Chapter I (Tanah)
Chapter I (Tanah)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting dalam
kehidupan manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar dari kehidupan
manusia tergantung pada tanah. Tanah sebagai suatu benda yang dapat memenuhi
kebutuhan manusia sudah lama dirasakan orang. Dalam berbagai aspek kehidupan
orang membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi manusia dapat dilihat dari
kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Ketentuan
tersebut juga sesuai dengan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 menyebutkan :
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat .
Namun lajunya pertumbuhan penduduk khususnya di daerah perkotaan tidak
diimbangi dengan jumlah lahan yang tersedia, sehingga menyebabkan tanah-tanah
yang tersedia tidak cukup luas untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di
atasnya.
Selain itu untuk mendapatkan tanah sangatlah sulit, karena tanah mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi, disamping nilai kultural atau sosial politik lainnya. Jadi
tidak mengherankan bahwa persoalan tanah selalu terjadi dalam masyarakat.
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan
hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan
hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja
karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan.
Muhammad Yamin Lubis menyebutkan bila ada kehendak yang disengaja dan
disepakati atas sebidang tanah milik, maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah
Mhd Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm 27
seperti tanah-tanah dengan hak adat yang tunduk pada hukum tanah adat, misalnya
tanah ulayat, tanah millik, tanah usaha dan lain-lain.
Tanah-tanah barat hampir semuanya terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah
menurut Overschriyvings Ordonantie atau ordonansi balik nama (Stb.1834-27).
Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan hukum agraria barat, misalnya mengenai
cara memperolehnya, peralihan, hapus, pembebanannya dengan hak-hak lain dan
wewenang serta kewajiban-kewajiban yang punya hak.
Tanah-tanah Indonesia yaitu tanah-tanah dengan hak Indonesia hampir
semuanya belum terdaftar dan tunduk pada hukum agraria barat.
Sehubungan dengan hal ini Boedi Harsono menjelaskan2 :
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar menurut
peraturan-peraturan kadaster sedng tanah-tanah hak adat hampir semuanya
belum terdftar. Tanah-tanah hak adat yang terdiri atas apa yang disebut tanah
ulayat masyarakat hukum adat dan tanah hak perorangan seperti tanah hak
milik adat merupakan sebagian terbesar tanah di Hindia Belanda.
Dari uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA hukum
tanah yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang bersumber dari hukum perdata
barat dan hukum yang bersumber dari hukum adat, demikian juga dalam hal
terjadinya jual beli tanah. Jual beli tanah-tanah barat seperti hak eigendom, hak
erfpacht, hak opstal tunduk pada KUHPerdata dan terhadap tanah-tanah adat seperti
tanah hak millik adat tunduk pada hukum adat.
Dalam jual beli ada dua subjek yaitu penjual dan pembeli, yang masingmasing mempunyai kewajiban dan berbagai hak, maka mereka masing-masing dalam
beberapa hal merupakan pihak yang berwajib dan dalam hal-hal lain merupakan
pihak yang berhak. Ini berhubungan dengan sifat timbal balik dari persetujuan jual
beli (Werdering overenkomst). 3
Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam
praktek disebut jual beli tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang
benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah
menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan
tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. 4
Pada prinsipnya tanah menurut hukum Adat Karo adalah milik kuta (desa),
yang penguasaannya di bawah kekuasaan pengulu (si mantek kuta). Oleh karena itu,
hak seorang ginemgem (rakyat) atas tanah hanyalah sekedar hak pakai. Untuk
memakai suatu lahan (tanah) tertentu sebagai ladang, maka setelah mendapat izin dari
pengulu, orang yang ingin memakai tanah itu ngumbung (memberi tanda) di atas
tanah tersebut sesuai dengan hukum adat Karo. Maksudnya, sebagai pemberitahuan
kepada penduduk kampung (kuta) tentang maksud untuk mengusahakan lahan itu. 5
Dengan berubahnya status tanah adat menjadi hak milik adat, maka hubungan
antara masyarakat dengan tanah tersebut lepas. Lepas disini dalam arti pemilik tanah
telah bebas
menentukan
sendiri
berpendapat bahwa hak milik atas tanah meliputi kekuasaan untuk bertindak sebagai
Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, (Medan: Fakultas Hukum USU), hlm
36
4
Effendi Perangin-angin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.8
Darwin Prinst, Adat Karo,(Medan: Bina Media Perintis), hlm.215
yang berhak sepenuhnya atas tanah, dengan mengingat beberapa kewajiban terhadap
masyarakat yang harus diperhatikan oleh pemiliknya. 6
Dari pengertian hak milik tersebut di atas tergambar bahwa meskipun pemilik
tanah berkuasa penuh terhadap sebidang tanah, namun masih terikat beberapa hak
masyarakat. Adapun hakhak masyarakat yang dimaksud adalah seperti memberikan
hak pengembalaan ternak atau membolehkan sedikit tanahnya dibuat jalan yang
semuanya merupakan untuk kepentingan umum.
Hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, di mana dalam
UUPA setiap hak milik selalu terkandung hak masyarakat sehingga tidak ada
kemutlakan hak sebagaimana terdapat dalam hak eigendom sebelum berlakunya
UUPA. Dalam pasal 20 ayat (1) menyebutkan : Hak milik adalah hak turun temurun
terkuat dan terpenuh
ketentuan pasal 6. Dalam pasal tersebut telah mengandung makna seseorang dalam
memiliki dan mempergunakan tanah harus mengingat kepentingan umum.
Selain dengan membuka hutan atau belukar, hak milik atas tanah bisa di dapat
dengan cara-cara lain. Wiryono Prodjodikoro dalam hal ini menyebutkan bahwa :
Dalam hukum adat ada berbagai cara untuk mendapatkan hak milik atas tanah
yaitu :
a. Membuka hutan atau belukar
b. Mewaris tanah
c. Penerimaan tanah secara pembelian, penukaran, penerimaan hadiah, dan
lain-lain sebagainya
d. Mendapatkan hak milik atas tanah karena lampau waktu (verjaring). 7
6
ulayat suatu
masyarakat adat yang bersangkutan, tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam
hukum adat tersebut berupa sawah dan beralih turun temurun. 9
Sistem
jual
beli
tanah
dalam
hukum
adat
menganut
sistem
tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata. Hal ini karena
masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual tanah tersebut
baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata telah terjadi
yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah sebagai objek
dengan sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.
Sehubungan hal tersebut di atas, Imam Soetiknyo memberi pengertian
terang yang menjelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus
dengan dukungan (medewerking) Kepala Suku/Masyarakat hukum/Desa agar
8
Imam Soetiknyo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987)
hlm 67
9
perbuatan
itu
terang
dan
sahnya
(rechtsgeldigheid)
ditanggung
Kepala
Suku/Masyarakat Hukum/Desa tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat juga harus
menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht) dan hak sesama suku
tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan di lepas atau dijual akad. 10
Mengenai hal tersebut di atas, J Kartini Soedjindro mengemukakan apabila
dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tanah adat, maka syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah :
a) Harus ada persetujuan dari ahli waris apabila hubungan ahli waris masih kuat,
mungkin mereka akan membeli tanah itu untuk seterusnya, untuk satu musim
atau untuk suatu waktu tertentu.
b) Hak tetangga (buren recht) dan hal sesama anggota suku/masyarakat hukum
adat (naasting recht) harus diperhatikan juga. Apabila perbuatan hukum
tersebut di atas akan diadakan, kecuali ahli waris, maka para tetangga yang
tanahnya berbatasan harus diberi prioritas untuk membeli tanah yang akan
dijual tersebut. Dan bilamana calon pembeli bukan anggota
suku/masyarakat/desa, maka anggota suku/masyarakat/desa harus lebih
dahulu diberi kesempatan untuk membeli tanah yang akan dijual itu.
c) Apabila ahli waris, tetangga, atau sesama anggota suku tidak ada yang mau
membeli, maka ada kemungkinan bagi bukan anggota suku/masyarakat/desa
untuk membeli tanah tersebut. Untuk ini diperlukan keputusan desa dan atas
dasar itu, oleh kepala suku/masyarakat/desa yang bertindak keluar mewakili
suku/masyarakat hukum/ desa untuk memberikan izin kepada bukan anggota.
Namun mereka harus membayar sewa bumi secara tetap dan memberikan
uang saksi. 11
Jadi secara keseluruhan transaksi-transaksi di atas tidak akan dilakukan tanpa
dukungan Kepala Suku/masyarakat/desa, bila dilakukan perbuatan hukum tersebut
tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
10
12
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan Pelaksanaannya,
( Jakarta: Djambatan, 1982), hlm 117
pasal 1 ayat (2), yang menyatakan PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum terdapat PPAT.
Dari ketentuan pasal di atas, dapat kita lihat bahwa Camat selain berfungsi
sebagai Kepala Wilayah suatu Kecamatan juga berfungsi sebagai pejabat yang
berwenang dalam membuat akta PPAT di daerah yang belum terdapat PPAT. Dan
jika suatu Kecamatan telah diangkat seorang PPAT, maka Kepala Kecamatan yang
bersangkutan tetap menjadi PPAT sampai dia berhenti menjadi Kepala dari
Kecamatan itu.
Sehubungan pengertian PPAT di atas menurut Effendi Perangin-angin
Pejabat Pembuat Akte Tanah adalah pejabat umum yang diberi tugas dan ditunjuk
oleh Menteri Agraria dalam rangka pembuatan akta pemindahan hak atas tanah. 13
Dalam hal pengertian akta, Subekti dalam buku Sudikno Mertokesumo
mengatakan akta adalah suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan
sebagai bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani. 14
Selanjutnya dalam pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan :
.. Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk Undang-Undang,
dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu dan di
tempat di mana akta itu dibuatnya.
Dengan demikian akta mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah seperti akta jual beli tanah milik adat yang dibuat oleh PPAT
13
Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm 3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm 101
14
yang menggunakan form yang sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan oleh
Kepala Pertanahan Nasional (BPN), merupakan data otentik, sebagaimana yang
dimaksud oleh pasal tersebut di atas.
Dalam hal-hal tertentu, berdasarkan pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 ditetapkan bahwa PPAT menolak untuk membuat akta jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas rumah susun,
kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau
sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan.
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan
sebagai berikut :
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (2)
2. Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah
yang terletak di daerah yang jauh dari Kantor Pertanahan surat keterangan
dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dapat dijelaskan bahwa objek dari
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli tanah. Objek
tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat,
misalnya tanah hak milik adat yang belum dimohonkan konversi oleh pemegang
haknya menjadi hak milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA.
Di dalam tata cara jual beli tanah sebagai salah satu bentuk peralihan hak atas
tanah, haruslah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT, baik Notaris sebagai
PPAT maupun Camat sebagai PPAT sementara , dengan suatu akta otentik berupa
akta jual beli tanah. Untuk mendapatkan bukti yang kuat dan lebih luas daya
pembuktiannya, jual beli tanah haruslah di daftarkan pada Kantor Pertanahan.
Masyarakat Adat Karo di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo dalam
melaksanakan jual beli tanahnya, sebahagian besar tanah tersebut belum bersertifikat,
bahkan dalam kenyataan masih ditemukan juga transaksi jual beli tanah dilakukan
dihadapan Kepala Desa yang disaksikan oleh saksi dari pihak keluarga. Sudah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat Adat Karo setiap terjadinya jual beli tanah saksi
yang hadir biasanya mempunyai hubungan kekerabatan, adapun tujuannya adalah
untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka lebih mengetahui akan
keberadaan tanah/objek yang akan diperjual belikan.
Dari kenyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa pelaksanaan jual beli dalam
masyarakat Adat Karo di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo, masih jauh dari
ketentuan yang berlaku dan ini tidak terlepas dari tanggung jawab pejabat yang
berwenang, yang secara tidak langsung mendukung terjadinya jual beli tersebut di
atas.
Dari permasalahan yang ada maka dilakukan penelitian untuk meneliti hal
tersebut sehingga dapat mengetahui secara umum faktor-faktor penyebab pelaksanaan
jual beli tanah dalam masyarakat Adat Karo di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo,
yang tidak dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, yang dapat menimbulkan perkara
atau sengketa di dalam masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
diuraikan
di
atas,
maka
2.
3.
Untuk mengetahui kekuatan hukum dari jual beli tanah yang dilakukan menurut
hukum adat.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis antara lain :
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan saran dalam Ilmu Hukum Perdata
khususnya bagi Hukum Agraria dan Hukum Perjanjian.
b. Untuk memberikan suatu pemahaman yang mendalam serta bahan pegangan bagi
masyarakat khususnya masyarakat adat Karo tentang pentingnya suatu bukti
kepemilikan tanah dalam upaya mendapatkan perlindungan dan jaminan
kepastian hukum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,
khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada
penelitian yang menyangkut masalah : PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH
DALAM MASYARAKAT ADAT KARO ( Studi di Kecamatan Juhar
Kabupaten Karo).
Namun dalam penelusuran kepustakaan, penulis ada menemukan beberapa
tesis karya mahasiswa, yang mengangkat masalah jual beli tanah namun
permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu :
1. Tesis atas nama Cut Ida Khairani NIM : 027011009 dengan judul Analisis
Pelaksanaan Jual Beli Tanah Milik Adat Pada Masyarakat Aceh. (Studi Di
Kabupaten Aceh Barat).
Dengan demikian, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung
jawabkan secara akademis.
15
J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, (Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm 203
16
17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80
18
Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia,
1989), hlm 12
19
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena
merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan
bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak
menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa tanah
merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan,
merupakan tempat di mana para warga yang meninggal dunia dikuburkan; dan sesuai
dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para dewa-dewa pelindung dan
tempat roh para leluhur bersemayam. Di dalam hukum adat, antara masyarakat
hukum merupakan kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang
sangat erat sekali; hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religiomagis.
Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama.
Dari ketentuan Pasal 5 dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang merupakan
dasar hukum agraria itu haruslah hukum adat yang :
a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa.
b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c. Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya
Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan
kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat
yang bersamaan secara tunai dilakukan 20
Secara umum pengertian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak
yang lain untuk membayar dengan harga yang telah ditetapkan. Yang dijanjikan
pihak penjual adalah menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang
ditawarkan atau dijual sedangkan yang dijanjikan oleh pihak pembeli membayar
harga yang telah disetujuinya.
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan
hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan
hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja
karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan.
Indikasi yang menunjukkan bahwa konsep jual beli tanah yang diambil UUPA
konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna dan
hak telah berlalu kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT.
20
Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm.
15
Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah hanya untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak seperti yang
tercantum di dalam Pasal 23 UUPA.
Apabila Pasal 23 UUPA dihubungkan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf c, yang
menyatakan bahwa pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Sesuai dengan sistem publikasi yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, diberikan sertifikat
sebagai alat bukti yang kuat. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan
pembuktian sertifikat, yang menyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu
selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan yuridis yang dicantumkan dalam
sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum
sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan sepanjang data tersebut sesuai
dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanahnya. Tidak dapat menuntut
tanah yang bersertifikat atas nama orang atau badan hukum lain jika setelah 5 tahun
sejak dikeluarkannya sertifikat tersebut.
Oleh karena itu pendaftaran itu hanya bersifat administratif, proses jual
belinya sendiri sudah selesai semenjak dibuatnya akta PPAT. Dan semenjak saat itu
barang telah beralih kepada pembeli. Hal demikian adalah sesuai dengan azas hukum
adat yang dianut oleh UUPA.
Dalam perjanjian jual beli harus dilakukan penyerahan atau levering secara
yuridis. Seperti yang kita ketahui dalam hukum perdata terdapat bermacam-macam
benda, sehingga disesuaikan macam-macam benda dengan cara penyerahannya. Ada
tiga macam cara penyerahan yang sering dilaksanakan oleh para pihak yakni :
1. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau
menyerahkan kekuasaan atas barangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam pasal 612 KUH Perdata.
2. Penyerahan barang tak bergerak, dalam hal tanah sesudah berlakunya UUPA
dilakukan dengan pembuatan akta jual beli dengan akta PPAT yang
pelaksanaannya disesuaikan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
pendaftaran Tanah. Peralihan berubah setelah dilakukan balik nama pada kantor
pertanahan.
3. Penyerahan piutang atas nama, dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang
diberitahukan kepada si berutang, dalam hal ini dinamakan akta cessie, terdapat
dalam pasal 613 KUH Perdata.
Perjanjian jual beli dapat disebut sebagai suatu perjanjian yang bersifat
konsensuil artinya jual beli telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka
telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar. Salah satu sifat yang penting dari jual
beli menurut sistem dalam hukum perdata adalah jual beli yang bersifat obligatoir,
artinya jual beli belum memindahkan hak milik dia baru memberikan hak dan
meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada pembeli hak
untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.
Hal serupa diungkapkan oleh Subekti :
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan
sebagai suatu perjanjian yang sah mengikat dan mempunyai kekuatan hukum
pada detik tercapainya kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai
unsur-unsur yang pokok (essensial) yaitu barang dan harga. Sifat
konsensuilnya ditegaskan dalam pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi : ..
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut
belum diserahkan maupun harganya belum dibayar 21
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh W.J.S. Poerwadarminta :
Bahwa persetujuan jual beli berasaskan konsensus yang berarti antara lain
persemaian kesepakatan. Kata sepakat tentang benda dan harga, telah cukup
untuk menciptakan persetujuan jual beli dan ini sesuai dengan ketentuan
umum dalam pasal 1320 yaitu syarat-syarat subjektif mengenai sepakat
pihak-pihak yang membuat persetujuan. Dan syarat objektifnya di dalam
pasal 1320 ayat (3). 22
Dari pengertian tersebut di atas, perjanjian jual beli menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, sifatnya konsensus dan dianggap sah bila telah memenuhi
syarat subjektif dan objektif, walaupun barang yang menjadi objek jual beli tersebut
belum diserahkan kepada pembeli.
Dalam sistem jual beli yang hanya bersifat obligatoir saja, maka bila terjadi
suatu barang yang telah dijual, tetapi belum diserahkan, kemudian dijual lagi untuk
kedua kali oleh penjual dan dilever kepada pembeli kedua, barang tersebut menjadi
21
ibid. hlm 80
22
Ibid
milik pembeli kedua. Sedangkan pembeli pertama hanya dapat menuntut ganti rugi
kepada penjual yang telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu menyerahkan
barangnya dan karenanya melakukan wanprestasi atau ingkar janji. 23
Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa dalam KUH Perdata inti dari suatu
perjanjian jual beli adalah adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang membuat
suatu perjanjian dianggap telah terjadi dan sudah terlaksana, walaupun para pihak
belum melakukan kewajibannya, yakni pihak pembeli menyerahkan uang dan pihak
penjual menyerahkan bendanya. Sedangkan dalam Hukum Adat setiap transaksi
belum dianggap selesai bila tanpa disertai pembayaran dan penyerahan benda dari
para pihak pada saat bersamaan.
Subjek dari perjanjian jual beli adalah pihak pembeli dan pihak penjual.
Sedangkan objek dari jual beli adalah seperti tersebut di dalam isi pasal 499 KUH
Perdata : yang dimaksud kebendaan (zaak) adalah tiap barang dan tiap hak yang
dapat dijadikan objek jual beli dari hak milik. Selanjutnya dalam pasal 503 dan 504
KUH Perdata menyatakan bahwa : tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak
bertubuh
dan tiap kebendaan bergerak dan tidak bergerak satu sama lain . Jadi dalam hal ini
yang objek jual beli adalah dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud.
Namun tidak semua benda berwujud dapat menjadi objek jual beli. Misalnya barang
23
Basrah, Buku III KUH Perdata Tentang Perikatan Jual Beli Dan Pembahasan Kasus, (Medan: FH
USU, 1981), hlm 5
tidak bergerak yang dinyatakan milik negara yang dipergunakan untuk kepentingan
umum seperti jalan, pelabuhan dan sebagainya.
Menurut pasal 506 KUH Perdata kebendaan tak bergerak adalah :
a. Pekarangan-pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya.
b. Penggilingan-penggilingan
c. Pohon-pohon dan lading serta barang-barang tambang seperti batu bara,
sampah bara dan sebagainya.
d. Kayu tebangan dari hutan dan kayu dari pohon-pohon yang belum
ditebang.
e. Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukkan guna menyalurkan air dari
rumah atau pekarangan dan pada umumnya segala apa yang tumbuh
dalam pekarangan atau terpaku dalam bangunan rumah.
Barang bergerak seperti mobil, AC dan sebagainya, apabila akan diperjual
belikan biasanya tidak perlu dilakukan dihadapan Notaris atau PPAT, namun
sebaliknya barang yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan baik tanah saja
atau bangunan saja, umumnya dilaksanakan di hadapan Notaris atau PPAT.
Tanah yang merupakan salah satu objek jual beli dapat dibedakan dalam tanah
yang bersertifikat maupun tanah yang tidak bersertifikat. Tanah-tanah yang
bersertifikat meliputi tanah yang pembuktiannya berupa : SK Gubernur, SK Bupati
dan SK Camat, sedangkan surat keterangan Kepala Desa hanya sebagai petunjuk dan
pelengkap bukti bahwa sengketa tanah tersebut tidak ada. Namun terhadap tanah
yang tidak bersertifikat kehadiran Kepala Desa maupun pamong desa dalam setiap
transaksi sangat diperlukan, karena tanpa dukungan (mederwerking) Kepala Desa /
Suku dan masyarakat desa, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak sah dan
tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak memenuhi syarat terang. 24
Imam Soetiknyo menyebutkan dalam hal tanah yang tidak bersertifikat, bila
akan dialihkan, disaksikan oleh Kepala Desa dan pamong praja seperti sekretaris desa
dan kepala dusun, mereka merupakan saksi khusus. Hal ini dikarenakan mereka
dianggap lebih mengetahui kondisi dan segala sesuatu mengenai tanah, dan hal ini
bisa menjadi suatu pembuktian yang kuat sebagaimana diakui oleh PPAT dalam pasal
19 ayat (3), sedangkan alat bukti girik atau petuk pajak atau surat di atas segel
dianggap sebagai alat bukti petunjuk saja. Kesaksian Kepala Desa juga diperlukan
untuk menjamin bahwa tanah yang dialihkan adalah benar-benar kepunyaan dan hak
dari pemilik sehingga dia berwenang mengalihkannya. 25
Sebagai akibat politik hukum pemerintah Hindia Belanda, maka sebagaimana
halnya dengan hukum perdata, hukum tanah pun bersifat dualisme yaitu dengan
berlakunya bersamaan dua perangkat peraturan hukum tanah adat yang bersumber
pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang ketentuan pokoknya
bersumber pada KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
Jika dilihat sistem tersebut, maka akan sangat berpengaruh terhadap
penggolongan tanah. Pada waktu itu dikenal adanya tanah hak barat seperti eigendom,
erfpacht dan opstal yang tunduk pada hukum tanah barat. Sehingga dengan demikian,
24
Bandingkan dengan pasal VII Ketentuan Konsideran UUPA yang menyebutkan bahwa akta
pemindahan yang dibubuhi kesaksian Kepala Desa/Kepala Adat diakui sebagai hak milik yaitu sebelum
tanggal 8 Oktober 1997
25
Imam Soetiknyo, Op-cit hlm 61
Sebelum jual beli dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli, tentunya
sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu, tanah mana
yang akan dijual dan harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat
itu menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan melakukan
jual beli. Menurut hukum adat untuk mengikatnya perjanjian disyaratkan adanya apa
yang disebut panjar berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan
kepada pemilik tanah.
Selanjutnya berdasarkan kata sepakat itu kemudian diikuti dengan pernyataan
(ijab kabul) berupa penyerahan uang (harga) dan tanah oleh pembeli dan penjual
dihadapan para saksi.pada saat itu barulah dapat dikatakan jual beli itu terjadi secara
sah dan masyarakat setempat menerimanya.
Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat
disimpulkan bahwa syarta-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah
menurut hukum adat yaitu adanya objek daripada jual beli berupa tanah dan
uang/harga, adanya kata sepakat para pihak (penjual dan pembeli) dan adanya saksisaksi yang menyaksikan perbuatan hukum jual beli itu.
26
Hilman Hadikusumah, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 129
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition. 28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai. 29
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :
1. Tanah adalah tanah yang dikuasai oleh seseorang masyarakat adat yang
diperoleh berdasarkan garapan ataupun warisan.
2. Pengetua adat adalah seseorang yang ditunjuk oleh masyarakat adat melalui
suatu musyawarah yang berdasarkan musyawarah dan mufakat.
27
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofi Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2003), hlm 39
28
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1997), hlm 10
29
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan
Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hlm 35
3. Kepala Desa adalah seseorang yang dipilih oleh masyarakat suatu desa yang
bertugas melaksanakan tertib administrasi desa.
4. Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang
mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu
beralih menjadi milik ahli warisnya.
5. Jual beli menurut hukum adat adalah suatu penyerahan barang oleh si
penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik atas
barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu, berupa uang oleh si
pembeli kepada si penjual.. 30
6. Jual lepas adalah bentuk transaksi ini merupakan bentuk jual beli tanah yang
menyebabkan beralihnya hak milik tanah dari pihak penjual kepada pihak
pembeli untuk selama-lamanya.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisis bagaimana jual beli tanah dalam masyarakat Adat Karo (studi di
Kecamatan Juhar Kabupaten Karo) maka penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan
akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang
merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri
30
dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di
lapangan secara langsung dari responden.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan
penelitian dengan menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan
dokumen-dokumen yang ada dibantu dengan data yang diperoleh dilapangan yang
berkaitan dengan objek penelitian ini. 31
Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa :
1. Data Sekunder, dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai data sekunder adalah
berupa bahan-bahan kepustakaan hukum, peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan jual beli tanah.
2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan
responden.
3. Cara Pengumpulan Data
Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran akan
hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian dengan
menggunakan alat pengumpulan data, yaitu :
1.
Studi Dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahanbahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen
31
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm 24
dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan
yang berkaitan dengan jual beli tanah.
2. Studi Lapangan, yang dilakukan dengan pedoman wawancara terstruktur dengan
responden serta dengan narasumber :
a. Camat Kecamatan Juhar
b. Kepala Desa Juhar Ginting dan Juhar Tarigan
c. Tokoh Adat.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 32
Setelah data primer diperoleh, selanjutnya data tersebut diindentifikasi dan di
klasifikasi serta di susun dalam bentuk tabel frekuensi, dianalisis secara kualitatif
dengan mempelajari seluruh jawaban dari responden, membandingkan dengan data
sekunder
dengan menggunakan metode berfikir secara induktif dan deduktif.
Pada proses induktif, proses berasal dari proposisi khusus (sebagai hasil
pengamatan dan berakhir pada kesimpulan pengetahuan baru) berupa asas umum.
Sedangkan pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang
32
Lexy, J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994),
hlm 103
kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru)
yang bersifat lebih khusus.
Dengan demikian data yang di kumpulkan kemudian diedit dengan cara
mengelompokkan, menganalisis dengan metode kualitatif kemudian ditarik
kesimpulan dengan cara berfikir yang menggunakan metode deduktif atau induktif.
H. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Topografi
Desa Juhar Ginting dan Desa Juhar Tarigan dengan pusat pemerintahan
Kecamatan Juhar, merupakan Desa dari 24 Desa yang ada di Kecamatan Juhar
Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara.
Adapun ke 24 Desa yang ada di Kecamatan Juhar adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Desa yang Ada di Kecamatan Juhar
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Nama Desa
Namosuro
Jandi
Naga
Ketawaren
Lau Kidupen
Lau Lingga
Pernantin
Bekilang
Buluh Pancur
Juhar Tarigan *)
Juhar Perangin
Kidupen
Pasar Baru
Mbetung
Gunung Juhar
Juhar Ginting *)
Kecamatan
Kecamatan Juhar
Lanjutan Tabel 1
17.
Segenderang
18.
Batu Mamak
19.
Nageri
20.
Sugihen
21.
Sukababo
Kecamatan Juhar
22.
Kuta Gugung
23.
Keriahen
Kuta Mbelin
24.
Sumber data : Kecamatan Juhar Dalam Angka Tahun 2008
*) desa sampel / lokasi penelitian
Luas wilayah Kecamatan Juhar : 218,56 Km, dengan ketinggian dari
permukaan laut : 710 800 m/DPL, berbatasan dengan :
1. Sebelah Utara
2. Sebelah Selatan
: Kabupaten Dairi
3. Sebelah Barat
4. Sebelah Timur
Adapun iklim (suhu, musim, angin, curah hujan) di Kecamatan Juhar adalah :
a.
b.
Ada dua musim yang terdapat di Kecamatan Juhar yaitu : musim hujan dan
musim kemarau, musim hujan pertama terjadi antara bulan Agustus s/d Januari,
dan musim hujan kedua terjadi pada bulan Maret s/d bulan Oktober.
c.
Arah angin yang berhembus di Kecamatan Juhar terbagi atas dua yaitu : pada
musim hujan, angin berhembus dari arah barat serta banyak mendatangkan
hujan kira-kira antara bulan Oktober s/d bulan Maret, sedangkan pada musim
kemarau, angin Timur Tenggara berhembus dari arah Timur kurang
mendatangkan hujan antara bulan April s/d bulan September.
No
Desa
(1)
1
(2)
Namosuro
Jandi
Naga
Ketawaren
Lau Kidupen
Lau Lingga
Pernantin
Bekilang
Buluh Pancur
10
Juhar
Tarigan
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Juhar Perangin
Kidupen
Pasar Baru
Mbetung
Gunung Juhar
Juhar Ginting
Tanah
Sawah
(3)
5,0
10,0
350,0
10,0
80,0
80,0
196,0
55,0
10,0
40,0
110,0
40,0
60,0
120,0
190,0
190,0
70,0
30,0
-
Tanah
Kering
(4)
514,0
314,5
587,0
623,0
297,0
909,0
646,5
414,0
491,0
555,0
637,0
711,0
282,0
516,0
159,0
977,5
297,0
500,0
430,5
468,5
321,5
445,5
472,5
173,0
Bangunan/ Lainnya
Pekarangan
(5)
(6)
430,0
1,0
445,0
2,5
364,0
1,0
348,0
2,0
355,0
1,0
310,0
1,0
374,0
9,5
465,0
1,0
474,0
1,0
320,0
7,0
225,0
10,0
477,0
6,0
263,0
2,0
332,0
3,0
370,0
1,0
253,0
11,5
333,0
2,0
2,0
165,0
4,5
405,5
8,5
308,0
7,5
361,0
4,5
250,5
6,5
361,0
2,0
282,0
Jumlah
(7)
950,0
772,0
952,0
973,0
653,0
1.220,0
1.380,0
890,0
966,0
962,0
952,0
1.390,0
602,0
861,0
570,0
1.352,0
672,0
727,0
960,0
975,0
880,0
770,0
870,0
557,0
Segenderang
Batu Mamak
Nageri
Sugihen
Sukababo
Kuta Gugung
Keriahen
24
Kuta Mbelin
Jumlah
1.646,0 11.742,0
Sumber : Kepala Desa se Kecamatan Juhar
98,0
8.370,0
21.856,0
Dilihat dari tabel di atas Desa Juhar Tarigan memiliki luas tanah berdasarkan
penggolongan/jenis serta penggunaannya yaitu, tanah sawah 80 Ha, tanah kering 555
Ha, bangunan/pekarangan 7 Ha, lainnya 320 Ha, dengan jumlah keseluruhan 962 Ha.
Sedangkan Desa Juhar Ginting memiliki luas tanah berdasarkan penggolongan/jenis
serta penggunaannya yaitu, tanah sawah 110 Ha, tanah kering 977,5 Ha,
bangunan/pekarangan 11,5 Ha, lainnya 253 Ha, dengan jumlah keseluruhan 1.352
Ha.
Tabel 3 : Jarak dari Ibukota Kecamatan (KM) Ke Kantor Kepala Desa
No
(1)
1
Desa
(2)
Namosuro
Jandi
Naga
Ketawaren
Lau Kidupen
Lau Lingga
Pernantin
Bekilang
Buluh Pancur
10
Juhar Tarigan
11
Juhar Perangin
12
Kidupen
13
Pasar Baru
14
Mbetung
15
Gunung Juhar
16
Juhar Ginting
17
Segenderang
18
Batu Mamak
19
Nageri
20
Sugihen
21
Sukababo
22
Kuta Gugung
23
Keriahen
6
8
11
10
5
4
Kuta Mbelin
24
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Juhar
2. Demografi
Penduduk Kecamatan Juhar berjumlah 13.859 jiwa, di mana laki-laki
berjumlah 6.572 jiwa dan perempuan berjumlah 7.287 jiwa. Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 4 : Banyaknya Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin Tahun 2007
No
Desa
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
54
54
108
Namosuro
Jandi
221
217
438
Naga
94
103
197
Ketawaren
65
83
148
Lau Kidupen
70
70
140
Lau Lingga
110
121
231
Pernantin
595
679
1.274
Bekilang
25
27
52
Buluh Pancur
150
136
286
10
Juhar Tarigan
341
376
717
11
Juhar Perangin
644
647
1.291
12
Kidupen
641
758
1.399
13
Pasar Baru
195
210
405
14
Mbetung
212
218
430
15
Gunung Juhar
24
25
49
16
Juhar Ginting
881
996
1.877
17
Segenderang
126
150
276
18
Batu Mamak
124
145
269
19
Nageri
308
349
657
20
Sugihen
393
419
812
21
Sukababo
338
390
728
22
Kuta Gugung
399
484
883
23
Keriahen
457
516
973
24
Kuta Mbelin
105
114
219
6.572
7.287
13.859
JUMLAH