinaps simpatik bermielin melewati sel kromafin.
Ketika impuls saraf dibawa oleh serat simpatik sampai di sel kromafin yang
mensekresi ketokolamin, maka sel ini akan mensekresikan produknya. Oleh karena
itu, sel kromafin dapat dibilang sama dengan neuron postsinaps. Tetapi, sangat
jarang mengandung akson. Oleh karena itu, sel kromafin merupakan tipe sel
endokrin, karena produk sekretoriknya akan masuk ke aliran darah melalui kapiler.2
Sel kromafin disusun berkelompok berbentuk oval. Secara ultrastruktur, sel
kromafin dikarakteristikan oleh banyak vesikel sekretorik dengan diameter 100
hingga 300 nm, terdapat endoplasmik retikulum kasar, dan golgi apparatus.
Material sekretorik dalam vesikel dapat di warnai untuk mengetahui secara
hitokimiawi bahwa epinefrin ketokolamin dan norepinefrin yang disekresikan sel
kromafin berasal dari sel yang berbeda. Sel yang mensekresikan norepinefrin
memiliki vesikel yang lebih hitam, sedangkan sel yang mensekresikan epinefrin
memiliki vesikel yang lebih kecil, homogen, dan tidak lebih hitam. 2

Gambar 1.2 Sel Kromafin (Mikroskop Elektron)(1)


Sel ganglion juga terdapat di medulla. Aksonnya memanjang hingga ke
parenkim korteks adrenal untuk memodulasi aktivitas sekretoriknya dan
menginervasi pembuluh darah, dan memanjang keluar kelenjar ke nervus
splanchnic menginervasi organ abdominal.2
Zona pada korteks adrenal2
1. Korteks adrenal dibagi menjadi tiga zona (Gambar 1.3):
2. Zona glomerulosa, zona terluar, meliputi 15% dari volume korteks
3. Zona fasciculata, zona yang berada ditengah, tebal, dan meliputi 80%
dari volume korteks.
4. Zona retikularis, zona terdalam yang meliputi 5% hingga 7% dari
volume korteks tetapi lebih tebal dari glomerula karena letaknya
ditengah.

Gambar 1.3 Zona Pada Korteks Adrenal(1)


1. Zona glomerulosa
Sel pada zona glomerulosa disusun dalam kelompokan oval. Sel pada
zona glomerulosa rata-rata berukuran kecil dan kolumnar atau
pyramidal. Nukleus berwarna gelap. Zona glomerulosa mensekresika
mineralokortikoid, yang berfungsi dalam regulasi homeostasis sodium
dan potassium dan keseimbangan air. Sekresi utama nya, aldosterone,
bekerja pada tubulus distal dari nefron pada ginjal, mukosa gaster, dan
kelenjar saliva dan keringat untuk menstimulasi resorpsi dari sodium,
serta menstimulasi eksresi dari potassium oleh ginjal.2
2. Zona fasciculata
Sel pada zona fasciculata besar dan polyhedral. Satu atau dea sel
tebalnya yang dipisahkan oleh kapiler sinusoid. Terdapat sel yang
mensekresikan steroid, banyak endoplasmik retikulum halus, dan
mitokondria. Terdapat juga apparatus golgi dan banyak endoplasmik
retikulum kasar yang menyebabkan warna sedikit basofilik pada bagian
sitoplasma. Bagaimanapun, pada umumnya

terlihat, sitoplasma

asidofilik dan memiliki droplet lemak. Droplet lemak didalamnya


terdapat lemak, asam lemak, kolestrol, dan fosfolipid yang merupakan
precursor untuk hormone steroid yang disekresikan oleh sel ini. 2
Zona fasciculata mensekresikan glukokortikoid, karena perannya dalam
gluconeogenesis dan glikogenesis. Salah satunya dalah kortisol yang
bekerja pada banyak sel dan jaringan yang berbeda untuk meningkatkan
availabilitas metabolik dari glukosa dan asam lemak. 2
3. Zona retikularis

Sel pada zona retikulari berukuran lebih kecil daripada zona fasciculata,
dan nukleus lebih gelap. Sel memiliki sedikit droplet lemak. Zona ini
memiliki sel yang mensekresikan steroid, endoplasmik retikulum halus,
dan mirokondria, sedikit endoplasmik retikulum kasar. Sekresi utama
dari zona ini adalah androgen lemah, terutama dehydroepiandrosterone
(DHEA). Sel ini juga mensekresikan glukokortikoid (kortisol), tetapi
lebih sedikit dibandingkan zona fasciculata2
3. Fisiologi

Korteks adrenal memiliki 3 zona:


1. Zona glomerulosa, memproduksi mineralokortikoid
2. Zona fasikulata
3. Zona retikularis, bersama zona fasikulata memproduksi kelompok
hormone glukokortikoid dan hormon androgen.
Jenis homon korteks adrenal merupakan hormon steroid, yang dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok hormon:
1. Mineralokotikoid
Kerja utama hormon ini adalah untuk meningkatkan retensi Na+ dan
ekskresi K+serta H+ khususnya dalam ginjal. Contoh hormon kelompok
ini adalah Aldosteron, dibuat di zona glomerulosa.
2. Glukokortikoid
Salah satu kerja tepenting adalah meningkatkan proses glukoneogenesis.
Misalnya hormon Kortisol pada manusia, dibuat di zona fasikulata.
Kortikosteon dihasilkan pada zona fasikulata dan glomrulosa namun
lebih banyak ditemukanpada hewan pengerat dari pada manusia
3. Androgen
Prekursor androgen berupa dehidroepiandosteon, diproduksi oleh zona
fasikulata dan retikularis.
Sintesis Mineralokortikoid (Aldosteron)
1. terjadi di zona glomerulosa
2. pregnenolon diubah menjadi progesteron oleh 2 enzim yaitu 3bhidroksisteroid dehidrogenase (3b-OHSD) dan D5,4 isomerase.
3. progesteron mengalami hidroksilasi membentuk 11-deoksikortikosteron
(DOC) yang merupakan mineralokortikoid aktif (yang menahan ion Na+)
4. terjadi hidroksilasi berikutnya membentuk kortikosteron yang
mempunyai aktivitas glukokortikoid dan merupakan mineralokortikoid
lemah.

5. Kortikosteron diubah menjadi 18-hidroksikortikosteron dengan bantuan


enzim 18-hidroksilase (aldosteron sintase)
6. 18-hidroksikortikosteron diubah menjadi aldosteron (konversi 18alkohol menjadi aldehid)
Sintesis Glukokortikoid
1. Memerlukan 3 enzim hidroksilase pada posisi C17, C21 dan C11.
Enzimnya berturut-turut adalah 17a-hidroksilase, 21-hidroksilase dan
11b-hidroksilase.
2. 17a-hidroksilase merupakan enzim retikulum endoplasma halus yang
bekerja pada progesteron atau lebih sering pada pregnenolon.
3. 17a-hidroksiprogesteron mengalami hidroksilasi sehingga membentuk 11
deoksikortisol
4. 11-deoksikortisol mengalami hidroksilasi membentuk kortisol.
5. 21-hidroksilase merupakan enzim retikulum endoplasma halus sedangkan
11b-hidroksilase merupakan enzim mitokondria.
Sintesis Androgen
1. Prekursor androgen yang dihasilkan oleh korteks adrenal adalah
dehidroepiandrosteron (DHEA)
2. Produksi androgen adrenal mengalami peningkatan yang mencolok bila
biosintesis glukokortikoid terhambat oleh defisiensi salah satu enzim
hidroksilase.
3. Sebagian besar DHEA akan dimodifikasi secara cepat lewat penambahan
sulfat dan sekitar separuh dari modifikasi ini terjadi di dalam adrenal
sedangkan sisanyadi hati.
4. DHEA sulfat merupakan unsur inaktif tetapi pengeluaran gugus sulfat
akan mengakibatkan pengaktifan kembali.- 3b-OHSD dan D5,4
isomerase akan mengubah DHEA androgen yang lemah menjadi
androstenedion yang lebih poten.
5. Reduksi androstenedion pada posisi C17 menghasilkan terbentuknya
testosterone (hanya sejumlah kecil)
2.2 Penyakit yang timbul jika terjadi gangguan pada kelenjar adrenal
1. adrenal juga sering disebabkan oleh penyakit tuberkulosis yang merusak kelenjar
adrenal atau karena kanker ke korteks adrenal. Penyakit Addison menyebabkan
ketidak seimbangan natrium-kalium darah, penghitaman kulit (akibat penambahan
ACTH mirip dengan MSH), dan penurunan kemampuan untuk merespons stres
fisiologis.4

2. Aldosteronisme primer (Sindrom Penyakit Addison disebabkan oleh kegagalan


korteks adrenal untuk memproduksi hormon adrenokortikal, dan keadaan ini
sebaliknya sering kali disebabkan oleh atrofi primer pada korteks adrenal. Pada
kira-kira 80 persen kasus, atrofi disebabkan oleh autoimunitas terhadap korteks.
Hipofungsi kelenjar Conn) adalah sekresi aldosteron yang berlebihan pada zona
glomerulosa. Hal ini menyebabkan peningkatan natrium tubuh, volume cairan
ekstraselular, curah jantung, dan tekanan darah. 4
3. Cushings sindrom terjadi akibat produksi glukokortikoid berlebihan pada zona
fasikulata. Hal ini mengakibatkan peningkatan mobilisasi protein dan lemak,
sehingga terjadi kelemahan otot dan penumpukan lemak di leher, wajah, dan
trunkus. Peningkatan glukoneogenesis mengakibatkan kadar gula darah sangat
tinggi.5
4. Sindrom adrenogenital terjadi akibat adanya tumor adrenokortikal yang
mensekresikan

banyak

sekali

androgen

sehingga

menimbulkan

gejala

maskulinisasi yang kuat di seluruh tubuh.5


5. Fenokromositoma merupakan gangguan medula adrenal, saat terjadi produksi
berlebihan dan pelepasan katekolamin berlebihan. Kondisi ini merupakan
penyebab hipertensi sekunder. Pasien fenokromositoma menunjukkan sering
menunjukkan gejala sakit kepala hipertensi yang muncul hilang dan kadangkadang parah, pingsan akibat hipotensi postur, berkeringat dan gelisah. 5
2.3 Faktor yang menpengaruhi densitas tulang
1. Keturunan dan Ras
Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan bahwa keturunan
memiliki peran penting dalam kepadatan tulang. Keturunan lebih banyak
mempengaruhi maksimum massa tulang yang mungkin dicapai selama masa
pertumbuhan dan laju kehilangan massa tulang setelah mengalami menopause . 6,7,8
Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat dibandingkan dengan orang
Eropa. Etnis lain yang memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah selain orang
yang berasal dari Eropa Utara adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang,
Meksiko Amerika, Hispanik yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan . 6,7,8
2. Umur
proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini
mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan dengan
resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dnegan adanya rongga
bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus
remodelling lengkap.7,8

Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat disebabkan


oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang
diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan
kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya
perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon
3.

terhadap vitamin D
Riwayat Reproduksi6,7.8
Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi daripada pria.
Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting
terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause.
Beberapa studi menunjukkan hubungan laju patah tulang yang meningkat setelah
sekresi estrogen berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause
pengaruh hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian tulang trabekular .
Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita
lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini
masih perlu untuk diinvestigasi untuk mmbutuhkan reliabilitasnya. Faktor tersebut
adalah umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertama kali
mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, dan lamanya pemberian ASI .
Beberapa penelitian melaporkan adanya kolerasi positif antara usia saat menopause
dan kepadatan mineral tulang dan kolerasi negatif antara umur saat pertama kali
mengalami menstruasi dengan kepadatan mineral tulang. Umur saat pertama kali
menstruasi diduga memiliki efek menstimulasi perkembangan tulang dengan cara

meningkatkan aktivitas osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen .


4. Aktivitas Fisik dan Berat Badan6,7,8
Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara prospektif dan
retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan risiko
fraktur tulang panggul, dan mereka yang memiliki gaya hidup sedentary berisiko
terkena fraktur tulang panggul sebesar 20-40% lebih besar dibandingkan dengan
mereka yang aktif. Sementara itu kajian sistematis dari Randomized Trials
menunjukkan bahwa olah raga secara teratur memiliki efek yang positif pada
tulang punggung dan tulang leher femoral .
Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan
tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah. Hal
ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang
lebih besar, terutama pada tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress
terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan

tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan
lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang
kurus .
5. Kebiasaan Merokok6,7
Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami
fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang buka perokok. Risiko terkena
fraktur tulang panggul pada perokok meningkat seiring dengan jumlah batang
rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi pada pria dan wanita, hasil pengukuran
kepadatan mineral tulang juga menunjukkan bahwa perokok memiliki kepadatan
mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan laju
pengeroposan tulang, salah satunya dengan cara menurunkan absorpsi kalsium
pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan hiperparatiroidisme
sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang .
6. Kelebihan Protein6,7,8
Konsumsi protein sangat penting untuk pertumbuhan tulang, tapi bila kebanyakan
maka hal tersebut malah bisa berakibat buruk. Kelebihan protein yang berasal dari
hewani lebih membahayakan tulang ketimbang protein nabati .
Tubuh menghasilkan zat kimia tertentu yang disebut sulfat yang dapat
menyebabkan kalsium keluar dari tulang dan sulfat akan diproduksi semakin
banyak ketika Anda banyak makan daging merah
7.

Konsumsi Kafein Berlebih 6,7,8


Swedish Department of Toxicologys National Food Administration melakukan
penelitian yang dilakukan pada 31.527 wanita Swedia usia antara 40 dan 76 tahun
yang minum tidak kurang dari 330 miligram kafein atau empat cangkir kopi harian.
Penelitian menunjukkan bahwa mereka lebih rentan terhadap patah tulang.
Risiko semakin besar ketika Anda sering minum minuman cola. Tidak hanya
kandungan kafeinnya, tetapi juga kandungan fosfor yang bisa mencuri kepadatan

tulang.
8. Kelebihan Vitamin A
Susu adalah makanan penting yang memasok tubuh dengan vitamin A yang
diperlukan dan kalsium penting untuk pertumbuhan tulang. Tapi bila asupan
vitamin A berlebihan, hal tersebut justru dapat menyebabkan penurunan kepadatan
tulang. Vitamin A mengandung retinol yang akan menghambat penyerapan vitamin
D oleh tulang. Makanan tinggi vitamin A ditemukan dalam produk hewan seperti
hati, kuning telur dan produk susu.Untuk mendapatkan asupan vitamin A, vitamin

A dalam bentuk beta karoten, seperti sayuran berdaun hijau, wortel dan ubi jalar
lebih cocok untuk tubuh dan membantu dalam kepadatan tulang 6,7,8
9. Konsumsi Alkohol
Orang yang kebanyakan mengonsumi alkohol lebih rentan terhadap berkurangnya
kepadatan tulang. Alkohol menghambat penyerapan vitamin D dan kalsium, yang
paling penting untuk pertumbuhan tulang yang kuat 6,7,8
Satu-satunya cara untuk menghindari masalah ini adalah untuk mengurangi asupan
alkohol atau lebih baik tidak minum minuman beralkohol sama sekali 6,7,8
2.4 efek glukokortikoid terhadap keseimbangan kalsium
Glukokortikoid mempengaruhi sel-sel tulang secara langsung melalui berbagai
mekanisme yaitu stimulasi osteoklastogenesis, menurunkan fungsi dan umur osteoblast,
meningkatkan

apoptosis

osteoblast

dan

mengganggu

pembentukan

proteoblast.Glukokortikoid juga meningkatkan apoptosis osteosit.Osteosit merupakan


sel tulang yang paling banyak jumlahnya dan terhubung satu dengan yang lainnya
membentuk suatu jaringan komunikasi yang memberikan informasi kepada unit
remodeling tulang mengenai lokasi tulang yang memerlukan proses remodeling.
Apoptosis pada osteosit menyebabkan terputusnya proses signaling tersebut. 9
Efek glukokortikoid pada tingkat molekular adalah menghambat efek stimulasi dari
insulin-like growth factor 1 pada pembentukan tulang, menghambat Wnt/betacatenin
signaling menyebabkan penurunan pembentukan tulang, meningkatkan kadar
osteoprotegerin menyebabkan peningkatan osteo-klastogenesis serta peningkatan
resorpsi tulang. 9
Terapi glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang yang terjadi
akibat peningkatan kecepatan remodeling tulang, disertai penurunan pembentukan
tulang. Proses tersebut meliputi peningkatan produksi macrophage stimulating factor
danreceptor activator of nuclear factor kligand (RANKL) oleh sel-sel osteoblast, dan
down regulation osteoprotegerin (OPG) sehingga terjadi peningkatan osteoklastogenesis
dan bertambah panjangnya umur osteoklast. Selain itu juga terbukti bahwa pemakaian
glukokortikoid jangka panjang berkaitan dengan menurunnya osteoblastogenesis dan
meningkatkanya apoptosis osteoblast seperti tercantum pada gambar 1. 9
Absorpsi kalsium menurun akibat pengaruh steroid, disertai dengan penurunan
reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal.Selain itu juga terjadi gangguan pada sekresi
hypothalamic gonadotropin releasing hormone yang menyebabkan penurunan kadar
testosteron dan estradiol serum. Terapi glukokortikoid diduga juga mempengaruhi
respon selular dalam microenvironment tulang melalui modula sisitokin yang bekerja

lokal untuk mengatur remodeling, faktor tersebut meliputi interleukin-1, tumour


necrosis factor dan insulin-like growth factor.9
Mekanisme glukokortikoid meningkatkan risiko patah tulang belum diketahui
dengan jelas.Efek glukokortikoid terhadap risiko patah tulang sebagian tidak tergantung
densitas massa tulang (BMD), yang menunjukkan bahwa perubahan komposisi mineral
tulang dan matriks berperan pada peningkatan fragilitas tulang. Selain itu, peningkatan
risiko jatuh pada pasien dengan glukokortikoid akibat dari kelemahan otot atau kondisi

penyakitnya mungkin juga berperan pada peningkatan risiko 9


2.5 Efek glukokortikoid terhadap tekanan darah
Kortisol, glukortikoid utama sangat penting karena efek permisifnya. Kortisol yang
terlalu banyak akan merangsang keluarnya katekolamin yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga memacu kerja jantung untuk lebih cepat bekerja
dan menyebabkan tekanan darah tinggi. Selain itu, jika ada intake dari glukokortikoid
eksogen maka kortisol yang dihasilkan semakin banyak. Kortisol ini sendiri merangsang
glukoneogenesis di hati, yaitu perubahan sumber-sumber non-karbohidrat (yaitu asam
amino) menjadi karbohidrat. Karbohidrat yang di hasilkan akan menyebabkan glukosa
meningkat dan mengakibatkan viskositas darah sehingga kerja jantung meningkat dan
tekanan darah menjadi tinggi.3

2.6 CTM
1. Dosis10

Dewasa: 3 - 4 kali sehari 0.5 - 1 tablet.


Anak-anak 6 - 12 tahun: 0.5 dosis dewasa.
Anak-anak 1 - 6 tahun: 0.25 dosis dewasa
2. Farmakokinetik
Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah satu
anti histaminyang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam
penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur dibanding anti histamin
sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit
kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan
sehingga pengguna dapat beristirahat.11
Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun
dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan
kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung
CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi sebenarnya rasa kantuk yang
ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat tersebut.
Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan
histamin pada resaptor histamin.10

Klorfeniramin

maleat

adalah

turunan

alkilamin yang merupakan anti histamin dengan


indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar
dengan efek samping dan toksisitas yang relatif
rendah. Klorfeniramin maleat merupakan obat
golongan antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).Pemasukan gugus klor pada
posisi para cincin aromatik feniramin maleat akan meningkatkan aktifitas
antihistamin.10,11
Berdasarkan struktur molekulnya, memiliki gugus kromofor berupa cincin
pirimidin, cincin benzen, dan ikatan C=C- yang mengandung elektron pi ()
terkonjugasi yang dapat mengabsorpsi sinar pada panjang gelombang tertentu di
daerah UV (200-400 nm), sehingga dapat memberikan nilai serapan.

Mekanisme Kerja Obat

Menurut Dinamika Obat CTM merupakan salah satu antihistaminika H 1 (AH1)


yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H 1) dan
dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin. 10,11
Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi
pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus),
kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit
misal pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat
pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan
pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada
sistem imun. 10,11
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen
berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa
histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon
yang membentuk histamin dari histidin.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH 1 diabsorpsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama
kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Tempat
utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.
AH1 dieksresikan melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya. 12
3. Farmalodinamik

Klorfeniramin maleat merupakan antihistamin jenis antagonis reseptor H1


generasi pertama dan golongan alkilamin. Antagonis reseptor H1 diabsorpsi dengan
baik dari saluran gastrointestinal. Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak dalam
plasma dicapai dalam waktu 2-3 jam dan efek bisanya bertahan 4-6 jam. Seperti
banyak obat lain yang dimetabolisme ekstensif, antagonis reseptor H1 dieliminasi
lebih cepat pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan lebih lambat pada
penderita penyakit hati berat. Antagonis reseptor H1 menginduksi enzim mikrosom
hati dan dapat memfasilitasi metabolismenya sendiri. Indikasi antagonis reseptor H1
dalam hal ini adalah klorfeniramin maleat adalah pengobatan simtomatik penyakit
alergi, mencegah atau mengobati mabuk perjalanan, urtikaria, batuk, flu, rhinitis, dan
konjungtivitis. Pemberian klorfeniramin maleat bersama depresan susunan saraf
pusat lainnya seperti alkohol, barbiturat, hinotik, analgesik opioid, obat penenang,
dan

antipsikotik

dapat

meningkatkan

sedasi.

Klorfeniramin

maleat

akan

meningkatkan kerja antimuskarinik pada atropin, antidepresan trisiklik dan


monoamine oksidase inhibitor.20
4. Efek samping
Efek samping dari kejadian dan tingkat keparahan pada setiap pasien sangat
bervariasi. Efek sedasi tidak begitu umum pada klorfeniramin maleat tetapi pada
pasien tertentu dapat mengalami hal ini dan berbeda-beda seperti sedikit mengantuk
sampai tertidur nyenyak, kelelahan, pusing serta inkoordinasi. Efek sedatif atau
menenangkan dapat terjadi dan dapat berkurang setelah beberapa hari. 13
Efek samping lainnya yaitu gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare,
sembelit, anoreksia, nafsu makan meningkat dan nyeri epigastrum. Efek
antimuskarinik seperti penglihatan kabur, susah buang air kecil, disuria, mulut kering
dan sesak dada. Efek sentral seperti hipotensi, kelemahan otot, tinitus, euforia dan
terkadang sakit kepala. Stimulasi SSP paradoksal dapat terjadi seperti insomnia,
gugup, takikardia, tremor dan kejang.13
Klorfeniramin maleat dapat memicu kejang epileptiform pada pasien dengan luka
lokal pada cerebral cortex. Klorfeniramin maleat dapat menghasilkan reaksi alergi
dan sensitivitas silang terhadap obat terkait. Komplikasi berat seperti leukopenia dan
agranulositosis sangat jarang terjadi.13
2.7 Dexamethasone
1. Dosis
Untuk pengobatan alergi:14

1. Pemberian oral :
Dewasa :Awal, 0,75-9 mg/hr PO, terbagi dalam 2-4 dosis. Penyesuaian
dapat dilakukan tergantung respon pasien.
Anak-anak :0,024-0,34 mg/kg/hari PO atau 0,66-10 mg/m2/hari PO,
terbagi dalam 2-4 dosis.
2. Pemberian parenteral :
Dewasa :Awal, 0,5-9 mg/hr IV atau IM, terbagi dalam 2-4 dosis.
Penyesuaian dapat dilakukan tergantung respon pasien.
Anak-anak : 0,06-0,3 mg/kg/hratau 1,2-10 mg/m2/hr IM atau IV dalam
dosis terbagi tiap 6-12 jam
2. Farmakokinetik
1. Absorpsi
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol
dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama
kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjuntiva dan
ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas
dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal. 15
2. Distribusi
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi
kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas
ikatnya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar
kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah
hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat
globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya
untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol mempunyai
afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukoronat
dan aldosteron afinitasnya rendah. 15

Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin


pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai
beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap
fungsi tubuh. 15
3. Metabolisme
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang
aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3.
Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik
serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus
hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada
atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam
sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian
diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal. 15
Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan
secara lambat di ekstrahepatik. Untuk aktivitas biologiknya, kortikosteroid
dengan gugus keton pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11hidroksil; sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20 hanya memberikan
senyawa dengan aktivitas biologik yang lemah. Kortikosteroid dengan gugus
hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid yang tidak
mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Adanya sekresi
17-keto-steroid dalam urin dapat dipakai sebagai ukuran aktivitas hormon
kortikosteroid dalam tubuh. 15
4. Ekskresi
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72
jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.
Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami
metabolisme di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya
ikatan rangkap dalam atom C 1-2 atau substitusi atom fluor menghambat proses
metabolisme dan karena nya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi. 15
3. Farmakodinamik
Deksametason

merupakan

salah

satu

kortikosteroid

sintetis

terampuh.

Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh


kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan

deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthrit is
rheumatoid, systemic lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma, leukemia,
lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu deksametason dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Efek samping pemberian
deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis,retensi cairan tubuh,
glaukoma dan lain-lain.15

Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal

merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan
imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol
proses

patologis,

terapi

dengan

kortikosteroid

dapat

berbahaya,

tetapi

dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu
respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk
proses penyakit tersebut 16
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran
plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara
efek fisiologik steroid15
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah
penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin,
sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70%
kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar 15
Nasib Obat Dalam Badan ( farmakodinamik)
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada
pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik
tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular
umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik,
obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma
dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai
ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi,

terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak . 17
4. Efek samping18
Efek samping terjadi jika terjadi pemberian glukokortikoid dosis besar atau
dalam jangka panjang. Efek nya adalah:
1. Supresi respon infeksi atau luka: ketika kortikosteroid di berikan secara
inhalasi, dapat menyebabkan candidiasis karena supresi mekanisme anti-infeksi
lokal.
2. Cushings syndrome
3. Osteoporosis, dengan bahaya fraktur, merupakan salah satu efek dari
penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Obat ini memengaruhi densitas
tulang dengan meregulasi metabolisme kalsium dan fosfat memalui efek dari
turnover kolagen. Ini mengakibatkan berkurangnya fungsi osteoblast (yang
mana mendeposit matriks tulang) dan meningkatkan aktivitas osteoklas (yang
mendigest matriks tulang). Efek supplai darah pada tulang dapat menyebabkan
nekrosis avascular pada femur.
4. Hiperglikemia disebabkan oleh glukokortikoid eksogen dapat berkembang
menjadi diabetes.
5. Muscle wasting dan melemahnya otot proksimal.
6. Pada anak-anak, inihibisi pertumbuhan jika obat ini diberikan lebih dari enam
bulan berturut-turut.
7. Efek sistem saraf pusat: euphoria, depresi dan psikosis.
8. Efek lain: glaucoma, peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan insidens
katarak.
Pemberhentian obat setelah pemberian jangka panjang dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal akut melalui supresi sintesis kortikosteroid. Prosedur untuk
pemberhentian secara perlahan-lahan harus diterapkan. Perbaikan dari fungsi
adrenal biasanya terjadi dalam dua bulan, walaupun dapat juga terjad dalam 18
bulan atau lebih.
2.8 Apa saja indikasi pemberian glukokortikosteroid
Glukokortikoid dipakai untuk mengobati banyak penyakit dan masalah kesehatan
termasuk peradangan, alergi, dan keadaan yang berat. Di antara keadaan perdangan
yang memerlukan glukokortikoid adalah gangguan otoimun seperti multiple
sklerosis,

artritis

reumatoid,

dan

miastenia

gravis,

kolitis

ulserativa,

glomerulonefritis, renjatan, peradangan pembuluh darah dan mata, trauma kepala


dengan edem otak, poliarteritis nodusa dan hepatitis. Keadaan alergi mencakup
asma, reaksi obat, dermatitis kontak, dan anafilaksis 19

2.9 Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk gangguan sekresi kortikosteroid endogen
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalah pemeriksaan kortisol bebas dalam urin
24 jam, pemeriksaan kadar kortisol dalam saliva pada malam harinya atau penentuan
apakah supresi produksi kortisol terjadi secara abnormal ketika diberikan
glukokortikoid eksogen (tes supresi deksametason). Jika salah satu atau kedua
kelenjar adrenal melakukan hipersekresi secara otonom (adenoma atau karsinoma
kelenjar adrenal), maka keadaan hipersekresi ini akan meningkatkan umpan balik
negatif pada hipofise dan dengan demikian kadar ACTH seharusnya rendah.
Kombinasi kadar ACTH yang tinggi dan hiperkortisolisme menunjukkan kelainan
terletak dalam kelenjar hipofise (Chusing sindrom) atau lokasi ektopik produksi
ACTH. Jika kelainan pada lokasi ektopik akan ditemukan kadar ACTH lebih banyak
karena jika terdapat tumor yang aktivitasnya tidak terkendali akan mensekresikan
ACTH dengan jumlah yang jauh lebih besar daripada jumlah sekresi ACTH oleh
tumor endokrin hiperfungsional yang hanya melakukan fungsinya secara
2.10

berlebihan.21
Pengaruh penurunan esterogen terhadap patah tulang
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang
peranan penting pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Setelah menopause,
maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah
menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal
meningkat. Petanda resporsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat
menunjukkan adanya peningkatan bone turn over.Estrogen juga berperan
menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells danselselmononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja
osteoklas.Dengandemikianpenurunankadar

estrogen

akibat

menopause

akan

meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteklas


meningkat. 9
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi
kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.Selain itu, menopause
juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH) 2D. Untuk
mengatasi keseimbangan negative kalsium pada wanita menopause, maka kadar
PTH akan meningkat, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause,
kadang kala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan
oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat,

sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium
dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi
akibat

penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. 9

2.11

Hubungan kosumsi dexamentasone dan ctm jangka panjang terhadap patah

tulang
Dexamentasone: Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan
pengobatan kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita
post-menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama
5 sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita postmenopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan
kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecpatan yang lebih lambat, dengan
kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk
fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5 mg/hari). 22
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah

menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan


resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan
absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui
ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan
resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan
2.12
a.
b.
c.
d.

kompresi.22
Edukasi dan tatalaksana yang tepat pada kasus
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 9
Menggunakan dosis efektif glukokortikoid yang paling rendah
Mengurangi faktor risiko lain seperti merokok
Menjaga asupan kalsium yang adekuat
Mengikuti program latihan fisik untuk mencegah penurunan massa otot dan
mengurangi risiko jatuh
Terapi farmakologinya dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Bifosfonat adalah obat yang paling banyak dievaluasi untuk terapi glucocorticoidinduced osteoporosis(GIOP), dan dianggap sebagai lini pertama. Alendronate,
risedronate, etidronatedanzol edronate telah menjadi pilihan utama untuk pasien
yang mendapat terapi glukokortikoid. Mekanisme kerja bifosfonat mengurangi
pengaruh glukokortikoid terhadap tulang belum diketahui dengan pasti. 9
b.

Pemberian hormon paratiroid secara intermiten menghasilkan efek anabolik pada tulang
melalui stimulasi pembentukan tulang pada tingkat jaringan dan selular. Pengaruh

teriparatide (human recombinant PTH amino acid 1-34)dosis 40 g per hari pada
wanita post-menopause yang mendapat prednison oral dan terapi sulih hormon
menunjukkan peningkatan bermakna pada BMD tulang belakang setelah terapi
selama 1 tahun, dan tetap bertahan selama 1 tahun setelah terapi dihentikan. 9
c. Calcitriol bersama dengan alfacalcidol memberikan efek yang bermanfaat pada nilai
BMD tulang belakang, tetapi efek pada nilai BMD panggul tidak bermakna dan
penurunan risiko patah tulang belakang belum diketahui. 9
d. Kalsium dan vitamin D memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan secara
rutin. Pemberian kalsium 1000 mg dan vitamin D 3500 IU perhari mampu
meningkatkan nilai BMD tulang belakang 0,72% pertahun dibandingkan dengan
penurunan nilai BMD 2% pertahun pada kelompok plasebo. 9
Pencegahan primer juga dapat dilakukan terhadap GIOP saat terapi glukokortikoid
dimulai sampai dengan waktu 3 bulan.Mulai dianjurkan untuk berhenti merokok,
latihan fisik, asupan kalsium antara 1000-1500 mg perhari, dan asupan vitamin D
800-1000 IU per hari. Untuk wanita pre-menopause, wanita post-menopause dengan
terapi sulih esterogen, dan laki-laki, American College of Rheumatology (ACR)
merekomendasikan risedronate 5 mg perhari atau alendronate 5 mg perhari,
sedangkan untuk wanita post-menopause yang tidak mendapat terapi sulih estrogen
dianjurkan risedronate 5 mg per hari atau alendronate 10 mg perhari.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ny.x 48 tahun mengalami penurunan densitas tulang,hipertensi grade 1 dan hipofungsi
korteks adrenal akibat penggunaan dexamethasone dan CTM jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Putz R,Pabst R Atlas Anatomi Manusia Sobbota.21st ed.Jakarta:
EGC;2003
2. Ross MH, Pawlina W. Histology and Cell Biology: With Correlated Cell
and Molecular Biology. 7th ed. Philadelphia, PA: Mosby; 2015.

3. Lauralee Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia Edisi 6. Jakarta: EGC


4. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2014.p.212.
5. Guyton AC. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2008.p.10061007.
6. Hallstrm H, Wolk A, Glynn A, Michalsson K. 2006. Coffee, tea and
caffeine consumption in relation to osteoporotic fracture risk in a cohort
of Swedish women. Swedish Department of Toxicologys National Food
Administration.
7. Moesijanti S dan Kartono D. 2012. Angka Kecukupan Gizi Mineral :
Kalsium, Fosfor, Magnesium, Tembaga, Kromium, Besi, Iodium, Seng,
Selenium, Mangan, Flurida, Natrium dan Kalium. WNPG. Jakarta.
8. Setyohadi, Bambang. 2009. Struktur dan metabolisme tulang. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Internal Publishing: Jakarata.)
9. SetiatiSiti, AlwiIdrus et al (editor). Buku Ajar IlmuPenyakitDalamJilid II
Edisi VI. Jakarta: Internal Publising, 2014.
10. Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Cetak Ulang 2001.
Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta.
11. Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan
Efek Sampingnya, Edisi V, PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, Jakarta
12. Gunawan SG, Setiabudy R, et al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2009.
13. Axelrod L. 2001 Corticosteroid therapy. In: Becker KL, editor. Principles
and practice of endocrinology and metabolism. 3rd edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. p. 75164.
14. Martindale The Complete drug Reference. 35th edition. 2006
15. Suherman SK, Ascobat P. Farmakologi dan Terapi: Adrenokortikotropin,
Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012. h. 499-516
16. Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi kedelapan.
Penerjemah:Bagian Farmakologi FKUA. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
17. Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. (1995). Pengantar Farmakologi. Dalam
Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Penerjemah: Bagian farmakologi
FKUI. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia Press.

18. Rang, H.P., M. M. Dale, J. M. Ritter, R. J. Flower. Rang and Dales


Pharmacology. 7th ed. London: Elseviers Health Sciences Rights
Department; 2007.
19. Joyce L, Hayes E. Farmakologi. Jakarta: EGC; 2010.
20. Goodman dan Gilman. Dasar farmakologi terapi. vol2. 10th ed. Jakarta:
EGC; 2012.p.634-639.
21. Berkowitz A. Lecture notes patofosiologi klinik: disertai contoh kasus
klinik. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara; 2013.p.221-222.
22. Schimer BP. Adrenocorticotropic hormone ; Adrenal Steroid and their
Syntetic. In: Brunton LL, John SL, Keith LP, editors. Goodman and
Gilman's The Pharmacological basis of therapeutic. 11th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies Inc. 2006)

Anda mungkin juga menyukai