Disusun oleh :
Ilham Putra Dewantara/14410553/65
Danang Setiawan/14410556/66
Adib Najih/14410572/67
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala
aspek dan sesuai dengan kehidupan wawasan Nusantara. Dalam rangka
mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan
hidup berdasarkan Pancasila.
Oleh sebab itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi
masa depan. Untuk itu dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup
yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pada saat melakukan pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi
lingkungan, kita dihadapkan pada permasalahan lingkungan nasional seperti
perusakan dan pencemaran lingkungan, dimana hal itu dalam perkembangannya terus
terjadi, bahkan cenderung semakin parah, terutama setelah era reformasi dan otonomi
daerah seperti kasus pencemaran Teluk Buyat oleh PT.Newmont Minahasa, kasus
lumpur sidoarjo oleh PT.Lapindo Brantas, kasus PT Freeport dll.. Sedang isu pokok
Penegakan Hukum Lingkungan sampai dengan sekarang ini masih berkisar pada
masalah pencemaran dan perusakan lingkungan oleh pihak industri atau perusahaan,
Kasus-kasus seperti pencemaran dan perusakan lingkungan yang telah
disebutkan di atas sangat berbahaya bagi kesejahteraan umat manusia. Apalagi
pencemaran dan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, baik itu pertambangan, kehutanan dan
lain-lain. Kalau ini terus terjadi yang rugi bukan hanya satu atau dua orang saja
melainkan seluruh
manusia. Oleh karena itu aspek penegakan hukum memerlukan perhatian dan aksi
permberdayaan secara maksimal terutama pada perusahaan yang melakukan
perusakan dan pencemaran lingkungan.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka rumusan
masalah yang diangkat sebagai berikut :
1. Bagaimana penegakan hukum yang diberikan terhadap perusahaan yang
melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan ?
2. Apa saja yang menjadi faktor kendala dan hambatan dalam penegakan
hukum lingkungan ?
C. Metode Penelitian
Dalam usaha mencari data-data sebagai bahan penelitian dan penulisan maka
kami menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena kami melakukan
penelitian dengan studi literature dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan objek penelitian guna mencari jawban atas masalah yang
hendak diteliti.
D. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pertama, bagaimana
tindakan hukum bagi perusahaan yang melakukan pencemaran atau perusakan
lingkungan; kedua, faktor apa saja yang menjadi hambatan bagi terlaksananya
penegakan hukum lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemburuk
an
Menurunya
kualitas
Pengotora
n
Pencemaran (Pollution
Damage
b. Kejutan atau akut; kerusakan mendadak dan berat, biasanya timbul dari
kecelakaan.
c. Berbahaya; dengan kerugian biologis berat dan dalam hal ada radioaktivitas terjadi
kerusakan genetis.
d. Katastrofis; disini kematian organism hidup banyak dan mungkin organisme hidup
itu menjadi punah.
1. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
Pembangunan yang dilakukan sejak Pelita 1 dan kini sedang berada pada era
reformasi adalah pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Program
pembangunan yang dimaksud adalah pola kebijaksanaan pembangunan yang tidak
mengganggu keseimbangan ekosistem yakni pembangnunan yang berorientasi kepada
pengelolaan
sumber
daya
sekaligus
mengupayakan
perlindungan
dan
dan memaksakan penataan oleh pemilik kegiatan dan/atau usaha atas persyaratan
lingkungan, baik yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan maupun
yang ditetapkan dengan izin. Paksaan pemerintah yang dimaksud dapat berupa
perintah kepada pemilik kegiatan dan/atau usaha untuk mencegah dan mengakhiri
terjadi pelanggaran. Di samping paksaan pemerintah, sanksi administrasi bisa juga
berupa pencabutan izin khususnya untuk pelanggaran tertentu.
Seperti diketahui bahwa penggunaan hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi preventif dan repfresif.
Misalnya, Pasal 25 UU No.23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk
mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran,
untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, dan pemulihan. Dalam rangka efektivitas tugas Negara, UUPLH
memungkinkan Paksaan Pemerintah oleh Gubernur sebagaimana disebutkan di atas
dapat diserahkan kepada Bupati atau walikota.9
Dalam rangka merangsang peran serta masyarakat (public participation), UUPLH
memungkinkan Pihak III yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintah. Provisi Pasal 25 ayat
(3) ini merupakan ketentuan yang mengakomordir kontrol sosial. Oleh karena itu,
pejabat yang berwenang harus secara serius melaksanakan permohonan Pihak II ini
untuk menciptakan iklim penegakan hukum yang efektif.10
Disamping paksaan pemerintah, upaya preventif lain yang dapat dilakukan
Pemerintah terhadap kegiatan yang mempunyai potensi untuk merusak dan
mencemarkan lingkungan adalah melalui Audit Lingkungan. Menurut Pasal 28,
pemerintah harus mendorong penanggung jawab usaha untuk melakukan audit
9 Lihat Pasal 25 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
10 Ibid.,Lihat Pasal 25 ayat (3).
10
11
12
baik dalam Pasal 31-33 UUPLH Tahun 1997 dan terakhir dalam Pasal 85 dan 86
UUPPLH Tahun 2009. Pasal 85 ayat (1) UUPPLH menentukan bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan
mengenai satu atau lebih dari empat hal. Pertama, kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi. Kedua, kesepakatan mengenai tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau perusakan. Ketiga, kesepakatan mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan. Keempat,
kesepakatan mengenai tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negative
terhadap lingkungan hidup. Dalam penjelasan ayat ini dijelaskan bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Kelemahan dari ketentuan ini tidak dijelaskan siapa para pihak yang dapat terlibat
dalam penyelesaian sengketa.15
Pada hakikatnya para pihak yang bersengketalah yang terlebih dahulu melakukan
penyelesaian melalui mekanisme yang dalam kepustakaan hukum lingkungan disebut
negosiasi lingkungan. Selain itu, tentu dapat pula melibatkan instansi pemerintah
atau pihak lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itu
ditentukan bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan
dapat digunakan jasa mediator/ atau arbiter.16
Dengan berlakunya UUPLH Tahun 1997, ketentuan mediasi diatur dalam Pasal 32
yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini dapat meminta
jasa pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral ini berfungsi sebagai pihak
yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapai
kesepakatan. Pihak ketiga netral ini harus memenuhi syarat yakni (1) disetujui oleh
15 Lihat Pasal 85 Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
16 Muhammad Akib, Hukum Lingkungan dalam Perspektif Global dan Nasional,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014,hlm.232.
13
pihak yang bersengketa; (2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan
kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; (3) memiliki keterampilan untuk
melakukan perundingan atau penengahan; dan (4) tidak memiliki kepentingan
terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Berikut ini gambar alur penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan.17
Mediator
Arbiter
17 Ibid.,hlm.233.
14
kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
pengadilan negeri.18
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan dapat dilakukan melalui
pengadilan umum dan pengadilan administrasi (TUN). Mekanisme pengadilan umum
diatur dalam Pasal 87-92 UUPPLH Tahun 2009 jo.UU No.5 Tahun 1986 tentang
Peradilan TUN sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan menurut UU
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur dalam empat
pokok masalah, yakni masalah ganti rugi, masalah tanggung jawab mutlak, masalah
kadaluwarsa untuk pengajuan gugatan, dan masalah hak masyarakat dan organisasi
lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan.
a) Ganti Rugi
Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti rugi atas tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan
tertentu yang dimaksud, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap
hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu. Penetapan ketentuan ini adalah
merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas
pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya memasang atau memperbaiki unit pengelohan limbah sehingga
limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan, atau memulihkan
fungsi lingkungan hidup serta menghilangkan atau memusnahkan penyebab
timbulnya pencemaran.19
b) Tanggung Jawab Mutlak
18 Muhammad Erwin, Op. cit., hlm.119.
15
16
atau denda. Jadi, penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki
lingkungan yang tercemar. Akan tetapi, penegakan hukum pidana ini dapat
menimbulkan faktor penjera (deterrant factor) yang sangat efektif. Oleh karena itu,
dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif. 22
Menurut Mr. De Bunt, ultimum remedium mempunyai arti tiga macam, yaitu:
1. Hukum pidana itu hanya diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
tidak benar secara etis. Sebagai contoh Menteri Kehakiman Belanda pada tahun
1989 pernah mengucapkan, bahwa hukum pidana pada umumnya harus dilihat
sebagai ultimum remedium. Maksud menteri tersebut adalah bahwa perbuatan
beratlah yang harus ditanggulangi oleh hukum pidana. Menteri ini berbicara
mengenai pengertian ultimum remedium secara klasik; hukum pidana itu adalah
secara khusus merupakan instrumen penegakan hukum yang khusus. Ia
memandang hukum pidana sebagai ultimum remedium yang didasarkan pada: (a)
hukum pidana bersifat retributif (b) pelanggaran hukum lingkungan pada
hakikatnya tidak penting secara etis.
Tidak ada penegakan hukum pidana dalam hukum lingkungan kecuali beberapa
perbuatan melanggar hukum yang mencolok. Sebenarnya tidak dapat dipisahkan
secara tajam antara sanksi administrative dan sanksi hukum pidana kecuali
terhadap perbuatan yang melanggar hukum, menurut De Bunt pendapat demikian
dapat diperdebatkan karena tidak ada perbedaan yang mendasar antara sanksi
hukum pidana dan sanksi hukum administratif.23
2. Pengertian yang kedua mengenai ultimum remedium menurut De Bunt adalah
dalam arti harfiah, yaitu alat (obat) yang terakhir yang diterapkan terhadap delik
lingkungan. De Ross mengatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan antara
sanksi hukum pidana dan sanksi administrative, namun sanksi hukum pidana itu
22 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 1993, hlm.126.
23 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hlm.69.
17
relatif lebih berat karena pidana perampasan kemerdekaan merupakan sanksi yang
menonjol. Pendapat demikian ini juga dibantah oleh De Bunt, karena katanya ada
pelanggaran hukum lingkungan yang sanksi administrative dipandang terlalu berat
dan tidak dapat diterapkan, misalnya perbuatan yang sekali saja terjadi, mungkin
ringan, perusakan lingkungan yang tidak dipulihkan dan sebagainya. Yang kedua
adalah tidak perlu dipertimbangkan sanksi administratif atau sanksi hukum pidana
dalam penegakan hukum, seperti pada residivis yang penerapan hukum pidana
menjadi pilihan. Maksudnya sudah pasti harus sanksi hukum pidana yang mestinya
diterapkan.24
3. Pengertian ultimum remedium yang ketiga, yaitu pejabat administratiflah yang
pertama-tama harus bertanggung jawab. Kalau pejabat administrative dipandang
sebagai yang pertama-tama bertanggung jawab, dan oleh karena itu berarti bahwa
kekuasaan yustisil ditempatkan sebagai ultimum remedium. Pejabat administrasi
harus bereaksi terlebih dahulu. Yang memberi izin harus lebih dahulu member
sanksi jika izin dilanggar.25
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup
dari sisi hubungan antara Negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena
tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat (social defence) dan lingkungan
hidup dari perbuatan yang dilarang (verboden) dan perbuatan yang diharuskan atau
kewajiban (geboden) yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan. Secara khusus
penghukuman dimaksud bertujuan untuk: (1) mencegah terjadinya kejahatan atau
perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah; dan (2) mengenakan
penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar.26
24 Ibid.,hlm.70.
25 Ibid.,hlm.71.
26 Ibid.,lihat juga Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung:1984, hlm.92.
18
19
20
21
22
AMDAL bagi masyarakat tidak sesuai harapan, bahkan masyarakat (yang terkena
dampak) tidak mengetahui secara pasti adanya aktivitas suatu kegiatan.30
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energy, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia.
Sedangkan Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan. Apabila perusahaan melakukan pencemaran atau
perusakan lingkungan dapat dikenakan dengan 3 penegakan hukum yang meliputi
aspek pidana, perdata maupun administrasi dan semua itu tergantung pada perbuatan
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Dalam melakukan proses penegakan hukum tidak semua kasus dapat
terselesaikan secara maksimal, karena adanya beberapa kendala dan hambatan yang
30 Muhammad Erwin, Op. cit. hlm.120-121.
23
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
RTM.Sutamihardja, Kualitas dan Pencemaran Lingkungan, Intitut Pertanian
Bogor, 1978.
St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran
Lingkungan Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V: Sektoral,
Bina Cipta, Bandung,1986.
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Airlangga University, Surabaya, 1996, hlm. 190.
24
25
Referensi Undang-Undang
Undang-udang Dasar 1945.
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup