Anda di halaman 1dari 25

1

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN YANG


MELAKUKAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN
LINGKUNGAN
TUGAS MATAKULIAH HUKUM LINGKUNGAN
DOSEN PENGAMPU
MUKMIN ZAKIE, SH.,M.Hum.,Ph.D

Disusun oleh :
Ilham Putra Dewantara/14410553/65
Danang Setiawan/14410556/66
Adib Najih/14410572/67

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS HUKUM
2016
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala
aspek dan sesuai dengan kehidupan wawasan Nusantara. Dalam rangka
mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan
hidup berdasarkan Pancasila.
Oleh sebab itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi
masa depan. Untuk itu dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup
yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pada saat melakukan pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi
lingkungan, kita dihadapkan pada permasalahan lingkungan nasional seperti
perusakan dan pencemaran lingkungan, dimana hal itu dalam perkembangannya terus
terjadi, bahkan cenderung semakin parah, terutama setelah era reformasi dan otonomi
daerah seperti kasus pencemaran Teluk Buyat oleh PT.Newmont Minahasa, kasus
lumpur sidoarjo oleh PT.Lapindo Brantas, kasus PT Freeport dll.. Sedang isu pokok
Penegakan Hukum Lingkungan sampai dengan sekarang ini masih berkisar pada
masalah pencemaran dan perusakan lingkungan oleh pihak industri atau perusahaan,
Kasus-kasus seperti pencemaran dan perusakan lingkungan yang telah
disebutkan di atas sangat berbahaya bagi kesejahteraan umat manusia. Apalagi
pencemaran dan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, baik itu pertambangan, kehutanan dan

lain-lain. Kalau ini terus terjadi yang rugi bukan hanya satu atau dua orang saja
melainkan seluruh

masyarakat yang ada disekitarnya atau bahkan seluruh umat

manusia. Oleh karena itu aspek penegakan hukum memerlukan perhatian dan aksi
permberdayaan secara maksimal terutama pada perusahaan yang melakukan
perusakan dan pencemaran lingkungan.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka rumusan
masalah yang diangkat sebagai berikut :
1. Bagaimana penegakan hukum yang diberikan terhadap perusahaan yang
melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan ?
2. Apa saja yang menjadi faktor kendala dan hambatan dalam penegakan
hukum lingkungan ?
C. Metode Penelitian
Dalam usaha mencari data-data sebagai bahan penelitian dan penulisan maka
kami menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena kami melakukan
penelitian dengan studi literature dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan objek penelitian guna mencari jawban atas masalah yang
hendak diteliti.
D. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pertama, bagaimana
tindakan hukum bagi perusahaan yang melakukan pencemaran atau perusakan
lingkungan; kedua, faktor apa saja yang menjadi hambatan bagi terlaksananya
penegakan hukum lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN

Bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke


waktu ialah pencemaran dan perusakan lingkungan. Ekosistem dari suatu lingkungan
dapat terganggu kelestariannya oleh karena adanya pencemaran dan perusakan
lingkungan. Orang sering mencampuradukkan antara pengertian pencemaran dan
perusakan lingkungan, padahal antara keduanya memiliki makna yang berbeda,
antaranya:
1. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energy, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya (Pasal ayat (12) UU No.23 Tahun 1997).
2. Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 ayat (14) UU No.23 Tahun 1997).
Perbedaan itu memang tidak terlalu prinsip karena setiap orang melakukan
perusakan lingkungan otomatis juga melakukan pencemaran dan sebaliknya. Bedanya
hanya terletak pada intensitas perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan dan
kadar akibat yang diderita oleh lingkungan akibat perbuatan tersebut. Secara
mendasar di dalam pencemaran itu terkandung perpaduan makna dari:
Gambar. Proses Terjadinya Pencemaran
Pengotora
n

Pemburuk
an

Mengurangi & Melemahkan Daya


Penggunaannya

Menurunya
kualitas

Pengotora
n
Pencemaran (Pollution
Damage

Terhadap gambar itu, RTM. Sutamihardja merumuskan pencemaran adalah


penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke
lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan
itu.1 Sedangkan Stephanus Munadjat Danusaputro merumuskan pencemaran
lingkungan itu ialah:2
Pencemaran adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan atau energy
diintroduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses
alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya
perubahan dalam keadaan termaksud yang mengakibatkan lingkungan itu tidak
berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati.
Dalam perkembangannya istilah dan pengertian pencemaran lingkungan itu
terbagi dalam beberapa macam antaranya: pencemaran air, pencemaran udara,
pencemaran tanah, pencemaran laut, pencemaran angkasa, pencemaran rasa,
pencemaran kebudayaan dll.
Pencemaran lingkungan menimbulkan kerugian dan kerugian itu dapat terjadi
dalam bentuk:3
a. Kerugian ekonomi dan sosial (economic and social injury)
b. Gangguan sanitair (sanitary hazard)
Sementara menurut golongannya pencemaran itu dapat dibagi atas:
a. Kronis; dimana kerusakan terjadi secara progresif tetapi lambat.

1 RTM.Sutamihardja, Kualitas dan Pencemaran Lingkungan, Intitut Pertanian Bogor,


1978,hlm.1.
2 St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan
Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V: Sektoral, Bina Cipta, Bandung,1986,
hlm.77.
3 Sutamihardja, Op.cit.,hlm.3.

b. Kejutan atau akut; kerusakan mendadak dan berat, biasanya timbul dari
kecelakaan.
c. Berbahaya; dengan kerugian biologis berat dan dalam hal ada radioaktivitas terjadi
kerusakan genetis.
d. Katastrofis; disini kematian organism hidup banyak dan mungkin organisme hidup
itu menjadi punah.
1. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
Pembangunan yang dilakukan sejak Pelita 1 dan kini sedang berada pada era
reformasi adalah pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Program
pembangunan yang dimaksud adalah pola kebijaksanaan pembangunan yang tidak
mengganggu keseimbangan ekosistem yakni pembangnunan yang berorientasi kepada
pengelolaan

sumber

daya

sekaligus

mengupayakan

perlindungan

dan

pengembangannya. Dalam bahasa hukumnya pengelolaan lingkungan hidup


berdasarkan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.
Dasar konstitusional pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam di
Negara kita ini tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa,Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4 Hak negara
untuk menguasai dan mengatur kekayaan negara yang terkandung di dalamnya ini
dijabarkan dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) sebagaimana diubah dengan UU No. 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
Ketentuan Pasal 3 UUPLH menyatakan bahwa, pengelolaan lingkungan hidup
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
4 Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan


pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat melakukan pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi
lingkungan, kita dihadapkan pada kasus-kasus perusakan dan/atau pencemaran
lingkungan. Hamper setiap hari media massa memberitahukan berbagai kerusakan
lingkungan yang terjadi di berbagai daerah. Kasus-kasus lainnya yang tidak kalah
diberitakan, tentu masih lebih banyak lagi. Sedamg isu pokok Penegakan Hukum
Lingkungan sampai dengan sekarang ini masih berkisar pada masalah penvemaran
oleh pihak industry, masalah pencemaran sungai dan masalah perusakan hutan.5
Pendirian sebuah pabrik dalam suatu ekosistem tertentu akan mempunyai
korban pada lingkungan hidup sekitar. Pada awal pembuatan bangunan paling tidak
akan membawa pengaruh pada perubahan lahan yang mengakibatkan perataan pohonpohon dan terganggunya struktur tanah sekeliling. Dampak positif dari adanya pabrik
misalnya menambah mata pencaharian sebagai tenaga kerja dan hendaknya ditekan
seminimal mungkin agar industry tersebut memperhatikan lingkungan.
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan
kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga
bidang hukum, yaitu administrasif, pidana dan perdata. Dengan demikian, penegakan
hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan
persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual,
melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrative,
kepidanaan, dan keperdataan.6
5 Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 115.
6 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University, Surabaya, 1996, hlm. 190.

1.1 PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI


Sebagai hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), Undang-undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) menyatakan ada tiga macam penegakan hukum
lingkungan, yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Diantara
ketiganya, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum
yang terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih bersifat kepada
upaya mencegah (preventif) terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di
samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku
pencemaran dan perusakan lingkungan. 7Penegakan hukum dapat diterapkan terhadap
kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana
pengelolaan lingkungan dan sebagainya. Di samping pembinaan berupa petunjuk dan
panduan serta pengawasan administratif kepada pengusaha di bidang industri
hendaknya juga ditanamkan manfaat konsep Pollution Prevention Pays dalam
proses produksinya.8
Dalam penegakan sanksi administrasi salah satu instrumen atur dan awasi yang
sangat penting dalam penjatuhan sanksi. Sanksi administrasi di sini harus dibedakan
dengan putusan pengadilan tata usaha Negara (administrative judicial decision).
Sanksi administrasi didefinisikan sebagai suatu tindakan hukum (legal action) yang
diambil pejabat tata usaha Negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan
lingkungan hidup atas pelanggaran persyaratan lingkungan.
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup memungkinkan Gubernur
atau Bupati dan/atau Walikota melakukan paksanaan pemerintah untuk mengawasi
7 Sukanda Husin, Peranan Hukum Pidana dalam Memerangi Kejahatan Lingkungan di
Indonesia,hlm.501.
8 Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., hlm.192.

dan memaksakan penataan oleh pemilik kegiatan dan/atau usaha atas persyaratan
lingkungan, baik yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan maupun
yang ditetapkan dengan izin. Paksaan pemerintah yang dimaksud dapat berupa
perintah kepada pemilik kegiatan dan/atau usaha untuk mencegah dan mengakhiri
terjadi pelanggaran. Di samping paksaan pemerintah, sanksi administrasi bisa juga
berupa pencabutan izin khususnya untuk pelanggaran tertentu.
Seperti diketahui bahwa penggunaan hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi preventif dan repfresif.
Misalnya, Pasal 25 UU No.23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk
mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran,
untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, dan pemulihan. Dalam rangka efektivitas tugas Negara, UUPLH
memungkinkan Paksaan Pemerintah oleh Gubernur sebagaimana disebutkan di atas
dapat diserahkan kepada Bupati atau walikota.9
Dalam rangka merangsang peran serta masyarakat (public participation), UUPLH
memungkinkan Pihak III yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintah. Provisi Pasal 25 ayat
(3) ini merupakan ketentuan yang mengakomordir kontrol sosial. Oleh karena itu,
pejabat yang berwenang harus secara serius melaksanakan permohonan Pihak II ini
untuk menciptakan iklim penegakan hukum yang efektif.10
Disamping paksaan pemerintah, upaya preventif lain yang dapat dilakukan
Pemerintah terhadap kegiatan yang mempunyai potensi untuk merusak dan
mencemarkan lingkungan adalah melalui Audit Lingkungan. Menurut Pasal 28,
pemerintah harus mendorong penanggung jawab usaha untuk melakukan audit
9 Lihat Pasal 25 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
10 Ibid.,Lihat Pasal 25 ayat (3).

10

lingkungan, atau dikenal juga sebagai volunteer environmental audit.11 Dalam


konteks ini, pemilik kegiatan belum melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang
ada. Seandainya, pemilik kegiatan telah melanggar peraturan atau telah menunjukkan
ketidakpatuhannya pada undang-undang dan peraturan yang ada, maka pemerintah
dapat mewajibkan pemilik kegiatan untuk melakukan audit lingkungan, yang sering
disebut dengan compulsory environmental audit (Pasal 29).
Apabila penanggung jawab kegiatan tidak melaksanakan perintah tersebut, Menteri
Negara Lingkungan dapat menunjuk Pihak III untuk melaksanakan audit lingkungan
untuk pemilik kegiatan tersebut, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk keperluan itu
ditanggung sepenuhnya oleh pemilik kegiatan (Pasal 29 ayat (3)).12
Tindakan refresif yang dapat dilakukan Pemerintah dalam rangka penegakan hukum
lingkungan ditemukan dalam Pasal 25 ayat (5) dan Pasal 27 ayat (2). Menurut Pasal
25 ayat (5), Pemerintah dapat menetapkan uang paksa kepada pencemar atau perusak
lingkungan untuk kelalainya melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan
dan/atau pemulihan lingkungan. Pasal 27 ayat (1) member mandat kepada Pemerintah
untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan. Untuk itu, Gubernur dapat mengajukan usul
pencabutan izin usaha/kegiatan tersebut kepada pejabat yang berwenang (Pasal 27
ayat (2)). Usul pencabutan izin usaha bisa pula diajukan oleh Pihak III yang
berkepentingan (Pasal 27 (3)).
1.2 PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PERDATA
Sesuai dengan Pasal 30 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup apabila terdapat sengketa lingkungan, maka ada dua macam cara
11 Ibid.,Pasal 28.
12 Ibid.,Lihat Pasal 29 ayat (3).

11

yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Pertama,


penyelesaian sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kedua, penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

A. Penyelesaian di Luar Pengadilan


Penyelesaian di luar pengadilan atau melalui jalur musyawarah ini dilakukan
secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa, dimaksudkan penyelesaian kasus
lingkungan tanpa melalui putusan pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan tindak pidana lingkungan.
Penyelesaian melalui luar pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan jasa
pihak ketiga, baik yang memiliki ataupun yang tidak memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan. Undang-undang membolehkan masyarakat atau pemerintah
membuat lembaga penyedia jasa lingkungan untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan.13
Sistem penyelesaian melalui jalur musyawarah ini diprioritaskan untuk mengkaji
pemanfaatan mediasi lingkungan (environmental mediation). Di Amerika dan
Kanada, ternyata penyelesaian kasus lingkungan lebih mengutamakan penggunaan
environmental mediation (mediasi lingkungan) dibanding dengan cara lainnya seperti
konsiliasi atau arbitrasi. Pilihan dalam perundingan, hal apa sebaiknya yang
dilakukan untuk mengakhiri sengketa dengan bantuan fasilitator (mediator)14
Di Indonesia, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan pertama kali
diatur dalam Pasal 20 UULH-1982, yang kemudian dirumuskan kembali secara lebih
13 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta,2009, hlm.104.
14 Mohammad Asikin, Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI,
Jakarta, 2003,hlm.36.

12

baik dalam Pasal 31-33 UUPLH Tahun 1997 dan terakhir dalam Pasal 85 dan 86
UUPPLH Tahun 2009. Pasal 85 ayat (1) UUPPLH menentukan bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan
mengenai satu atau lebih dari empat hal. Pertama, kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi. Kedua, kesepakatan mengenai tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau perusakan. Ketiga, kesepakatan mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan. Keempat,
kesepakatan mengenai tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negative
terhadap lingkungan hidup. Dalam penjelasan ayat ini dijelaskan bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Kelemahan dari ketentuan ini tidak dijelaskan siapa para pihak yang dapat terlibat
dalam penyelesaian sengketa.15
Pada hakikatnya para pihak yang bersengketalah yang terlebih dahulu melakukan
penyelesaian melalui mekanisme yang dalam kepustakaan hukum lingkungan disebut
negosiasi lingkungan. Selain itu, tentu dapat pula melibatkan instansi pemerintah
atau pihak lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itu
ditentukan bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan
dapat digunakan jasa mediator/ atau arbiter.16
Dengan berlakunya UUPLH Tahun 1997, ketentuan mediasi diatur dalam Pasal 32
yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini dapat meminta
jasa pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral ini berfungsi sebagai pihak
yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapai
kesepakatan. Pihak ketiga netral ini harus memenuhi syarat yakni (1) disetujui oleh
15 Lihat Pasal 85 Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
16 Muhammad Akib, Hukum Lingkungan dalam Perspektif Global dan Nasional,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014,hlm.232.

13

pihak yang bersengketa; (2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan
kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; (3) memiliki keterampilan untuk
melakukan perundingan atau penengahan; dan (4) tidak memiliki kepentingan
terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Berikut ini gambar alur penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan.17

Gambar. Alur penyelesaian sengketa di luar pengadilan


Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

Dilakukan sendiri oleh para pihak (negosiasi)


Menggunakan jasa pihak ketiga

Mediator

Arbiter

Pihak ketiga lainnya

Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

B. Penyelesaian Melalui Pengadilan


Penyelesaian kasus lingkungan melalui proses pengadilan adalah cara terakhir
yang dapat dilakukan setelah kesepakatan melalui jalur musyawarah tidak berhasil.
Hal ini juga tercantum dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) UULH bahwa bilamana tim
yang terdiri atas pihak penderita atau kuasanya, dan unsur pemerintah tidak mencapai

17 Ibid.,hlm.233.

14

kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
pengadilan negeri.18
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan dapat dilakukan melalui
pengadilan umum dan pengadilan administrasi (TUN). Mekanisme pengadilan umum
diatur dalam Pasal 87-92 UUPPLH Tahun 2009 jo.UU No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan TUN sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan menurut UU
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur dalam empat
pokok masalah, yakni masalah ganti rugi, masalah tanggung jawab mutlak, masalah
kadaluwarsa untuk pengajuan gugatan, dan masalah hak masyarakat dan organisasi
lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan.
a) Ganti Rugi
Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti rugi atas tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan
tertentu yang dimaksud, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap
hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu. Penetapan ketentuan ini adalah
merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas
pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya memasang atau memperbaiki unit pengelohan limbah sehingga
limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan, atau memulihkan
fungsi lingkungan hidup serta menghilangkan atau memusnahkan penyebab
timbulnya pencemaran.19
b) Tanggung Jawab Mutlak
18 Muhammad Erwin, Op. cit., hlm.119.

15

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha yang menimbulkan


dampak besar terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dapat
dibebeskan dari kewajiban membayar ganti rugi, jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup disebabkan
adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan
manusia dan adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan perusakan lingkungan.20
c) Daluwarsa Untuk Pengajuan Gugatan
Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti
tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang
berlaku dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup. Ketentuan daluwarsa ini tidak berlaku terhadap
pencemaran yang diakibatkan oleh usaha atau kegiatan yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan
beracun.21
1.3 PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PIDANA
Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya hukum
terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara
19 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta: 2005, hlm.128.
20 Ibid., hlm.129.
21 Ibid., hlm.132.

16

atau denda. Jadi, penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki
lingkungan yang tercemar. Akan tetapi, penegakan hukum pidana ini dapat
menimbulkan faktor penjera (deterrant factor) yang sangat efektif. Oleh karena itu,
dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif. 22
Menurut Mr. De Bunt, ultimum remedium mempunyai arti tiga macam, yaitu:
1. Hukum pidana itu hanya diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
tidak benar secara etis. Sebagai contoh Menteri Kehakiman Belanda pada tahun
1989 pernah mengucapkan, bahwa hukum pidana pada umumnya harus dilihat
sebagai ultimum remedium. Maksud menteri tersebut adalah bahwa perbuatan
beratlah yang harus ditanggulangi oleh hukum pidana. Menteri ini berbicara
mengenai pengertian ultimum remedium secara klasik; hukum pidana itu adalah
secara khusus merupakan instrumen penegakan hukum yang khusus. Ia
memandang hukum pidana sebagai ultimum remedium yang didasarkan pada: (a)
hukum pidana bersifat retributif (b) pelanggaran hukum lingkungan pada
hakikatnya tidak penting secara etis.
Tidak ada penegakan hukum pidana dalam hukum lingkungan kecuali beberapa
perbuatan melanggar hukum yang mencolok. Sebenarnya tidak dapat dipisahkan
secara tajam antara sanksi administrative dan sanksi hukum pidana kecuali
terhadap perbuatan yang melanggar hukum, menurut De Bunt pendapat demikian
dapat diperdebatkan karena tidak ada perbedaan yang mendasar antara sanksi
hukum pidana dan sanksi hukum administratif.23
2. Pengertian yang kedua mengenai ultimum remedium menurut De Bunt adalah
dalam arti harfiah, yaitu alat (obat) yang terakhir yang diterapkan terhadap delik
lingkungan. De Ross mengatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan antara
sanksi hukum pidana dan sanksi administrative, namun sanksi hukum pidana itu
22 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 1993, hlm.126.
23 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hlm.69.

17

relatif lebih berat karena pidana perampasan kemerdekaan merupakan sanksi yang
menonjol. Pendapat demikian ini juga dibantah oleh De Bunt, karena katanya ada
pelanggaran hukum lingkungan yang sanksi administrative dipandang terlalu berat
dan tidak dapat diterapkan, misalnya perbuatan yang sekali saja terjadi, mungkin
ringan, perusakan lingkungan yang tidak dipulihkan dan sebagainya. Yang kedua
adalah tidak perlu dipertimbangkan sanksi administratif atau sanksi hukum pidana
dalam penegakan hukum, seperti pada residivis yang penerapan hukum pidana
menjadi pilihan. Maksudnya sudah pasti harus sanksi hukum pidana yang mestinya
diterapkan.24
3. Pengertian ultimum remedium yang ketiga, yaitu pejabat administratiflah yang
pertama-tama harus bertanggung jawab. Kalau pejabat administrative dipandang
sebagai yang pertama-tama bertanggung jawab, dan oleh karena itu berarti bahwa
kekuasaan yustisil ditempatkan sebagai ultimum remedium. Pejabat administrasi
harus bereaksi terlebih dahulu. Yang memberi izin harus lebih dahulu member
sanksi jika izin dilanggar.25
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup
dari sisi hubungan antara Negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena
tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat (social defence) dan lingkungan
hidup dari perbuatan yang dilarang (verboden) dan perbuatan yang diharuskan atau
kewajiban (geboden) yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan. Secara khusus
penghukuman dimaksud bertujuan untuk: (1) mencegah terjadinya kejahatan atau
perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah; dan (2) mengenakan
penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar.26
24 Ibid.,hlm.70.
25 Ibid.,hlm.71.
26 Ibid.,lihat juga Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung:1984, hlm.92.

18

Sehubungan dengan ketentuan pidana tersebut, untuk menetapkan apakah


suatu perbuatan merupakan delik lingkungan atau tidak, terlebih dahulu perlu
diketahui rumusan delik lingkungan. Rumusan delik lingkungan ini dapat dilihat dari
ketentuan pidana dalam UUPPLH tahun 2009 dan UU lain yang memuat ketentuan
pidana. Ada dua macam tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPLH, yaitu delik
materiil (generic crimes) dan delik formil (specific crimes). Delik materiil merupakan
perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup. Perbuatan melawan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan
dengan pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi, sehingga delik materiil ini
disebut juga sebagai Administrative Independent Crimes (AIC).27
Generic crime yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.500.000.000. Jika perbuatan
seperti itu menimbulkan kematian, ancaman hukumannya adalah 15 tahun penjara
dan denda sebesar Rp.750.000.000. Untuk generic crime yang dilakukan karena
kelalaian, ancaman hukumannya adalah tiga tahun penjara dan denda setinggitingginya Rp.100.000.000. Apabila perbuatan ini menimbulkan kematian, pelakunya
dapat diancam pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp.150.000.000.
Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan yang melanggar
aturan-aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil dikenal juga sebagai
Administrative Dependent Crimes (ADC).28 Pembuktian tindak pidana generic crime
tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi
seperti izin. Persyaratan minimum dari pembuktian delik ini adalah pencemaran atau
27 Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
28 Sukanda Husin dan Yandriza, Tanggung jawab Korporasi (Corporate Responsibility
and Liability) Dalam Pencemaran dan Perusakan Lingkungan, (2005) hlm.27-28.

19

perusakan lingkungan hidup. Sedangkan untuk delik specific crime mengisyaratkan


adanya pelanggaran peraturan administrasi untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada
pelakunya. Specific crime yang dilakuakan dengan sengaja diancam pidana penjara
selama 6 tahun dan denda maksimum Rp.300.000.000, dan untuk kelalaian diancam
pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling tinggi Rp.100.000.000.
STUDI KASUS
1. Kasus Pencemaran Teluk Buyat di Manado
PT Newmont Minahasa Raya (NMR) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
usaha pertambangan yang menghasilkan atau memproduksi emas di Desa Ratotok
Selatan Kecematan Ratotok Kabupaten Minahasa sesuai dengan kontrak karya antara
Pemerintah RI dengan PT NMR tahun 1986, dan tercatat sebagai industrI penghasil
limbah bahan berbahaya dan beracin (B3) sebagaimana yang terdaftar dalam
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah dengan kode
Limbah D222. Bahan Kimia digunakan oleh PT NMR adalah sianida dan limbah
yang dihasilkan adalah merkuri (Hg) dan arsen (As).
Dalam pelaksanaannya, PT NMR telah menimbulkan pencemaran lingungan
hidup dengan jalan membuang dan menempatkan tailing ke dalam laut (media
lingkungan) bukan di bawah lapisan termokolin tetapi pada lapisan teraduk (mixer
layer) sehingga terjadi dua hal, yaitu (i) bagian cair dari tailing langsung diaduk oleh
ombak, arus dan pasang surut sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada
cairan tailing tersebut ikut tersebar secara vertical maupun horizontal, dan (ii) bagian
padatan dari tailing juga masih dapat diaduk oleh ombak, arus dan pasang surut
sehingga kandungan logam beratnya jugabisa terhempaskan dari padatan dan terlarut
ke dalam air dan ikut tersebar juga. Akibatnya, terjadi pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup sehingga tidak berfungsi lagi.

20

Dengan perbuatan yang sudah dilakukan oleh PT NMR tersebut, maka PT


NMR dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling
banyak Rp. 300.000.00,- (tiga ratus juta rupiah) sesuai Pasal 43 ayat (1) UU No. 23
Tahun 1997, dan pidana tersebut dapat dijatuhkan kepada PT NMR sebagai Badan
Hukum dan Richard Bruce Ness selaku Presiden Direktur PT NMR sesuai Pasal 46
ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, serta dapat dikenai ketentuan tambahan pada Pasal
47 UU No. 23 Tahun 1997.29
2. KENDALA DAN HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Dalam pelaksanaan di lapangan masih banyak kendala dan hambatan yang ditemui.
Kendala dan hambatan itu terletak pada beberapa factor, yaitu :
1. Inkonsistensi Kebijakan
Berbagai kebijakan operasional yang dikeluarkan seringkali tidak konsisten
dengan prinsip-prinsip PLH yang terkandung di dalam UU No. 23 Tahun 1997
maupun UU yang berkaitan ddengan pengelolaan lingkungan hidup lainnya.
Misalnya dana reboisasiyang seharusnya digunakan untuk merehabilitasi hutan-hutan
yang telah rusak justru digunakan untuk pembuatan pesawat terbang atau dikorup.
2. Ambivalensi Kelembagaan
Fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan bersifat ambivalen dalam wewenang
dan pembagian tugas antara lembaga dengan lembaga lainnya. Menteri lingkungan
hidup misalnya, tidak mempunyai wewenang intuk implementasi, pemberian dan
pencabutan izin dan penegakan hukum. Ketiga wewenang itu justru ada pada
departemen pertambangan dan energi, yang juga mempuyai tugas ganda, yaitu
melestarikan lingkungan hidup dan mendatangkan devisa sebanyak-banyaknya.
29 Lihat Pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), dan Pasal 47 UU No. 23 Tahun
1997

21

3. Aparat Penegak Hukum


Ketika kasus kebakaran hutan terjadi pada tahun 1997-1998, Menteri Kehutanan
dan Perkebunan ketika itu mengindikasikan ada 176 perusahaan yang diduga
melakukan pembakaran pada saat membuka areal perkebunan besar, hak pengusahaan
tanaman industry dan pembukaan wilayah untuk transmigrasi. Bahkan Bapedal pun
membuka Posko Penanggulangan Kebakaran Hutan dengan menginformasikan datadata yang berkenaan dengan kebakaran melalui internet. Namun temuan ini tidak
pernah ditindaklanjuti dalam bentuk penyidikan, penentutan, dan pemeriksaan di
persidangan, padahal dampak dan fakta tentang pembakaran sudah cukup jelas.
Banyak lagi kasus-kasus lingkungan yang harus mendapat tanggapan serius dari
aparat penegak hukum, kasus pencemaran sungai dari industry di hamper seluruh
kota besar, kasus penebangan di luar konsensi hutannya oleh pengusaha HPH, kasus
impor limbang bahan berbahaya beracun, kasus pencemaran oleh pertambangan
bersar, dan sebagainya.
4. Perizinan
Perizinan memang menjadi salah satu masalah yang lebih banyak memberi
peluang bagi berkembangnya masalah lingkungan ketimbang membatasinya. Sebab
Pasal 18 UU No. 23 Tahun 1997 masih bsa dilewati begitu saja oleh pengusaha,
apalagi jika izin yang dimaksud adalah izin yang diberikan oleh Departemen
Perindustrian, setelah sebuah perusajaan siap berproduksi, seperti yang dimaksud di
dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian.
5. Sistem AMDAL
Dalam praktiknya, AMDAL lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan
ketentuan administratif daripada sustantifnya. Artinya pesatnya permintan akan
AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam suatu
usaha atau izin investasi. Proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen

22

AMDAL bagi masyarakat tidak sesuai harapan, bahkan masyarakat (yang terkena
dampak) tidak mengetahui secara pasti adanya aktivitas suatu kegiatan.30

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energy, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia.
Sedangkan Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan. Apabila perusahaan melakukan pencemaran atau
perusakan lingkungan dapat dikenakan dengan 3 penegakan hukum yang meliputi
aspek pidana, perdata maupun administrasi dan semua itu tergantung pada perbuatan
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Dalam melakukan proses penegakan hukum tidak semua kasus dapat
terselesaikan secara maksimal, karena adanya beberapa kendala dan hambatan yang
30 Muhammad Erwin, Op. cit. hlm.120-121.

23

pertama, inkonsistensi kebijakan, kedua, ambivalensi kelembagaan, ketiga, aparat


penegak hukum, keempat perizinan dan yang terakhir adalah sistem AMDAL.

DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
RTM.Sutamihardja, Kualitas dan Pencemaran Lingkungan, Intitut Pertanian
Bogor, 1978.
St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran
Lingkungan Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V: Sektoral,
Bina Cipta, Bandung,1986.
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Airlangga University, Surabaya, 1996, hlm. 190.

24

Sukanda Husin, Peranan Hukum Pidana dalam Memerangi Kejahatan


Lingkungan di Indonesia.
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta,2009.
Mohammad Asikin, Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPRRI, Jakarta, 2003.
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan dalam Perspektif Global dan
Nasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.

Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi


Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta: 2005.
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 1993.
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta: 2005.
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung:1984.
Sukanda Husin dan Yandriza, Tanggung jawab Korporasi (Corporate
Responsibility and Liability) Dalam Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan, 2005.

25

Referensi Undang-Undang
Undang-udang Dasar 1945.
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai