FK UNMUH
Dr Krisna Murti SpBS
CEDERA
KEPALA
Lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata
atas outcome. Pada pasien dengan cedera berganda, kepala adalah bagian yang
paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu-lintas yang fatal,
otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita. Untuk
setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder
terhadap cedera kepala (Narayan, 1991).
PENYEBAB
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada
umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering
mengalaminya
paling
dengan
derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24
tahun. Sedangkan jatuh
dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor
biasa disertai cedera berganda. Lebih dari 50% penderita cedera kepala berat
disertai
hematoma intrakranial setelah cedera kepala hanya 2%, sekitar setengah pasien
yang tidak sadar yang dibawa ke rumah sakit akibat cedera kepala memiliki
hematoma intrakranial yang berat (Narayan, 1989).
TRAUMA KEPALA
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera.
Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada
75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat
dua
kasus
dengan
cacad
tetap,
biasanya
sekunder
terhadap
diperlambat
oleh
tindakan
diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah
keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan
tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang
cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.
Anatomi,fisiologi,dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan
serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium
hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga
memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak
tengah
terletak
padahiatus
dari
tentorium.
(perhatikan
tekanan
darah
pasien
sebelum
cedera).
tekanan
intrakranial
akan
naik
secara
tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat
Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a.Mekanismetrauma
c. Berdasar morfologi :
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin
terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto
sinar-x polos dan biasanya
tanda
klinis membantu
dan
fraktura
ini
memerlukan
operasi
perbaikan
segera.
kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini,
adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera
otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau
temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu
diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena
cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung
pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar
0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien
koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan
otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal,
walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma
intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik
pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang erkelanjutan,
disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang
paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak
terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan
karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat
konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele
major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd
maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia
retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah
pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar
sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai
sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa
mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat
ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca
trauma yang lama (lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau
kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD
ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut
perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa
tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari
semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan.
36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu
yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad
berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera
batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas
gambaran klinik yang terjadi.
Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal
dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang
terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian
sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome
buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi
terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula
adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah
satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi
terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi.
Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi
unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral,
mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi
simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons
konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa
sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian
luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah
terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya
pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran.
Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan
terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan
hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur
eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons
konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan
dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak
adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau
biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 %
tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.
TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
TINDAKAN
TERHADAP
OTAK
adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak.
Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tandatandaherniasiotak,hiperventilasidihentikan.
Mannitol
pra
rumah
sakit
untuk
herniasi
otak.
secara
empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme
indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga
bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat.
Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera
neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol
peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien
tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi,
manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan
efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan
hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak
dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar
resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler
hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun
bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat
reverse osmotic shift yang
intrakranial
(karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu
untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol
lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi
menimbulkan
hipotensia.
(bila
sarana
tersedia).
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada
kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin
amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan
kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain.
3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai
perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat
memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya
terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang
tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (SKG 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala
berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang
lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang
tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif
yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi
transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan
ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera
tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun
dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport,
namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif
terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja
tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis
tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius,
namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya
diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan
terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh
kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi
normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan
menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh
keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan
neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi
cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien
segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi
dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi
tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia
intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk
herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat
dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan
perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah
hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320
mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan
penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih
efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau
nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau
bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi
membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak
ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading)
10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma
barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa
mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki
outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
- GCS < 10.
- Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
- Fraktur tengkorak terdepres.
- Hematoma subdural.
- Hematoma epidural.
- Hematoma intraserebral.
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi
herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres
terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari
satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran
garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami
perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah
terjadi mati batang otak.
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke
ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan
dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat
dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua
tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar
kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa
tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh,
pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena
juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial
yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70
mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan
tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan
PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan
lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan
hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila
ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila
hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol
dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan
dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan.
Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu
tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun
dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum
terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30
mm Hg serta terapi hipertensif.
LEMBAR PERINGATAN
_________________________________________________________________
OBAT-OBAT TERAPEUTIK
Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap kela-inan akut berakibat
tampilnya metoda yang lebih ilmiahdan sempurna terhadap pasien cedera
kepala, dengan masalah berganda yang menyertainya. Pengelolaan agresifsetiap masalah,
diharapkan, dapat mengurangi insidenskerusakan sekunder. Pertama dapat
diharapkan bahwa setiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan oleh komplikasi medikal,
dan ini telah dikerjakan dalamserial prospektif yang terdokumentasi baik.
Penelitian juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'diselamatkan'
oleh pengelolaan agresif tidak berhubungan dengan derajat beratnya kelainan
atau vegetatif, namuN nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang
atau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan sistematik atau intensif
terhadap pengelolaan cedera kepala berat adalah efektif, cukup untuk
membenarkan pernyataan sumber-sumber lain dalam tujuan ini.
Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan sejauh ini kurang
memuaskan.Disebabkan oleh keirreversibelan dari beberapa kerusakan dan
kerumitan patogenesis cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan
obat ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih mungkin bahwa kombinasi
beberapa obat serta intervensi, masing-masing dengan efek menguntungkan yang
kecil, akan mem-bentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome. E-fek
kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk diperlihatkan secara tegas
ketidakhomogenannya pada pasien cedera kepala, jumlah yang besar dari
pasien yang diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan hambatan biaya.
Dengan dasar pemikiran ini, kita dapat segera menilai obat-obatan yang umum
digunakan dan merenungkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan cedera kepala berat
tetap kontroversial. Penelitian bedah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen
dari mereka
tidak menggunakan obatnya secara teratur baik karena ketidak-pastian indikasi
atau karena risikonya, sangat tidak mendukung pertimbangan untuk
membenarkan pemakaiannya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cedera
dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5 persen dari pasien yang
masuk karena cedera kepala non misil dan 15 persen darinya merupakan pasien
cedera kepala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan insidens yang
tinggi dari epilepsi yang muncul kemudian:
(1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama;
(2) hematoma intrakranial; dan
(3) fraktura tengkorak depresed.
Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera mungkin
(dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus epileptogenik. Young
mengadakan penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin profilaktik tidak
mencegah kejang pasca cedera baik dini maupun tunda. Pada penelitian ini
konsentrasi plasma dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingatkan
bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi dapat
mempengaruhi hasil penelitian, dianjurkan menggunakan antikonvulsan hanya
setelah pasien mendapat serangan kejang. McQueen menentukan bahwa
karena insidens yang
rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu tahun; 10 % pada dua tahun),
penelitian klinis acak harus mencakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan.
Karenanya semua penelitian yang dilaporkan adalah terlalu kecil (dengan faktor
dari paling tidak enam). Bobot dari pembuktian karenanya terus didukung dengan
pemberian rutin antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun tidak perlu
pada semua pasien dengan cedera kepala. Akhir-akhir ini Temkin melaporkan
pada pasien cedera kepala berat yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang
dimulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu tahun, akan mengurangi
insidens kejang selama minggu pertama setelah cedera, namun tidak setelahnya.
Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena dalam 10 menit) pada ruang gawat
darurat pada semua pasien dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan
kadar darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapaian kadar darah
lebih dari 15-20 ug/ml bisa dipegang.
Kebutuhan keseluruhan mungkin diberikan sebagai dosis tunggal perhari. Tak
ada ketentuan yang ketat dan cepat untuk bila menghentikan antikonvulsan,
walau Temkin akhir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan pengobatan
setelah minggu pertama pada kebanyakan kasus.
EEG secara umum tak berperan dalam menentukan kebijaksanaan ini. Obat ini
harus tapered off bertahap. Terdapat bukti serupa bahwa karbamazepin
(Tegretol) lebih disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperbaiki
tampilan dalam tes fungsi kognisi.
Steroid
Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan manfaat pada cedera kepala,
beberapa ahli bedah saraf menggunakannya untuk kasus berat. Dua penelitian
membuktikan bahwa dosis steroid sangat besar mungkin mengurangi tingkat
mortalitas pada cedera kepala berat. Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh
Faupel melaporkan penurunan kematian dicapai sebagai akibat peningkatan
yang besar dari pasien yang hidup dengan vegetatif. Bila kelompok outcome
dibagi kedalam baik (pemulihan baik dan cacad sedang) dan buruk (cacad
berat,vegetatif dan mati), tidak ada perbadaan yang bermakna secara statistik
antara kelompok yang diberi steroid
dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan kelompok yang diberi
deksametason dosis tinggi (96 mg/hari) dengan kelompok dosis konvensional (16
mg/hari), dan kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik angka kematian antara kelompok dosis tinggi dan plasebo, namun
penelitian ini terbatas karena
menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien mendapat pengobatan yang
serupa dalam satu tahun).
Terakhir penelitian NASCIS II, memperlihatkan keuntungan efek dari
metilprednisolon dosis sangat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu
lagi perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera kepala (dosis lihat bab
cedera cord tulang belakang).
Mannitol
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20 persen mannitol (bm 180).
Umumnya dipercaya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik antara
plasma dan otak, dengan akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan,
karenanya, menurunkan TIK. Pembuktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada
mekanisme lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas serum tidak
diperbolehkan diatas 320 osmol/liter, bila mungkin, dalam usaha mencegah
asidosis sistemik dan gagal ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya
digunakan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin. Bila pasien
memperlihatkan perburukan neurologis atau herniasi tentorial, mannitol diberikan
sesegera mungkin dalam perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus dalam kateter Foley
terpasang, karena diharapkan terjadi diuresis. Dengan penggunaan yang
sinambung, mannitol intravaskuler akan seimbang dengan diotak dan kadar
darah lebih tinggi yang progresif diperlukan untuk menimbulkan respons.
Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen
sebelumnya digunakan
insdens
hemoglobinuria dan pengelupasan kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan
McLaurin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada pasien
cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbangkan pemakaiannya dalam
cedera kepala akut karena beberapa alasan.
Lasix
Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri maupun bersama-sama
mannitol pada cedera kepala dan dalam berbagai situasi. Schettini, Stahurski dan
Young
memperlihatkan
ditingkatkan
dengan
ml/menit
Barbiturat
Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat terhadap
otak pada
anoksia dan iskemia serebral. Juga telah dicatat bahwa barbiturat efektif dalam
mengurangi tekanan intrakranial. Penelitian Richmond dan Tolonto menunjukkan bahwa
tak ada manfaat yang dapat diambil dari pemberian barbiturat dosis tinggi
dalam pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian barbiturat
diberikan sebagai terapi inisial. Pada penelitian mutakhir memakai pentobarbital
dosis tinggi yang diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional gagal,
didapatkan efek yang nyata bermanfaat terhadap TIK. Karena penelitiannya
bersifat silang,
tak
kepala berat. Ditemukan walau HBO jelas memperbaiki survival pasien dengan
skor
memperbaiki
pemulihan baik.
RUJUKAN
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In :
George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins,
1996.
1401-1424.
Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery.
Baltimore
Williams
and
Wilkins,
1996.
1611-1622.
New
York
Raven
Press,
1991.
235-291.
New
York.
2000,
Brain
Trauma
Fondation.
Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for
the Management of Severe Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain
Trauma Fondation American Association of Neurological Surgeons, Joint
Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation.
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and
Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery.
Philadelphia
WB
Saunders,
1996.
1618-1718
Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto :
Kinpodo, 1996. 51-81.