Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kemampuan kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 1
Dari penelitian WHO diperkirakan 20-60% adalah aborsi yang disengaja
(Induced abortion). Tenaga medis tentu tidak akan melakukan tindakan aborsi
kecuali jika ada indikasi medis dengan syarat-syarat tertentu. Wanita yang tidak
menginginkan kehamilan tentu akan berusaha menggugurkan kandungannya.
Akibatnya terjadi unsafe abortion, karena upaya pengguguran dilakukan orang
yang tidak berkompeten. Lebih dari 90% aborsi tidak aman terjadi di negaranegara sedang berkembang. Aborsi tidak aman merupakan penyebab dari 11%
kematian ibu. Insidens abortus tidak aman secara global adalah sekitar 20 juta per
tahun atau 1 diantara 10 kehamilan atau 1 aborsi tidak aman dengan 7 kelahiran
hidup. 2,3
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan,
sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut
Abortus provokatus. Abortus provokatus dibagi dalam 2 kelompok yaitu abortus
provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medisinalis
bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu. Angka
kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak
dilaporkan kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Komplikasi aborsi yang paling
sering terjadi adalah perdarahan yang berat, infeksi, trauma genital dan
abdominal, perforasi uterus dan keracunan bahan abortifasien. 1,2,4
Abortus infeksiosa ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genital.
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi dari tindakan abortus yang paling
sering terjadi bila kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus
Infeksiosa perlu segera mendapat pengelolaan yang adekuat kerena dapat menjadi
infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum,
bahkan sepsis dan dapat jatuh ke dalam syok septik. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kemampuan kandungan, dan sebagai batasan digunakan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 1
Abortus provokatus merupakan abortus yang terjadi dengan sengaja
dilakukan tindakan. Abortus infeksiosa ialah abortus yang disertai infeksi pada
alat genital. Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi dari tindakan abortus
apabila kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Adanya penyebaran kuman
atau toksin ke dalam sirkulasi dan cavum peritoneum dapat menimbulkan
septicemia, sepsis, atau peritonitis. 1
B. EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun, telah diperkirakan terjadi 22 juta kasus aborsi dan sebagian
besar kasus tersebut (98%) terjadi di negara-negara berkembang. Jumlah total
kasus aborsi tidak aman ini meningkat dari sekitar 20 juta kasus pada tahun 2003
menjadi 22 juta kasus pada tahun 2008, walaupun rentang kejadian abortus tetap
tidak berubah sejak tahun 2000. Setidaknya terjadi 47.000 kehamilan yang
berhubungan dengan kematian akibat kasus abortus yang terjadi. Di United States,
setidaknya 1,2 juta kasus abortus terjadi pada tahun 2008, sedangkan pada United
Kingdom, lebih dari 200.000 kasus abortus telah dilaporkan. Sekitar satu dari tiga
wanita akan memiliki kasus abortus. 5,6
Badan Litbang kesehatan, dalam laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas)
2010 mengungkapkan bahwa angka kejadian keguguran secara nasional adalah
sebesar 4%. Sulit mendapatkan data tentang abortus buatan di Indonesia oleh
karena abortus dilakukan secara sembunyi dan bila terjadi komplikasi hanya
dilaporkan komplikasinya saja, tidak abortusnya. Praktik aborsi tidak aman,
misalnya dengan memasukkan berbagai jenis benda yang tidak steril ke dalam

vagina, menjadi penyebab terjadinya komplikasi abortus, terutama karena


perdarahan dan sepsis yang dapat berakhir dengan kematian ibu. 2,7
Sebagian besar perempuan yang melakukan aborsi di klinik atau rumah
sakit memiliki profil khusus yaitu mereka yang cenderung sudah menikah dan
berpendidikan. Duapertiga sudah menikah dan sudah pernah duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas. Dalam penelitian terbaru ditemukan bahwa 54% adalah
lulusan Sekolah Menengah dan 21% adalah lulusan akademi atau universitas. 4
Mereka yang melakukan aborsi berusia lebih dari 20 tahun (58% berusia
lebih tua dari 30 tahun), dan hampir separuh dari perempuan-perempuan tersebut
sudah memiliki paling sedikit dua anak. Sebagian perempuan sudah melakukan
upaya aktif sebelumnya untuk mencegah kehamilannya pada waktu konsepsi,
namun mengalami kegagalan kontrasepsi. Salah satu alasan yang sering
diungkapkan oleh perempuan yang mengupayakan aborsi adalah bahwa mereka
sudah mencapai jumlah anak yang diinginkan. Selain itu, banyak dari perempuan
yang belum menikah melakukan aborsi karena mereka ingin meneruskan
pendidikanya sebelum menikah. Hanya 4% yang melakukan aborsi karena alasan
untuk menjaga kesehatan fisik mereka. 4
Di perkotaan abortus dilakukan 24-57% oleh dokter, 16-28% oleh bidan/
perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan sendiri. Sedangkan di
pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 3147% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara abortus yang dilakukan oleh
dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan
kuretase (30%) serta prostaglandin/suntikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri
atau dukun memakai obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain
(17%) dan pemijatan (79%). 7
Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan
Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah
menikah, 11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 4,5% akan
menikah kemudian, 5,5% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur
mereka yang melakukan abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia
antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun. 7

C. ETIOLOGI
Dahulu, abortus kriminalis dan abortus inkomplit yang ditelantarkan
terinfeksi oleh bakteri komersal vagina yang sebenarnya tidak virulen, misalnya
Clostridium perfringens. Hal ini hampir tidak pernah ditemukan setelah abortus
dilegalkan. Namun pada tahun 2005 Centers for Disease Control and Prevention
melaporkan 4 kematian dengan abortus medisinalis akibat syok toksik yang
disebabkan oleh infeksi Clostridium sordellii. Fischer and dkk. (2005)
menjelaskan manifestasi klinis yang dialami pada 1 minggu setelah abortus
medisinalis. Tanda utama adalah cedera endotel berat disertai kebocoran kapiler
dan hemokonsentrasi, hipotensi, dan leukositosis berat. Sejak saat itu, Cohen, dkk
(2007) melaporkan 4 kasus lain yaitu 2 kasus Clostridium sordellii dan 2 kasus
Clostridium perfringens yang terjadi setelah abortus spontan dan induksi. Selain
itu dilaporkan sindrom syok toksik akibat infeksi streptococcus grup A setelah
abortus medis elektif. 8
Abortus septik adalah abortus disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman
atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering
ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang
kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. 1
Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari paparan obat,
bahan kimia atau radiasi yang umumnya akan berakhir dengan abortus, misalnya
paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Berbagai bahan pernah
dilaporkan berkaitan dengan peningkatan insidens abortus adalah merokok,
alkohol dan kafein. 1,8
Merokok dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya abortus.
Dua penelitian mencurigai bahwa peningkatan risiko abortus berbanding lurus
dengan jumlah konsumsi batang rokok per hari. Sigaret rokok diketahui
mengandung ratusan unsur toksis, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon
monoksida juga menurukan pasokan oksigen ibu dan janin dan dapat memacu
neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat
terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus. 1,8,9

Armstrong and associates (1992) melaporkan bahwa wanita yang


mengonsumsi sedikitnya lima gelas kopi per hari meningkatkan risiko abortus.
Hal yang sama oleh Cnattingius, dkk (2000) mengobservasi peningkatan risiko
abortus secara signifikan hanya pada wanita yang mengonsumsi sedikitnya 500
mg kafein per hari, yang setara dengan lima gelas kopi. 8
Beberapa faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kehamilan yang
tidak diinginkan antara lain umur, pendidikan, jumlah anak, sikap suami terhadap
KB, riwayat KB, aktivitas ekonomi dan indeks kesejahteraan hidup. Kehamilan
yang tidak diinginkan berkaitan erat dengan unsafe abortion. Mereka
menggunakan alat dan cara berbahaya, baik menggunakan tumbuhan yang ditusuk
ke dalam vagina, pemijatan perut bahkan sampai diinjak. Tindakan tersebut
menimbulkan perdarahan, infeksi bahkan kematian ibu. 2
D. PATOFISIOLOGI
Abortus terjadi akibat adanya perdarahan dalam desidua basalis, kemudian
terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel
peradangan akut dan akhirnya perdarahan per vaginam. Buah kehamilan terlepas
seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam
rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai dan segera setelah
itu terjadi pendorongan benda asing keluar dari rongga rahim (ekspulsi). 10
Pengeluaran hasil konsepsi didasarkan 4 cara: 10
1. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan
sisa desidua
2. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan korion
dan desidua
3. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan
janinke luar tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin
yang dikeluarkan)
4. Seluruh janin dan dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh.
Infeksi setelah abortus adalah suatu proses ascendens yang terjadi lebih
sering dengan adanya hasil konsepsi yang tertahan atau trauma operasi. Perforasi
uterus mungkin diikuti dengan infeksi berat, baik ada atau tidaknya trauma

abdomen. Hysterotomy jarang diindikasikan untuk aborsi karena risiko


komplikasi yang tinggi. Infeksi setelah hysterotomy paling sering terjadi oleh
karena adanya benda asing (material jahitan), bekuan darah pada daerah yang
diinsisi, kontaminasi dari flora genital bagian bawah dan yang sering drainase
yang buruk dari cavum uteri. 11
Terminasi kehamilan muda di mana pelaksana tindakan tidak mempunyai
cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan
keselamatan jiwa pasien. Tentu saja tindakan tersebut dapat menimbulkan
perdarahan, infeksi dan kematian ibu. 2,12
E. KLASIFIKASI
Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan
tindakan. Abortus provokatus dibagi menjadi 2 yaitu abortus provokatus
medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. 1,13
1. Abortus Provokatus Medisinalis/Terapeutik
Pengakhiran secara medis atau bedah kehamilan sebelum janin mampu
hidup demi keselamatan atau kesehatan ibunya. Disebut medisinalis bila
didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu. Pertimbangan
dilakukan minimal oleh 3 dokter yaitu dokter spesialis Kandungan dan
Kebidanan, dokter Spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu
ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait. 1,8,9
Indikasi abortus terapeutik adalah penyakit dekompensasi cordis, terutama
dengan hipertensi pulmonal menetap, penyakit vascular hipertensif stadium lanjut,
karsinoma serviks invasive, atau diabetes, dan keganasan. Pada kasus perkosaan
atau incest, sebagian besar orang beranggapan bahwa pengakhiran kehamilan
dapat diterima. Indikasi tersering saat ini adalah mencegah lahirnya janin dengan
deformitas anatomik, metabolik, atau mental yang signifikan. 8,9
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi pasal 31, 32, dan 34 menyatakan bahwa
tindakan aborsi hanya dapat dilakukan atas indikasi kedaruratan medis atau
kehamilan akibat perkosaan. Indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang

mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan atau kehamilan yang mengancam
nyawa dan kesehatan janin. Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan
hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindakan aborsi akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40
hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. 14
2. Abortus Provokatus Kriminalis
Pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang
tidak berwenang dan dilarang oleh hokum atau dilakukan oleh yang tidak
berwenang. Pengakhiran kehamilan sebelum janin mampu hidup atas permintaan
wanita yang bersangkutan, tetapi bukan atas indikasi medis. Tindakan abortus
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis dan dilakukan hanya untuk
kepentingan si pelaku. 8,10,15
Kehamilan yang tidak diingankan berkaitan erat dengan unsafe abortion.
Wanita yang tidak menginginkan kehamilan akan berusaha untuk menggugurkan
kandungannya. Bila kehamilannya dinyatakan positif, upaya yang paling banyak
dilakukan oleh perempuan-perempuan tersebut dalam usaha penguguran
kandungannya adalah dengan minum lebih banyak jamu-jamuan atau dengan
upaya pemijatan untuk aborsi yang dilakukan oleh dukun tradisional. Bila upaya
aborsi tersebut belum juga berhasil, perempuan tersebut baru kemudian
mengugurkan kandungannya di klinik. Sebanyak 25% dari klien menggunakan
pengobatan oral dan dipijat agar terjadi penguguran, 13% menerima suntikan
untuk pengguguran, 13% memasukkan benda asing ke dalam vagina atau rahim
dan 4% melakukan aborsi dengan cara akupuntur. 2,4
F. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat
gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardi, perdarahan
pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan.
Nyeri di atas simfisis atau nyeri di perut bawah, perdarahan pervaginam disertai

pengeluaran hasil konsepsi atau plasenta. Meskipun abortus ilegal sekarang sangat
jarang di United State, abortus septik harus dipikirkan pada setiap wanita dengan
keluhan nyeri abdomen bawah dan perdarahan pervaginam, khususnya jika ada
demam dan nyeri tekan.

1,8,11

Pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu, takiardi, dan takipneu.


Karena bacteremia lebih sering terjadi pada abortus infeksi dari infeksi pelvic
lainnya. Syok mungkin timbul dari sepsis serta perdarahan. Pada pemeriksaan
pelvic, pengeluaran darah dan disertai dengan bau yang busuk dari vagina.
Pemeriksaa dalam, Ostium uteri umumnya terbuka dan teraba sisa jaringan, uterus
dan adnexa nyeri pada perabaan, dan fluxus berbau. Penting untunk melihat
laserasi pada serviks dan vagina, jika dicurigai abortus illegal. 10,11
Pemeriksaan laboratorium standar yang perlu dilakukan pada keadaan
perdarahan pervaginam harus mencakup hitung darah lengkap, tes kehamilan (hCG), urinalisis, pemeriksaan gram dan kultur, foto abdomen dan pelvis posisi
anteroposterior, serta Chest x-ray. Pada laboratorium didapatkan leukositosis.
Pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai abortus illegal menunjukkan
adanya benda asing atau cairan bebas di bawah diafragma yang berasal dari
perforasi. Gas pada uterus adalah tanda adanya gangren pada uterus. USG dapat
mendeteksi adanya jaringan plasenta yang tertinggal, benda asing, atau
kemungkinan udara pada daerah pelvis. 1,11,16
G. TEKNIK ABORTUS
Metode yang dipergunakan biasanya disesuaikan dengan umur kehamilan,
semakin tua umur kehamilan semakin tinggi risikonya. 15
a) Pada umur kehamilan sampai dengan 4 minggu
-

Kerja fisik yang berlebihan

Mandi air panas

Melakukan kekerasan pada daerah perut

Pemberian obat pencahar

Pemberian obat-obatan dan bahan-bahan kimia

Electric Shock untuk merangsang rahim

Menyemprotkan cairan ke dalam liang vagina

b) Pada umur kehamilan sampai dengan 8 minggu


-

Pemberian obat-obatan yang merangsang otot rahim dan pencahar


agar terjadi peningkatan Menstrual Flow, dan preparat hormonal guna
mengganggu keseimbangan hormonal

Penyuntikan cairan ke dalam rahim agar terjadi separasi dari


placenta dan amnion, atau menyuntikkan cairan yang mengandung karbol
(carbolic acid)

Menyisipkan benda asing ke dalam mulut rahim, seperti kateter


atau pensil dengan maksud agar terjadi dilatasi mulut rahim yang dapat
berakhir dengan abortus

c) Pada umur kehamilan antara 12 16 minggu


-

Menusuk kandungan

Melepaskan fetus

Memasukkan pasta atau cairan sabun

Dengan instrumen seperti kuret

Terdapat berbagai metode lain yang sering dipergunakan dalam abortus


provocatus yang perlu diketahui, oleh karena berkaitan dengan komplikasi yang
terjadi. 15
1. Kekerasan mekanik lokal
Kekerasan ini dapat dilakukan dari luar maupun dari dalam. Kekerasan dari
luar dapat dilakukan oleh si ibu atau orang lain, seperti gerakan fisik berlebihan,
jatuh, pemijatan/pengurutan perut bagian bawah, kekerasan langsung pada perut
atau uterus, pengaliran listrik pada serviks. Kekerasan dapat pula dari dalam
dengan manipulasi vagina dan uterus. Manipulasi vagina dan serviks uteri,
misalnya dengan penyemprotan air sabun atau air panas pada porsio, pemasangan
laminaria stif atau kateter kedalam serviks, manipulasi serviks dengan jari tangan,
manipulasi uterus dengan melakukan pemecahan selaput amnion dengan
memasukkan alat apa saja yang cukup panjang dan kecil melalui serviks atau
dengan penyuntikan/penyemprotan cairan ke dalam uterus dengan menggunakan

Higginson type syringe dan cairannya adalah air sabun, desinfektan atau air
biasa/air panas. Penyemprotan ini dapat mengakibatkan emboli. 13
2. Obat/Zat tertentu
Pernah dilaporkan penggunaan bahan tumbuhan yang mengandung minyak
eter tertentu yang merangsang saluran cerna hingga terjadi kolik abdomen, jamu
perangsang kontraksi uterus dan hormone yang merangsang kontraksi uterus
melalui hiperemi mukosa uterus. Kombinasi kina atau menolisin dengan ekstrak
hipofisis (oksitosin) ternyata sangat efektif. Akhir-akhir ini dikenal juga sitostatika
(aminopterin) sebagai abortivum. 13
3. Abortus Bedah dan Abortus Medis
Abortus dapat dilakukan secara medis atau bedah melalui beberapa teknik.
Kehamilan trimester pertama dapat diakhiri secara bedah dengan kuretase uterus
atau dengan sejumlah regimen medis. 8
1.

Tindakan Bedah
Dilatasi servik

yang 1.

dilanjutkan dengan evakuasi:

2.

Kuretase
Aspirasi

Tindakan Medis
Oksitosin intravena
Cairan

hiperosmolar

intra

amniotik:
Vakum

(Suction

Saline 20%

Curettage)
Dilatasi Dan Evakuasi (D&E)

Urea 30%
3.

Dilatasi Dan Ekstraksi (D&X)

Prostaglandine E2, F2, E1


dan analognya

2.

Menstrual aspiration

Injeksi intra amniotik

3.

Laparotomi

Injeksi ekstra ovular

Histerotomi

Insersi vagina

Histerektomi

Injeksi parenteral
Peroral
4.

Antiprogesterone-RU 486
(mifepristone) & epostane

5.

Methrotexate IM dan Oral

6.

Kombinasi bahan-bahan diatas

10

Tabel 1. Abortus medis dan bedah 8,9


a. Abortus Bedah
Kehamilan dapat diakhiri secara bedah melalui serviks yang dibuka atau
transabdomen dengan histerotomi atau histerektomi. 8
1) Dilatasi dan Kuretase (D&C)
Pendekatan transservikal pada abortus dengan tindakan bedah melalui
serviks, dilakukan dengan mula-mula membuka serviks kemudian mengeluarkan
produk konsepsi secara menkanik dengan mengeruk keluar isinya (kuretase tajam)
atau aspirasi vakum (kuretase hisap), atau keduanya. Aspirasi vakum, bentuk
tersering kuretase hisap, memerlukan kanula kaku yang dihubungkan ke sumber
vakum tenaga listrik. 8,9
Kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi uterus, laserasi
serviks, perdarahan, pengeluaran janin dan plasenta yang tidak lengkap, dan
infeksi meningkat setelah trimester pertama dan terutama setelah sekitar 16
minggu. Karena itu, DC atau aspirasi vakum sebaiknya dilakukan sebelum usia
kehamilan 16 minggu. 9
Profilaksis antimikroba perlu diberikan kepada semua wanita yang
menjalani abortus bedah transservikal. Antimikroba menurunkan risiko infeksi
sekitar 40%. 8,17
Dilatasi dan kuretase hanya boleh dilakukan jika aspirasi vakum manual
tidak tersedia. Teknik untuk dilatase dan kuretase sebagai berikut: 8,17
Berikan petidin melalui IM atau IV sebelum prosedur dilakukan atau
gunakan blok paraservikal.
Berikan oksitosin 10 unit melalui IM atau ergometrin 0,2 mg melalui IM
sebelum procedure dilakukan untuk mengeraskan miometrium dan mengurangi
risiko perforasi.
Lakukan pemeriksaan bimanual untuk mengkaji ukuran dan posisi uterus
serta kondisi fornix.
Dilakukan pemasangan speculum atau rektraktor ke dalam vagina.

11

Oleskan larutan antiseptic ke vagina dan serviks (terutama di bagian


bibirnya).
Periksa adanya robekan serviks atau tonjolan hasil konsepsi. Jika hasil
konsepsi berada di vagina atau serviks, keluarkan hasil konsepsi dengan
menggunakan forsep cincin atau forsep spons.
Bibir serviks anterior dijepit dengan tenakulum bergerigi tunggal.
Jika menggunakan tenakulum untuk memegang serviks, anestesi local 5
ml lidokain 1-2% dapat disuntikkan di arah jam 4 dan 8 pangkal serviks.

Gambar 1. Pemasangan speculum dan tenakulum. 17


Bila perlu serviks diperlebar kembali dengan dilator Hegar, Hank, atau
Pratt sampai kanula penghisap dengan garis tengah yang sesuai dapat
dimasukkan. Dilatator hegar dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanan. Jika diperlukan Jari tangan keempat dan kelima tangan kanan bertumpu
pada perineum dan bokong sewaktu dilator didorong melalui ostium internum.
Cara ini memperkecil dilatasi paksa dan merupakan pengamanan terhadap
perforasi uterus

12

Gambar 2. Pemasangan dilator Hegar. 8


Memasukkan sonde uterus untuk secara hati-hati melalui serviks untuk
mengukur kedalaman dan arah rogga uterus.
Jaringan sisa kehamilan yang besar diambil terlebih dulu dengan cunam
abortus.
Sendok kuret dipegang diantara ujung jari dan jari telunjuk tangan kanan
(hindari cara memegang sendok kuret dengan cara menggenggam), sendok
dimasukkan ke kedalam uterus dalam posisi mendatar dengan lengkungan yang
menghadap atas.
Pengerokan uterus dikerjakan secara sistematik (searah dengan jarum jam
dan kemudian berlawanan arah dengan jarum jam). Cavum uteri dianggap
bersih bila tidak terdapat jaringan sisa kehamilan lagi yang keluar dan cairan
darah cavum uteri berbuih.

Gambar 3. Pengeluaran sisa kehamilan yang relatif besar

13

Gambar 4. Pengerokan uterus


Keluarkan speculum atau refraktor dan lakukan pemeriksaan bimanual
untuk memeriksa ukuran dan kekerasan uterus.
Rongga vagina dibersihkan dari sisa jaringan dan darah.
Periksa isi uterus yang dievakuasi, kirim bahan tersebut untuk
pemeriksaan histopatologik, jika perlu.
Perawatan pasca prosedur diberikan paracetamol 500 mg peroral sesuai
kebutuhan. Dapat diberikan doxycycline 100 mg per oral 2 kali sehari selama 7
hari.
2)

Dilatasi dan Evakuasi (D&E)


Dimulai pada 16 minggu, ukuran dan struktur janin menentukan pemakaian

teknik ini. Dilatasi serviks yang dicapai dengan dilator logam atau higroskopik,
mendahului destruksi mekanis dan evakuasi bagian-bagian janin. Setelah janin
keluar maka plasenta dan jaringan yang tersisa dikeluarkan dengan kuret vakum
berdiameter besar. 8
3)

Dilatasi dan Ekstraksi (D&X)


Ini serupa dengan dilatasi dan evakuasi kecuali bahwa evakuasi hisap isi

intrakranium setelah melahirkan tubuh janin melalui serviks yang telah membuka
membantu ekstraksi dan memperkecil kemungkinan cedera uterus atau serviks
akibat instrumen atau tulang janin. Dalam istilah lain tindakan ini disebut partial
birth abortion. 8
Dilator Higroskopik
Trauma akibat dilatasi mekanis dapat dikurangi dengan menggunakan alat
yag secara perlahan membuka serviks. Alat ini yang disebut dilator higroskopik
14

(laminaria), menyerap air dari jaringan serviks dan mengembang, secara perlahan
membuka serviks. Salah satu dilator higroskopik berasal dari batang Laminaria
digitalis atau Laminaria japonica, sejenis rumput coklat. Batang tanaman ini
dipotong, dikupas, dibentuk, dikeringkan dan dikemas sesuai dengan ukuran
(kecil diameter 3-5 mm, sedang 6-8 mm, besar 8-10 mm). Batang laminaria sering
digunakan untuk membantu membuka serviks pada abortus. Laminaria yang
sangat higroskopik ini diperkirakan bekerja dengan menarik air dari kompleks
proteoglikan sehingga terjadi disosiasi pada kompleks tersebut dan menyebabkan
serviks menjadi lunak dan membuka. 8,9
Untuk memasukkan dilator higroskopik, serviks dibersihkan dengan larutan
povidon iodium dan dipegang di anterior dengan tenakulum. Dilator higroskopik
sesuai ukuran kemudian dimasukkan dengan menggunkan klem kassa uterus
sehingga ujungnya berada setinggi ostium internus. Setelah 4-6 jam, laminaria
akan membengkak dan membuka serviks sehingga dilatasi dan kuretase mekanis
dapat dilakukan. Mengembangnya laminaria sering disertai oleh rasa kram. 8

Gambar 5. Pemasangan laminaria sebelum dilatasi dan kuretase. 8


A. Laminaria segera setelah dipasang dengan benar dengan ujung atasnya sedikit
melewati ostium internus. B. Beberapa jam kemudian laminaria membengkak dan
serviks membuka serta lunak. C. Laminaria yang terpasang terlalu jauh melewati
ostium internus, laminaria ini dapat memecahkan ketuban.
Salah satu alternatif untuk dilatasi serviks adalah pemberian prostaglandin
di forniks posterior vagina untuk membantu dilatasi selanjutnya. 8
4)

Aspirasi Haid
Tindakan aspirasi rongga endometrium menggunakan sebuah kanula lentur

Karman 5 atau 6 mm yang dihubugkan ke tabung suntik (Syringe) dalam 1-3


15

minggu setelah keterlambatan haid. Masalah yang dapat terjadi adalah tidak
adanya kehamilan, hilangnya zigot yang tertanam oleh kuret, kegagalan
mengenali kehamilan ektopik dan yang jarang perforasi uterus. 8,9
5)

Aspirasi Vakum Manual


Tindakan ini serupa dengan aspirasi haid tetapi digunakan untuk kegagalan

kehamilan dini serta terminasi elektif hingga 12 minggu. Aspirasi vakum


merupakan prosedur yang sangat aman. Tindakan ini menggunakan kanula dan
tabung suntik 60 ml secara manual. Diciptakan ruang hampa dalam tabung suntik
yang dihubungkan ke kanula. Kanula kemudian dimasukkan ke dalam uterus.
Vakum diaktifkan dan menghasilkan hisapan hingga 60 mmHg. 5,8
Tahapan aspirasi vakum manual sebagai berikut: 8,17
Walaupun perdarahan ringan, berikan oksitosin 10 unit melalui IM atau
ergometrin 0,2 mg melalui IM sebelum prosedur untuk mengeraskan
miometrium dan mengurangi risiko perforasi.
Lakukan pemeriksaan bimanual untuk mengkaji ukuran dan posisi uterus
serta kondisi fornix.
Dilakukan pemasangan speculum atau rektraktor ke dalam vagina.
Oleskan larutan antiseptic ke vagina dan serviks (terutama di bagian
bibirnya).
Periksa adanya robekan serviks atau tonjolan hasil konsepsi. Jika hasil
konsepsi berada di vagina atau serviks, keluarkan hasil konsepsi dengan
menggunakan forsep cincin atau forsep spons.
Bibir serviks anterior dijepit dengan tenakulum bergerigi tunggal.
Jika menggunakan tenakulum untuk memegang serviks, anestesi local 5
ml lidokain 1-2% dapat disuntikkan di arah jam 4 dan 8 pangkal serviks.
Masukkan kanula melalui serviks ke dalam rongga uterus tepat melewati
bibir serviks internal sambil melakukan traksi pada serviks secara hati-hati.
Memutar kanula sambil memberikan tekanan dengan lembut sering kali
membuat ujung kanula masuk ke kanalis servisis uteri.

16

Dorong kanula ke dalam uterus secara perlahan sampai kanula menyentuh


fundus, tetapi tidak lebih dari 10 cm. ukur kedalaman uterus dengan melihat
titik pada kanula kemudian tarik kanula sedikit.

Gambar 6. Cara memasukkan kanula. 17


Hubungkan spuit kanula AVM yang telah disiapkan ke kanula dengan
memegang tenakulum dan ujung kanula di satu tangan serta memegang spuit di
tangan yang lain.
Buka katup penjepit pada spuit untuk memindahkan vakum melalui kanula
ke rongga uterus.
Evakuasi sisa isi uterus dengan memutar spuit secara perlahan dari satu
sisi ke sisi lain (arah jam 10 sampai jam 12) dan menggerakkan kanula secara
perlahan dan lembut ke depan ke belakang di dalam rongga uterus.

Gambar 7. Mengevakuasi isi uterus. 17


Periksa tanda-tanda selesainya prosedur: busa merah atau merah muda
tetapi jaringan tidak lagi terlihat di dalam kanula, sensasi yang tidak

17

menyenangkan dirasakan saat kanula melewati permukaan uterus yang


dievakuasi, uterus berkontraksi sekitar kanula.
Tarik kanula, lepaskan spuit dan letakkan kanula di dalam larutan
dekontaminasi.
Kosongkan isi spuit AVM ke dalam saringan dengan mendorong piston
spuit.
Keluarkan speculum atau refraktor dan lakukan pemeriksaan bimanual
untuk memeriksa ukuran dan kekerasan uterus.
Periksa isi uterus yang dievakuasi, kirim bahan tersebut untuk
pemeriksaan histopatologik, jika perlu.
Perawatan pasca prosedur diberikan paracetamol 500 mg peroral sesuai
kebutuhan.
6)

Laparatomi
Pada beberapa keadaan, abortus melalui histerotomi atau histerektomi

abdomen lebih dianjurkan daripada DC atau induksi medikamentosa. Jika terdapat


penyakit uterus yang nyata, histerektomi mungkin merupakan terapi yang ideal.
Jika akan dilakukan sterilisasi, histerotomi disertai tubektomi atau histerektomi
kadang lebih dianjurkan daripada kuretase. 8,9
b. Abortus Medis
Berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists (2005),
pasien dengan terapi medis rawat jalan dan memenuhi syarat untuk melakukan
operasi terpilih jika wanita tersebut dengan usia kehamilan < 49 hari berdasarkan
perhitungan menstruasi. 8
Tiga obat abortus medis dini telah banyak diteliti dan digunakan seperti
Mifepriston, antimetabolit metotrexat dan prostaglandin misoprostol. Obat ini
menyebabkan abortus dengan meningkatkan kontraktilitas uterus baik dengan
menghentikan inhibisi kontraksi maupun merangsang miometrium secara
langsung dan menyebabkan degradasi kolagen serviks, mungkin karena
meningkatnya ekspresi metalloproteinase matriks 2. 8

18

Abortus dini sangatlah efektif sektar 90-98% pasien tidak memerlukan


intervensi bedah lanjut. Kontraindikasi abortus medis yaitu alergi obat spesifik,
adanya alat kontrasepsi dalam rahim, anemia berat, koagulopati atau pemakaian
antikoagulan, penyakit hati, penyakit kardiovaskuler, penyakit adrenal dan kejang
yang tidak terkontrol. 8
1. Mifepristone
Mifepristone

adalah

antiprogestin

berfungsi

memblokir

reseptor

progesterone, sehingga jika digunakan pada awal kehamilan rahim tidak akan
mampu mempertahankan embrio yang tumbuh. Mifepristone juga memicu
peningkatan prostaglandin endogen sehingga membuka serviks dan membantu
proses aborsi. Mifepriston bekerja dengan meningkatkan kontraktilitas uterus
disamping menginhibisi progesteron dalam menghambat kontraksi uterus.
Mifepristone menyebabkan kolagen serviks berdegenerasi, yang mungkin akibat
peningkatan ekspresi matriks metalloproteinase-2. 8,18
Beberapa negara Eropa bahkan melisensi mifepristone sebagai pelunak
serviks sebelum aborsi di kehamilan trimester pertama dan kedua, serta induksi
untuk persalinan setelah kematian janin dalam kandungan. Apabila digunakan
sendiri, efektifitas mifepristone sekitar 60-80% untuk memicu aborsi pada
kehamilan kurang dari 49 hari. Penggunaan mifepristone menyebabkan rahim
lebih sensitif terhadap kontraksi yang dipicu oleh prostaglandin, karenanya
kombinasi mifepristone dan prostaglandin dapat meningkatkan efektifitas regimen
tersebut. Awalnya, sulprostone (suntikan prostaglandin) dan gemeprost (obat yang
digunakan lewat vagina) digunakan sebagai pendamping mifepristone di Eropa.
Namun, sulprostone diketahui terkait dengan sejumlah insiden kardiovaskuler,
dengan satu kasus fatal akibat serangan jantung (myocardial infarction), oleh
karena itu kemudian diganti dengan misoprostol (prostaglandin analog oral). 18
Secara global, misoprostol merupakan prostaglandin yang sangat diminati
sebagai pendamping mifepristone karena aman, berbiaya rendah, tersedia luas,
stabil disuhu ruangan, dan mudah digunakan. Misoprostol dapat digunakan secara
oral, vaginal, buccal, atau sublingual dan umumnya diberikan 24-48 jam setelah
penggunaan mifepristone. Mifepristone-misoprostol untuk aborsi di awal trimester

19

pertama kehamilan memiliki tingkat efektifitas tinggi, sekitar 95%. Registrasi


awal mifepristone menganjurkan penggunaan 600 mg mifepristone dengan batas
penggunaannya hingga usia kehamilan 7 minggu. Selanjutnya, bukti menunjukkan
bahwa pengurangan dosis mifepristone menjadi 200 mg lebih murah dan sama
efektif hingga 63 hari sejak HPHT jika dikombinasikan dengan penggunaan
misoprostol secara vaginal, buccal atau sublingual. 18
2. Misoprostol
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik. Menstimulasi
miometrium secara langsung yang merupakan mekanisme kerja dari misoprostol.
Pada serviks, misoprostol menyebabkan peningkatan aktivitas kolagenase dan
mengubah komposisi proteoglikan sehingga menyebabkan pelembutan dan
penipisan serviks. Proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
abortus spontan karena misoprostol dapat menurunkan aktivitas glukokortikoid
wanita dengan penyakit adrenal atau gangguan glukokortikoid didapat maka terapi
tidak boleh diberikan. 8,18
Regimen misoprostol yang paling disarankan untuk aborsi medis adalah
400-800 mcg. Dosis 800 mcg untuk penggunaan vaginal dan buccal terbukti
sangat efektif, hingga usia kehamilan mencapai 63 hari sejak HPHT. Bila
digunakan dengan cara sublingual atau buccal, dosis 400 mcg bahkan masih
terbukti sangat efektif hingga usia kehamilan mencapai 9 minggu sejak HPHT.
Dosis prostaglandin yang lebih tinggi akan sedikit mengurangi tingkat efektifitas,
selain juga meningkatkan efek samping. Penggunaan misoprostol saja untuk
aborsi merupakan alternatif yang cukup baik, ketika regimen mifepristonemisoprostol tidak tersedia. Banyak studi telah menjajaki efektifitas dosis
misoprostol 800 mcg dengan tiga kali pengulangan. Regimen 800 mcg yang
digunakan baik secara vaginal (setiap 3-12 jam) atau sublingual (tiap 3 jam hingga
tiga kali) telah terbukti efektif (85%). 18
Penggunaan misoprostol mungkin meningkatkan resiko ruptur uterus
terutama pada usia kehamilan lanjut dan pada perempuan dengan luka di rahim.
Resiko yang pasti untuk terjadinya ruptur uterus pada aborsi medis di awal
kehamilan belum diketahui, tapi belum pernah terjadi pada ratusan ribu pengguna

20

mifepristone-misoprostol di awal kehamilan. Penggunaan misoprostol disarankan


secara sublingual atau melalui vaginal. Sebuah studi dengan jumlah sampel yang
besar yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa
saat digunakan secara vaginal, jeda antar dosis bisa jadi 3 atau 12 jam. Sedangkan
penggunaan sublingual per tiga jam menyebabkan lebih banyak efek samping,
tapi jeda 12 jam menunjukkan penurunan efektifitas. Seperti halnya aborsi medis
lain, efek samping primer dan sekunder yang umum dilaporkan adalah kram
uterus dan rasa nyeri, perdarahan, serta mual.

18

3. Metotrexat
Metotrexat merupakan antagonis asam folat yang mengganggu sintesis
DNA. Jika digunakan sebagai obat induksi aborsi, baik digabung dengan
prostaglandin atau tidak, Metotrexat dapat mengakhiri kehamilan, kehamilan
ektopik maupun intrauterine. Jika digunakan untuk memicu aborsi, tambahan
prostaglandin seperti misoprostol dapat menginduksi kontraksi dalam uterus dan
menyebabkan ekspulsi terjadi lebih cepat. 18
Metotrexat saat ini tersedia dalam bentuk larutan maupun tablet oral.
Methroxate larutan dapat digunakan baik secara oral maupun suntik
intramuskular. Regimen paling umum yang digunakan adalah 50 mg Metotrexat
secara oral, 5 sampai 7 hari kemudian diikuti dengan 800 mcg misoprostol secara
vaginal. Dosis misoprostol tersebut biasanya diulang setelah 24 jam kemudian,
jika aborsi belum terjadi. Kajian farmakokinetika mengindikasikan bahwa dosis
oral 50 mg cukup aman karena kadar serum darah tidak mencapai tingkat toksik
yang menetap. 18
Rekomendasi terbaru di Amerika Serikat untuk aborsi medis dengan
methroxate menyarankan masa tunggu paling tidak selama 29-45 hari sebelum
pilihan untuk intervensi ditawarkan. Meski demikian, beberapa perempuan
memilih untuk tidak menunggu selama itu dan meminta dilakukan tindakan lebih
awal. Sebuah studi yang membandingkan efek samping regimen aborsi medis
mifepristone dan methroxate menemukan bahwa sakit kepala lebih signifikan
dialami setelah penggunaan mifepristone. Sedangkan diare, demam, menggigil
dan rasa nyeri berat dinilai lebih umum setelah penggunaan Metotrexat. 18

21

4. Abortus Trimester Kedua


Metode-metode non invasif adalah oksitosin intravena dosis tinggi dan
pemberian prostaglandin vagina termasuk supositoria prostaglandin E2 dan pil
prostaglandin E1 (misoprostol). 8
1) Oksitosin intravena
Induksi abortus trimester kedua dapat dilakukan dengan pemberian
oksitosin dosis tinggi dalam sedikit cairan intravena. Frekuensi dan intensitas
kontraksi uterus harus diperiksa dengan cermat setelah setiap peningkatan
kecepatan infuse karena setiap peningkatan kecepatan infuse akan sangat
meningkatkan jumlah oksitosin yang diberikan. Pemberian oksitosin dapat
menimbulkan komplikasi. Jika volume larutan bebas elektrolit yang diberikan
bersama oksitosin cukup besar, dapat tejadi intoksikasi air. 9
2) Cairan hiperosmotik intraamnion
Untuk menimbulkan abortus selama trimester kedua, dapat disuntikkan
saline 20-25% atau urea 30-40% ke dalam kantong amnion untuk merangsang
kontraksi uterus dan dilatasi serviks. Teknik ini sekarang semakin jarang
digunakan. Mekanisme kerjanya belum jelas. 8,18
3) Prostaglandin
Prostaglandin semakin luas digunakan untuk menghentikan kehamilan
terutama trimester kedua. Senyawa yang sering digunakan adalah prostaglandin
E2 (dinoproston), prostaglandin F2 (dinoprostrometamin), dan analog-analog
tertentu terutama karboprosmetil (15-metilprostaglandin F2 metal ester). 9
Prostaglandin berfungsi secara efektif pada serviks dan uterus jika
diletakkan di vagina dalam bentuk suposutoria tepat di samping serviks.
Diberikan dalam bentuk gel melalui kateter ke dalam kanalis servisis dan uterus
paling bawah di luar masa ovulasi, atau disuntikkan ke dalam kantong amnion
melalui amniosentesis. Prostaglandin menyebabkan pelunakan serviks, kontraksi
uterus, dilatasi serviks dan pengeluaran produk konsepsi pada sebagian besar
kasus walaupun diperlukan dosis berulang. 9

22

Prostaglandin E2 supositoria 20 mg dimasukkan ke dalam forniks posterior


vagina adalah cara yang sederhana dan efektif untuk menghasilkan abortus
trimester kedua. Metode ini tidak lebih efektif daripada oksitosin dosis tinggi dan
menyebabkan mual, muntah, demam dan diare. 8
Prostaglandin E1 atau misoprostol dapat digunakan dengan mudah dan
murah sebagai obat tunggal untuk pengakhiran kehamilan trimester kedua.
Misoprostol menyebabkan abortus dalam 24 jam. 8
H. PENATALAKSANAAN
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai dengan komplikasi infeksi
Abortus infeksiosus perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena
dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain disekitar alat genitalia juga ke rongga
perintoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh
dalam keadaan syok septik. 1,12
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat
gelaja dan tanda demam tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan
pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. 1
Pengelolaan pasien abortus infeksiosa berupa terapi suportif yang mencakup
penggantian cairan dan darah, tindakan operatif untuk mengeluarkan jaringan
infeksiosa dan pemberian antibiotika yang adekuat. 11
Apabila fasilitas kesehatan setempat tidak mempunyai fasilitas yang memadai,
rujuk pasien ke rumah sakit terdekat. Sebelum merujuk, lakukan restorasi cairan
yang hilang dengan RL melalui infus dan diberikan antibiotic. Jika ada riwayat
abortus tidak aman beri ATS dan TT. Pada fasilitas kesehatan yang lengkap,
dengan perlindungan antibiotika berspektrum luas dan upaya stabilisasi hingga
kondisi pasien memadai, dapat dilakukan pengosongan uterus sesegera mungkin
(lakukan secara hati-hati karena tingginya kejadian perforasi pada kondisi ini).
Untuk tahap pertama dapat diberikan Penisilin 4x1,2 juta unit atau Ampisilin 4x1
gram ditambah Gentamisin 2x80 mg dan Metronidazol 2x1 gram. Selanjutnya
antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur. Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari

23

bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respon
harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai. 1,12
Pada beberapa kasus, laparatomi mungkin diindikasikan untuk mengontrol
infeksi. Indikasi dilakukan laparatomi eksplorasi yaitu kegagalan respon tindakan
kuretase dan terapi medikamentosa yang adekuat, adanya perforasi, abses pelvis
dan adnexa, respon yang jelek terhadap terapi medis dan debridement, serta
adanya gas gangren. 11
Kombinasi

Dosis Oral
Antibiotik
Ampicilin
dan 3 x 1 gram oral dan

Spectrum luas dan mencakup

Metronidazole

3 x 500 mg

untuk Gonorrhoea dan bakteri

Tetracycline dan

4 x 500 mg dan

anaerob
Baik
untuk

Klindamisin

2 x 300 mg

Gonorrhoea dan bakteriodes

Trimethoprim dan 160 mg dan 800 mg

Catatan

Chlamidia,

fragilis
Spectrum cukup luas dan

Sulfamethoksazol
hargnya relative murah
Tabel 4. Kombinasi antibiotik untuk abortus infeksiosa 12
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah abortus sepsis, perdarahan,
perforasi, syok bahkan kematian.
1. Sepsis
Komplikasi serius yang umumnya terjadi pada abortus provocatus
kriminalis. Sepsis disebabkan oleh pathogen di usus dan flora vagina. Infeksi
terbatas pada uterus dalam bentuk metritis, tetapi bukan berarti parametritis,
peritonitis dan septicemia jarang terjadi. Pasien tampak lelah demam tinggi,
menggigil dan tekanan darah turun. 1,9
2. Perdarahan
Perdarahan terjadi akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan
yang tertinggal, koagulopati maupun perforasi uterus. Perdarahan dapat timbul
segera setelah tindakan dapat pula timbul lama setelah tindakan. Perdarahan dapat

24

diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi, pemberian


uterotonika untuk menghentikan perdarahan, pemberian cairan intravena, jika
perlu pemberian transfusi darah dan apat dilakukan laparaskopi atau laparatomi
eksplorasi. 5,13
3. Perforasi Uterus
Dengan adanya dugaan terjadi perforasi uterus, observasi dan pemberian
antibiotic diperlukan. Laparatomi harus segera dilakukan untuk menangani
kerusakan organ. 2
4. Syok
Komplikasi ini dapat menimbulkan kematian mendadak. Endotoksemia dan
eksotoksemia kemungkinan besar menyebabkan syok parah bahkan fatal. 9,13
5. Vagal Reflex
Komplikasi ini hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stres, gelisah dan panik. Hal ini dapat
terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan
yang terlalu panas atau terlalu dingin yang mengenai serviks dan segmen uterus
bagian bawah. 13
6. Emboli udara/cairan
Emboli udara yang terjadi beberapa jam setelah tindakan, dimungkinkan
udara yang masuk dalam uterus tertahan di dalam sampai terjadi separasi plasenta
yang membuka pembuluh darah sehingga memungkinkan masuknya udara ke
dalam sirkulasi. Adanya mucus plug dapat menjelaskan mengapa udara dalam
uterus tidak dapat keluar melalui mulut rahim. Pada umumnya jumlah udara yang
dapat menyebabkan kematian minimal 100 ml, walaupun secara eksperimental
udara yang dapat menyebabkan kematian berkisar antara 10 ml-480 ml. 14,16
Emboli cairan dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam
uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga
gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem
vena di endometrium dalam keadaan terbuka. 13,15
7. Gagal Ginjal Akut

25

Gagal ginjal persisten pada abortus biasanya disebabkan oleh efek infeksi
dan hipovolemia. Yang lebih jarang, penyulit ini diinduksi oleh senyawa-senyawa
toksik untuk memicu abortus. Walaupun bentuk syok bakterialis yang sangat
parah sering menyebabkan kerusakan ginjal hebat. Gagal ginjal kemungkinan
besar akan parah jika penyebab sepsis adalah Clostridium perfringens yang
menghasilkan eksotoksin hemolitik poten. Jika terjadi hemoglobinemia berat yang
mempersulit infeksi klostridium, gagal ginjal pasti terjadi. 9
8. Keracunan Obat/Zat Abortivum
Antiseptik lokal seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Iodium dan
Sublimat dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula
obat-obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb,
pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis. 13

J. PROGNOSIS
Morbiditas yang serius atau bahkan kematian dapat terjadi pada abortus.
Namun, abortus yang diinduksi secara legal adalah suatu prosedur yang relative
aman, terutama jika dilakukan dalam 2 bulan pertama kehamilan. Risiko kematian
akibat abortus yang dilakukan dalam 2 bulan pertama sekitar 0,6 per 100.000
prosedur. 18
Dilatase dan kuretase pada primigravida meningkatkan risiko kehamilan
ektopik, abortus spontan, BBLR pada kehamilan berikutnya. Dilatasi paksa
serviks oleh prosedur apapun menyebabkan kehamilan berikutnya memiliki risiko
yang lebih tinggi. 18

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadijanto B. Perdarahan Kehamilan Muda in Ilmu Kebidanan. In: Saifuddin
Bari A., Rachimhadhi T., Winkjosastro H.G, editor. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. p. 460, 465, 473.
2. Pranata, S, Sadewo, S. Kejadian Keguguran, Kehamilan Tidak direncanakan
dan Pengguguran di Indonesia: Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume
15 no. 2. 2012 april 2. 181-182.
3. Saifuddin Bari A. Kematian Ibu dan Perinatal in Ilmu Kebidanan. In:
Saifuddin Bari A., Rachimhadhi T., Winkjosastro H.G, editor. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. p. 55, 61.
4. Sedgh G., Ball H. Aborsi di Indonesia. Guttmacher Institute. 2008. p. 2-3.
5. World Health Organization. Safe Abortion: Technical Dan Policy Guidance
For Health System, 2nd ed. Switzerland: World Health Organization; 2012.
6. Templeton A, Grimes D.A. A Request for Abortion. The New England
Journals of Medicine. 2011 Desember 8: 2198.

27

7. Azhari. Masalah Abortus dan Kesehatan Reproduksi Perempuan. Seminar


kelahiran Tidak Diinginkan (Aborsi) dalam Kesejahteraan Reproduksi
Remaja. 2002 Juni 25; 1-19.
8. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Abortus in Obstetri Williams. 23thed. Jakarta: EGC; 2012. p 228, 234, 238245.
9. Gant NF, Cunningham FG. Abortus in Dasar-Dasar Ginekologi & Obstetri.
Jakarta: EGC; 2010. p. 81, 85-89.
10. Sastrawinata S, Wartaadmabrata D, Wirakusumah FF. Kelainan Lamanya
Kehamilan in Obstetri Patologi. Jakarta: EGC; 2005. p. 2-4, 7.
11. Sweet RL, Gibbs RS. Postabortion Infection, Bacteremia, Sepsis, And
Septic Shock in Infectious Disease of the Female Genital Tract. 5 thed.
Philadelphia: Wolter Kluwer Lippincott William & Wilkins; 2013. p. 207,
209.
12. Saifuddin AB, Adrinansz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Perdarahan
Pada Kehamilan Muda in Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2006. p. 148, 150-151.
13. Budianto, A, Widiatmaka, W, Sudiono, S, Munim AWT, Sidhi, Hertian S.
Pengguguran Kandungan in Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: p. 159, 161162.
14. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61. Kesehatan
Reproduksi: Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi. Jakarta: Pemerintah
Republik Indonesia. 2014.
15. Idris AM. Abortus Dan Abortus Provocatus in Pedoman Ilmu Kedokteran
Forensik. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher; p. 274-276, 279-280.
16. Docherty SD. Kedaruratan Obstetri/Ginekologi in Vademecum Kedokteran
Emergensi. In: Henderson SO, editor. Jakarta; EGC: p. 194.
17. Yulianti D, Pamilih. Dilatase dan Kuretase Dan Aspirasi Vakum Manual
(AVM) in Buku Saku Manajemen Komplikasi Kehamilan & Persalinan.
Jakarta: EGC; 2006. p. 295-297, 299-302.
18. Blumenthal P, Clark S, Coyaji JC, Ellertson C, Fiala C, Mazibuko T, dkk.

Protokol Aborsi Medis Menggunakan Mifepristone Dan Misoprostol in


Layanan Aborsi Medis di Fasilitas Dengan Sumber Daya Terbatas: Panduan

28

Dasar. 2th ed. New York: Gynuity Health Project; 2009. p. 3-5, 8, 12-13, 40,
42-45.

29

Anda mungkin juga menyukai