Anda di halaman 1dari 14

LBM 3 PERILAKU & JIWA

1.

Mengapa apsien sering merasa berdebar debar, kepala


pusing, keringat dingin (hiperaktivitas otonom)?
Teori Psikoanalitik
Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya 1926 Inhibitons,
Symptoms, Anxiety bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada
ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan
untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu
sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan
defensif terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan naik di atas
tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal,
ia akan timbul sebagai serangan panik.
Teori Perilaku
Rasa cemas dianggap

timbul

sebagai

respon

dari

stimulus

lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak laki-laki yang


dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya semena-mena,
akan segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses
generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan
seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.
Teori Eksistensi
Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa
cemas yang bersifat kronis. Inti dari teori eksistensi adalah
seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa
cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi
dan arti.
Berdasarkan

aspek

biologis,

didapatkan beberapa

teori

yang

mendasari timbulnya cemas yang patologis antara lain:

Sistem saraf otonom

Neurotransmiter
Neurotransmiter
A. Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas
berupa

serangan

panik,

insomnia,

terkejut,

dan

autonomic

hyperarousal, merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi

noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada


gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki kemampuan
regulasi

sistem

peningkatan

noradrenergik

aktivitas

yang

yang

buruk

mendadak.

terkait

Sel-sel

dari

dengan
sistem

noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada


rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks
serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis.
Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada
daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi,
primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada
manusia, didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila
diberikan agonis reseptor -adrenergik ( Isoproterenol ) dan
antagonis reseptor -2 adrenergik dapat mencetuskan serangan
panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine,
agonis reseptor -2 menunjukan pengurangan gejala cemas.
B. Serotonin
Ditemukannya

banyak

reseptor

serotonin

telah

mencetuskan

pencarian peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress


dapat

menimbulkan

peningkatan

5-hydroxytryptamine

pada

prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus


lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan
obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga
menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas.
Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan
dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada
korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.
C. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas
obat-obatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA
pada reseptor GABA tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi
rendah paling efektif terhadap gejala gangguan cemas menyeluruh,

benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam


ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik
Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan
peningkatan ukuran ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien
mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah
defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien
dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak
lainnya

juga

menunjukan

adanya

penemuan

abnormal

pada

hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT,
dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal
pasien dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area
oksipital, temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan obsesif
kompulsif diduga terdapat kelainan pada nukleus kaudatus. Pada
PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada amygdala.
Sistem Saraf Otonom
Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat stimulus terhadap sistem
saraf otonom adalah:

sistem kardiovaskuler (palpitasi)

muskuloskeletal (nyeri kepala)

gastrointestinal (diare)

respirasi (takipneu)
Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan cemas,
terutama

pada

pasien

dengan

gangguan

serangan

panik,

mempertunjukan peningkatan tonus simpatetik, yang beradaptasi


lambat pada stimuli repetitif dan berlebih pada stimuli yang sedang.
Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik
dan korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam
proses terjadinya cemas.
Korteks Serebri
Korteks serebri bagian

frontal

berhubungan

dengan

regio

parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga


diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks temporal juga
dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya

kemiripan antara presentasi klinis dan EEG pada pasien dengan


epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.
Sistem Limbik
Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik,
sistem limbik juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang
banyak. Ablasi dan stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau
sistem limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua area
pada sistem limbik menarik perhatian peneliti, yakni peningkatan
aktivitas pada septohippocampal, yang diduga berkaitan dengan
rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan
gangguan obsesif kompulsif.
Gangguan Cemas, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa,
Universitas Tarumanegara
Respon Fisiologis terhadap Kecemasan:
Kardio vaskuler; Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung
berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock

dan lain-lain.
Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada,

rasa tercekik.
Kulit; perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat,
berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak

tangan berkeringat, gatal-gatal.


Gastro intestinal; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut,

rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.


Neuromuskuler; Reflek meningkat, reaksi

kejutan,

berkedip-kedip,

wajah

insomnia,

tremor,

kejang,

mata

tegang,

gerakan lambat.
(Kaplan, Sadock, 1997).
2.

Mengapa pasien merasa khawatir, ketakutan, dan cemas?


Respon Psikologis terhadap Kecemasan:

Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada

koordinasi, menarik diri, menghindar.


Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa,
salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun,

kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan,


obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain

lain.
Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar

biasa, sangat gelisah dan lain-lain.


(Kaplan, Sadock, 1997).
3.

Apa yang menyebabkan ketegangan motorik pada pasien?


Idem

4.

Apa saja etiologi cemas?


Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor
etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Teori Psikodinamik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil
dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda
terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika
mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman
datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka
kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri
dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku
ritualistik.

Konsep

psikodinamik

menurut

Freud

ini

juga

menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup


manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu
dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan
respon

terhadap

kedinginan

dan

kelaparan,

maka

lahirlah

kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada


suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi
tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam
ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super
ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan
dalam

alam

bawah

sadar,

dengan

potensi

yang

tetap

tak

terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan.


Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa,

yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan


adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan
berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon
terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang
mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting.
Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di
inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan
penolakan

bahwa
antar

kecemasan

individu,

terjadi

sehingga

dari

ketakutan

menyebabkan

akan

individu

bersangkutan merasa tidak berharga.


d. Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara
nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian
terhadap proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat
disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik
emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Rockwell
cit stuart & sundeens, 1998).
Faktor Predisposisi Kecemasan
Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang
dapat menimbulkan keadaan stres disebut stresor. Stres yang
dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan, atau kecemasan

merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan dan sangat


erat kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990).
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan
(Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor
psikologi.

Pada

pasien

yang

akan

menjalani

operasi,

faktor

predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor


psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan operasi
yang akan dijalani.
5.

Apa saja tanda-tanda (gejala) dari cemas?


Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni,
kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat )
dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala
motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan
berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan
rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat menganggu
belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian,
menurunkan

daya

ingat

dan

menganggu

kemampuan

untuk

menghubungkan satu hal dengan lainnya.


Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa
cemas akan melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka
yang dapat membenarkan persepsi mereka mengenai suatu hal
yang menimbulkan rasa cemas.
Gangguan Cemas, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa,
Universitas Tarumanegara
6.

Faktor-faktor

apa

saja

yang

mempengaruhi

terjadinya

cemas?
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan seseorang meliputi
beberapa aspek antara lain, terdapat komponen genetik terhadap
kecemasan, scan otak dapat melihat perbedaan terutama pada
pasien kecemasan yang respons dengan signal berbahaya, sistem
pemrosesan informasi dalam seseorang berjalan dengan singkat
(hal ini dapat direspons dengan suatu ancaman sebelum yang
bersangkutan menyadari ancaman tersebut), akar dari gangguan

kecemasan mungkin tidak akan menjadi pemisahan mekanisme


yang menyertainya namun terjadi pemisahan mekanisme yang
mengendalikan respons kecemasan dan yang menyebabkan situasi
diluar kontrol (Sani, 2012).
7.

Apa macam-macam gangguan cemas (penggolongannya)?


Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
( DSM-IV), gangguan cemas terdiri dari :
(1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia;
(2) Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik;
(3) Fobia spesifik;
(4) Fobia sosial;
(5) Gangguan Obsesif-Kompulsif;
(6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD );
(7) Gangguan Stress Akut;
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan
neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang berkaitan
dengan stress (F40-48).
F40F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM
DAN GANGGUAN YANG BERKAITAN DENGAN STRES
F40 Gangguan Anxieta Fobik
F40.0 Agorafobia
.00 Tanpa gangguan panik
.01 Dengan gangguan panik
F40.1 Fobia sosial
F40.2 Fobia khas (terisolasi)
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya
F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT
F41 Gangguan Anxietas Lainnya
F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)

F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh


F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
F41.9 Gangguan anxietas YTT
F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)
F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional
F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT
F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian
(F43.0-F43.9)
F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)
F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)
F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)
8.

Mengapa pasien mengalami ketakutan di keramaian?


Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III (PPDGJ)
Agorafobia
Semua kriteria ini harus dipenuhi untuk :
a. Gejala psikologis/otonomik yang timbul

harus

merupakan

manifestasi primer dari anxietas dan bukan merupakan gejala


lain yang sekunder seperti waham atau pikiran obsesif.
b. Anxietas yang timbul harus terutama terjadi dalam sekurangkurangnya dua dari situasi berikut :
Banyak orang
Tempat-tempat umum
Bepergian keluar rumah
Bepergian sendiri
c. Menghindari situasi fobik harus/sudah merupakan gambaran
yang menonjol

Etiologi agorafobia belum diketahui secara pasti tapi patogenesis


fobia berhubungan dengan faktor biologis, genetik, dan psikososial.
DSM IV TR
Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C
Meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic
pada saraf pusat, terutama reseptor alfa-2 katekolamin
meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatka
teraktivasinya

aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal

(biasanya

berespons abnormal terhadap klonidin pada pasien dengan panic


disorder)
Meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi peningkatan
laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi
CO2 ([hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2)
Menurunnya
sensitivitas
reseptor
GABA-A

sehingga

menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus


melalui nucleus intraamygdaloid circuitries
Model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi
oleh fear network pada otak yang melibatkan amygdale,
hypothalamus,

dan

pusat

batang

otak.

Terutama

pada

corticostriatalthalamocortical (CSTC) yang memediasi cemas


bersama dengan sirkuit pada amygdale. Kemudian sensai
tersebut diteruskan ke korteks anterior cingulated dan/atau
korteks orbitofrontal. Selain itu diteruskan juga ke hypothalamus
untuk respons endokrin
Hipotesis
keterlibatan

genetic

namun

belum

berhasil

menentukan gen pasti


Pine DS. Anxiety disorders: clinical features. In: Kaplan and
Sadocks
9.

Pada pemeriksaan apa saja yang dilakukan?


Pemeriksaan darah tidak banyak yang bisa diandalkan.
Pemeriksaan fungsi tiroid (biasanya cukup TSHs dan FT4) adalah
pemeriksaan yang sifatnya lebih menyingkirkan diagnosis penyakit
tiroid yang sering kali mirip dengan gangguan cemas panik

(hipertiroid) atau depresi (hipotiroid). Pemeriksaan kadar kortisol


darah yang dilakukan pagi dan sore hari juga terkadang tidak
memberikan hasil yang memuaskan sebagai pertanda diagnosis.
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/04/29/adakahpemeriksaan-penunjang-untuk-depresi-dan-cemas-459263.html
dr.Andri,SpKJ (Psikiater)
10.

Bagaimana cara mendiagnosa gangguan cemas?


Penegakan diagnosa dapat menggunakan kriteria PPDGJ-III maupun
DSM IV TR.

11.

Bagaimana cara pencegahan cemas?


1) Kontrol pernafasan yang baik
Rasa cemas membuat tingkat pernafasan semakin cepat, hal ini
disebabkan otak "bekerja" memutuskan fight or flight ketika respon
stres diterima oleh otak. Akibatnya suplai oksigen untuk jaringan
tubuh semakin meningkat, ketidakseimbangan jumlah oksigen dan
karbondiosida di dalam otak membuat tubuh gemetar, kesulitan
bernafas, tubuh menjadi lemah dan gangguan visual. Ambil dalamdalam sampai memenuhi paru-paru, lepaskan dengan perlahanlahan akan membuat tubuh jadi nyaman, mengontrol pernafasan
juga dapat menghindari srangan panik.
2) Melakukan relaksasi
Kecemasan meningkatkan tension otot,

tubuh menjadi

pegal

terutama pada leher, kepala dan rasa nyeri pada dada. Cara yang
dapat ditempuh dengan melakukan teknik relaksasi dengan cara
duduk atau berbaring, lakukan teknik pernafasan, usahakanlah
menemukan kenyamanan selama 30 menit.
3) Intervensi kognitif
Kecemasan timbul akibat ketidakberdayaan dalam menghadapi
permasalahan,

pikiran-pikiran

negatif

secara

terus-menerus

berkembang dalam pikiran. caranya adalah dengan melakukan


intervensi pikiran negatif dengan pikiran positif, sugesti diri dengan
hal yang positif, singkirkan pikiran-pikiran yang tidak realistik. Bila

tubuh dan pikiran dapat merasakan kenyamanan maka pikiranpikiran positif yang lebih konstruktif dapat meuncul. Ide-ide kreatif
dapat dikembangkan dalam menyelesaikan permasalahan.
4) Pendekatan agama
Pendekatan agama akan memberikan rasa nyaman terhadap
pikiran, kedekatan terhadap Tuhan dan doa-doa yang disampaikan
akan memberikan harapan-harapan positif.
Dalam Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan
memberikan rasa nyaman dan rasa percaya diri lebih dalam
menghadapi masalah. Rasa cemas akan turun. Tindakan bunuh diri
dilarang dalam Islam, bila iman semakin kuat maka dorongan bunuh
diri (tentamina Suicidum) pada simtom depresi akan hilang. Metode
zikir (berupa Asmaul Husna) juga efektif menyembuhkan insomnia.
5) Pendekatan keluarga
Dukungan (supportif) keluarga efektif mengurangi kecemasan.
Jangan ragu untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi
bersama-sama anggota keluarga. Ceritakan masalah yang dihadapi
secara tenang, katakan bahwa kondisi Anda saat ini sangat tidak
menguntungkan dan membutuhkan dukungan anggota keluarga
lainnya.

Mereka

akan

berusaha

bersama-sama

Anda

untuk

memecahakan masalah Anda yang terbaik.


6) Olahraga
Olahraga tidak hanya baik untuk kesehatan. Olaharaga akan
menyalurkan tumpukan stres secara positif. Lakukan olahraga yang
tidak memberatkan, dan memberikan rasa nyaman kepada diri
Anda.
http://www.pikirdong.org/psikologi/psi18axdi.php
12.

Bagaimana penanganan cemas?


Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai
dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respon

terapi, Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan


dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan.
Lama pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu.
Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding
dengan

gejala

somatik.

Tidak

menyebabkan

withdrawl.

Kekurangannya adalah efek klinisnya baru terasa setelah 2-3


minggu. Terdapat bukti bahwa penderita yang sudah menggunakan
benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik dengan
buspiron.

Dapat

benzodiazepin

dilakukan

dengan

penggunaan

buspiron

kemudian

bersama
dilakukan

antara
tapering

benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi buspiron


sudah mencapai maksimal.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik
daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan
anxietas sesaat. SSRI efektif terutama pada pasien gangguan
anxietas menyeluruh dengan riwayat depresi.
Psikoterapi
Terapi Kognitif Perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali
distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik,
secara langsung. Teknik utama yang digunakan adalah pada
pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensipotensi yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih
bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri
pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita

sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat


diubah menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal kita
memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
Gangguan Cemas, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa,
Universitas Tarumanegara

Anda mungkin juga menyukai