Anda di halaman 1dari 37

Bahan Kuliah Bedah Saraf

FK UNMUH
Dr Krisna Murti SpBS

CEDERA

KEPALA

Lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata
atas outcome. Pada pasien dengan cedera berganda, kepala adalah bagian yang
paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu-lintas yang fatal,
otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita. Untuk
setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder
terhadap cedera kepala (Narayan, 1991).
PENYEBAB
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada
umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering
mengalaminya
paling

( Kalsbeek, 1980). Kecelakaan kendaraan bermotor penyebab

sering dari cedera kepala, sekitar 49% dari kasus. Biasanya

dengan

derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24
tahun. Sedangkan jatuh

terjadi lebih sering pada anak-anak serta biasanya

dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor
biasa disertai cedera berganda. Lebih dari 50% penderita cedera kepala berat
disertai

oleh cedera sistemik berat (Miller, 1978). Walau insiden keseluruhan

hematoma intrakranial setelah cedera kepala hanya 2%, sekitar setengah pasien
yang tidak sadar yang dibawa ke rumah sakit akibat cedera kepala memiliki
hematoma intrakranial yang berat (Narayan, 1989).
TRAUMA KEPALA
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera.
Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada
75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat
dua

kasus

dengan

cacad

tetap,

biasanya

sekunder

terhadap

cederakepala.Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas


serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan definitif,
organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting adalah
pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan
kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi
sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian. Transfer tidak
boleh

diperlambat

oleh

tindakan

diagnostik.

Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah
keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan
tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang
cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi,fisiologi,dan patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan
serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium
hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga
memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak
tengah

terletak

padahiatus

dari

tentorium.

Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil


bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan
bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg
ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu
pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan
darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau
hipertensi

(perhatikan

tekanan

darah

pasien

sebelum

cedera).

Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak +


V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial
adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk
selanjutnya

tekanan

intrakranial

akan

naik

secara

tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat

diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien


nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk,
membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau
pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi
dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan
hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil
tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi
batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan
tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah
iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan
atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan
50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan
darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi
atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya,
banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding
tingkat TIKsendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang
berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga
merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari15 mmHg harus ditindak.Triad klasik
nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien.
Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali
edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih
banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi
konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnyagejala.Penurunan kesadaran
adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta
cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan
penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a.Mekanismetrauma

(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah


(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll

b.Beratnya Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)


(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)

c. Berdasar morfologi :

(1). Fraktura tengkorak.


(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.

(b). Basiler / basis


1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan
pascaresusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS 8, adalah
bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak
ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan
otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera
(akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera serta
evolusi cedera (perburukan akan merubah saat melakukan tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME

Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating.


Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak
terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung
kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya

dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera


kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
BERDASAR BERATNYA

Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk


menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien
yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai
koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang
mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan
definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi
sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala
sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.
BERDASAR MORFOLOGI

Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin


dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan
oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang
sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering
mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa
minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak

Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin
terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto
sinar-x polos dan biasanya

perlu CT. Adanya

tanda

klinis membantu

identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan


operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan
langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya
robek,

dan

fraktura

ini

memerlukan

operasi

perbaikan

segera.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400

kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini,
adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera
otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam

Lesi Fokal

Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau
temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu
diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena
cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar
0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien
koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan
otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal,
walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma
intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik
pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona

peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang erkelanjutan,
disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang
paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak
terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan
karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat
konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele
major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd
maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia
retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah
pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar
sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai
sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa
mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat
ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca
trauma yang lama (lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau
kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD
ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut
perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa
tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari
semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan.
36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu
yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad
berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera
batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas
gambaran klinik yang terjadi.

Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal
dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang
terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja

Respon motorik (motor)


(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH


SARAF)
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :


1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (GCS 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala
berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah
sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome
yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter
denyut nadi (bila ada).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang dimungkinkan dan
dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat
mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan
perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS
tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS
sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien
yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior
ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat
digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah
jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan

hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian
sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome
buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi
terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula
adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah
satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi
terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi.
Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi
unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral,
mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi
simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons
konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa
sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian
luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah
terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya
pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran.
Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan
terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan
hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur
eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons
konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan
dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak
adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau
biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 %
tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.
TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT

1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI


Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %)
harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering
mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen
suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan
jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen.
Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi
herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak
bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal
ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk
dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi.
Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anakanak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan
primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi
menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat
vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan
intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan
sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya
aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih
menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak,
hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan
hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas
darah akan menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah
hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi
adalah bila tekanan darah sistolik 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak
traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan
usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang
kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit digunakan kristaloid

isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan


darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi
dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi
hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil
menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit,
kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit
tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung.
(Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra
rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga
sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun
tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat.
Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak
atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga
gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan
darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi
tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi
orang lain mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan
cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk
memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung,
mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen
perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial
pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa
hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya
klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan
pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan
ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3.

TINDAKAN

TERHADAP

OTAK

Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak


adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi
terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari
dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi

adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak.
Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tandatandaherniasiotak,hiperventilasidihentikan.
Mannitol

pra

rumah

sakit

untuk

herniasi

otak.

Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler


(sesuai sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan transport pasien cedera
kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai
pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan
atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran
yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan
glukosa

secara

empiris.

Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme
indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga
bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat.
Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera
neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol
peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien
tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi,
manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan
efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan
hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak
dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar
resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler
hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun
bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat
reverse osmotic shift yang

berpotensi meninggikan tekanan

intrakranial

(karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu
untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol
lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi
menimbulkan

hipotensia.

Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi


endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat

manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg


beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama
pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 g, q2-3 menit) atau thiopental (3-5
mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit,
terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap
pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi,
hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan
dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien
penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok
neuromuskuler

(bila

sarana

tersedia).

Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra


rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi
singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan
tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler
bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil
dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit
neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi
atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin
irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi
perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat
pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada
memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien
mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.
o TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung
dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas
bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila ada)
serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan
tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala.
Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome.

Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :


Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang
diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat
berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat membantu
menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera
(parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan sabuk
pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya pemeriksaan
pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital
dan oksimetri denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan
hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya
cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah
hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam hidup atau
kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong sangat menentukan
mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan,
waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat
tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet,
dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan
memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf
tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk
selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang
untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi dan status
neurologis pasien selama perjalanan.
ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK
TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH
SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan
memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi.

Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : Kenapa anda?.


Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan
COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior
aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan
motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat
trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap
peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD
berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung
ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal
kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan
nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit untuk dewasa,
30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal
kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS
lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau berdilatasi dan tidak
bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya
dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg
pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia
1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5
menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.
PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS
BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.


CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit
Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC
Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Kenapa Anda??
Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Cubitan Ketiak / Penekanan Pangkal kuku ?
Bila tidak, Tranport Langsung Pusat Trauma.
Bila GCS, M =1,2 GCS, M =3,4,5, Apakah Pupil Simetrik Dan Reaktif, Amankan
jalan nafas (Intubasi bila tersedia)
Hiperventilasi, Nilai Oksigenasi, Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia), Nilai
Tekanan Darah
Pastikan TDS > 90 mm Hg

Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada
kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin
amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan
kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain.
3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan

status mentalnya tidak segera diketahui.


Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear
atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara
dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel
yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan
kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk pengamatan, dengan
tidak memerlukan radiografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau
obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed :
pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta
konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat
kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera
tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak
berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur,
hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda
Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk
dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta
biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan selama 1224 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti
parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin
tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang
bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk
menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila
sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di
UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian
dipulangkan bila stabil.

Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai
perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat
memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya
terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang
tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (SKG 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala
berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang

lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang
tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif
yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi
transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan
ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera
tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun
dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport,
namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif
terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja
tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis
tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius,
namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya
diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan
terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh
kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi
normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan
menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh
keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan
neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi
cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien
segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi
dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi
tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia
intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk
herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.

1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI


Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi
oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau
dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan
untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan
GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap
hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi
endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti
pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada),
manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi
serebral.
Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS 8

Diagnostik / Terapi Evaluasi Trauma Umum Emergensi


Intubasi Endotrakheal, Resusitasi Cairan, Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg),
Oksigenasi, Sedasi,
Paralisis Farmakologis (aksi pendek)

Herniasi ?* Perburukan ?* Hiperventilasi * Mannitol 1 g/kg *


* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak
karena kelainan ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera
kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal
adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang
terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal
berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah
sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau
moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder
bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan
dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi,
resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg
dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih
penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk
mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat
berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat
cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih
dan mahal.
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka
panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera
otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah
serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan
neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial
yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik
osmotik.

4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat
dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan
perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah
hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320
mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan
penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih
efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau
nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau
bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi
membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak
ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading)
10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma
barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa
mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki
outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
- GCS < 10.
- Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
- Fraktur tengkorak terdepres.
- Hematoma subdural.
- Hematoma epidural.
- Hematoma intraserebral.

- Cedera tembus tengkorak.


- Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma
relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena
kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah,
perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter.
Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya
kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi
kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen.
Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya
diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan
Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap
pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua
hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran
garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil
dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan
konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat
diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali
pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa
pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik,
dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera.
Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan
ventrikulografi dan pengamatan TIK.
Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media

berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi
herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres
terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari
satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran
garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami
perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah
terjadi mati batang otak.

* Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).

Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke
ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan
dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat
dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua
tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar
kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa
tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh,
pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena
juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial
yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70
mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan
tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan
PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan
lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan
hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila
ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila
hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol
dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan
dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan.
Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu
tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun
dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum
terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30
mm Hg serta terapi hipertensif.

LEMBAR PERINGATAN

UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN

_________________________________________________________________

PADA SAAT INI KAMI TIDAK MENEMUKAN KELAINAN YANG MENUNJUKKAN


BAHWA CEDERA KEPALA YANG ANDA ALAMI ADALAH SERIUS. NAMUN,
GEJALA
YANG BARU DAN KOMPLIKASI YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA DAPAT
TIMBUL
DALAM BEBERAPA JAM HINGGA BEBERAPA HARI SETELAH CEDERA. 24
JAM
PERTAMA ADALAH WAKTU YANG PALING GENTING DAN ANDA HARUS
TETAP BERADA DALAM PENGAWASAN KELUARGA ATAU ORANG YANG DAPAT
DIPERTANGGUNG-JAWABKAN, PALING TIDAK DALAM PERIODE INI. BILA ADA DARI TANDA-TANDA DIBAWAH INI TERJADI, SEGERA KEMBALI KERUMAH-SAKIT:
1. Mengantuk atau semakin sulit membangunkan pasien (Pasien harus
dibangunkan setiap 2 jam selama masa tidur).
2. Mual atau muntah.
3. Kejang-kejang atau sawan.
4. Mengalirnya darah atau cairan dari hidung atau telinga.
5. Nyeri kepala hebat.
6. Kelemahan atau kehilangan rasa dari tungkai atau lengan.
7. Bingung atau berkelakuan asing.
8. Satu pupil (bagian hitam dari mata) lebih lebar dari sisi lainnya; gerakan yang tidak biasa dari bola mata, penglihatan
ganda atau gangguan penglihatan lainnya.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola
pernafasan yang tidak biasa.
Bila terdapat pembengkakan pada sisi cedera, gunakan bungkusan es, pastikan
bahwa terdapat kain atau handuk antara bungkusan es dan kulit. Bila
pembengkakan membesar dengan cepat walaupun menggunakan bungkusan es,
kembali kerumah-sakit.
Anda dapat makan atau minum seperti apa yang anda inginkan.

Namun anda tidak diperkenankan meminum minuman beralkohol paling tidak


selama tiga hari sejak cedera.
Jangan makan sedatif atau penghilang nyeri jenis apapun yang lebih kuat dari
arasetamol, paling tidak dalam 24 jam pertama.
Jangan gunakan obat-obat yang mengandung asetosal (aspirin).

OBAT-OBAT TERAPEUTIK
Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap kela-inan akut berakibat
tampilnya metoda yang lebih ilmiahdan sempurna terhadap pasien cedera
kepala, dengan masalah berganda yang menyertainya. Pengelolaan agresifsetiap masalah,
diharapkan, dapat mengurangi insidenskerusakan sekunder. Pertama dapat
diharapkan bahwa setiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan oleh komplikasi medikal,
dan ini telah dikerjakan dalamserial prospektif yang terdokumentasi baik.
Penelitian juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'diselamatkan'
oleh pengelolaan agresif tidak berhubungan dengan derajat beratnya kelainan
atau vegetatif, namuN nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang
atau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan sistematik atau intensif
terhadap pengelolaan cedera kepala berat adalah efektif, cukup untuk
membenarkan pernyataan sumber-sumber lain dalam tujuan ini.
Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan sejauh ini kurang
memuaskan.Disebabkan oleh keirreversibelan dari beberapa kerusakan dan
kerumitan patogenesis cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan
obat ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih mungkin bahwa kombinasi
beberapa obat serta intervensi, masing-masing dengan efek menguntungkan yang
kecil, akan mem-bentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome. E-fek
kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk diperlihatkan secara tegas
ketidakhomogenannya pada pasien cedera kepala, jumlah yang besar dari
pasien yang diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan hambatan biaya.

Dengan dasar pemikiran ini, kita dapat segera menilai obat-obatan yang umum
digunakan dan merenungkan kemungkinan lain yang lebih baik.

Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan cedera kepala berat
tetap kontroversial. Penelitian bedah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen
dari mereka
tidak menggunakan obatnya secara teratur baik karena ketidak-pastian indikasi
atau karena risikonya, sangat tidak mendukung pertimbangan untuk
membenarkan pemakaiannya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cedera
dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5 persen dari pasien yang
masuk karena cedera kepala non misil dan 15 persen darinya merupakan pasien
cedera kepala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan insidens yang
tinggi dari epilepsi yang muncul kemudian:
(1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama;
(2) hematoma intrakranial; dan
(3) fraktura tengkorak depresed.
Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera mungkin
(dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus epileptogenik. Young
mengadakan penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin profilaktik tidak
mencegah kejang pasca cedera baik dini maupun tunda. Pada penelitian ini
konsentrasi plasma dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingatkan
bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi dapat
mempengaruhi hasil penelitian, dianjurkan menggunakan antikonvulsan hanya
setelah pasien mendapat serangan kejang. McQueen menentukan bahwa
karena insidens yang
rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu tahun; 10 % pada dua tahun),
penelitian klinis acak harus mencakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan.
Karenanya semua penelitian yang dilaporkan adalah terlalu kecil (dengan faktor
dari paling tidak enam). Bobot dari pembuktian karenanya terus didukung dengan
pemberian rutin antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun tidak perlu
pada semua pasien dengan cedera kepala. Akhir-akhir ini Temkin melaporkan

pada pasien cedera kepala berat yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang
dimulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu tahun, akan mengurangi
insidens kejang selama minggu pertama setelah cedera, namun tidak setelahnya.
Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena dalam 10 menit) pada ruang gawat
darurat pada semua pasien dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan
kadar darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapaian kadar darah
lebih dari 15-20 ug/ml bisa dipegang.
Kebutuhan keseluruhan mungkin diberikan sebagai dosis tunggal perhari. Tak
ada ketentuan yang ketat dan cepat untuk bila menghentikan antikonvulsan,
walau Temkin akhir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan pengobatan
setelah minggu pertama pada kebanyakan kasus.
EEG secara umum tak berperan dalam menentukan kebijaksanaan ini. Obat ini
harus tapered off bertahap. Terdapat bukti serupa bahwa karbamazepin
(Tegretol) lebih disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperbaiki
tampilan dalam tes fungsi kognisi.

Steroid
Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan manfaat pada cedera kepala,
beberapa ahli bedah saraf menggunakannya untuk kasus berat. Dua penelitian
membuktikan bahwa dosis steroid sangat besar mungkin mengurangi tingkat
mortalitas pada cedera kepala berat. Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh
Faupel melaporkan penurunan kematian dicapai sebagai akibat peningkatan
yang besar dari pasien yang hidup dengan vegetatif. Bila kelompok outcome
dibagi kedalam baik (pemulihan baik dan cacad sedang) dan buruk (cacad
berat,vegetatif dan mati), tidak ada perbadaan yang bermakna secara statistik
antara kelompok yang diberi steroid
dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan kelompok yang diberi
deksametason dosis tinggi (96 mg/hari) dengan kelompok dosis konvensional (16
mg/hari), dan kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik angka kematian antara kelompok dosis tinggi dan plasebo, namun
penelitian ini terbatas karena

menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien mendapat pengobatan yang
serupa dalam satu tahun).
Terakhir penelitian NASCIS II, memperlihatkan keuntungan efek dari
metilprednisolon dosis sangat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu
lagi perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera kepala (dosis lihat bab
cedera cord tulang belakang).

Mannitol
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20 persen mannitol (bm 180).
Umumnya dipercaya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik antara
plasma dan otak, dengan akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan,
karenanya, menurunkan TIK. Pembuktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada
mekanisme lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas serum tidak
diperbolehkan diatas 320 osmol/liter, bila mungkin, dalam usaha mencegah
asidosis sistemik dan gagal ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya
digunakan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin. Bila pasien
memperlihatkan perburukan neurologis atau herniasi tentorial, mannitol diberikan
sesegera mungkin dalam perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus dalam kateter Foley
terpasang, karena diharapkan terjadi diuresis. Dengan penggunaan yang
sinambung, mannitol intravaskuler akan seimbang dengan diotak dan kadar
darah lebih tinggi yang progresif diperlukan untuk menimbulkan respons.
Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen

sebelumnya digunakan

bergantian dengan mannitol pada pemakaian kronik. Obat-obat ini mempunyai


berat molekul lebih kecil dan cenderung lebih cepat mencapai keseimbangan
dengan otak. Urea juga berhubungan dengan

insdens

yang tinggi dari

hemoglobinuria dan pengelupasan kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan
McLaurin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada pasien
cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbangkan pemakaiannya dalam
cedera kepala akut karena beberapa alasan.

Lasix
Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri maupun bersama-sama
mannitol pada cedera kepala dan dalam berbagai situasi. Schettini, Stahurski dan
Young

memperlihatkan

bahwa diuresis dapat

ditingkatkan

dengan

mengkombinasikan mannitol dan furosemid pada pasien bedah saraf, dengan


pengerutan otak yang lebih konsisten dan pasti. Puncak diuresis 17 ml/menit
dicapai dalam 30 menit

pemberian mannitol, dan penurunan ke 4

ml/menit

selama 70 menit berikutnya. Sebaliknya, selama perjalanan waktu yang identik,


kombinasi infus mannitol-furosemid menghasilkan tingkat ekskresi air permulaan
sebesar 30 ml/menit, diikuti peninggian hingga 42
menurun ke 17 ml/menit. Pasien

ml/menit, dan kemudian

menerima 1.4 g/kg mannitol + 0.3 mg/kg

furosemid. Efek merugikan yang ditemukan pada pemberian kombinasi terjadi


hanya berupa peninggian kecepatan kehilangan elektrolit yang bisa dikoreksi.
Penemuan ini diperkuat oleh Wilkinson dan Rosenfeld.

Barbiturat
Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat terhadap

otak pada

anoksia dan iskemia serebral. Juga telah dicatat bahwa barbiturat efektif dalam
mengurangi tekanan intrakranial. Penelitian Richmond dan Tolonto menunjukkan bahwa
tak ada manfaat yang dapat diambil dari pemberian barbiturat dosis tinggi
dalam pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian barbiturat
diberikan sebagai terapi inisial. Pada penelitian mutakhir memakai pentobarbital
dosis tinggi yang diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional gagal,
didapatkan efek yang nyata bermanfaat terhadap TIK. Karena penelitiannya
bersifat silang,

tak

bisa didapat efek pentobarbital terhadap outcome.

Bagaimanapun terbukti bahwa barbiturat harus dicadangkan untuk pasien yang


gagal terhadap semua bentuk terapi hipertensi intrakranial.
Protokol pemberian pentobarbital adalah memberikan dosis loading 10 mg/kg
dalam 30 menit dan 5 mg/kg setiap

jam selama tiga jam, diikuti dosis

pemeliharaan 1 mg/kg/jam diatur hingga dicapai kadar serum 3 hingga 4 mg%.


Hipotensi adalah faktor penimbul keterbatasan.
Oksigen Hiperbarik
Walau Sukoff dan Ragatz melaporkan 1981 bahwa terapi oksigen hiperbarik
(HBO) dapat mengurangi TIK dan mungkin mempunyai nilai dalam mengobati
edema serebral traumatika, jenis terapi ini tidak digunakan secara luas karena,
secara umum, hasilnya tidak terlalu

istimewa. Selanjutnya pengobatan ini,

dimana dilakukan penyelubungan pasien dalam ruang hiperbarik, sulit dikerjakan


pada pasien kritis. Namun telah dibuktikan terjadinya penurunan TIK yang
konsisten selama pemakaian oksigen hiperbarik dengan tekanan dua atmosfer
serta dilaporkan terjadinya perbaikan neurologis. Terakhir ini, Rockswold, Ford,
Bergman dan Anderson melaporkan

penelitiannya dengan HBO pada cedera

kepala berat. Ditemukan walau HBO jelas memperbaiki survival pasien dengan
skor

SKG 4 hingga 6, ia tidak

memperbaiki

persentase pasien dengan

pemulihan baik.
RUJUKAN
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In :
George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins,

1996.

1401-1424.

Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery.
Baltimore

Williams

and

Wilkins,

1996.

1611-1622.

Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of


Neorosurgery.

New

York

Raven

Press,

1991.

235-291.

Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma


Fondation,

New

York.

2000,

Brain

Trauma

Fondation.

Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for
the Management of Severe Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain
Trauma Fondation American Association of Neurological Surgeons, Joint
Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation.
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and
Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery.
Philadelphia

WB

Saunders,

1996.

1618-1718

Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto :
Kinpodo, 1996. 51-81.

Anda mungkin juga menyukai